Perubahan juga dapat terdeteksi dalam epithelial junction dan jaringan ikat perivaskuler pada tahap awal ini.
Limfosit segera terakumulasi. Peningkatan pada migrasi leukosit dan akumulasinya sampai sulkus gusi dapat
dikorelasikan dengan peningkatan aliran cairan ginggiva dalam sulkus.
Karakter dan intensitas respon host menentukan apakah lesi inisial dapat dipecahkan secara cepat, dengan restorasi
jaringan kembali ke keadaan normal, atau perlahan-lahan berkembang menjadi lesi inflamasi kronik. Jika hal ini
terjadi, infiltrasi makrofag dan sel limfoid muncul dalam beberapa hari.
1.1.2 Stage II Gingivitis : The Early Lesion
The early lesion berkembang dari initial lesion dalam 1 minggu setelah permulaan akumulasi plak. Secara klinis,
early lesion mugkin tampak seperti gingivitis awal, yang berkembang dari inisial lesion. Seiring berjalannya waktu,
tanda-tanda klinis eritema dapat terlihat, terutama proliferasi kapiler dan peningkatan formasi loop kapiler antara
rete pegs atau ridges. Perdarahan pada pemeriksaan mungkin juga terjadi. Aliran cairan gingiva dan jumlah dari
leukosit yang bertransmigrasi mencapai jumlah maksimum antara 6 sampai 12 hari setelah onset dari gingivitis
klinik.
Pemeriksaan mikroskopik gusi memperlihatkan infiltrasi leukosit pada jaringan ikat dibawah epithelial junction
terdiri dari limfosit utama ( 75% dengan sel T mayor ), tetapi juga membuat beberapa migrasi neutrofil, seperti
makrofag, sel plasma, dan mast sel. Semua perubahan terlihat dalam lesi inisial berlanjut ke intensitas dengan early
lesion. Epithelium junction menjadi infiltrasi padat dengan neutrofil, seperti sulkus ginggiva, dan epithelium
junction mulai menunjukkan perkembangan rete pegs atau ridges.
Terdapat peningkatan jumlah destruksi kolagen; 70% kolagen dihancurkan disekitar infiltrasi selular.
Kelompok serat utama mengakibatkan kolagen terlihat berbentuk sirkuler dan kumpulan-kumpulan serat
dentoginggiva. Perubahan pada ciri morfologi pembuluh darah juga dapat dilihat.
PMN`s yang telah meninggalkan pembuluh darah karena respon terhadap stimuli kemotaktik dari komponen plak
yang berjalan ke epithelium, menyebrangi lamina basalis,dan ditemukan pada epithelium dan muncul di daerah
poket.. PMNs menarik bakteri dan terjadi fagositosis. PMN`s mengeluarkan lisosom berhubungan dengan ingesti
bakteri. Fibroblast menunjukkan perubahan sitotoksik dengan penurunan kapasitas produksi kolagen.
Predomonan dari sel plasma menjadi karakteristik utama dari established lesion. Bagaimanapun, beberapa
penelitian dari eksperimen gingivitis pada manusia telah gagal mendemonstrasikan predominansi sel plasma dalam
mempengaruhi jaringan ikat, termasuk satu penelitian dalam durasi 6 bulan. Peningkatan dari proporsi sel plasma
diperjelas dengan gingivitis yang tahan lama, tetapi waktu untuk perkembangan established lesion mungkin
melebihi 6 bulan.
Stage ini terlihat adanya hubungan terbalik antara jumlah kelompok kolagen intact dan jumlah sel-sel inflamasi.
Aktivitas kolagenolitik ditingkatkan dalam jaringan gusi yang mengalami inflamasi melalui enzim kolagenase.
Kolagenase secara normal berada pada jaringan gusi dan dihasilkan melalui beberapa bakteri oral dan PMN`s.
Penelitian menunjukkan bahwa inflamasi ginggiva kronik mengalami peningkatan level asam dan alkaline fosfat, glukuronidase, -glukosidase, -galaktosidase, esterase, aminopeptida, sitokrom oksidase, elastase, laktat
dehidrogenase, dan aril sulfatase, semuanya dihasilkan dari bakteri dan penghancuran jaringan. Tingkat
mukopolisakarida netral diturunkan, agaknya merupakan hasil dari degradasi substansi dasar.
Established lesion terdapat 2 tipe: beberapa tetap stabil dan tidak mengalami progress untuk beberapa bulan atau
tahun dan yang lain menjadi lebih aktif dan berubah untuk penghancuran lesi secara progresif. Established lesion
juga tampak reversible. Flora kembali dari karakteristik yang mendukung kerusakan lesi menjadi asosiasi dengan
kesehatan periodontal. Persentase sel plasma menurun drastic, dan jumlah limfosit meningkat secara proporsional.
STAG
TIM
BLOO
JUNCTIO
PREDOMIN
COLLA
CLINIC
NAL AND
ANT
GEN
AL
(DA
VESSE
SULCUL
IMUNE
FINDIN
YS
LS
AR
CELL
GS
EPITELIU
M
I.
Init
2-4
ial
Dilatasi
Infiltrasi
vaskula
r
PMN`s
Kehilang
Aliran
oleh
an
cairan
PMN`s
perivask
gingiva
Le
ular
sio
n
II.
Earl
4-7
Prolifer
Sama
limfosit
Kehilang
Erytema
asi
seperti
an
vaskula
stage I;
meningk
perdarah
lesi
rete peg
at sekitar
an
formation;
infiltrasi
dalam
on
area
pemerik
atropik
saan
III.
14-
Sama
Sama
Establis
21
seperti
hed
Lesion
Plasma sel
Terus
Perubah
seperti
kehilang
an
stage
stage
an
warna,
II,ditam
II,tapi
ukuran,
bah
tingkatnya
tekstur,
stasis
lebih
dll
darah
tinggi
menunjukkan bahwa inflamasi local akan berlangsung selama biofilm mikroba berada berdekatan dengan jaringan
gingiva, dan inflamasi mungkin dapat diatasi dengan pembersihan biofilm secara tepat.
Pada dasarnya, tanda-tanda klinis gingivitis berupa : kemerahan pada jaringan gusi, perdarahan , perubahan
kontur, dan adanya kalkulus atau plak. Pemeriksaan histology pada gingival yang mengalami inflamasi
menyebabkan ulserasi epithelium. Adanya mediator inflamasi member efek negative pada fungsi epithelial sebagai
barrier perlindungan. Perbaikan ulserasi pada epithelium ini tergantung pada proliferasi atau regenerasi dari aktivitas
sel epitel.
1.2.1 Course and Duration
Gingivitis dapat terjadi dengan onset yang tiba-tiba dan durasi pendek dan dapat terasa nyeri.
Gingivitis akut adalah keadaan nyeri yang dating tiba-tiba dan dengan durasi yang pendek
Subakut gingivitis adalah fase yang sedikit lebih parah dari kondisi akut
Rekuren gingivitis muncul kembali setelah hilang melalui perawatan atau hilang secara spontan dan muncul
kembali.
Kronik gingivitis datang secara lambat, memiliki durasi yang panjang, dan tidak nyeri jika bukan merupakan
komplikasi dari akut atau subakut eksaserbasi. Gingivitis kronik adalah jenis yang paling umum ditemukan.
Gingivitis kronik merupakan penyakit fluktuatif dimana inflamasi berlangsung atau sembuh dan area normal
menjadi terinflamasi.
1.2.2 Deskripsi
Localized Ginggivitis adalah tertahannya hubungan ginggiva dengan sebuah gigi atau kelompok gigi.
General gingivitis meliputi seluruh mulut
Marginal gingivitis meliputi tepi gingival tapi dapat termasuk bagian dari sebelah attached gingival.
Papillary gingivitis meliputi papilla interdental dan sering juga melebar kedalam bagian terdekat dari gingival
margin. Papilla meliputi jumlah yang lebih besar dari gingival margin, dan tanda paling awal dari gingivitis
paling sering terjadi pada papillae.
Diffuse gingivitis mengenai gingival margin, attached ginggiva, dan papilla interdental.
Distribusi penyakit gingival pada kasus individu dijelaskan melalui kombinasi dari masa yang mendahului, seperti :
Localized marginal gingivitis adalah tertahannya (terkurung) satu atau lebih area
margin gingival
Localized diffuse gingivitis meluas dari margin ke mukobukal fold tetapi masih terbatas dalam satu area.
Localized pappilary gingivitis tertahannya satu atau lebih jarak interdental dalam
batas area.
dengan semua gigi. Papilla interdental biasanya juga terkena pada generalized marginal gingivitis.
Generalized diffuse gingivitis meliputi seluruh gingiva. Mukosa alveolar dan attached gingival juga
terkena, jadi mucoginggival junction kadang-kadang lenyap. Kondisi sistemik dapat terlibat dalam
penyebab generalized diffuse gingivitis dan sebaiknya dievaluasi jika dicurigai menjadi kofaktor dari
etiologi.
dan gumpalan fibrosa dihasilkan pada tepi daerah yg mengalami jejas. Pendarahan dapat terjadi lagi jika daerah
tersebut teriritasi.
Pada kasus periodontitis sedang dan lanjut, adanya pendarahan merupakan pertanda destruksi jaringan
aktif.
Pendarahan akut. Pendarahan gingiva akut dapat disebabkan oleh jejas atau terjadi dengan spontan pada penyakit
gingival akut. Luka pada gingival yang diakibatkan oleh bulu sikat gigi selama penyikatan gigi yang terlalu keras
atau oleh potongan tajam dari makanan keras, dapat menyebabkan pendarahan gingiva.
Pendarahan spontan atau pendarahan ringan dapat terjadi pada gingivitis ulseratif nekrotik. Pembuluh darah
pada jaringan konektif inflamasi terekspose oleh ulserasi epithelium permukaan nekrotik.
1.2.3.3 Pendarahan Gingiva yang Terkait Dengan Faktor Sistemik
Pada beberapa gangguan sistemik, hemoragi gingiva terjadi dengan spontan, tidak didorong oleh iritasi
mekanis, atau dapat juga terjadi setelah iritasi, berlebihan serta sulit untuk dikontrol. Penyakit hemoragi ini
menunjukkan berbagai keadaan dengan berbagai penyebab serta manifestsi klinisnya. Beberapa kondisi mempunyai
ciri umum, yaitu: pendarahan abnormal pada kulit, organ dalam, dan jaringan lain, seperti yang terjadi pada
membran mukosa oral.
