Anda di halaman 1dari 17

KRITIK TERHADAP MUHAMMAD AL-GHAZALI

Makalah
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Studi Hadis
Dosen Pengampu : Dr. Zuhad, M.A

Disusun Oleh:
AKHMAD NADIRIN
NIM. 1400028001

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014

KRITIK TERHADAP SYAIKH MUHAMMAD AL-GHAZALI


I.

Pendahuluan
Kedudukan Hadis dalam agama islam memegang peranan sangat penting. Hal ini
dikarenakan hadis yang memegang kedudukan sebagai sumber hukum yang kedua setelah alQuran. Kehadiran hadis ditengah-tengah umat sesungguhnya telah menyajikan suatu
kebutuhan esensial bagi seorang muslim agar mereka menjadi individu dan masyarakat yang
baik. Dalam hal ini, hadis yang dibawa oleh Rasulullah shalallhu alaihi wasallam
merupakan sumber hukum, menjelaskan al Quran, wajib ditatati, dan teladan untuk
masyarakat Muslim.
Dengan demikian, memperlakukan hadis tidak hanya sebatas penghafalan dan
pembacaan saja, akan tetapi diperlukan studi yang mendalam untuk mengungkap keabsahan
suatu hadits agar dapat diamalkan baik dalam lingkup tata nilai keimanan, maupun ubudiayah
seorang hamba kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya.
Pada perjalanannya, pemahaman para ulama terhadap hadits dikemudian hari tidaklah
satu. Hal itu mempengaruhi pemahaman mereka terhadap istimabth al ahkm dalam dunia
ilmu fiqih, karena hadits merupakan sumber primer dalam ilmu fiqih. Penentuan shahh dan
dhaf, penafsiran matan hadits, hingga pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari,
merupakan perbincangan yang terus mewarnai studi ilmu hadits dalam dunia Islam. Dalam
tradisi ulama salaf, itu semua terjadi justru karena kahati-hatian mereka meriwayatkan dan
menarik kesimpulan dari suatu hadits
Pemahaman hadis yang berbeda tiap individu menjadikan pemahaman yang berbeda
pula dalam memahami makna suatu hadis tersebut. hal ini menjadikan natijah-natijah
terhadap isi kandungan yang dimaksud juga berbeda. Perbedaan pemahaman akan semakin
terlihat manakala terdapat hadis yang seolah-olah bertentangan dengan isi kandungan alQuran.

II. RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah pada kesempatan kali
dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah biografi Syeikh Muhammad Al-Ghazali?
1

b. Bagaimanakah metodologi kritik hadis menurut Syeikh Muhammad Al-Ghazali?


c. Bagaimanakah kritik terhadap Syeikh Muhammad Al-Ghazali tentang Keshahihan
suatu hadis?

