Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara etimologi, radikalisme berasa dari istilah radikal. Kata radikal berasal
dari bahasa Latin, radix atau radici. Radix dalam bahasa Latin berarti 'akar'. Istilah
radikal mengacu pada hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, dan
esensial atas bermacam gejala. Dalam konsep sosial politik, radikalisme adalah suatu
paham yang menghendaki adanya perubahan, pergantian, dan penjebolan terhadap
suatu sistem masyarakat sampai ke akarnya.
Menurut Cambridge Dictionary, radikal adalah percaya atau mengekspresikan
keyakinan bahwa harus ada perubahan sosial atau politik yang besar atau secara
ekstrem. Oxford Dictionary juga memahami ‘radikal’ sebagai orang yang mendukung
suatu perubahan politik atau perubahan sosial secara menyeluruh. Merriam Webster
mengartikan radikal sebagai opini atau perilaku orang yang menyukai perubahan
ekstrem, khususnya dalam pemerintahan atau politik.
Sementara menurut KBBI, radikalisme memiliki tiga arti. Pertama, radikalisme
adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik, kedua, radikalisme adalah paham
atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan
cara kekerasan atau drastis, dan ketiga, radikalisme adalah sikap ekstrem dalam aliran
politik.
Istilah radikal bisa bermakna positif atau negatif tergantung pada konteks ruang
dan waktu sebagai latar belakang penggunaan istilah tersebut. Radikalisme mengacu
pada doktrin politik yang dianut oleh gerakan sosial-politik yang mendukung
kebebasan individu dan kolektif, dan emansipasi dari kekuasaan rezim otoriter dan
masyarakat yang terstruktur secara hierarkis.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah radikalisme agama islam di Indonesia
2. Bagaimana perkembangan paham dan Gerakan islam radikal di Indonesia
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah radikalisme agama islam di Indonesia
2. Untuk mengetahui perkembangan paham dan Gerakan islam radikal di Indonesia

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Radikalisme Agama Islam Di Indonesia


Secara historis, munculnya Islam di Indonesia sangat didominasi oleh citra
damai dan toleransi sesuai dengan apa yang diajarkan oleh para wali melalui
sinkronitas budaya lokal. Kehidupan damai antar umat beragama senantiasa tercermin
dengan semboyan Bhineka Tungga Ika. Namun dengan semakin berkembangnya
zaman, terutama sejak era reformasi yang seolah memberi ruang kebebasan dalam
mengekspresikan penyampaian aspirasi sampai pada ranah praktik beragama, banyak
sekali bermunculan sekte-sekte maupun kelompok keagamaan yang memiliki ideologi
tertentu yang disesuaikan dengan latar belakang kebudayaan atau kepentingan
mereka. Sejarah mencatat bahwa Negara Indonesia banyak mengukir catatan hitam
akan berbagai aksi kekerasan hingga terorisme yang memberikan dampak negatif di
berbagai sektor. Berbagai tindak kekerasan dalam bentuk demonstrasi, aksi protes
hingga terorisme, tingkat regional, nasional, dan internasional, realitanya sebagian
dilakukan kelompok umat beragama Islam.¹
Radikalisme agama Islam di Indonesia mulai terendus pada pasca kemerdekaan
hingga pasca reformasi, sejak Kartosuwirjo memimpin operasi pada tahun 1950-an di
bawah bendera Darul Islam (DI), sebuah gerakan politik yang mengatasnamakan
agama sebagai justifikasi agama dalam tindakannya. Gerakan ini sempat digagalkan
dan baru muncul kembali pada masa pemerintahan Soeharto.²
Kemudian disusul dengan gerakan Komando Jihad 1970-an hingga 1980-an
yang beberapa aktor utamanya adalah mantan anggota DI/TII era Kartosoewirjo.
Nama Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, yang kemudian dikenal luas
sebagai pimpinan Jamaah Islamiyah (JI), telah muncul pada fase itu. Peran sentral
Ba’asyir dan Abdullah Sungkar dalam pengembangan jejaring gerakan Islam radikal
berlangsung melalui mobilisasi para Mujahidin yang sebagian besar diikuti oleh para
pemuda ber-jihad ke Afghanistan pada akhir 1980-an. Mereka berangkat dari
Malaysia tempat di mana Ba’asyir dan Sungkar mengembangkan dakwahnya setelah
melarikan diri dari vonis pengadilan. Dari jejaring mujahidin inilah tunas kelompok
radikal Islam baru mulai muncul dan makin berkembang. Hingga sepulangnya dari
Afghanistan, mereka yang kemudian dikenal luas sebagai bagian Jamaah Islamiyah
(JI) terlihat dalam serangkaian aksi teror berdarah di Indonesia pasca lengsernya
Soeharto.
Selanjutnya pada pasca reformasi, akhir 1990-an hingga saat ini, berbagai
tindak teror dan kekerasan terjadi. Semenjak semakin berkembangnya teknologi,
muncullah kelompok-kelompok Islam radikal baru, terutama dari kelompok muda,
yang tidak atau sedikit banyak memiliki keterkaitan dengan para tokoh generasi
sebelumnya. Beberapa kelo1mpok atau organisasi berbasis muslim di Indonesia yang
sering melakukan tindakan kekerasan dicontohkan Azyumardi Azra antara lain: Front
Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad (LJ), Jamaah
1
Nurjannah, “Faktor Pemicu Radikalisme Islam Atas Nama Dakwah”,...h.178