Gangguan hemoragi dimana terjadi pendarahan gingiva abnormal, ditemukan juga abnormalitas vascular,
gangguan platelet, hipoprothrombinemia, dan efek koagulasi yang lainnya. Pendarahan dapat terjadi karena
konsumsi obat yang mengandung salisilat dan antikoagulan seperti dicumarol dan heparin, dalam jumlah yang besar.
1.2.3.4 Perubahan Warna Pada Gingiva
Perubahan warna dari ginggivitis diperngaruhi oleh beberapa faktor, termasuk jumlah dan ukuran pembuluh darah,
ketopisan epitelial, kuantitas dari keratinisasi dan pigmentasi dalam epitelium
Perubahan warna pada gingivitis. Perubahan warna merupakan tanda klinis yang penting pada penyakit
gingiva. Warna gingiva normal adalah pink dan diproduksi oleh pembuluh darah jaringan dan dimodifikasi oleh
lapisan epithelium. Karena alasn inilah, gingiva menjadi lebih merah ketika ada peningkatan vaskularisasi atau
karena keratinisasi epitelial berkurang atau tidak terlihat dan berlaku juga sebaliknya.
Dengan demikian, inflamasi kronis dapat meningkatan derajat kemerahan, ini akibat proliferasi vaskuler dan
berkurangnya keratinisasi yang diakibatkan tekanan jaringan yang terinflamasi. Vena stasis akan menambahkan
warna menjadi agak kebiruan, yang asalnya merah terang, warna tersebut berubah menjadi agak kebiruan dan biru
gelap dengan peningkatan kekronisan dari proses inflamasi. Perubahan dimulai dari papila interdental, tepi gingival,
dan juga attached gingiva. Diagnosis dan perawatan yang tepat memerlukan pemahaman perubahan jaringan yang
merubah warna gusi pada tingkatan klinis.
Pada tepi gingiva akan terlihat kecil, bentuk seperti bulan sabit, dan berwarna merah. Hal tersebut akan terjadi pada
satu waktu melengkapi trauma dari oklusi, tetapi sekarang telah diketahui bahwa lesi inflamasi kronis disebabkan
oleh iritan lokal.
Perubahan warna pada gingivitis akut. Perubahan warna pada inflamasi gingiva akut dapat terjadi pada
tepi, menyebar, atau berupa bintik-bintik tergantung pada kondisinya. Pada gingivitis ulcerative nekrotik akut,
terjadi pada tepi; pada herpetic gingivostomatitis, terjadi menyebar; dan sebagai reaksi akut terhadap iritasi kimia ,
terjadi berupa bintik-bintik atau menyebar.
Perubahan warna sesuai dengan intensitas inflamasi. Pada semua hal, diawali dengan adanya erithema merah terang.
Jika kondisinya tidak memburuk, maka hanya ada perubahan warna sampai gingiva kembali normal. Pada beberapa
inflamasi akut, warna merah berubah menjadi abu-abu berkilau dan berangsur-angsur menjadi abu-abu agak
keputihan. Warna abu-abu dihasilkan oleh nekrosis jaringan, dibatasi dengan perbatasan gingiva oleh daerah tipis
sehingga menegaskan daerah erithema.
Pigmentasi metalik. Logam berat yang terserap secara sistemik melalui penggunaan obat maupun
lingkungan pekerjaan, dapat mewarnai gingiva dan daerah lain pada mukosa oral. Ini berbeda dengan yang
dihasilkan saat melekatkan amalgam atau logam lain.
Bismuth, arsenic, dan mercury menghasilkan garis hitam pada gingiva yang mengikuti garis luar tepi. Pigmentasi
dapat juga terlihat seperti bintik hitam pada tepi, interdental, dan attached gingiva. Warna lebam dihasilkan pada
pigmentasi garis tepi gingiva berwarna merah atau biru gelap. Terpapar oleh perak dapat mrngakibatkan garis tepi
berwarna ungu, sering juga diikuti dengan warna abu-abu yang meyebar di mukosa oral.
Pigmentasi gingiva yang berasal dari penyerapan logam secara sistemik dihasilkan dari presipitasi perivaskular pada
logam sulfida dalam jaringan penghubung epithelial. Pigmentasi gingiva bukanlah merupakan hasil keracunan
sistemik. Hal ini hanya terjadi pada daerah inflamasi, dimana peningkatan permeabelitas pembuluh darah yang
mengalami iritasi membuat jaringan disekitarnya menjadi terpapar logam juga. Tambahan untuk inflamasi gingiva,
mukosa oral teriritasi karena gigitan atau kebiasaan mengunyah yang abnormal merupakan daerah yang umum
terjadi pigmentasi.
Pigmentasi gingiva atau mukosa dapat dihilangkan dengan menyingkirkan faktor iritasi lokal dan
memelihara jaringan sehat, beberapa obat yang mengandung logam yang dibutuhkan untuk tujuan penyembuhan,
tidak perlu dihentikan.
1.2.3.5 Perubahan Warna Terkait Dengan Faktor Sistemik
Beberapa penyakit sistemik dapat menyebabkan perubahan warna pada mukosa oral, termasuk gingiva.
Pada umumnya, pigmentasi abnormal ini tidak bersifat spesifik dan harus distimulasi oleh upaya diagnostik yang
lebih jauh atau dengan penyerahan pada spesialis yang tepat.
Pigmentasi oral dapat terjadi karena melanin dan bilirubin. Pigmentasi oral melanin dapat menjadi pigmentasi
fisiologi normal. Penyakit yang dapat meningkatkan pigmentasi melanin, termasuk penyakit Addison yang
disebabkan oleh disfungsi adrenal dan memproduksi potongan-potongan pewarna yang merubah dari hitam menjadi
cokelat; sindrom peutz-jeghers yang memproduksi poliposis intestinal dan pigmentasi melanin pada muosa oral dan
bibir; dan sindrom albrights serta penyakit von Recklinghausen, yang keduanya memproduksi daerah pigmentasi
melanin oral.
Kulit dan membran mukosa dapat di nodai oleh pigmen empedu. Penyakit kuning dapat dideteksi paling baik
dengan pemeriksan sclera, tetapi di mukosa oral dapat ditemukan warna kekuning-kuningan. Deposisi zat besi pada
hemokromatosis dapat memproduksi warna abu-abu kehijauan pada mukosa oral. Beberapa endokrin dan kekacauan
proses metabolisme, termasuk diabetes dan kehamilan, dapat menghasikan perubahan warna.
Rokok dapat menyebabkan hiperkeratosis abu-abu pada gingiva. Daerah berwarna hitam biasanya dhasilkan dari
implan amalgam pada mukosa.
1.2.3.6 Perubahan konsistensi gingiva
Inflamasi kronis dan akut, keduanya menghasilkan perubahan pada konsistensi normal gingiva Sebagai catatan, pada
gingivitis kronis destruktif (edematous) dan reparatif (fibrotik), secara bersama-sama dapat mengubah konsistensi
gingiva, dan konsistensi ini ditentukan oleh predominan relatifnya.
Proses kalsifikasi di gingiva
Proses kalsifikasi secara mikroskopik dapat ditemukan di gingiva. Proses ini dapat terjadi sendiri-sendiri
atau berkelompok, dengan berbagai ukuran, lokasi, bentuk, dan struktur. Beberapa massa dapat terkalsifikasi dari
gigi dan berpindah ke gingiva selama proses pengeboran, seperti sisa akar, potongan sementum, atau sementikel.
Inflamasi kronis dan fibrosis dan terkadang aktivitas foreign body giant cell terjadi dalam hubungannya dengan
massa ini. Terkadang mereka menyelubungi matriks seperti osteoid. Crystalline foreign bodies juga terdapat di
gingiva namun asalnya belum dapat ditentukan.
1.2.3.7 Perubahan Tekstur Permukaan Gingiva
Permukaan dari gusi normal umumnya menunjukkan banyak depresi dan elevasi kecil, yang memberikan gambaran
seperti kulit jeruk yang biasa disebut stippling. Stippling ini terbatas hanya pada bagian attached ginggiva dan secara
dominan dibatasi pada area sub papilari, tetapi ini akan memperluas ke tingkatan papila interdental. Banyak
penelitian yang menunjukkan bahwa semakin tipisnya atau kehilangannya stippling ini merupakan sebuah tanda
tanda gejala ginggivitis dini. Tetapi ini harus di sesuaikan pula dengan perbedaan area mulut seseorang, dan umur
seseorang.
Dalam inflamasi kronik permukaan pada gusi juga serupa halusnya, mengkilap, padat dan bernodul, tergantung
apakah perubahan dominan nya ber eksudat atau berfibrosis. Tekstur permukaan halus juga dihasilkan oleh atropi
epitel dalam atropi gusi, dan kupasan kulit pada permukaan terjadi dalam ginggivitis desquamative kronis.
Hiperkeratosis dihasilkan pada susunan kulit, dan non-inflamasi hperplasia gingival menghasilkan permukaan
nodular
proses fisiologis yang berkaitan dengan usia. Namun, bukti yang meyakinkan untuk bagian physiologic pada
perlekatan gingiva tidak pernah ada. Pergantian bagian apikal sedikit demi sedikit mungkin akan menghasilkan efek
kumulatif keterlibatan dari patologik ringan dan/atau trauma langsung minor berulang pada gingiva. Pada beberapa
populasi tanpa fasilitas dental care, bagaimanapun resesi mungkin menyebakan meningkatnya penyakit periodontal.
Faktor-faktor berikut ini memiliki implikasi pada etiologi resesi gingival : teknik menyikat gigi yang salah
(abrasi gingiva), malposisi gigi, pergeseran dari jaringan lunak (ablasi gingiva), peradangan gingiva, pelekatan
frenum yang abnormal, dan iatrogenic dentistry. Trauma oklusi juga telah diungkapkan, tapi mekanisme dari
tindakan ini tidak pernah ditunjukkan. Sebagai contoh, deep overbite berhubungan dengan inflamasi gingiva dan
resesi. Incisal overlap yang berlebihan dapat menyebakan traumatic injury pada gingiva. Pergerakan orthodontik
pada arah yang berhubungan dengan bibir telah ditunjukkan pada monyet yang menghasilkan hilangnya tulang
marginal dan pelekatan jaringan ikat, sebagaimana dengan resesi gingiva.
