Anda di halaman 1dari 2

Lingkaran Problem Penghayat Kepercayaan di Indonesia

Di

Indonesia,

pencatatan

kelahiran

secara

tidak

langsung

merupakan turunan dari perkawinan. persoalannya, terdapat perkawinan


yang tidak bisa dicatatkan di catatan sipil karena interpretasi undangundang yang berbeda, seperti kasus yang dialami para penghayat
kepercayaan. Mereka tidak bisa memiliki dokumen perkawinan dari
negara, karena kepercayaan mereka tidak diakui oleh negara.
Akibatnya

anak-anak

yang

lahir

mengalami

kesulitan

untuk

mendapatkan akte kelahiran. Apabila bisa mendapatkan akte kelahiran


maka status anak dianggap bukan berasal dari perkawinan yang sah
(anak luar kawin) dan hanya memiliki nama ibu dalam akta. Walhasil,
anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya dalam hal hak
waris, hak nafkah dan lainnya. Bahkan ini akan berujung pada berbagai
diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan lahirnya UU Arminduk dengan dijaminnya pencatatan
perkawinan bagi penghayat kepercayaan, maka setiap anak yang lahir
dari

pasangan

penghayat

kepercayaan

dengan

sendirinya

berhak

mendapatkan akta kelahiran. Sebab perkawinan yang mereka dilakukan


sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya adalah suatu perkawinan
yang sah. Sebagaimana dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 2 Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu..
Sedangkan dalam hal pengisian kolom agama sebagaimana diatur
dalam Pasal 64 Ayat 5 UU Arminduk yang berbunyi Elemen data
penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi
Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan
ketentuan

Peraturan

Perundang-undangan

atau

bagi

penghayat

kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database
kependudukan.. Ketentuan inilah yang menjadi dasar bagi penghayat
kepercayaan untuk mendapatkan pelayanan administrasi kependudukan,
termasuk KK dan KTP dengan kolong agama tidak diisi.

Anda mungkin juga menyukai