Anda di halaman 1dari 3

Masjid dan Kesejahteraan Sosial

Oleh: Muhamad Zainal Mawahib

Islam lahir tidak dalam ruang dan waktu yang kosong, namun ia
lahir dalam suatu peradaan yang berkambang. Jauh sebelum Islam
datang, sudah banyak agama yang berkembang di dalam kehidupan
masyarakat Arab pra Islam. Agama-agama yang berkembang pada saat
itu antara lain al-Watsaniyah (paganisme), Yahudi, Majusi, Hanifiyah dan
Shabiah. Sebagai agama yang datang belakangan, Islam secara tidak
langsung

terpengaruhi

oleh

peradaban

yang

berkembang

dalam

masyarakat Arab yang mayoritas menyembah berhala.


Rumah ibadah umat Islam yang dinamakan masjid merupakan salah
satu bukti akulturasi dari kebudayaan pra Islam. Seperti istilah baitullah
yang berarti rumah Allah. Istilah ini digunakan masyarakat pra Islam
untuk menyebut rumah ibadah. Hingga sekarang istilah ini digunakan oleh
umat Islam untuk menyebut Kabah. Bahkan istilah Kabah itu sendiri bagi
masyarakat pra Islam digunakan untuk menyebut rumah ibadah yang
bentuk kubus. Di mana pada masa itu, para pemuka penyembah banyak
yang memiliknya. Namun istilah Kabah ini maknanya dipersempit
menjadi bangunan kubus yang ada di Mekkah.
Selain itu, demi menjaga rumah ibadah agar tetap terawat, maka
masyarakat pra Islam memiliki orang-orang khusus yang mengabdikan
dirinya untuk merawat berhala (sadanah). Para penjaga yang bertugas
merawat masjid juga ada di Islam, mereka disebut sebagai tamir masjid.
Pada saat umat muslim hijrah ke Madinah, pertama yang dilakukan
oleh Nabi adalah membangun masjid. Nabi memfungsikan tidak hanya
untuk shalat semata. Namun lebih dari itu, fungsi sosial pun menjadi
perhatian Nabi, bahkan masjid seperti bukan tempat yang sakral.
Sehingga keberadaan masjid pada masa Rasulullah menjadi tempat yang
sentral dalam umat Islam.

Praktik yang demikianlah tidak terlihat pada masyarakat pra Islam,


sebab

mereka

mensakralkan

rumah

ibadah

mereka.

Jawad

Ali

menjelaskan keyakinan yang dimiliki masyarakat pra Islam ini lahir karena
bagi mereka bahwa Tuhan yang mereka sembah bersemayam di dalam
rumah ibadah tersebut dan diyakini sebagai rumah Tuhan (baitullah). Hal
ini senada dengan definisi tentang tempat yang disakralkan menurut
Joseph Chelhod. Dia mengartikan tempat yang disucikan adalah tanah
kawasan yang lepas dari alam profan, secara umum manusia dilarang
memasukinya karena ruh yang samar telah menampakkan diri di
dalamnya dan menjadikannya sebagai tempat tinggal.
Diakui atau tidak, fenomena banguan masjid pada masa Rasulullah
sangat berbeda dengan zaman sekarang. Model arsitektur masjid pada
zaman sekarang kemegahannya tampak jelas di tengah-tengah kota.
Bentuk fisik yang menawan semakin hari semakin megah mencerminkan
kemajuan umat Islam.
Bentuk bangunan masjid pun sangat beragam, bahkan ada yang
menyerupai rumah ibadah agama lain. Menjadi konsekuensi bagi agama
Islam ketika bertemu dengan kebudayaan untuk beradaptasi. Lebih-lebih
status

agama

Islam sebagai pendatang. Maka

tak

heran apabila

penyesuaian terhadap kebudayaan tersebut menjadi hal yang wajar. Salah


satu adaptasi agama Islam yang tampak jelas adalah bentuk bangunan
masjid.
Kalaupun

demikian

kondisinya,

maka

menjadi

ambigu

ketika

pemerintah Indonesia melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan


Menteri Dalam Negeri mengeluarkan regulasi No. 8 tahun 2006 tentang
Pendirian Rumah Ibadah. Di mana dalam pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa
Rumah ibadah adalah bangunan yang memiliki ciri tertentu yang khusus
dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama
secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga.
Di balik kemegahan dan keanggunan masjid pada zaman sekarang
seakan menjadi seperti topeng belaka yang menutup keprihatinan.
Pasalnya, umat Islam setengah hati memfungsikan masjid. Alunan adzan

dari

sudut

masjid

yang

selalu

berkumandang

setiap

menjelang

pelaksanaan ibadah shalat belum menyentuh hati para jamaah. Sehingga


tidak mustahil masjid yang megah menjadi seperti kuburan cina yang
sepi dari jamaah. Lebih dari itu, kehadiran jamaah yang ke masjid hanya
untuk

menghilangkan

dilengkapi

dengan

kewajibannya

interaksi

sosial

sebagai
yang

baik

orang
untuk

Islam.

Tanpa

menciptakan

kesejahteraan bersama sebagai wujud tanggung jawab sosial.


Dengan kondisi yang demikian, umat Islam pada zaman sekarang
seolah masjid dijadikan sesuatu yang sakral. Apakah memang demikian
eksistensi dari masjid yang dibangun sebagai tempat untuk melakukan
ibadah bersama? Apakah perlu masjid disakralkan di mana sebagai
tempat untuk menyembah Allah yang tidak terwujud? Lebih luas lagi
apakah bangunan rumah ibadah agama tertentu memiliki bentuk
permanen? Padahal apapun bentuknya dari rumah ibadah itu yang paling
esensial adalah fungsinya.

Anda mungkin juga menyukai