Standar prosedur kebersihan mulut, diantaranya menyikat gigi dan flossing, yang dapat meminimalisir
gingival injury. Walaupun menyikat gigi sangat penting untuk kesehatan gingiva, menyikat gigi dengan teknik yang
salah atau menyikat terlalu keras bisa menyebabkan injury. Tipe dari injury ini diantaranya, laserasi, abrasi,
keratosis, dan resesi, dengan bagian marginal gingiva yang sering terjangkit. Maka, pada kasus ini, resesi cenderung
jarang pada pasien dengan gingiva yang sehat secara klinis, sedikit bakteri plak, dan kebersihan mulut yang baik.
Kerentanan pada resesi dipengaruhi oleh posisi gigi pada bagian lengkungan, sudut tulang akar, dan
lengkungan mesiodistal pada permukaan gigi. Pada arah berputar, miring atau gigi yang digantikan yang
berhubungan dengan muka, pelat tulang bisa menipis atau berkurang secara berat. Tekanan dari kunyahan atau
menyikat gigi secara bisa menjauhkan gingiva yang tidak mendukung dan menghasilkan resesi. Efek dari sudut akar
pada tulang dalam resesi selalu diamati dengan adanya wilayah geraham maxillary. Jika inklinasi lingual dari palatal
root menonjol atau akar buccal melebar, maka tulang pada wilayah servikal akan menipis atau memendek, dan resesi
dihasilkan dari trauma pada marginal gingiva yang tipis.
Kesehatan jaringan gingiva juga bergantung pada design dan penempatan material restorasi yang baik.
Tekanan dari seluruh bagian gigi buatan yang tidak bagus dapat menyebabkan trauma gingiva dan resesi. Restorasi
dental yang overhanging dapat menjadi faktor gingivitis karena menyebabkan retensi plak. Secara klinis, kesalahan
dalam menentukan ukuran secara biologis, dapat bermanifestasi sebagai inflamasi gingiva, periodontal pocket yang
dalam, atau resesi gingiva.
Signifikansi Klinis. Beberapa aspek resesi gingiva membuatnya signifikan secara klinis. Permukaan akar
yang terlihat akan rentan terhadap karies. Pemakaian cementum yang terlihat oleh resesi meninggalkan permukaan
dentinal dasar yang sangat sensitif, terutama saat disentuh. Hiperemi pada pulpa dan gejala yang berkaitan juga bisa
dihasilkan dari permukaan akar yang terlihat. Resesi interproksimal menciptakan ruang di mana plak, makanan, dan
bakteri bisa berakumulasi.
papillary atau marginal dan terlokalisasi atau bersifat umum. Perkembangannya sangat lambat dan tanpa sakit
kecuali ditambah dengan infeksi atau trauma yang akut.
Pembesaran radang gingiva yang kronis sebagai sebuah sessile yang berbeda sendiri atau massa
pedunculated yang menyerupai tumor. Pembesaran ini mungkin terdapat pada interpoximal atau gingiva marginal
atau perlekatan gingiva. Luka ini lambat untuk tumbuh dan biasanya tanpa rasa nyeri. Pembesaran bisa secara
spontan berkurang dalam ukuran, diikuti dengan pembusukan dan kemudian membesar kembali. Pembusukan
dengan rasa sakit kadang-kadang terjadi pada lipatan di antara massa dan batasan gingiva.
Histopatologi. Pembesaran gingiva radang kronis menunjukkan sifat eksudatif dan proliferatif pada
peradangan kronis. Luka yang secara klinis berwarna merah gelap atau merah kebiru-biruan, bersifat lunak dan
rapuh dengan permukaan berkilauan yang lembut, dan mudah berdarah yang memiliki sel radang yang melimpah
dan mengalir dengan penelanan pembuluh darah, dan berkaitan dengan perubahan degeneratif. Luka yang relatif
keras, leathery, dan berwarna merah muda memiliki komponen serat yang lebih besar, dengan melimpahnya
fibroblast dan serat kolagen.
Etiologi. Pembesaran gingiva radang kronis disebabkan oleh terpaan yang berlangsung lama pada plak
gigi. Faktor-faktor yang mempengaruhi akumulasi dan penyimpanan plak termasuk kesehatan mulut yang rendah,
hubungan yang tidak normal pada gigi yang bersebelahan dan gigi yang berseberangan, hilangnya fungsi gigi,
lubang pada tekuk gigi, batas yang sangat renggang pada restorasi gigi, restorasi gigi berkontur tidak baik atau
pontic, iritasi dari jepitan atau wilayah saddles dari prostesa yang terkelupas, gangguan suara sengau, terapi
orthodontik yang melibatkan reposisi pada gigi, dan kebiasaan seperti menyikat gigi dan penekanan lidah melawan
gingiva.
Perubahan Gingiva yang berkaitan dengan Pernapasan Mulut. Pembesaran gingiva dan radang gingiva
selalu tampak pada mereka yang bernapas menggunakan mulut. Gingiva terlihat merah dan edematous, dengan
sebuah permukaan yang tersebar mengkilat pada wilayah permukaan. Wilayah anterior maxillary merupakan lokasi
umum dari perubahan gingiva ini. Pada banyak kasus gingiva yang berubah ini secara jelas dibatasi dari gingiva
normal tak terekspos yang berdekatan. Cara yang pasti di mana pernapasan mulut mempengaruhi perubahan gingiva
tidak dapat ditunjukkan. Efek yang merusak secara umum ditambahkan dari iritasi dari dehidrasi permukaan.
Namun, perubahan yang dapat dipertimbangkan tidak dapat dihasilkan dari pengeringan udara pada gingiva dalam
percobaan menggunakan hewan.
lembut. Dalam waktu 24 jam sampai 48 jam, luka biasanya menjadi berubah-ubah dan berpusat dengan lubang
permukaan dari mana eksudat bernanah bisa terlihat. Gigi yang berdekatan selalu sensitif.
Histopatologis. Abses gingiva terdiri dari pusat bernanah pada jaringan konektif dikelilingi sebuah
infiltrasi memanjang pada leukosit poli-morfon-nuklear, jaringan edematous, dan penelanan jaringan pembuluh
darah. Epitel permukaan memiliki tingkat yang bervariasi pada edema intra dan ekstra-sel, serangan leukosit dan
pemborokan.
Etiologi. Pembesaran gingiva radang akut dihasilkan dari bakteri yang masuk ke dalam jaringan ketika
substansi asing seperti bulu sikat gigi, biji apel atau pecahan kulit lobster secara kuat menempel pada gingiva. Luka
ini terbatas pada gingiva dan sebaiknya jangan dibingungkan dengan periodontal atau abses lateral.
1.4 Infeksi Gingiva Akut
1.4.1 Acute Necrotizing Ulcerative Gingivitis
Dikenal juga sebagai Vincents Gingivitis pada awal pertengahan abad 20.
1.4.1.1 Etiologi
1. Peran bakteri
Plaut dan Vincent memperkenalkan konsep bahwa NUG disebabkan oleh bakteri spesifik: fusiform bacillus
dan organisme spirochetal. Rosebury dan teman-teman menjelaskan fusospirochetal complex terdiri dari T.
microdentium, intermediate spirochetes, vibrios, fusiform basilus, dan organisme berfilamen, sebagai tambahan pada
spesies Borrelia. Loesche dan teman-teman menjelaskan sebuah flora konstan predominan dan berbagai macam
flora berhubungan dengan NUG. Flora konstan terdiri dari : Prevotella intermedia, Fusobacterium, Treponema, dan
spesies Selenomonas.
2. Peran Respon Host
Imunodefisiensi bisa berhubungan dengan berbagai tingkatan kekurangan nutrisi, kelelahan akibat
kehilangan tidur kronis, kebiasaan kesehatan lain (alkohol dan narkoba), faktor psikososial, atau penyakit sistemik.
NUG bisa saja menjadi gejala pada pasien dengan infeksi HIV.
3. Faktor Predisposisi Lokal
Preexisting gingivitis, luka pada gingival, dan merokok adalah faktor predisposisi yang penting. NUG
sering muncul melapiskan penyakit preexisting gingival kronis dan poket periodontal. Periodontal poket yang dalam
dan tutup perikoronal adalah area yang rentan karena menyediakan tempat yang nyaman untuk proliferasi bakteri
anaerob basilus fusiformis dan spirochetes. Area gingival yang terkena trauma akibat gigi lawan pada maloklusi,
seperti permukaan palatal dibelakang incisor maksilaris dan permukaan labial gingival pada incisor mandibula, bisa
menjadi faktor predisposisi NUG.
4. Faktor Predisposisi Sistemik
Defisiensi nutrisi. Peneliti menemukan bakteri fusospirochetal sebagai bakteri oportunis, hanya
berproliferasi jika jaringan mengalami defisiensi.
Penyakit sistemik yang melemahkan bisa menjadi faktor predisposisi NUG. Seperti penyakit kronis (sifilis,
kanker), ganguan GI parah (ulseratif kolitis), blood dyscrasias (leukemia, anemia), dan HIV.
5. Faktor Psikosomatik
Penyakit ini sering dihubungkan dengan stress. Gangguan psikologis, dan juga kenaikan sekresi
adrenokortikal adalah umum pada pasien dengan penyakit ini.
1.4.1.2 Ciri Klinis
Biasanya muncul dalam bentuk akut. Relatif ringan dan bentuk persistenya adalah penyakit subakut.
Penyakit rekuren ditandai dengan periode remisi dan eksaserbasi.
ANUG dicirikan dengan serangan tiba-tiba (sudden onset), terkadang diikuti oleh penyakit yang parah atau
infeksi akut traktus respiratorius. Perubahan kebiasaan hidup, kerja yang berkepanjangan tanpa istirahat yang cukup,
penggunaan tobacco, dan stres psikologi adalah ciri yang sering dialami penderita.
Oral Signs. Ciri lesi adalah punch out, depresi seperti kawah pada puncak papilla interdental, sesudahnya
memperpanjang ke marginal gingival dan jarang menempel pada gingival dan mukosa oral. Permukaan kawah
gingival ditutupi oleh pseudomembran keabuan membuat garis demarkasi rawa dari remainder gingival mukosa oleh
pronounced linear erythema (Plate IXA). Dalam beberapa contoh, lesi menggundulkan permukaan pseudomembran,
membuka margin gingival, yang berwarna merah, berkilauan, dan hemoragi. Karakteristik lesi adalah cepat
menghancurkan gingival dan menggarisi jaringan periodontal (Plate IXB).
Gejala Oral. Lesi sangat sensitif jika dipegang, dan pasien mengeluh pada radiating konstan,
menggerogoti rasa sakit yang diperhebat oleh makanan panas atau pedas dan mengunyah. Ada rasa metalik palsu,
dan pasien sadar akan jumlah yang berlebihan dari saliva yang pucat.
