Anda di halaman 1dari 4

Mewujudkan Kemakmuran dalam Keberagaman

Oleh: Muhamad Zainal Mawahib


Mahasiswa Jurusan Konsentrasi Ilmu Falak Jurusan Ahwal alSyakhshiyah Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang
Penerima Beasiswa Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) dari
Kementerian Agama
Manusia diciptakan oleh Tuhan tidak ada yang sama, bahkan
yang lahir kembar dari rahim yang sama pun pasti memiliki
perbedaan. Apakah itu di warna kulit, sifat dan lain sebagainya.
Dalam kehidupan sehari-hari pun kita memiliki perbedaan dalam
bertingkah laku dan berinteraksi dengan sesama, yang tentunya tidak
sama dengan yang lain. Untuk menyamakan persepsi dari berbagai
perbedaan yang ada, maka diperlukan musyawarah dan mufakat
untuk mencari sebuah kesepakatan.
Inilah pola yang terjadi awal terbentuknya negara Indonesia,
semenjak nenek moyang bangsa Indonesia menempati kepulauan ini,
dengan budaya, ras, kepercayaan dan suku yang sangat beragam.
Bahkan

jumlahnya

ratusan,

sehingga

mereka

mampu

hidup

berdampingan. Saling menghargai dan membutuhkan, itulah sikap


yang

diterapkan.

Tidak

ada

ambisi

di

antara

mereka

untuk

menyamaratakan budaya ke dalam satu kebudayaan tunggal. Dan


akhirnya terbingkai dalam sebuah dasar negara atau falsafah bangsa
yaitu Pancasila.
Sebagai

dasar

negara,

Pancasila

mengakui

keberadaan

bermacam-macam agama, suku bangsa, filsafat, dan aliran politik


dalam kehidupan rakyat Indonesia. Kita mengenal semboyan yang
terkenal

dengan Bhineka

mengatakan,

Negara

Tunggal

Republik

Ika.

Indonesia

Soekarno

bukan

milik

sendiri
sesuatu

golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan
milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari
Sabang sampai ke Merauke! Bahkan, di dalam UUD 1945 disebutkan:
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.
Ini artinya, Negara Republik Indonesia sejak lahirnya bukan saja
toleran, tetapi mengakui keberagaman itu sebagai dasar pembentuk
negara-bangsa ini. Dengan demikian, bhineka tunggal ika itu justru
merupakan raison detre lahirnya negara-bangsa bernama Indonesia.
Tetapi, fenomena tersebut berubah, yang asalnya harmonis
menjadi anarkis. Keberagaman budaya yang selama ratusan, bahkan
ribuan tahun yang telah mampu mengantarkan rakyat Indonesia ke
pulau sejahtera, dirasa hilang ditelan bumi.
Ini dikuatkan dengan adanya korupsi, pencurian, pemerkosaan,
bentrok antarwarga, tawuran antar mahasiswa dan sebagainya.
Bahkan akhir-akhir ini banyak terjadi tindakan kekerasan, perusakan
dan penyerbuan dengan motif beda keyakinan dalam memahami
agama, seperti kasus penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah di
Cikeusik, penyerangan terhadap kelompok Syiah di Sampang, Madura
dan sebagainya. Selain itu, konflik antar agama juga sering terjadi
seperti kasus di Gereja GKI Yasmin Bogor, perusakan gereja di
Temanggung dan kasus-kasus yang lain. Bentuk-bentuk berita,
termasuk yang sangat signifikan tentang kasus suku, agama, ras dan
antar-kelompok (SARA) itu seakan menjadi menu utama di media
masa. Hal tersebut mencerminkan rasa saling membutuhkan antara
satu dengan yang lain sudah tak hidup lagi. Diri sendiri lah yang
dipikirkan, tanpa berpikir bagaimana seandainya ia hidup sendiri di
sebuah tempat.
Mewujudkan Kemakmuran

Semua
melupakan

ini

akibat dari

akar-akar

masyarakat Indonesia

budayanya

sendiri.

Serta

yang telah
melemahnya

implementasi nilai-nilai persatuan yang terkandung dalam Bhineka


Tunggal

Ika.

Dan

juga

kurangnya

sifat

kritis

dalam

proses

pengambilan budaya lain. Seandainya mereka mempunyai sikap


menghargai, serta mengkritisi kebudayaan lain, maka hal itu mungkin
tidak akan terjadi.
Dalam rangka berbenah diri, seperti Indonesia pada sediakala,
anti

anarkis.

Maka

rakyat

Indonesia

diharapkan

mengimplementasikan kembali makna Bhineka Tunggal Ika yang


dirasa telah luntur. Karena keberadaannya tidak dapat diingkari
dalam mewujudkan kesatuan Indonesia dengan keberagaman yang
dimiliki. Bahkan keberanian Indonesia untuk mengumandangkan
kemerdekaan didukung penuh oleh persatuan seluruh kebudayaan
Indonesia.
Kesatuan dari keberagaman adalah sistem yang menjalin
hubungan dalam kehidupan. Karena kesatuan akan bermakna jika ada
keberagaman sehingga antara satu dengan yang lain itu saling
membutuhkan. Apabila salah satu unsur menyakiti atau meniadakan.
Maka bukan hanya satu unsur yang akan hancur, tapi keseluruhan
kesatuan akan goyah.
Selain itu juga, setidaknya ada terdapat tiga hal yang harus
dilakukan dalam memelihara keberagaman sehingga ia bisa menjadi
pemersatu, bukan sumber masalah. Pertama, memperkuat nilai
toleransi. Kadar toleransi bersumber dari adanya nilai empati yang
secara inheren sudah ada dalam hati setiap orang. Empati merupakan
kemampuan hati nurani kita untuk ikut merasakan apa yang
dirasakan oleh orang lain. Kemampuan untuk ikut bergembira dan
berduka dengan kegembiraan dan kedukaan orang lain

Kedua, berani mengakui perbedaan. Pengakuan akan kebhinneka-an membuat kita sadar bahwa tidak semua hal dapat
diperlakukan dengan sama. Sikap ini akan melahirkan penghargaan
dan saling ketergantungan sehingga pada akhirnya bermuara pada
peningkatan kemampuan adaptasi individu dan kelompok.
Ketiga, memperkuat pendidikan. Pendidikan adalah proses
membuat orang berbudaya dan beradab. Pendidikan yang dibutuhkan
adalah

proses

pendidikan

yang

dapat

mempertahankan

dan

meningkatkan keselarasan hidup dalam hubungan antara sesama.


Penekanannya adalah pada

cara

membangun hubungan antar

individu, antar kelompok dan antar individu dengan kelompok.


Memelihara keberagaman di negara Indonesia dalam kehidupan
bersama, berarti menjadikannya aset yang tidak ternilai. Dengan
memeliharanya kita dapat mengawal kalimat berbeda-beda, tetapi
tetap satu menjadi ungkapan universal bagi seluruh masyarakat
Indonesia.
Ini makin ditegaskan melalui pidato Bung Karno pada tanggal 1
Juni 1945. Inilah momentum kelahiran filosofi bangsa yaitu Pancasila.
Di saat itu Bung Karno mengatakan, Kita hendak mendirikan suatu
negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu
golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya,
tetapi semua buat semua. Itulah yang melahirkan kita sebagai
sebuah negara nasional.

Anda mungkin juga menyukai