III.PEMBAHASAN
A. Biografi Singkat Syaikh Muhammad Al Ghazali
Lahir di kampung Naklah al Inab, Itay Al Barud, Buhairah, Mesir, 22 September
1917. Tokoh yang diberi nama oleh ayahnya dengan Muhammad Al Ghazali ini tumbuh
sebagai penghafal al Quran pada usia 10 tahun dibawah asuhan ayahnya yang juga hafal
al Quran. Ia diberi nama Al Ghazali karena ayahnya sangat gandrung dengan profil Imam
Abu Hamid Al Ghazali (penulis kitan Al Ihy) dan sangat terobsesi dengan fikiran
tasawufnya. Awal pendidikan Al Ghazali diterima di kota Iskandariyan dari tingkat dasar
hingga menengah, kemudian pindah ke kairo melanjutkan kuliah di Fakultas Ushuluddin.
Setelah lulus tahun 1361 H 1943 M, ia mengambil spesialisasi Dawah wa al irsyd dan
mendapt gelar Magister pada 1362 H/1943 M. Para guru yang sangat berpengaruh saat ia
studi adalah; Syaikh abdul Aziz Bilal, Syaikh Ibrahim al Gharbawi, Syaikh Abdul Azhim
az Zarqani, dan lain-lain. Atau menurut apa yang ia sendiri katakan, Al Ghazali
mengomentari tentang dirinya; Jika Imam al Ghazali terpengaruh dengan otak para
filosof dan Ibnu Taimiyah terpengaruh dengan otak ahli fiqih maka saya menganggap diri
saya adalah murid dari sekolah filsafat dan fiqih dalam waktu yang sama. Saya sangat
dipengaruhi oleh syaikh Abdul Azim Az Zarqani dan Muhammad Saltut, akan tetapi saya
lebih dipengaruhi oleh Hasan Al-Banna.
Semasa kuliah ia direkrut oleh Syaikh Hasan Al-Banna (pendiri Al Ikhwan al
Muslimin), hingga menjadi seorang anggota, tokoh, dan terkenal sebagai juru bicara
Ikhwanul Muslimin yang paling jujur. Semasa hayatnya ia pernah menjadi penasihat dan
pembimbing di Kementrian Wakaf, ketua Dewan Kontrol Masjid, Ketua Dewan Dawah,
dan terakhir menjadi Wakil Menteri Wakaf dan Urusan Dakwah Mesir. Selain itu syaikh
juga menjadi guru besar disejumlah universita seperti Al Azhar (Mesir), Ummul Qura
(Makkah), King Abdul Aziz (Jeddah), Qathar, dan Al Jazair. Karya tulis yang
dihasilkannya lebih dari 60 buah buku dari sudut pandang pemikiran, syariat dan akhlaq.
2

B. Metodologi kritik hadis menurut Syeikh Muhammad Al-Ghazali


Para ulama ahli hadis telah menetapkan lima persyaratan untuk
menerima baik hadis-hadis Nabi saw. Tiga berkenaan dengan sanad
(maata rantai para perawi) dan dua berkenaan dengan matan (materi
hadis)1
1. Setiap perawi dalam sanad suatu hadis haruslah seorang yang
dikenal sebagai penghafal yang cerdas dan teliti dan benar-benar
memahami yang didengarnya.
2. Harus orang yang mantap kepribadiannya dan bertakwa kepada
Allah swt serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan atau
penyimpangan
3. Kedua sifat tersebut, harus dimiliki oleh masing-masing perwai
dalam keseluruhan rangkaian para perwai suatu hadis. Jika hal itu
tidak terpenuhi pada diri seorang saja dari mereka, maka hadis
tersebut tidak dianggap mencapai derajat shahih
4. Mengenai matan (materi) hadis itu sendiri, ia harus tidak bersifat
syadx (yakni salah seorang perawinya bertentatangan dalam
periwayatannya dengan perwai lainnya yang dianggap lebih akurat
dan lebih dapat dipercaya).
5. Hadis tersebut harus bersih dari llah qadihah (yakni cacat yang
diketahui oleh para ahli hadis, sedemikian sehingga mereka
menolaknya)
Persyaratan-persyaratan

tersebut

cukup

menjamin

ketelitian

dalam penukilan serta penerimaan suatu berita tentang nabi saw. Kita
berani menyatakan bahwa dalam sejarah peradaban manusia tidak
pernah

dijumpai

contoh

ketelitian

dan

kehatia-hatian

yang

menyamaninya. Namun, yang lebih penting lagi adalah kemampuan


untuk mempraktekan persyaratan-persyaratan tersebut.
Untuk menentukan shaihnya suatu hadis dalam segi matannya
diperlukan ilmu yang mendalam tentang al-Quran serta kesimpulan1 Muhammad Ghazali, Studi Kritis atas Nabi SAW : Antara Pemahaman Tekstual
dan Kontekstual, Bandung: Mizan, 1992, hal. 26
3

kesimpulan yang dapat ditarik dari ayat-ayatnya, baik secara langsung


maupun tidak. Adakalanya sebuah hadis yang shahih matannya tetapi
lemah matannnya. Hadis-hadis ahad (walaupun sanadnya shahih)
akan kehilangan validitasnya apabila terdapat padanya cacat-cacat
tertentu yang diistilahkan dengan syadz atau ilah qadihah.2

