5. Semen beku masih dapat dipakai untuk beberapa tahun kemudian walaupun
pejantan telah mati.
6. Dapat mengawinkan ternak yang berbeda ukuran. Sehingga menghindari
kecelakaan yang sering terjadi pada saat perkawinan karena fisik pejantan terlalu
besar.
7. Menghindari ternak dari penularan penyakit terutama penyakit yang ditularkan
dengan hubungan kelamin.
8. Dapat mengawinkan ternak yang berbeda jarak. Sehingga menghemat biaya dan
lebih efisien.
Kerugian Inseminasi Buatan (IB)
1. Petugas inseminator yang kurang terampil.
2. Petani peternak yang tidak mengetahui tanda tanda birahi / terlambat dalam
melaporkan,mengakibatkan keberhasian IB rendah.
3. Ada beberapa peternak yang belum mau melaksanakan IB karena di anggap tabu.
D. SEJARAH PERKEMBANGAN IB DI INDONESIA
Inseminasi Buatan pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun
1950-an oleh Prof. B. Seit dari Denmark di Fakultas Hewan dan Lembaga Penelitian
Peternakan Bogor. Dalam rangka rencana kesejahteraan istimewa (RKI) didirikanlah
beberpa satsiun IB di beberapa daerah di awa Tenggah (Ungaran dan Mirit/Kedu
Selatan), Jawa Timur (Pakong dan Grati), Jawa Barat (Cikole/Sukabumi) dan Bali
(Baturati). Juga FKH dan LPP Bogor, difungsikan sebagai stasiun IB untuk melayani
daerah Bogor dan sekitarnya. Aktivitas dan pelayanan IB waktu itu bersifat hilang,
timbul sehingga dapat mengurangi kepercayaan masyarakat.
Kekurang berhasilan program IB antara tahun 1960-1970, banyak disebabkan
karena semen yang digunakan semen cair, dengan masa simpan terbatas dan perlu
adanya alat simpan sehingga sangat sulit pelaksanaanya di lapangan. Disamping itu
kondisi perekonomian saat itu sangat kritis sehingga pembangunan bidang peternakan
kurang dapat perhatian.
Dengan adanya program pemerintah yang berupa Rencana Pembangunan
Lima Tahun yang dimulai tahun 1969, maka bidang peternakan pun ikut dibangun.
Tersedianya dana dan fasilitas pemerintah akan sangat menunjang peternakan di
Indonesia, termasuk program IB. Pada awal tahun 1973 pemerintah memasukan
semen beku ke Indonesia. Dengan adanya semen beku inilah perkembangan IB mulai
maju dengan pesat, sehingga hampir menjangkau seluruh provinsi di Indonesia.
Semen beku yang digunakan selama ini merupakan pemberian gratis
pemerintah Inggris dan Selandia Baru. Selanjutnya pada tahun 1976 pemerintah
Selandia Baru membantu mendirikan Balai Inseminasi Buatan, dengan spesialisasi
memproduksi semen beku yang terletak di daerah Lembang Jawa Barat. Setahun
kemudian didirikan pula pabrik semen beku kedua yakni di Wonocolo Suranaya yang
perkembangan berikutnya dipindahkan ke Singosari Malang Jawa Timur.
Hasil evaluasi pelaksanaan IB di Jawa, tahun 1972-1974 menunjukkan angka
konsepsi yang dicapai selama dua tahun tersebut sangat rendah yaitu antara 21,3
38,92 persen. Dari survei ini disimpulkan juga bahwa tayam lemah pelaksaan IB,
tidak terletak pada kualitas semen, tidak pula pada keterampilan inseminator,
melainkan sebagian besar terletak pada ketidak suburan ternak-ternak betina itu
sendiri. Ketidak suburan ini banyak disebabkan oleh kekurangan pakan, kelainan
fisiologi anatomi dan kelainan patologik alat kelamin betina serta merajalelanya
penyakit kelamin menular. Dengan adanya evaluasi terebut maka perlu pula adanya
penyempurnaan bidang organisasi IB, perbaikan sarana, intensifikasi dan perhatian
aspek pakan, manajemen, pengendalian penyakit.