Ekstraoral dan Tanda Sistemik dan Simptom. Pasien biasanya bisa berjalan dan mempunyai komplikasi
yang minimum. Lokal lymphadenopati dan kenaikan temperatur adalah ciri umum dari tahap ringan dan sedang
penyakit ini. Pada kasus yang parah, ada tanda komplikasi sistemik seperti demam tinggi, kenaikan denyut jantung,
leukositisis, kehilangan nafsu makan, kelemahan umum. Reaksi sistemik lebih bahaya pada anak-anak. Insomnia,
konstipasi, gangguan GI, sakit kepala, dan depresi mental terkadang mengikuti kondisi ini.
Clinical Course. Clinical course bisa bervariasi. Jika tidak dirawat, NUG biga menjadi NUP dengan
destruksi yang progresif pada periodontium dan resesi gingival, diikuti dengan penambahan keparahan pada
komplikasi sistemik.
Pindborg dan teman-teman, telah menjelaskan proses ini pada NUG : (1) erosi hanya pada ujung interdental
papilla; (2) lesi yang berlanjut ke marginal gingival dan menyebabkan erosi lanjutan pada papilla dan berpotensi
menghilangkan seluruh papilla; (3) attached gingiva juga terpengaruh; dan (4) pembukaan tulang.
Horning dan Cohen memperpanjang tahap dari penyakit oral necrotizing seperti dibawah ini :
Tahap 1 : Necrosis pada ujung interdental papilla
Tahap 2 : Nekrosis seluruh bagian paila (19%)
Tahap 3 : Nekrosis berlanjut ke marginal gingival (21%)
Tahap 4 : Nekrosis juga berlanjut ke attached gingival (1%)
Tahap 5 : Nekrosis berlanjut ke mukosa bukal atau mukosa labial (6%)
Tahap 6 : Nekrosis membongkar tulang alveolar (1%)
Tahap 7 : Nekrosis melobangi kulit pipi (0%)
Menurut Horning dan Coben, tahap 1 adalah NUG, tahap dua bisa NUG dan NUP karena kehilangan
attachment juga bias terjadi, tahap 3 dan 4 cocok dengan NUP, tahap 5 dan 6 adalah necrotizing stomatitis, dan tahap
7 adalah noma.
Histopatologi. Secara miskrokopis, lesi muncul sebagai inflamasi akut necrotizing pada margin gingival
menyertakan stratified squamous epithelium dan underlying connective tissue. Permukaan epithelium dihancurkan
dan diganti dengan pseudomembranousmeshwork fibrin, sel nekrotik epithelial, polimorfonuklear leukosit (PMNs
dan neutrofil), dan berbagai tipe mikroorganisme. Ini adalah zona yang terlihat secara klinis pada permukaan
pseudomembran. Jaringan pengikat yang mendasari ditandai dengan hiperemi, dengan banyak kapiler tertelan dan
infiltrasi yang bnayak dari PMNs. Zona ini muncul sebagai linear eritem dibawah permukaan pseudomembran.
Banyak sel plasma akan muncul disekeliling infiltrasi; ini diinterpretasikan sebagai daerah terbentuknya marginal
gingivitis dimana lesi akut menjadi superimposed.
1.4.1.3 Diagnosis
Diagnosis berdasarkan penemuan klinis. Smear bakteri digunakan untuk menguatkan diagnosis klinis. Uji
mikroskopis dari biopsi spesimen tidak cukup spesifik untuk didiagnosi. Bisa digunakan untuk membedakan ANUG
dari infeksi spesifik seperti TBC, namun tidak untuk ANUG dari kondisi akut necrotizing yang lain seperti yang
terjadi akibat trauma atau obat escharotics.
1.4.1.4 Diagnosis Banding
Necrotizing Ulcerative Gingivitis harus dibedakan dari kondisi lain yang mirip denganya seperti akut
herpetik gingivostomatitis, kronik periodontal poket, desquamatif gingivitis, streptococcal gingivostomatitis,
aphtous stomatitis, gonococcal gingivostomatitis, difteri dan lesi sifilis, lesi gingival tuberkulosa, candidiasis,
agranulositosis, dermatosa (pemfigus, eritema multiforme, dan lichen planus), dan stomatitis venenata.
Streptococcal gingivostomatitis suatu kondisi yang jarang terjadi akibat eritema yang lama pada area
posterior mukosa mulut, terkadang termasuk gingival. Nekrosis margin gingival bukan akibat penyakit ini, dan tidak
ada fetid odor. Smear bakteri menunjukkan jumlah yang banyak pada bentuk streptococcus, dimana jika dikultur
terdapat Streptococcus viridians.
Gonococcal stomatitis jarang dan disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae. Mukosa oral ditutupi oleh
membrane keabuan.
Agranulositsis mempunyai ciri adanya ulserasi dan nekrosis dari gingival yang memperlihatkan ANUG.
Kondisi oral pada agranulositosis umumnya necrotizing karena kekurangan mekanisme pertahanan.
Vincents Angina adalah infeksi fusospirosetal pada orofaring dan tenggorokan. Pada Vincents Angina,
terdapat ulserasi membrane yang sakit pada tenggorokan, dengan edema dan hyperemic patches pecah untuk
membentuk ulser yang ditutupi material pseudomembran. Prosesnya bisa berlanjut ke laring dan telinga tengah.
1.4.1.5 Epidemiologi dan Prevalensi
Prevalensi ANUG muncul lebih rendah di United state dan Eropa sebelum 1914. Pada sebuah studi di
sebuah klinik dental di Prague, Republik Ceko, insidensi ANUG dilaporkan 0,08 % pada pasien usia 15-19 tahun;
0,05 % pada usia 20-24 tahun, dan 0,02 % pada usia 25-29 tahun.
ANUG terjadi pada semua usia, dimana insedensi yang banyak dilaporkan pada usia 20-30 tahun dan 15-20
tahun. Tidak ditemukan pada anak-anak di United State, Kanada, dan Eropa, tapi ditemukan pada kelompok anak
dengan sosial-ekonomi yang lemah di Negara yang masih terbelakang. Di India, dari hasil studi di dapat bahwa 5458 % pasien adalah anak usia kurang dari 10 tahun. Di sekolah yang dipilih secara acak di Nigeria, ANUG terjadi
11,3 % pada anak-anak usia 2-6 tahun, dan di rumah sakit di Nigeria mencapai 23 % pasien usia kurang dari 10
tahun. Dilaporkan umumnya terjadi pada kelompok keluarga yang memiliki sosial-ekonomi lemah. ANUG lebih
banyak terjadi pada anak-anak dengan Down Syndrome.
1.4.1.6 Penularan
Istilah penularan merupakan kemampuan untuk memelihara penularan dengan cara alami. Contoh : kontak
langsung melalui air minum, makanan, alat makan, udara, atau vektor arthropoda.
ANUG sering terjadi pada kelompok orang yang menggunakan dapur bersama, penyakit ini ditularkan oleh
bakteri melalui peralatan makan.
1.4.1.7 Terapi
Perawatan Lokal
1. Identifikasi faktor-faktor predisposisi seperti stres, malnutrisi, berbagai penyakit sistemik seperti measles dan
hepatitis
2. Menghilangkan faktor-faktor iritasi lokal seperti plak dan kalkulus serta pembersihan jaringan nekrotik. Scaling
dan debridement diikuti dengan penggunaan obat kumur seperti 0,5% hydrogen peroxide atau 0,1%
chlorhexidine.
Lesi ANUG memberikan respon baik terhadap perawatan lokal dalam waktu 48 jam.
Perawatan Sistemik
Penicilline atau tetracyline 250 sampai 500mg diberikan 4 kali sehari selama 5 hari. Metronidazole tablet
200 mg diberikan pada pasien yang alergi terhadap penicilline dengan dosis 3 kli sehari untuk 3 5 hari.
1.4.2 Gingivostomatitis Herpetik Akut
Acute herpetic gingivostomatitis adalah infeksi primer yang terjadi pada kavitas oral.
1.4.2.1 Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh herpes simplex virus (HSV) tipe I. ini banyak terjadi pada bayi dan anak usia
kurang dari 6 tahun, tapi ini juga terlihat pada anak remaja dan orang dewasa. Ini terjadi sebanding antara pria dan
wanita. Pada kebanyakan orang infeksi primer ini bersifat asimptomatik.
Setelah infeksi primer, virus masuk ke saraf sensorik atau autonom dan terus berlangsung di neuronal
ganglia yang menginervasi tempat selama HSV tersembunyi. Manifestasi sekunder ini termasuk herpes labialis
berulang, herpes genitalis, ocular herpes, dan herpes encephalitis.
1.4.2.2 Ciri Klinis
Oral signs. Acute herpetic gingivostomatitis tampak seperti difus, erithema, licin pada gingival dan mukosa oral
yang berdekatan, dengan derajat edema dan pendarahan gingival yang bermacam-macam. Pada tahap inisial, ini
digolongkan melalui kehadirannya yang memiliki ciri tersendiri, vesikel spherical yang keabuan, yang terjadi pada
gingival, mukosa labial dan buccal, soft palate, faring, mukosa sublingual, dan lidah. Setelah kira-kira 24 jam,
vesikel akan pecah dan berbentuk ulser kecil yang sangat sakit disertai merah, tinggi, lingkaran seperti garis dengan
bagian tengah muram berwarna kekuning-kuningan atau putih keabuan. Ini terjadi secara luas dalam area yang
terpisah atau kelompok-kelompok kecil yang bertemu.
Rangkaian penyakit ini terjadi selama 7-10 hari. Difus gingival erythema dan edema yang muncul lebih dulu pada
penyakit ini bertahan selama beberapa hari setelah lesi ulseratif dihilangkan.
Oral symptoms. Penyakit ini disertai rasa sakit dari kavitas oral yang menganggu proses makan dan minum. Vesikel
yang pecah merupakan bagian focal yang sakit dan pada umumnya sensitif terhadap sentuhan, perubahan panas,
makanan seperti bumbu atau rempah-rempah dan jus buah, dan aksi dari makanan kasar. Tanda dan gejala sistemik
dan intraoral. Servikal adenitis, demam tinggi antara 101F sampai 105F (38,3-40,6 C), dan biasanya terjadi
malaise.