² Ahmad Asrori, “Radikalisme di Indonesia : Antara Historisitas dan Antropisitas”, dalam Kalam : Jurnal Studi Agama dan
Pemikiran Islam, volume 9 Nomor 2, UIN Raden Intan Lampung Desember 2015, h.256.

2
Ikhwan al-Muslimin Indonesia (JAMI), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Tercatatlah nama-nama tokoh kekerasan di Indonesia seperti Imam Samudra, Amrozi,
Ali Ghufran,Hernianto yang tergabung dalam Jama’ah al-Isamiyah (JI) dalam kasus
bom Bali. Tercatat juga nama-nama perakit bom yang memiliki jaringan internasional
seperti Azahari dan Noordin Muhammad Top, warga negara Malaysia yang
melakukan aksi teror di Indonesia.
Karakteristik kelompok ini adalah mengedepankan keinginan untuk
menyatukan antara kekuatan Islam dan negara. Secara total dan lugasnya mereka
ingin mengubah demokrasi menjadi syariat Islam fundamental secara total. Namun
sebuah edaran dari Laskar Jihad dalam laporannya yang berjudul “Gerakan Islam
Radikal Bukan Ancaman” menyaggah anggapan radikal yang ditujukan pada
kelompok mereka dengan mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat masih
beranggapan gerakan Islam radikal merupakan ancaman, dan berujung anarkisme.
Menurut Laskar Jihad, ketakutan berbagai kalangan terhadap perkembangan Islam
radikal sebenarnya tidak beralasan. Karena jika ditilik secara historis, kemunculan
berbagai gerakan Islam itu sendiri merupakan reaksi dari ketidakadilan sosial-politik.
Perlawanan Laskar Jihad Ahlussunah Waljama’ah terhadap berbagai fenomena yang
terjadi lebih didorong karena sikap pemerintah yang tidak mau merespon secara
positif terhadap ketertindasan kaum muslimin.³
Jadi apabila ditinjau dari rangkaian historis, radikalisme agama terbagi dalam
empat fase. Fase pertama, dimulai dengan munculnya gerakan DI/ TII Kartosoewirjo.
Fase kedua, munculnya gerakan Komando Jihad 1970-an hingga 1980-an yang
beberapa aktor utamanya adalah mantan anggota DI/TII era Kartosoewirjo. Nama
Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, yang kemudian dikenal luas sebagai amir
Jamaah Islamiyah (JI), telah mulai menyeruak pada masa itu. Fase ketiga, berbagai
gerakan teror dan kekerasan yang terjadi saat dan pascareformasi, akhir 1990-an
hingga saat ini. Dan fase keempat, ditandai dengan berkembangnya kelompok-
kelompok Islam radikal baru, terutama dari kelompok muda, yang sebetulnya masih
mempunyai keterkaitan dengan para tokoh generasi sebelumnya. Radikalisasi mereka
lebih dipengaruhi oleh berbagai peristiwa global. salah satu contoh organisasi ini
adalah ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria).