C. Kritik terhadap Syeikh Muhammad Al-Ghazali tentang Keshahihan suatu hadis


1. Kritik Metodologi Dr. Yusuf Qhardawi
a. Memahami As-Sunnah sesuai dengan petunjuk Al-Quran
Untuk dapat memahami as-Sunnah dengan pemahaman yang benar, jauh
dari penyimpangan, pemalsuan dan penafsiran yang buruk, maka haruslah kita
memahaminya sesuai denganpetunjuk al-Quran yaitu dalam kerangka bimbingan
ilahi yang pasti benarnya dan tak diragukan keadilannya. Al-Quran merupkan ruh
dari eksistensi Islam dan merupakan asas bangunannya. Ia merupakan dasar yang
paling pertama dan utama, yang kepadanya bermuara segala perundanganundangn Islam. Sedangkan As-Sunnah merupakan penjelsan terinci tentang isi
konstitusi tersebut baik dalam hal yang bersifat toeritis ataupun penerapannnya
secara praktis.3
Oleh sebab itu, tidaklah mungkin sesuatu yang merupakan pemberi
penjelasan bertentanagan dengan apa yang hendak dijelaskan itu sendiri. Atau
cabang berlawanan dengan pokok. Maka penjelasana yang bersumber dari
nabi SAW, selalau dan senantiasa berkisar di seputar Al-Quraan dan tidak
mungkin akan melanggarnya.
Karena itu, tidak mungkin ada suatu hadis shahih yang kandungannya
berlawanan dengan ayat-ayat al_quran yang muhkamat, yang berisi keterangan2 Muhammad Ghazali, Studi Kritis atas Nabi SAW hal.32
3 Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Bandung : Karisma,
1993, hal 92
4

keterangan yang jelas dan pasti. Dan kalaupun ada sebagaian dari kiat
memperkirakan adanyaa pertentangan itu, maka hal itu pastilah disebabkan tidak
shahihnya hadis yang bersangkutan atau pemahaman kita yang tidak tepat, atau
apa yang diperkiarakan sebagai pertentangan itu hanyalah bersifat semu dan bukan
pertengan hakiki.4 Ini berarti bahawa As-Sunnah harus dipahami dalam kerangka
petunjuk Al-Quran.
b. Perlunya penelitian seksama tentang keberlawanan suatu hadis dengan al-Quran
Sebagai seorang muslim, kita jangan semabarang melontarkan tuduhan
adanya keberlawanan antara hadis-hadis dan al-Quran, tanpa dasar yang shahih.
Diwaktu yang lalu kaum Mutazilah telah amat jauh menyimpang dari kebenaran
ketika mereka berani menolak hadis-hadis yang shahih dan dikenal secara luas
mengenai diberikannya syafaat di akhirat, kepada Rasulalllah saw dan saudarasaudara beliau, para nabi serta para malaikta dan kaum mukminin yang shalaeh.
Yakni syafaat yang ditujukan untuk orang-orang yang berdosa dari kalanagn ahlu
tauhid. Dan Allah swt akan memuliakan mereka dengan karunia dan rahmat-Nya,
serta syafaat dari para ahli syafaat tersebut, sehingga mereka tidakakan masuk
neraka atau memasukinya untuk sementara sampai keluar lagi setelah suatu masa
tertentu dan pada akhirnya masuk surga.5
Akan tetapi harus dingat bahwa al-Quran menetapkan adanya syafaat
dengan dua syarat yaitu pertama harus ada izin Allah swt sebelumnya kepada
seorang pemberi untuk bersyafaat. Sebab tak ada siapapun yang dapat memberi
syafaat tanpa seizinnya sebagaimana tercantum QS. Al Baqarah :255. Kedua
haruslah syafaat itu dimaksudkan untuk ahlu tauhid.6
c. Menolak hadis shahih sama dengan menerima hadis palsu
4 Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Bandung : Karisma,
1993, hal 93
5 Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Bandung : Karisma,
1993, hal 101
6 Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Bandung : Karisma,
1993, hal 105
5