Histopatologi. Ciri tersendiri dari ulserasi herpetik gingivostomatitis bahwa hasil dari ruptur vesikel yang memiliki
bagian sentral dari inflamasi akut, dengan ulserasi dan tingkat purulent eksudat yang bervariasi. Sitoplasma sel
tampak mencair dan bersih, membran sel dan nukleus berada di luar relief. Selanjutnya nukleus berdegenerasi,
kehilangan daya tarik-menarik terhadap zat warna, dan akhirnya disintegrasi.
1.4.2.3 Diagnosis
Diagnosis biasanya ditentukan dari sejarah pasien dan penemuan klinis. Bahan mungkin didapatkan dari lesi dan
diserahkan ke laboratorium untuk tes penegasan, termasuk kultur virus dan tes immunologik menggunakan antibodi
monoklonal atau teknik hibridisasi DNA.
1.4.2.4 Penularan
Acute herpetic gingivostomatitis merupakan penyakit menular. Umumnya pada orang dewasa ditemukan kekebalan
terhadap HSV sebagai hasil dari infeksi selama masa kanak-kanak.
1.4.2.5 Terapi
Penanggulangan untuk oral
~ Self Limiting
~ Obat-obat pasta oral (Orabase)
- Melindungi ulkus
- Kenalog
- Teejel, solcoseryl
- Pemakaian azyclofir
~ Mouth Wash
1.4.3 Perikoronitis
Istilah perikoronitis mengaju pada inflamasi pada gingival pada hubungan ke mahkota dari gigi yang erupsinya
kurang sempurna. Ini sering terjadi pada daerah molar tiga rahang bawah. Perikoronitis bersifat akut, subakut, dan
kronis.
1.4.3.1 Etiologi
Erupsi yang kurang sempurna dan impaksi dari molar tiga rahang bawah merupakan hal biasa dari
perikoronitis. Ruangan antara mahkota gigi dan flap gingival yang sangat tinggi merupakan area yang ideal sebagai
tempat terkumpulnya debris makanan dan tempat hidup bakteri.
1.4.3.2 Ciri Klinis
Pada pasien tanpa adanya tanda dan gejala klinis, flap gingival sering bersifat inflamasi dan infeksi kronis,
dengan variasi tingkat ulserasi mencapai permukaan sebelah dalam.
Gambaran klinik ditandai dengan merah, membengkak, lesi yang bernanah yang sangat halus sekali,
dengan rasa sakit menyebar ke telinga, tenggorokan, dan dasar mulut. Pasien biasanya merasa tidak nyaman karena
sakit, rasa busuk, dan ketidakmampuan menutup rahang. Pembengkakan pada pipi juga ditemukan yang umumnya
terdapat pada region sudut rahang dan lymphadenitis. Pasien mungkin juga memiliki komplikasi sitemik seperti
demam, leokositosis, dan malaise.
1.4.3.3 Komplikasi
Ini mungkin menyebar secara posterior ke dalam daerah oropharyngeal dan secara medial ke dasar lidah,
menyebabkan pasien sulit untuk menelan. Tergantung pada kekerasan dan luasnya infeksi, terdapat keterlibatan
submaksila, servikal posterior, servikal yang dalam, dan retropharyngeal lymph node. Formasi abses peritonsillar,
cellulitis, dan ludwigs angina jarang terjadi namun demikian dapat mengakibatkan akut perikoronitis.
BAB II
PENYAKIT PERIODONTAL
2.1 Poket Periodontal
Poket periodontal didefinisikan sebagai pendalaman sulkus gingiva secara patologi, yaitu salah satu gejala
klinik penyakit periodontal.
2.1.1 Klasifikasi
Pendalaman sulkus gingiva bisa terjadi oleh pergerakan koronal margin gingiva, pergeseran apikal gingiva
attachment, atau kombinasi kedua proses. Poket-poket dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Poket gingiva (pseudopocket): tipe poket ini dibentuk oleh pembesaran gingiva tanpa kerusakan jaringan
periodontal dasar. Sulkus dalam karena peningkatan bagian (bulk) gingiva.
2. Poket periodontal (true or absolute): Tipe poket ini terjadi dengan kerusakan jaringan pendukung periodontal.
Pendalaman poket yang progresif membuat kerusakan jaringan pendukung periodontal dan kehilangan gigi.
Ada dua tipe poket periodontal:
1.Suprabony (supracrestal atau supra-alveolar), dimana dasar poket adalah korona tulang alveolar dasar.
2. Infrabony (intrabony, subcrestal, or intra-alveolar), dimana dasar poket adalah apikal sampai permukaan batas
tulang alveolar. Pada tipe kedua ini, dinding poket lateral berada antara permukaan gigi dan tulang alveolar.
Poket dapat meliputi satu, dua, atau lebih permukaan gigi dan dapat berbeda kedalaman dan jenis pada
permukaan yang berbeda pada gigi yang sama dan pada permukaan approksimal pada ruang interdental yang sama.
Poket bisa spiral (berasal dari satu permukaan gigi dan berliku-liku mengelilingi gigi termasuk satu atau lebih
permukaan tambahan). Tipe poket ini paling umum di daerah percabangan.
2.1.2 Gambaran Klinis
Gambaran klinik seperti merah, marginal gingiva menebal, zona vertikal merah kebiru-biruan dari margin gingiva
sampai mukosa alveolar, perdarahan gingiva atau supurasi, pergeseran gigi, dan diastem formasi dan gejala seperti
sakit secara lokal atau sakit yang dalam pada tulang gejala periodontal poket. Metode menemukan poket
periodontal dan menentukan luasnya adalah berhati-hati memeriksa margin gingiva sekitar permukaan gigi.
2.1.3 Patogenesis
Poket periodontal disebabkan oleh mikroorganisme dan produk-produknya, yang membuat perubahan jaringan
patologi membuat sulkus gingiva dalam. Pada dasar kedalaman, kadang-kadang sulit untuk membedakan kedalaman
sulkus normal dengan poket periodontal dangkal. Perubahan meliputi transisi dari sulkus gingiva normal ke patologi
poket periodontal dihubungkan dengan perbedaan proporsi sel-sel bakteri pada plak gigi. Gingiva sehat
dihubungkan dengan beberapa mikroorganisme, paling banyak sel kokus dan batang. Penyakit gingiva dihubungkan
dengan peningkatan jumlah spirochetes dan batang bergerak.
Formasi poket dimulai dari inflamasi di dinding jaringan ikat sulkus gingiva yang disebabkan bakteri plak.
Sel dan eksudat cairan inflamasi menyebabkan degenerasi sekitar jaringan ikat, termasuk serabut gingiva.
Sebagai akibat kehilangan kolagen, bagian apikal epithelium junction berproliferasi sepanjang akar, pemanjangan
seperti proyeksi dua atau tiga jari.
Bagian korona epithelium junction melepaskan/memisahkan dari akar sebagai migrasi bagian apikal. Sebagai hasil
inflamasi, polymorfonuklear neutrofil (PMNs) menginvasi ujung korona epithelium junction dalam meningkatkan
jumlahnya. PMNs tidak bergabung satu sama lain atau sisa dari epithelium desmosom.
Perpanjangan epithelium junction sepanjang akar membutuhkan sel epitelial yang sehat. Ditandai dengan degenerasi
atau nekrosis epithelium junctional memperlambat daripada mempercepat pembentukan poket.
Derajat infiltrasi leukosit epithelium junctional bebas dari volume inflamasi jaringan ikat, sehingga proses ini dapat
terjadi pada gingiva dengan hanya sedikit gejala inflamasi klinik.
Dengan meneruskan inflamasi, gingiva meningkatkan bagian terbesar, dan puncak margin gingiva memperpanjang
ke mahkota. Epithelium junction melanjutkan migrasi sepanjang akar dan memisahkannya. Epithelium dinding
lateral poket berproliferasi ke dalam bentuk bulat, seperti pemanjangan
kawat (cord-like extendsions) ke dalam inflamasi jaringan ikat. Leukosit dan edema dari inflamasi jaringan ikat
berinflitrasi ke lapisan epithelium poket, menghasilkan berbagai derajat degenerasi dan nekrosis.
Plak Inflamasi gingiva Formasi poket formasi lebih banyak plak.
2.1.4 Histopatologi
Korelasi Gejala Klinik dan Gejala Histopatologi Poket Periodontal
Gejala Klinik
1.
Dinding gingiva
Gejala Histopatologi
poket
periodontal
ada
gingiva
licin; dan
dan
sekitar
jaringan;
halus,
dan degenerasi.
Pada
beberapa
kasus
fibrotik
berubah
hati.
walaupun
penampilan
eksternal
sehat,
menyakitkan.
penipisan
dan
dekat
dan
degenerasi
dengan
tertutup
1. Area relatif pasif, menunjukkan permukaan yang relatif datar dengan sedikit
cekungan dan tumpukan. Kadang-kadang sel berbayang .
Karies akar bisa menyebabkan pulpitis, sensitifitas terhadap manis dan perubahan suhu, atau sakit berat. Karies akar
mungkin penyebab sakit gigi pada pasien dengan penyakit periodontal dan tidak ada bukti kerusakan korona.
Karies sementum membutuhkan perhatian khusus ketika poket diobati. Nektrotik sementum harus dihilangkan
dengan scalling dan root planing sampai permukaan akar kuat tercapai, juga bila memerlukan pemanjangan sampai
dentin.
Sementum yang terpapar (terekspos) bisa mengabsorbsi kalsium, phosphorus, dan fluoride dari lingkungan lokalnya,
membuat mungkin perkembangan lapisan kalsifikasi tinggi yang resisten terhadap kebusukan. Kemampuan
sementum ini untuk mengabsorpsi substansi dari lingkungannya bisa membahayakan jika material yang diabsorpsi
toksik.
Perubahan sitotoksik. Penetrasi bakteri ke dalam sementum bisa ditemukan sedalam sementodentinal junction. Lagi
pula, produk bakteri seperti endotoksin juga sudah dideteksi di dalam dinding sementum poket periodontal.
Zona di bawah ini dapat ditemukan di dasar poket periodontal:
3. Zona of unattached plaque yang mengelilingi plak terikat dan memperluas secara apikal.
4. Zona dimana epitelium junction terikat ke gigi. Pemanjangan zona ini, dimana normal sulci lebih dari 500
m, biasanya direduksi dalam poket periodontal kurang dari 100 m.