E. TEKNIK INSEMINASI BUATAN
Teknik IB pada ternak ada tiga yaitu :
1. Vaginal insemination
2. Cervical insemination
3. Rectovaginal insemination
Vaginal insemination adalah suatu teknik IB dengan mendeposisikan atau
menyemprotkan sperma ke dalam vagina. Cara ini sangat sederhana dan mudah
dilakukan dengan tanpa memerlukan ketrampilan khusus, namun demikian diperlukan
sperma yang lebih banyak dan hasil angka konsepsi (conception rate) relative rendah.
Teknik ini sudah jarang digunakan, namun pada domba dan kambing, dan unggas
masih sering dilakukan.
Menempatkan air mani di dalam vagina, sesuai dengan kawin secara alamiah,
merupakan cara pertama-tama inseminasi buatan dijalankkan. Cara ini sangat
sederhana dan mudah sekali dilaksanakan dengan menggunakan alat suntikan atau
3
sering digunakan pada sapi, kerbau dan kambing dengan hasil inseminasi yang lebih
baik dari pada dengan menggunakan VB dan jumlah sperma yang digunakan lebih
sedikit. Besarnya speculum biasanya tergantung jenis ternak dan umur ternak, dan
sebelum dimasukkan ke dalam vagina ujung speculum diolesi dengan vaselin yang
steril agar lebih mudah masuk ke dalam vagina.
Cara memasukkan air mani ke dalam cervix dengan menggunakan speculum
adalah sederhana seperti metode inseminasi dalam vagina. Namun demikian teknik
inseminasi speculum dalam cervix mempunyai kelemahan. Salah satu kelemahannya,
bahwa kita harus mencuci dan mensterilisir speculum itu setiap kali sesudah
melaksanakan inseminasi dan sebelum dilaksanakan inseminasi sapi lain. Hal ini
penting sekali dilaksanakan, sebab kalau tidak akan terjadi malapetaka besar karena
terjadi penyebaran penyakit kelamin menular. Membersihkan dan mensterilisasi alatalat di dalam kandang bukannya tidak mungkin, tetapi sulit dikerjakan. Jadi bagi
teknisi perlu membawa speculum yang cukup banyak dalam keadaan bersih dan steril.
Konsepsi yang lebih rendah dari pada metode rektovaginal.
a) Ternak betina yang sedang berahi ditempatkan pada kandang khusus untuk kawin
(kandang jepit).
b) Inseminator mengambil straw (sperma beku) dari dalam container sesuai dengan
bibit ternak yang dikehendaki, kemudian segera di thawing (dicairkan) ke dalam
air es atau air kran, lalu keringkan dengan handuk. Straw dipanaskan diantara
telapak tangan, lalu straw dimasukkan ke dalam pipet inseminasi (PI) atau
insemination gun dalam posisi vertical, setelah alat penyemprotnyan ditarik
kurang lebih 12 cm. Pemasukan straw ke dalam pipet inseminasi dengan posisi
ujung penyumbat.
c) Inseminator menggigit PI secara horizontal sambil membasahi tangan kiri/kanan
yang akan masuk ke dalam rectum dengan air dan sedikit sabun.
d) Tangan kiri membuka vulva dan tangan kanan memasukan PI ke dalam vulva
(terus ke dalam) atau tangan kiri masuk ke dalam rectum, sewaktu tangan masuk
ke rectum jari-jari harus kukunya tumpul, masuk secara pelan-pelan dan bila
terjadi kontraksi rectum jangan dilawan tetapi cukup posisi dengan diam
bertahan. Kotoran dalam rectum dikeluarkan lalu tangan mencari cervix sambil
memonitor ujung PI agar dapat masuk lebih dalam lagi. Apabila cervix telah
bertemu maka segera dipegang dan posisinya diluruskan (horizontal) sehingga
memudahkan PI masuk ke dalam cervix korpus uteri atau ke dalam kornu uteri
dan disinilah sperma disemprotkan.
e) Tangan kiri ditarik dari rectum secara pelan-pelan dan PI ditarik ke luar maka
selesai sudah IB pada ternak betina.