B. Perkembangan Paham dan Gerakan Islam Radikal di Indonesia


Radikalisme dan gerakan radikal di Indonesia secara struktural dapat dikontrol
secara efektif oleh rezim Orde Baru. Kelompok radikal kiri dan separatis yang sampai
pada kejatuhan Orba kurang lebih berstatus sebagai apa yang disebut sebagai bahaya
laten. Gerakan radikal Islam di Indonesia pun, kalaupun secara diam-diam melakukan
aktifitas, masih dikategorikan sebagai gerakan yang berorientasi domestik.Negara pada
era rezim otoriter tersebut bukan saja efektif dalam membendung ancaman terbuka,
tetapi juga secara ideologis berhasil melakukan hegemoni ideologi dan politik. Namun
kondisi “keteraturan dan ketenangan” (order & tranquility) tersebut pada kenyataannya
adalah semu karena ia tak mampu bertahan dari krisis legitimasi yang melnada rezim
pada 1998.
³ Muhammad Harfin Zuhdi, “Fundamentalisme Dan Upaya Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an Dan Hadis”,... h.87. Dikutip
dari Laskar Jihad, edisi 14 tahun 2001: 9

3
Melemahnya struktural pada masa era reformasi membuka peluang bagi
kembalinya aspirasi-aspirasi non-demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, termasukaspirasi-aspirasi ideologis radikal. Berbagai aliran dan kelompok
organisasi seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Al-Qaeda, Jemaah Islamiyah,
ISIS, dan lain-lain. Mudah masuk dan menanamkan serta menyebarkan pengaruhnya,
dan yang pada gilirannya bersinergi dengan kelompok radikal Islam domestik seperti
NII. Dapat dikatakan bahwa kelompok radikal dan gerakan radikal pasca-Reformasi di
Indonoseia memiliki karakter transnasional, atau setidaknya intermestik. Kendati para
pendukungnya adalah sebagia ummat Islam Indonesia, namun pada tataran narasi dan
ideologi, mereka lebih cenderung menjadi bagian dari gerakan transnasional, termasuk
Khilafahisme atau Pan Islamisme. Organisasi-organisasi Islam radikal bermunculan
dengan memakai nama yang berbeda namun dengan tokoh yang seringkali sama dan,
tentu saja, ideologi radikal yang sama. Narasi anti NKRI, anti-pemerintahan Taghut,
penguasa Kafir, membangun Negara Islam, Negara Khilafah, dan sebagainya.
Pada saat ini banyak sekali aliran-aliran yang mengatas namakan Islam.
Tujuanya tidak lain untuk menghancurkan atau merusak sistem kenegaraan. Islam
dipilih sebagai bahan sasaran karena di Indonesia dalam sekala besar mayoritas
penduduk beragama Islam. Bahkan pada era ini banyak sekali media online dakwah
yang berkedok menyebarkan agama Islam dengan dalih tujuan untuk merencanakan
sesuatu yang bersifat radikal. Akhir-akhir ini banyak sekali kasus pengeboman dengan
landasan berjihad, yang diyakini sebagai salah satu jalan untuk memuliakan agama
Islam. Padahal ajaran tersebut sangatlah keliru. Dalam era sekarang diharapkan harus
lebih berhati-hati dalam melakukan suatu tindakan dan berhati-hati dalam
menggunakan media digital karena sudah banyak kasus baik itu kriminalitas,
radikalisme, dan lain sebagainya.

BAB III

4
PENUTUP

KESIMPULAN

Radikal adalah percaya atau mengekspresikan keyakinan bahwa harus ada


perubahan sosial atau politik yang besar atau secara ekstrem. adikalisme agama Islam
di Indonesia mulai terendus pada pasca kemerdekaan hingga pasca reformasi, sejak
Kartosuwirjo memimpin operasi pada tahun 1950-an di bawah bendera Darul Islam
(DI), sebuah gerakan politik yang mengatasnamakan agama sebagai justifikasi agama
dalam tindakannya. Gerakan ini sempat digagalkan dan baru muncul kembali pada
masa pemerintahan Soeharto. Kemudian disusul dengan gerakan Komando Jihad
1970-an hingga 1980-an yang beberapa aktor utamanya adalah mantan anggota DI/TII
era Kartosoewirjo. Selanjutnya pada pasca reformasi, akhir 1990-an hingga saat ini,
berbagai tindak teror dan kekerasan terjadi.
Berbagai aliran dan kelompok organisasi seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut
Tahrir, Al-Qaeda, Jemaah Islamiyah, ISIS, dan lain-lain. Organisasi-organisasi Islam
radikal bermunculan dengan memakai nama yang berbeda namun dengan tokoh yang
seringkali sama dan, tentu saja, ideologi radikal yang sama. Narasi anti NKRI, anti-
pemerintahan Taghut, penguasa Kafir, membangun Negara Islam, Negara Khilafah,
dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

5
https://repo.iain-tulungagung.ac.id
https://www.sdg2030indonesia.org

Anda mungkin juga menyukai