Poket periodontal melewati periode kepasifan dan pembusukan. Periode kepasifan dicirikan oleh
pengurangan respon inflamasi dan sedikit atau tidak ada kehilangan tulang dan ikatan jaringan ikat. Penambahan
plak tidak terikat, dengan gram-negatifnya, motil, dan bakteri anaerob, memulai periode pembusukan dimana tulang
dan ikatan jaringan ikat hilang dan poket mendalam. Periode ini dapat berakhir dan diikuti secepatnya oleh periode
remisi atau pembusukan dimana gram-positif bakteri berproliferasi dan kondisi lebih stabil.
2.1.7 Sisi Spesifisiti
Penghancuran periodontal tidak terjadi di semua bagian mulut pada waktu yang sama, tetapi beberapa gigi pada
waktu yang sama atau hanya beberapa aspek beberapa gigi bagaimanapun waktunya. Ini disebut sebagai sisi
spesifisiti penyakit periodontal. Oleh karena itu, kerasnya periodontal meningkat oleh (1) perkembangan tempat
penyakit baru dan/atau (2) peningkatan kerusakan tempat yang ada.
2.1.8 Perubahan Pulpa Terkait Poket Periodontal
Perluasan infeksi dari poket periodontal bisa menyebabkan perubahan patologi dalam pulpa. Keterlibatan pulpa
dalam penyakit periodontal terjadi melalui, baik foramen apikal atau lateral kanal di akar setelah infeksi meluas dari
poket melalui ligamen periodontal.
2.1.9 Keterikatan antara Kehilangan Perlekatan dan Kehilangan Tulang terhadap Kedalaman Poket
Formasi poket menyebabkan kehilangan ikatan gingiva dan penggundulan permukaan akar. Kehilangan ikatan yang
berat secara umum, tetapi tidak selalu berhubungan dengan kedalaman poket. Ini karena derajat kehilangan ikatan
(pengunduran) tergantung lokasi dasar poket di atas permukaan akar, padahal kedalaman jarak antara dasar poket
dan puncak gingiva. Kedalaman poket yang sama dapat dihubungkan dengan perbedaan tingkat kehilangan ikatan
dan kedalaman poket berbeda bisa di hubungkan dengan jumlah yang sama kehilangan ikatan.
Kehilangan tulang berat umumnya dihubungkan dengan kedalaman poket, tetapi tidak selalu. Kehilangan tulang
yang luas bisa dihubungkan dengan poket dangkal, dan kehilangan tulang tipis/sedikit bisa terjadi dengan poket
yang dalam.
2.1.10 Daerah antara Dasar Poket dan Tulang Alveolar
Secara normal jarak antara epitelium junction dan tulang alveolar konstan secara relatif. Jarak antara kalkulus bawah
dan puncak alveolar dalam poket periodontal manusia paling konstan, mempunyai rata-rata panjang 1,97 mm
33,16%.
Jarak dari ikatan plak ke tulang tidak pernah kurang dari 0,5 mm dan tidak pernah lebih dari 2,7 mm. Penemuan ini
menganjurkan bahwa aktivitas resorpsi tulang diinduksi oleh bakteri didesak dalam jarak ini.
1. Perluasan infeksi dari poket periodontal yang dalam ke dalam jaringan periodontal pendukung dan
lokalisasi proses inflamasi supuratif sepanjang aspek lateral akar.
2. Perluasan lateral inflamasi dari permukaan dalam poket periodontal ke dalam jaringan ikat dinding poket.
Hasil lokalisasi abses ketika drainase ke dalam ruang poket lemah.
3. Di dalam poket yang menggambarkan saluran akar yang berliku-liku, abses periodontal bisa membentuk
kul-de-sak, akhir yang dalam dimana tertutup dari permukaan.
4. Penghilangan kalkulus yang tidak lengkap selama pengobatan poket periodontal. Pada contoh ini, dinding
gingiva menyusut, termasuk lubang poket, dan abses periodontal terjadi tertutup bagian poket.
5. Abses periodontal bisa terjadi di dalam ketidakhadiran penyakit periodontal setelah trauma gigi atau
perforasi dinding lateral akar dalam terapi endodontik.
Periodontal abses diklasifikasikan berdasarkan lokasi sebagai berikut:
1. Abses di dalam jaringan periodontal pendukung, sepanjang aspek lateral akar. Pada kondisi ini umumnya ada
sinus di di dalam tulang yang memperpanjang dari abses ke permukaan eksternal.
2. Abses di dalam dinding jaringan lunak kedalaman poket periodontal.
Secara Mikroskopi, abses lokal berakumulasi aktif dan nekrotik PMNs dalam dinding poket periodontal. Leukosit
mati melepaskan enzim yang dicerna sel-sel dan struktur-struktur jaringan lain, membentuk produk cair yang
diketahui sebagai pus, yang merupakan pusat abses. Reaksi inflamasi akut sekitar area purulen, dan epitelium
menunjukan intraseluler dan ekstraseluler edema dan invasi leukosit.
Abses akut lokal menjadi abses kronik ketika purulennya mengandung saluran melalui fistula ke dalam permukaan
gingiva luar atau ke dalam poket periodontal.
Invasi bakteri jaringan telah disebutkan di dalam abses, invasi organisme diidentifikasi sebagai gram negatif cocci,
diplococci, fusiform, dan spirochetes. Invasi fungi juga ditemukan dan diinterpretasikan sebagai penginvasi
opportunis.
2.1.13 Kista Periodontal
Kista periodontal adalah lesi tidak umum yang menghasilkan kerusakan lokal jaringan periodontal sepanjang
permukaan lateral, paling sering di mandibular daerah caninus-premolar.
Di bawah ini kemungkinan etiologi telah disebutkan:
1. Kista odontogenik disebabkan oleh proliferasi epitelial istirahat Malassez; stimulus inisiasi aktivitas seluler
tidak diketahui.
Tinggi dan kepadatan tulang alveolar pada keadaan normal memiliki keseimbangan antara besarnya
pembentukan dan resorpsi yang diatur oleh faktor sistemik dan faktor lokal. Saat nilai resorpsi lebih besar dari nilai
pembentukan tulang, tinggi dan kepadatan tulang alveolar dapat menurun.
2.2.1 Kerusakan Tulang Akibat Inflamasi Gingiva yang Meluas
Penyebab utama kerusakan tulang pada penyakit periodontal adalah perluasan inflamasi marginal gingiva
ke jaringan penyokong. Invasi dari inflamasi gingiva ke permukaan tulang dan permulaan dari kehilangan tulang
merupakan ciri utama transisi dari gingivitis ke periodontitis.
Periodontitis selalu didahului oleh gingivitis, sedangkan tidak semua gingivitis berkembang menjadi
periodontitis. Faktor yang menyebabkan perluasan inflamasi ke jaringan penyokong dan menginisiasi perubahan
gingivitis menjadi periodontitis belum diketahui, namun dikaitkan dengan komposisi bakterial yang terdapat pada
plak. Pada penyakit periodontal yang parah, kandungan bakteri yang bergerak (motile) dan spirochaeta meningkat
sedangkan bakteri kokus dan batang berkurang.
Perluasan inflamasi dikaitkan pula dengan potensi pathogenik dari plak, resistensi host, termasuk pula
reaksi imunologi manusia, dan reaksi-reaksi jaringan seperti derajat fibrosis gingiva, luas attached gingiva,
fibrogenesis dan osteogenesis yang reaktif. Sistem fibrin-fibrinolitik disebut sebagai walling off dari peningkatan
lesi.
2.2.2 Histopatologi
Inflamasi gingiva meluas sepanjang bundel serat kolagen dan menyebar mengikuti jalur blood vessel
menuju tulang alveolar. Pada regio molar, inflamasi dapat meluas ke sinus maksilaris dan mengakibatkan penebalan
sinus mukosa.
Pada bagian interproksimal, inflamasi menyebar ke jaringan ikat longgar di sekitar pembuluh darah melalui
serat-serat, lalu menyebar ke tulang melalui saluran pembuluh lalu memperforasi puncak septum interdental di
tengah-tengah puncak alveolar, lalu menyebar ke sisi-sisi septum interdental. Jarang tejadi inflamasi yang menyebar
langsung ke tulang menemui ligamen periodontal. Pada bagian fasial dan lingual, inflamasi gingiva menyebar
melalui lapisan periosteal luar pada tulang dan berpenetrasi melalui pembuluh darah.
Setelah inflamasi mencapai tulang, inflamasi menyebar ke dalam ruangan kosong dan mengisi ruangan
tersebut dengan leukosit, cairan eksudat, pembuluh darah yang baru, dan memploriferasi fibroblast. Jumlah
multinuklear osteoklast dan mononuklear fagositosis meningkat lalu lapisan tulang menghilang, diganti dengan
lakuna.
2.2.3 Mekanisme Kerusakan Tulang
Faktor yang berpengaruh pada kerusakan tulang adalah bakteri dan host (pada penyakit periodontal).
Produk bakterial plak meningkatkan diferensiasi sel progenitor tulang menjadi osteoklas dan merangsang sel gingiva
untuk mengeluarkan suatu mediator yang memicu terjadinya hal tersebut. Produk plak dan mediator inflamasi untuk
menghambat kerja dari osteoblast dan menurunkan jumlah sel-sel tersebut. Jadi, aktivitas resorpsi tulang meningkat,
sedangkan proses pembentukan tulang terhambat sehingga terjadilah kehilangan tulang.
2.2.4 Pola Kerusakan Tulang
2.2.4.1 Hilangnya tulang secara horizontal
Hilangnya tulang secara horizontallah yang paling sering dijumpai. Tulang alveolar berkurang tingginya,
margin tulang berbentuk horizontal atau agak miring. Resopsi tulang pada pola ini terjadi karena adanya aktivitas
yang sama besar pada semua bagian tulang. Sehingga kerusakan sama rata, dan cacat yang terbentuk adalah puncak
alveolar yang datar.
2.2.4.2 Cacat tulang pada tulang alveolar
Cacat ini dijumpai pada septum interdental maupun permukaan tulang sebelah luar (oral atau vestibular).
2.2.4.3 Cacat tulang pada septum interdental
Adanya cacat tulang ini dapat dilihat secara radiografis, tetapi paling jelas diketahui dengan mengadakan
probing sewaktu diadakan pembukaan flap dalam prosedur operatif. Cacat tulang pada septum interdental ini adalah
1. Crater (cupping)
Cacat tulang ini merupakan kavitas pada crest septum interdental yang dibatasi oleh dinding oral dan vestibular dan
kadang-kadang dijumpai antara permukaan gigi dengan vestibular atau dasar mulut
2. Infrabony
Cacat tulang ini dapat bermacam-macam tergantung pada jumlah dinding tulangnya.