Apabila dinyatakan bahwa menerima hadis-hadis maudhu atau palsu serta


menisbahkannya kepada Rosulullah saw merupakan perbuatan yang salah, bodoh
dan berbahaya, maka sedemikian itu pula kesalahan akibat menolak hadis-hadis
yang telah disahahihkan, semata-mata karena terdorong hawa nafsu, keangkuhan
diri atau persaaan lebih pintar dari Allah dan Rasul-Nya atau akibat persangkaan
bruk terhadap umat serta ulama dan para imam mereka pada generasi dan abad
terbaiknya.
Menerima hadis yang dipalsukan merupakan perbuatan memasukan
sesuatu yang bukan dari agama ke dalam agama sedangkan menolak hadis-hadis
yang shahih adalah perbuatan mengeluarkan dari agama, sesuatu yang merupakan
bagian dari agama itu sendiri. Tak diragukan lagi, bahwa kedua perbuatan tesebut
adalah perbuatan tercela dan tak dapat diterima, baik yang berupa penerimaan
sesuatu yang bathil atau pun penolakan terhadap sesuatu yang haqq.7
Atas dasar itu, suatu riwayat hadis yang meskipun berasal dari satu orang,
namun apabila sanadnya shahih dan isinya dapat disandarkan pada suatu dasar
syariat yang qathiy, maka ia harus dapat diterima. Beberapa orang yang tersesat
telah bertindak keterlaluan dalam menolak hadis-hadis serta berbagai pendapat
dati siapa saja yang menjadikan hadis sebagai sandaran pendapatnya. Samapaisampai mereka mengaggap pendapat sendiri itu berlawanan dengan akl, dan si
pemilik tersebut digolongkan orang-orang gila.8
d. Cepat-cepat menolak hadis shaih meskipun sulit dipahami adalah tindakan ngawur
Bertinadak secara tergesa-gesa, dengan menolak setiap hadis shahih
semata-mata karena sulit dipahami adalah tindakan ngawur yang tidak akan berani
dilakukan oleh orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka ini senantiasa
berprasangka baik terhadap tokoh-tokoh terdahulu. Karenanya, jika telah
dipercaya bahwa para tokoh telah menerima baik sebuah hadis dan hadis ini tidak
7 Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Bandung : Karisma,
1993, hal 31
8 Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Bandung : Karisma,
1993, hal 33
6

pernah ditolak oleh seorang imam yang diakui, maka hal itu pasti disebabkan
mereka tak melihat adanya keganjilan (syudzudz) ataupun cacat yang merusak
(Illah qadihah ) padanya.
Adalah kewajiban setiap ilmuwan yang adil untuk membiarkan hadis
seperti itu, sementara ia mencari makna yang masuk akal atau penafsiran yang
cocok baginya. Inilah yang membedakan antara seorang kalangan kaum
Mutazilah dan yang lainnya dari Ahl As-Sunnah di bidang ini. Kaum Mutazilah
akan segera menolak setiap hadis yang musykil (sulit dipahami maknanya) dan
bertentangan dengan dalil-dalil ilmiah dan teologis mereka. Sedangkan Ahl AsSunnah berupaya memikirkan dengan sungguh-sungguh tentang penafsirannya
atau menghimpunkan antara hadis-hadis yang diperselisihkan atau menyelaraskan
antara yang tampak saling bertentangan.9
2. Kritik Metodologi Bustamin dan M. Isa H. A. Salam
Bustamin dan M. Isa H. A. Salam menuliskan dalam bukunya bahwa
persyaratan keshahihan sanad suatu hadis menurut Muhammad Ghazali hanya terdiri
dari dua syarat yaitu seorang perawi harus seorang yag dhabit dan yang kedua adalah
perawi haruslah orang yang adil. Menurut mereka, Muhammad Al-ghazali tidak
mensyaratakan ketersambungan sanad sebagai salah satu syarat keshahihan hadis.10
Jelas pendapat ini bertentangan dengan apa yang telah ditulis oleh Syeikh Muhammad
Al-Ghazali tentang persyaratan keshahihan hadis yang telah beliau cantumkan dalam
halaman pertama dalam karyanya yang berjudul As-Sunnah An-Nabawiyyah Baina
Ahl Al-Fiqh wa Al-Hadis sebagaimana yang telah disebutkan di awal tadi.
Selain itu, menurut mereka perhatian Muhammad Ghazali hanya tertuju
dengan matannya saja. Sehingga beliau pernah mengatakan bahwa apa gunanya hadis
dengan isnad yang kuat tetapi memilki matan yang cacat. 11 Hal ini mengindikasikan
9 Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Bandung : Karisma,
1993, hal 42
10 Bustamin dan M. Isa. H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004, hal 102
11 Bustamin dan M. Isa. H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis.. hal. 104
7