Meskipun teknik rektovaginal lebih sulit untuk dipelajari, tetapi cara ini lebih
banyak keuntungannya dari pada teknik yang lain. Kemungkinan yang paling penting
adalah angka konsepsi yang lebih tinggi. Selain daripada itu cara ini hanya
memerlukan sedikit sekali alat-alat yang perlu disterilisasi setiap kali sesudah
melakukan inseminasi. Penggunaan pipet plastic yang dapat dibuang sesudah
terpakai, termasuk
sehingga alat-alat itu tak perlu dicuci ataupun disterilisasi. Sarung tangan karet dapat
dicuci dan didesinfektasi dengan mudah sesudah dipakai. Alat-alat yang diperlukan
sedikit sekali dan mudah dibawa. Disamping itu teknik rektovaginal telah terbukti
dapat memacu aktivitas uterus sapi seperti perkawinan secara alamiah.
angka konsepsi, sedangkan makin tinggi angka posisi makin mudah terjadi perlukaan
pada endometrium yang dapat menyebabkan perdarahan dinding dalam uerus tersebut
atau endometritis atau malah rupture atau sobek uterus pada betina yang bunting, atau
keguguran dan kematian embrio atau fetus pada betina yang bunting.
1) Ayam disangga dengan paha kanan, tangan kiri memegang kaki kiri dan kedua
ujung sayap agar ayam tidak meronta. Kepala ayam menghadap ke sebelah
kanan.
2) Tangan kanan mengurut punggung ayam dengan tekanan halus, mulai dari
pangkal leher ke arah pangkal ekor dengan menggunakan telapak tangan.
Biasanya ayam akan bereaksi dengan menaikan ekornya.
3) Ulangi gerakan mengurut beberapa kali. Tanda-tanda bahwa ayam telah
terangsang adalah bila sudah terlihat dubur menyembur.
4) Bila ayam sudah terangsang, pengurutan dilanjutkan dengan jari telunjuk dan
ibu jari dengan menjepit pangkal kloaka sambil menekan dengan lembut ke
arah dalam dan menarik ke arah luar juga denan lembut, jangan sampai alat
kelamin keluar seluruhnya, tetapi hanya pangkal muara semen yang keluar.
Pengurutan tetap diulangi selama semen masih mengalir.
Orang Kedua
Tugas orang kedua adalah menampung semen, caranya adalah sebagai berikut:
1) Bila ayam sudah terangsang, orang kedua mulai memegang alat penampung
semen dengan tangan kanan dan menempelkan pada muara semen. Tangan kiri
membantu menekan ekor ayam ke arah punggung supaya tidak menggangu
atau mengahalangi saat penyedotan semen.
2) Semen yang keluar langsung disedot dengan menggunakan penyedot dari
aspirator untuk di tampung di dalam tabung.
4) Menginseminasi Ayam Betina
Persyaratan ayam betina yang akan diinseminasi sebagai berikut:
a) Ayam betina yang akan diinseminasi sudah harus bertelur paling sedikit 4 minggu.
b) Sebelum diinseminasi, ayam betina harus dipelihara terpisah dari jantan paling
sedikit selama 2 minggu.
c) Ayam betina harus sehat dan mendapat pakan yang cukup gizi.
d) Sebaiknnya 6 jam sebelum diinseminasi, ayam betina tidak diberi makan agar tidak
berak pada saat diinseminasi.
Perlu diketahui bahwa ayam betina hanya mempunyai satu alat reproduksi
yang terletak di sebelah kiri. Alat reproduksi ini bermuara di suatu rongga di dalam
tubuh dan menyambung ke dubur. Rongga tersebut dinamakan kloaka. Untuk
menginseminasi ayam betina, semen harus dimasukan kedalam alat reproduksi
betina melalui lubang atau muara tersebut.
a. Cara-cara merangsang ayam betina dengan metode dua orang :
Orang pertama
Ayam disangga pada bagian perutnya, kedua kaki dan sayap dipegang
dengan tangan kiri dan kepala ayam dijepit dengan tangan kiri dan badan. Ekor
9
siap
dengan
tabung
suntik
tuberkulin
yang
berisi
semen.