2.2.4.4 Cacat Tulang Alveolar Pada Permukaan Oral atau Vestubular
Cacat tulang pada permukaan luar (oral atau vestibular)ini sangat bervariasi, diantaranya adalah:
1. Kontur tulang yang bulbous
Kontur tulang yang bulbous biasanya disebabkan adanya eksositosis atau terbentuknya pilling.
2. Hemisepta
Sedangkan hemisepta akan menunjukkan adanya bagian interdental septum yang rusak sepanjang penyakit.
Bagian yang rusak ini dapat terjadi pada bagian mesialnya ataupun bagian distalnya.
3. Margin Tulang inkonsisten
Bentuk margin tulang yang inkonsisten merupakan cacat tulang angular atau terbentuk U pada permukaan oral
atau vestibular. Pada agambaran radoografik hal ini akan sukar diketahui oleh oleh karena terrindih oleh
gambaran gigi atau gambaran tulang lainnya.
4. Ledge
Bentuk ledges terlihat sebagai penonjolan kecil dan rata akibat adanya bony plato yang tebal mengalami
resopsi.
5. Spine
Cacat tuang spine menunjukkan adanya penonjolan tulang yang tajam
6. Margin tulang terbalik
Bentuk margin tulang terbalik maksudnya pincak crest alveolar yang tertinggi terdapat di pertengahan gigi.
2.2.4.5 Cacat Furkasi
Cacat furkasi juga dapat dikelompokkan menurut derajat kerusakan tulang di daerah furkasi yang diukur
pada bidang horizontal. Cacat furkasi ini diklasifikasikan menjadi 3 kelas, yaitu:
1. Kelas 1
Disebut juga cacat tahap awal. Merupakan cacat yang berpenetrasi kurang dari 2mm ke arah furkasi.
2. Kelas 2
Merupakan cacat dimana kerusakan tulang lebih dari 2 mm ke arah interradikular, tetapi tidak semua daerah
furkasi sehingga ada sebuah aspek tulang yang tetap utuh.
3. Kelas 3
Merupakan cacat yang sedemikian rupa sehingga sebagian besar tulang interradikular sudah rusak, dan sonde
dapat dimasukkan melewati dearah antara akar-akar gigi dari salah satu sisi ke sisi lainnya.
2.3 Periodontitis Kronis
Periodontitis kronis merupakan penyakit dengan tipe progresif yang lambat. Dengan adanya faktor
sistemik, seperti diabetes, perokok, atau stress, progres penyakit akan lebih cepat karena faktor tersebut dapat
merubah respon host terhadap akumulasi plak.
2.3.1 Karakteristik Umum
Karakteristik yang ditemukan pada pasien periodontitis kronis yang belum ditangani meliputi akumulasi
plak pada supragingival dan subgingival, inflamasi gingiva, pembentukan poket, kehilangan periodontal attachment,
kehilangan tulang alveolar, dan kadang-kadang muncul supurasi.
Pada pasien dengan oral hygiene yang buruk, gingiva membengkak dan warnanya antara merah pucat
hingga magenta. Hilangnya gingival stippling dan adanya perubahan topografi pada permukaannya seperti menjadi
tumpul dan rata (cratered papila).
Pada banyak pasien karakteristik umum seringkali tidak terdeteksi, dan inflamasi hanya terdeteksi dengan
adanya pendarahan pada gingiva sebagai respon dari pemeriksaan poket periodontal.
Kedalaman poket bervariasi, dan kehilangan tulang secara vertikal maupun horizontal dapat ditemukan.
Kegoyangan gigi terkadang muncul pada kasus yang lanjut dengan adanya perluasan hilangnya attachment dan
hilangnya tulang.
Periodontitis kronis dapat didiagnosis dengan terdeteksinya perubahan inflamasi kronis pada marginal
gingiva, adanya poket periodontal dan hilangnya attachment secara klinis.
2.3.2 Penyebaran Penyakit
Periodontitis kronis biasanya merupakan penyakit yang spesifik pada suatu tempat yang terakumulasi plak.
Periodontitis kronis dijelaskan sebagai localized dan generalized.
1) Localized periodontitis
Kurang dari 30% tempat terkena abses pada mulut yang menunjukan
hilangnya attachment dan tulang.
2) Generalized periodontitis
Rasa nyeri kemungkinan muncul pada gigi tanpa karies yang disebabkan oleh akar yang sensitif pada
panas, dingin, atau keduanya. Area atau tempat yang terlokalisir sedikit nyeri, kadang-kadang merambat jauh pada
rahang biasanya dihubungkan dengan periodontitis. Adanya area yang terimpaksi oleh makanan menambah
ketidaknyamanan pada pasien.
2.3.5 Progres Penyakit
Pasien memiliki kemungkinan terkena periodontitis kronis yang sama sepanjang hidup. Kecepatan progresi
biasanya lambat tetapi dapat dimodifikasi oleh sistemik, lingkungan, dan perilaku. Awal pembentukan periodontitis
dapat terjadi kapanpun, tetapi tanda awal biasanya dapat terdeteksi selama masa remaja pada akumulasi plak dan
kalkulus. Periodontitis kronis secara klinis menjadi signifikan pada umur pertengahan-tiga puluhan atau lebih.
Beberapa model yang menjelaskan tentang progres penyakit. Pada model, progresi diukur oleh jumlah
hilangnya attachment.
Periodontitis merupakan penyakit yang disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor utama terjadinya
periodontitis adalah terdapatnya akumulasi plak pada gigi dan gingival. Ada beberapa faktor yang ikut berkontribusi
dalam peningkatan resiko terjadinya penyakit, antara lain:
1) Faktor lokal.
Akumulasi plak pada gigi dan gingival pada dentogingival junction merupakan awal inisiasi agen pada etiologi
periodontitis kronis. Bakteri biasanya memberikan efek lokal pada sel dan jaringan berupa inflamasi.
2) Faktor sistemik
Kebanyakan periodontitis kronis terjadi pada pasien yang memiliki penyakit sistemik yang mempengaruhi
keefektivan respon host. Diabetes merupakan contoh penyakit yang dapat meningkatkan keganasan penyakit
ini.
3) Lingkungan dan perilaku
Merokok dapat meningkatkan keganasan penyakit ini. Pada perokok, terdapat lebih banyak kehilangan
attachment dan tulang, lebih banyak furkasi dan pendalaman poket. Stres juga dapat meningkatkan prevalensi
dan keganasan penyakit ini.
4) Genetik
Biasanya kerusakan periodontal sering terjadi di dalam satu keluarga, ini kemungkinan menunjukkan adanya
faktor genetik yang mempengaruhi periodontitis kronis ini.
2.4 Periodontitis Agresif
Periodontitis agresif biasanya menyerang secara sistemik pada individu sehat yang berumur kurang dari 30
tahun. Periodontitis agresif dibedakan dengan periodontitis kronis berdasarkan onset usia, kecepatan progresi, sifat
dan komposisi kumpulan mikroflora gingiva, perubahan respon imun host dan agregasi keluarga dari penyakit
individu.
Periodontitis agresif menggambarkan tiga penyakit. Penyakit tersebut adalah localized aggressive
periodontitis, generalized aggressive periodontitis, dan rapidly progressive periodontitis (RPP).
2.4.1 Localized Aggressive Periodontitis
2.4.1.1 Latar Belakang
Pada tahun 1923 Gottlieb melaporkan seorang pasien dengan kasus fatal influenza epidemik. Gottlieb
menyebut penyakit itu sebagai difuse atrophy of the alveolar bone. Pada tahun 1928, Gottlieb mengganggap
kondisi ini disebabkan oleh inhibisi pembentukan sementum yang terus menerus.
Pada tahun 1938, Wannenmacher menyebut penyakit tersebut sebagai parodontitis marginalis
progressiva. Pada akhirnya, tahun 1966, world workshop in periodontics menyimpulkan konsep periodontosis
sebagai suatu gambaran degeneratif yang tidak perlu dikonfirmasi dan istilah itu harus dihilangkan dari nomenklatur
periodontal.
Istilah Juvenile periodontitis telah diperkenalkan oleh Chaput dan para kolega di tahun 1967 dan oleh
Butler pada tahun 1969. Pada tahun 1971, Baer mendefinisikan ini sebagai suatu penyakit pada periodontium yang
terjadi pada remaja sehat dengan karakteristik kehilangan tulang alveolar yang sangat cepat. Pada tahun 1989, word
workshop clinical periodontics mengkategorikan penyakit ini sebagai localized juvenile periodontitis (LPJ),
termasuk sub dari klasifikasi besar dari early-onset periodontitis (EOP). Sekarang, penyakit penyakit dengan
karakteristik LPJ berubah nama menjadi localized aggressive periodontitis.
2.4.1.2 Tanda-tanda Klinis
Localized aggressive periodontitis (LAP) biasanya mempunyai onset pada usia masa pubertas atau remaja.
Tanda-tanda klinisnya yaitu terlokalisasi pada gigi molar pertama atau incisivus dan hilangnya perlekatan
interproksimal paling sedikit pada dua gigi permanen, satu pada gigi molar pertama dan melibatkan tidah lebih dari
dua gigi selain dari gigi molar pertama dan incsivus. Kemungkinan alasan batas kerusakan jaringan periodontal dan
gigi yaitu :
(gigi
molar
actinomycetemcomitans
pertama
dan
menghindari
incisivus),
pertahanan
Actinobacillus
host
dengan
dianggap terjadi pada tahap destruktif dimana perlekatan tulang hilang dengan aktif. Pada beberapa kasus, jaringan
gingiva dapat terlihat berwarna pink, bebas inflamasi, kadang-kadang dengan beberapa tingkatan stippling. Poket
yang dalam dapat terlihat dengan pemeriksaan. Beberapa pasien GAP dapat memiliki manifestasi sistemik seperti
penurunan berat badan, depresi mental dan malaise.
2.4.2.2 Gambaran Radiografik
Gambaran radiografik pada GAP yaitu hilangnya tulang dari sedikit gigi sampai menyerang sebagian besar
gigi. Perbandingan radiografik yang diambil pada waktu berbeda, menunjukan keagresifan penyakit ini. Page et al
menjelaskan suatu sisi pada pasien GAP yang menunjukan adanya kerusakan sekitar 25%-60% selama periode 9
minggu, menunjukan kehilangan tulang yang ekstrim tetapi di lain sisi pada pasien yang sama, menunjukan tidak
adanya kehilangan tulang.