bahwa beliau menolak hadis-hadis yang secara sanadnya shahih. Hal senada
sebenarnya pernah dimunculkan oleh pembaharu sebelumya seperti Rasyid Rida
dalam tafsir Al-Manar yang menyatakan bahwa hadis dengan isnad yang kuat masih
harus di kritik matannya. Pandangan Muhammad Ghazali ini juga mendapat dukungan
dari Yusuf Qhardawi. Namun, Yusuf Qhardawi sangat berhati-hati dalam menerapkan
metodenya.12 Kehati-hatian inilah yang membedakan anatar Muhammad Ghazali
dengan Yusuf Qardhawi.
Secara umum tidak ada perbedaan yang mendasar anatar Muhammad Ghazai
dengan Muhadditsin dalam menentukan kriteria keshahihan hadis. Hanya saja dalam
prakteknya, Muhammad Ghazali tidak konsisten dengan kriteria yang ditetapkannya.
Beliau lebih menekankan pada matannya saja. Sehingga hadis yang shahihpun jika
matannya terlihat bertentangan dengan al-Quran maka akan ditolaknya.13
3. Kritik tentang masalah mayyit disiksa karena tangisan keluarganya

-






:[ 80: ]


12 Bustamin dan M. Isa. H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis.. hal. 104
13 Bustamin dan M. Isa. H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis.. hal. 107
8







:
14
.



Orang yang meninggal disiksa karena tangisan keluarganya
Menurut Muhammad Ghazali bahwa hadis ini bertentangan dengan Al-Quran.
Sebagaiamana sikap Aisyah r.a ketika mendengan hadis tersebut maka beliau
menolaknya. Bahkan beliau bersumpah bahwa Nabi saw tidak pernah mengucapkan
hadis tersebut.15 Ia kemudian menjelaskan alasan penolakannya dengan berkata :
Adakah kalian lupa akan firman Allah swt:


Katakanlah:"Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia adalah
Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan
kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain. kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan
akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."(QS.Al-Anam: 164)

Sementara itu, Ibn Sad dalam bukunya Ath-Thabaqat Al-Kubro menuliskan


:telah disampaikan kepadaku oleh Tsabit dari Anas bin Malik bahwa ketika Umar bin
Khattab ditikam oleh pembunuhnya, Hafshah (Puteri Umar) menjerit dan meratap.