Perhatian : Pada saat terangsang dan kloaka menyembul dari dubur, akan terlihat
dua lubang. Lubang yang terletak di sebelah kiri ayam adalah muara alat
reproduksi, sedangkan yang satu lagi adalah muara dari alat pencernaan.
b. Cara menginseminasi.
1) Sebelum diinseminasi, semen yang telah terkumpul dapat diencerkan terlebih
dahulu dengan Nac1 fisiologis. Pengenceran yang aman adalah satu bagian semen
dengan tiga bagian larutan NaC1 fisiologis.Perhatian : Agar sperma yang hidup
jumlahnya tinggi, sebaiknya semen tidak disimpan di penampungan lebih dari 20
menit.
2) Sedot semen dengan tabung suntik tuberkulin (1 cc) sebanyak 0.1 cc untuk setiap
ekor atau 1 cc untuk setiap 10 ekor
3) Masukkan tabung yang sudah terisi semen ke dalam lubang sebelah kiri.
4) Lepaskan jari-jari tangan kiri orang kedua dari perut ayam dan lepaskan ekor
ayam dari pegangan orang pertama. Kloaka akan masuk kembali ke dalam tubuh.
5) Suntikkan semen sebanyak 0.1 cc secara perlahan-lahan.
6) Lepaskan ayam. Dua hari setelah inseminasi, ayam betina akan menghasilakan
telur fertil.
7) Untuk mendapatkan fertilitas yang baik, ulangi inseminasi 4-5 hari kemudian.
10
tetapi tidak
ditampung.
2) Bawa pejantan mengelilingi atau berputar-putar didekat pemancing.
3) Mengganti pemancing setiap kali penampungan.
4) Penampungan semen tidak selalu di satu sisi.
e. Masukkan penis yang sedang ereksi kedalam Vagina Buatan dengan
membentuk sudut 30.
f. Setelah selesai penampungan, VB digoyang dengan membentuk angka delapan
untuk menghindari tinggalnya semen pada selonsong karet .
g. Tabung semen dibuka dari corong karet dan ditutup dengan kertas atau kain
agar terhindar dari sinar matahari lansung.
h. Semen siap dibawa ke Laboratorium untuk diperiksa dan diproses.
Vagina Buatan terdiri dari :
Sebuah tabung keras dan kaku (ebonit) dengan diameter 6,25 cm dan
panjang 40 cm.
Sebuah selongsong karet tipis dengan permukaan halus.
Sebuah corong karet tipis dengan diameter mulut 7 cm dan diameter
Pemasangan VB
Selongsong karet dimasukan kedalam tabung ebonit.
Kedua ujung selonsong karet dikuakkan keluar tabung dan dipasang
terbalik dibibir tabung.
11
13
pandangan
bioetika,
penerapan
bioteknologi
reproduksi
IB
berhubungan erat dengan aspek kesehatan dan penyelamatan dari kepunahan ternak
asli (animal welfare). Problem utama dalam sistem animal welfare dalam kaitannya
dengan penerapan bioteknologi adalah efisiensi produksi. Problem ini berkaitan erat
pula dengan beberapa faktor, diantaranya:
a. Ekspresi gen (pertumbuhan yang cepat atau produksi susu tinggi)
b. Teknik perkawinan
c. Mutasi gen
Dampak negatif yang akan timbul apabila penerapan bioteknologi IB tidak terkontrol
dalam kaitannya dengan animal welfare, seperti :
1. Hilangnya/punahnya ternak lokal akibat terkikis oleh munculnya ternak persilangan
(crossbred animal). Hal ini bisa muncul karena persepsi masyarakat (petani/peternak)
yang lebih menyukai ternak persilangan karena pertumbuhannya lebih cepat dan
dampak akhirnya adalah nilai jual yang tinggi.