14 Bukhori, Shahih Bukhori, Maktabah Syamilah no. 1286


15 Muhammad Ghazali, Studi Kritis atas Nabi SAW hal.29

Maka berkatalah Umar: Hai Hafsha, tidaklah engkau dengar Rasulullah saw penah
bersabda bahwa orang yang diratapai akan tersiksa karena ratapan keluarganya
Abdullah bin Abbas menjelaskan tentang hal itu : Allah-lah yang membuat
orang tertawa atau menangis (yakni bahwa tangisan orang yang kematian seorang
anggota keluarganya adalah wajar dan sesuai dengan watak manusia. Karena ia tidak
berdosa apabila melakukannya).16
Sementara menurut Ali Musthofa Yakub, hadis diatas memiliki dua versi.
Versi Umar dan versi Aisyah. Menurut versi Umar, seseorang yang mati akan disiksa
apabila ia ditangisi oleh keluarganya, baik yang mati itu muslim maupun kafir.
Sedangkan dalam versi Aisyah, mayat yang disiksa itu apabila kafir, sedangkan mayat
muslim tidak disiksa. Karena baik Umar maupun Aisyah tidak mungkin berdusta.17
4. Kritik tentang masalah masuknya jin kedalam tubuh manusia
Syaikh al Ghazali menyebutka tentang dirinya yang didatangi oleh seorang
pemuda dan memohon bantuan agar mengeluarkan Jin dari tubuh saudaranya. Namun
ia justru menolak dan berargumen bahwa Jin tidak dapat memasuki tubuh manusia. Ia
kemudian berargumen dengan keumuman sifat Jin terhadap manusia bahwa Jin hanya
melakukan tindakan membisikkan was-was atau membuat seseorang terlena saja
sebagaimana terjadi pada Nabiyullh Adam alaihissalam. Argumentasi ayat al Quran
yang digunakan adalah:



Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan
kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki
16 Muhammad Ghazali, Studi Kritis atas Nabi SAW hal.30
17 Bustamin dan M. Isa. H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis... hal. 116
10

dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah
mereka. dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan
belaka. (QS. Al Isr: 64)


Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: Sesungguhnya
Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan
kepadamu tetapi aku menyalahinya. sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku
terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku,
oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. aku
sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku.
Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan
Allah) sejak dahulu. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan
yang pedih. (QS. Ibrahim: 22)
Muhammad Ghazali menolak argument para ulama tentang eksistensi jin yang masuk
ke dalam manusia yang berdasar pada nash al-Quran dan hadis. Hal ini karena
bertentangan dengan nash-nash al-Quran yang lain. Adapaun hadis yang dimaksud
adalah sebagai berikut:




-
:










-



11



:




























:





Sesungguhnya setan mengalir pada diri manusia seperti mengalirnya darah.
Karena itu aku khawatir ia menghunjamkan suatu kejahatan dalam hati
kalian18


:












:









Tidaklah setiap bayi itu lahir kecuali Syaithan akan disundut setan hingga ia
menangis keras akibat dari sundutan tersebut kecuali putera Maryam.19

18 Bukhori, Shahih Bukhori, Maktabah Syamilah, 2035


19 Bukhori, Shahih Bukhori, Maktabah Syamilah, 4548
12

Pada dasarnya eksistensi Jin dan Syaithan telah disebutkan secara gamblang
didalam nash al Quran. Bahkan Allah memberikan satu surat dengan menggunakan
nama mereka (al Jin). Syaikh Wahid Abdus Salam Bali meneliti kata Jin disebutkan di
dalam al Quran sebanyak 22 kali, kata al Jann disebtukan 7 kali, kata syaithn
disebutkan 68 kali dan kata saythn disebutkan 10 kali.
Sebenarnya, sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih
al Utsaimin rahimahullh bahwasannya para ulama ahlu sunnah meyakini
kemampuan Jin merasuki tubuh manusia. Syaikh menyebutkan di dalam Fatw al
Aqdah bahwa kerasukan Jin merupakan realita yang telah ditetapkan oleh al Quran
dan As Sunnah serta kenyataan dilapangan. Penegasan mengenai hal ini disebutkan
pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majm al Fatw yang menyebutkan
Ijma ulama ahlu sunnah tentang kemampuan Jin memasuki tubuh manusia. Syaikh
Manshur Nashif (rahimahullah) menulis : Peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan
kerasukan jin sangat banyak dan disaksikan oleh orang.20
Komentar serupa datang dari Al Imam As Syibli rahimahullh di dalam
karyanya Ahkm al Jnn. Imam As Syibli menjelaskan bahwasannya kelompok yang
menginkari masuknya Jin kedalam tubuh manusia datang dari firqoh Mutazilah
semisal Al Jubai, Abu Bakar Ar Razi, Muhammad bin Zakaria dan lain-lain. Pendapat
mereka ini menurut Imam As Sibli tidak benar sebagaimana yang disebutkan oleh
Imam Al Asyari rahimahullh di dalam kitab Alhu Sunnah wa al Jamah. Imam Al
Asyari berkata; Sesungguhnya Jin memasuki badan seseorang berdasarkan firman
Allah (QS. Al Baqarah: 275).
Imam As Sibly juga mengutip sebuah riwayat dimana Abdullan bin Ahmad bin
Hanbal (anak Imam Ahmad) berkata kepada ayahnya; Sesungguhnya sekelompok
kaum mengatakan, sesungguhnya Jin tidak dapat masuk kedalam badan seseorang
manusia. Maka berkatalah Imam Ahmad; Wahai anakku mereka bohong. Yang
berbicara melalui lidahnya itu adalah salah satu dari mereka (jin tersebut).21

20 Muhammad Ghazali, Studi Kritis atas Nabi SAW hal.121


21 Muhammad Ghazali, Studi Kritis atas Nabi SAW hal.121

13

Sejumlah riwayat tentang bagaimana Nabi melakukan ruqyah terhadap orang


yang kerasukan Jin dapat dijumpai dalam kitab-kitab Hadits. Salah satunya adalah
sebuah riwayat yang disebutkan oleh Imam Ibnu Qayyim di dalam kitab Zd al
Mad, sebagaimana di-tahqq Syaikh Al Arnauth. Imam Ahmad meriwayatkan dari
Waki dari Yala ibn Murrah bahwa seorang perempuan membawa anak laki-lakinya
yang kesurupan kepada Nabi. Nabi kemudian berkata; Pergilah musuh Allah, aku
Rasulullah. Anak itu kemudian sembuh dan ibunya memberikan Nabi hadiah dua
ekor domba betina dan beberapa aqat (dadih kering) dan lemak. Rasulullah berkata
(kepada sahabatnya); Ambillah aqatnya, lemak dan satu ekor doma dan kembalikan
yang lainnya.
IV.

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas maka ddapat dismpulkan sebagai berikut:
1. Metodologi kritik hadis menurut Syeikh Muhammad Al-Ghazali
a. Setiap perawi dalam sanad suatu hadis haruslah seorang yang
dikenal sebagai penghafal yang cerdas dan teliti dan benarbenar memahami yang didengarnya.
b. Harus orang yang mantap kepribadiannya dan bertakwa kepada
Allah swt serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan atau
penyimpangan
c. Kedua sifat tersebut, harus dimiliki oleh masing-masing perwai
dalam keseluruhan rangkaian para perwai suatu hadis.
d. Mengenai matan (materi) hadis itu sendiri, ia harus tidak
bersifat
e. Hadis tersebut harus bersih dari llah qadihah
2. Kritik metodologi Yusuf Qhardawi
a. Memahami As-Sunnah sesuai dengan petunjuk Al-Quran
b. Perlunya penelitian seksama tentang keberlawanan suatu hadis dengan al-Quran
c. Menolak hadis shahih sama dengan menerima hadis palsu
d. Cepat-cepat menolak hadis shaih meskipun sulit dipahami adalah tindakan
ngawur
14

15

DAFTAR PUSTAKA

Bukhori, Shahih Bukhori, Maktabah Syamilah


Ghazali, Muhammad, Studi Kritis atas Nabi SAW : Antara Pemahaman Tekstual dan
Kontekstual, Bandung: Mizan, 1992
Qhardawi, Yusuf, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Bandung : Karisma, 1993
Salam, Bustamin dan M. Isa. H. A., Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004

16

Anda mungkin juga menyukai