2. Dapat menyebabkan stress dan menimbulkan resiko pada animal welfare. Pemilihan
pejantan sebagai sumber semen yang tidak tepat (kemungkinan mengandung gen
lethal) akan menimbulkan beberapa dampak negatif, antara lain masa kebuntingan
lebih panjang, meningkatnya kejadian kesulitan melahirkan (distokia) dan tingginya
frekuensi gen anomali dan anak yang dilahirkan memiliki bobot lahir yang melebihi
ukuran normal dan penurunan daya reproduksi.
3. Apabila identifikasi birahi (estrus) dan waktu pelaksanaan IB tidak tepat maka tidak
akan terjadi terjadi kebuntingan;
4. Akan terjadi kesulitan kelahiran (distokia), apabila semen beku yang digunakan
berasal dari pejantan dengan breed / turunan yang besar dan diinseminasikan pada
sapi betina keturunan / breed kecil;
14
5. Bisa terjadi kawin sedarah (inbreeding) apabila menggunakan semen beku dari
pejantan yang sama dalam jangka waktu yang lama;
6. Dapat menyebabkan menurunnya sifat-sifat genetik yang jelek apabila pejantan
donor tidak dipantau sifat genetiknya dengan baik (tidak melalui suatu progeny test).
7. Apabila identifikasi birahi (estrus) dan waktu pelaksanaan IB tidak tepat maka tidak
akan terjadi terjadi kebuntingan;
8. Akan terjadi kesulitan kelahiran (distokia), apabila semen beku yang digunakan
berasal dari pejantan dengan breed / turunan yang besar dan diinseminasikan pada
sapi betina keturunan / breed kecil;
9. Bisa terjadi kawin sedarah (inbreeding) apabila menggunakan semen beku dari
pejantan yang sama dalam jangka waktu yang lama;
10. Dapat menyebabkan menurunnya sifat-sifat genetik yang jelek apabila pejantan
donor tidak dipantau sifat genetiknya dengan baik (tidak melalui suatu progeny test).
11. Hilangnya keanekaragaman akibat dipertahankan alel yang sama pada populasi
( hilangnya gen), sehingga rentan terhadap penyakit bila alel resisten hilang. Namun
demikian dampak negatif tersebut dapat ditanggulangi melalui upaya konservasi insitu dimana petani/peternak ikut serta di dalamnya. Program konservasi insitu yang
telah dilakukan pada ternak lokal antara lain : (1) mengisolasi bangsa ternak lokal
dalam suatu lokasi tertutup dan dilakukan upaya pemurniannya, (2) mendatangkan
pejantan unggul yang sejenis dengan bangsa ternak lokal tersebut untuk dilakukan
program perkawinan dengan ternak lokal yang telah diisolasi, (3) melakukan
program pemuliaan dan seleksi dengan ketat, dan (4) mengaplikasikan program IB
dengan menggunakan semen yang berasal dari pejantan unggul. Hal yang terpenting
adalah upaya dari petugas dan petani dalam mencatat (recording) identitas semen
induk dan turunannya, serta adanya bank sperma yang untuk semua ternak lokal atau
non lokal sehingga tidak terjadi kemusnahan.
DAFTAR PUSTAKA
Ditjen Peternakan. 2009. Renstra Kecukupan Daging Sapi Tahun 2010-2-14. Semnas
Pengembangan Ternak Potong untuk Mewujudkan Program Kecukupan/Swasembada
Daging. Yogyakarta: Fafet UGM.
Hafez, E.S.E. 1993. Artificial insemination. In: HAFEZ, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm
Animals. 6th Ed. Lea & Febiger, Philadelphia. pp. 424-439.
15
Hardjosworo, Peni, Rukmisiani M.S., 2001. Ayam, Permaslahan dan Pencegahan. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Toelihere, M.R. 1985. Inseminasi Buatan pada Ternak. Edisi ke-2. Bandung: Angkasa.Hlm.
292
16