2.4.2.3 Prevalensi dan Distribusi Bedasarkan Umur dan Jenis Kelamin
Pada suatu di Sri Lanka, 8% dari populasi mempunyai penyakit periodontal rapid progression, dengan
karakteristik hilangnya perlekatan sekitar 0,1-1 mm per tahun. Survey nasional A.U.S terhadap remaja usia 14-17
tahun melaporkan bahwa 0,13% terserang GAP. Selain itu juga, orang kulit hitam mempunyai resiko terjangkit lebih
tinggi dibandingkan orang kulit putih untuk semua bentuk periodontitis agresif, dan remaja laki-laki juga
mempunyai resiko lebih tinggi dari pada remaja perempuan.
2.4.3 Faktor Resiko Terjadinya Periodontitis Agresif
2.4.3.1 Faktor Mirobiologi
Meskipun beberapa mikroorganisme spesifik seringkali terdeteksi pada pasien localized aggressive
periodontitis (A.actinomycetemcomitans, Capnocytophaga spp., Eikenella corrodens, Prevotella intermedia dan
Campylobacter rectus). A.actinomycetemcomitans disebutkan sebagai patogen primer. Seperti yang disimpulkan
oleh Tonetti dan Mombelli:
3.
yang
meningkat
secara
signifikan
terhadap
A.actinomycetemcomitans.
4. Adanya hubungan antara pengurangan beban di subgingival oleh
A.actinomycetemcomitans selama pengobatan dan kesuksesan respon
klinis.
5. A.actinomycetemcomitans menghasilkan sejumlah faktor virulen yang dapat
memberikan pengaruh terhadap proses penyakit.
Flora yang menyerang secara morfologi campuran namun sebagian besar oleh bakteri gram negatif,
meliputi kokus, batang, filamen, dan spirochetes. Beberapa jaringan terserang mikroorganisme yang telah
diidentifikasi sebagai A.actinomycetemcomitans, Capnocytophaga sputigena, Mycoplasma sp., dan spirochetes.
2.4.3.2 Faktor Imunologi
Beberapa kerusakan imun mempunyai hubungan dengan patogenesis penyakit periodontitis. Human
leukocyte antigens (HLAs), yang mengatur respon imun, telah dipertimbangkan sebagai tanda untuk periodontis
agresif. Meskipun HLAs tidak konsisten, antigen HLA A9 DAN B15 konsisten berhubungan dengan periodontis
agresif.
Beberapa investigasi, menunjukan bahwa pasien dengan periodontitis agresif menggambarkan kerusakan
fungsional polymorphonuclear leukocytes (PMNs), monocyt, atau keduanya. Kerusakan ini dapat dilemahkan
dengan aktifitas kemotaksis dari PMNs pada tempat yang terinfeksi atau dengan kemampuan fagositosit dan
membunuh organisme. Penelitian saat ini juga diperlihatkan suatu hipersensitifitas monosit dari pasien LAP yang
melibatkan produksi prostaglandin E2 (PGE2) mereka saat merespon lipopolisakarida (LPS). Hiperresponsif fenotip
ini dapat mengawali peningkatan hilangnya jaringan ikat dan tulang yang disebabkan oleh produksi yang berlebihan
faktor katabolik.
Sistem imun mempunyai peranan penting dalam periodontitis agresif sistemik, menurut Anusaksathien dan
Dolby, orang yang menemukan antibodi pada host yaitu kolagen, deoxiribonucleic acid (DNA) dan IgG. Mekanisme
imun yang mungkin meliputi peningkatan aktifitas major histocompaibility complex (MHC) molekul kelas II, HLA,
DR4, suppresor fungsi sel T, aktifasi polyclonal sel B oleh mikroba plak dan predisposisi genetik.
2.4.3.3 Faktor Genetik
Hasil penelitian menyatakan bahwa semua individu tidak memiliki kemungkinan yang sama terkena
periodontitis agresif. Secara spesifik dideskripsikan bahwa faktor genetik memiliki implikasi dalam periodontitis
agresif. Saat ini, gen spesifik yang merespon penyakit ini belum dapat diidentifikasikan.
Kerusakan imunologi yang berhubungan dengan periodontitis agresif dapat diturunkan secara genetik.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa respon antibodi terhadap patogen periodontal, termasuk A.
actinomycetemcomitans di bawah kontrol genetik. Jumlah dari antibodi protektif (terutama IgG2) tergantung dari
ras.
2.4.3.4 Faktor Lingkungan
Jumlah dan lamanya merokok merupakan variabel yang penting yang berpengaruh terhadap kerusakan
pada dewasa muda. Pasien penyakit generalized aggressive periodontitis yang mempunyai kebiasaan merokok
memiliki lebih banyak gigi yang terserang dan hilangnya perlekatan klinis yang lebih besar dibandingkan pasien
GAP yang tidak merokok.
2.5 Periodontitis Ulseratif Nekrosis
Necrotizing Ulcerative Periodontitis (NUP) merupakan perpanjangan dari NUG ke struktur periodontal. Di
sisi lain, NUP dan NUG merupakan penyakit yang berbeda. Hingga perbedaan antara NUG dan NUP dapat
dinyatakan diterima atau tidak diterima dianjurkan bahwa NUG dan NUP diklasifikasikan bersama di bawah
kategori necrotizing periodontal disease walaupun dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda.
2.5.1 Karakteristik NUP
Secara spesifik banyak kasus NUP disebutkan pada pasien immuno-compromised, khususnya pada mereka
yang mengidap HIV positif atau yang memiliki AIDS. Klasifikasi kembali NUP dan NUG pada tahun 1999
termasuk pemisahan diagnosis dibawah klasifikasi Necrotizing Ulcerative Periodontal disease. Perbedaan antara
kedua kondisi tersebut sebagai penyakit yang berbeda belum diklasifikasi. Namun mereka dibedakan berdasarkan
ada atau tidak adanya kehilangan attachment dan tulang.
2.5.1.1 Gambaran Klinik
Sama dengan NUG, kasus klinis NUP ditunjukan oleh nekrosis dan ulserasi pada bagian mahkota dari
papila interdental dan margin gingival dengan rasa nyeri dan mudah berdarah. Ciri khas yang membedakan NUP
yaitu progresi kerusakan penyakit termasuk hilangnya periodontal attachment dan tulang. Akan tetapi poket
periodontal dengan pemeriksaan yang dalam tidak ditemukan dikarenakan ulseratif dan nekrosis pada lesi gingival
menghancurkan epitelium marginal dan jaringan ikat, yang menghasilkan resesi gingiva. Lesi NUP yang
berkelanjutan mengakibatkan hilangnya tulang, pergerakan gigi, dan akhirnya kehilangan gigi. Manifestasi intraoral
pada kasus ini biasanya adalah demam, oral malodor, malaise, atau lymphadenopathy.
2.5.1.2 Gambaran Mikroskopis
Dalam mikroskopik elektron plak mikroba menutupi nekrotik papila gingival, menemukan kemiripan
histologi yang mencolok antara NUP pada pasien HIV positif dan lesi NUG pada pasien non-HIV. Pemeriksaan
mikroskopik menunjukkan permukaan biofilm terdiri dari campuran flora mikroba dengan perbedaan morpho-type
dan permukaan flora degan kumpulan spirochetes (bacterial zone). Di bawah lapisan bakteri adalah kumpulan
PMNs (neutrofil rich-zone) yang padat dan sel nekrotik (necrotic zone).
2.5.2 NUP pada HIV/AIDS
Lesi gingival dan periodontal dengan ciri yang khas sering ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV dan
AIDS. Banyak dari lesi ini yang memiliki manifestasi inflamasi periodontal yang tidak biasa dan mengarah ke
infeksi HIV dan pasien yang dinyatakan immunocompromised. NUG dan NUP adalah kondisi yang paling sering
dialami oleh pasien-pasien yang mengidap HIV .
Lesi NUP yang ditemukan pada pasien HIV positif menunjukan ciri-ciri khas yang mirip dengan yang
nampak pada pasien HIV negatif. Di sisi lain, lesi NUP pada pasien HIV-positif dapat lebih membahayakan dan
lebih banyak komplikasi dibanding dengan pasien HIV negatif. Bentuk nekrosis periodontitis tampak lebih
menonjol dan lebih parah pada pasien dengan immunosupression.. Glick et al, menemukan hubungan korelasi yang
tinggi antara diagnosis NUP dan immunosupression pada pasien HIV positif. Pasien tersebut menunjukan NUP 20.8
kali lebih mungkin memiliki CD4+ dibawah 200 cells/mm dibandingkan dengan pasien HIV positif tanpa NUP.
2.5.3 Etiologi NUP
Etiologi dari NUP belum ditentukan, walaupun campuran bakteri fusiform-spirochete dianggap memegang
peran utama. Banyak faktor predisposisi yang menyebabkan NUG, termasuk kebersihan oral yang rendah, penyakit
periodontal sebelumnya, merokok, infeksi virus, status immunocompromised, stress psikososial dan malnutrisi.
2.5.3.1 Flora Mikroba
Murray et al melaporkan bahwa kasus NUP pada pasien HIV-positif menunjukkan terdapat banyaknya
Candida albicans dan prevalensi lebih tinggi dari Actinobacillus actinomycetemcomitans,Prevotella intermedia,
Porphyromonas gingivalis, Fusobacterium nucleatum, dan Campylobacte dibandingkan dengan HIV negatif.
Mereka melaporkan tingkatan yang rendah dari spirochetes, yang tidak konsisten dengan flora pada NUG. Mereka
juga berpendapat bahwa flora lesi NUP HIV-positif sebanding dengan lesi periodontitis kronik klasik sehingga
mendukung konsep mereka bahwa periodontitis nekrosis pada pasien HIV-positif adalah manifestasi agresif
periodontitis kronis pada host yang immunocompromised.
Berbeda dengan temuan ini, Cobb et al melaporkan bahwa komposisi mikroba NUP lesi pada pasien HIVpositif sangat mirip dengan lesi NUG, seperti yang dibahas sebelumnya. Mereka menggambarkan campuran flora
mikroba dengan berbagai morphotypes di 81,3% dari spesimen. Di bawah permukaan flora mikroba terdapat
kumpulan spirochetes di 87,5% dari spesimen.
2.5.3.2 Status Immunocompromised
Baik lesi NUG dan NUP lebih prevalensi pada pasien dengan tekanan sistem imun. Sejumlah penelitian,
terutama yang mengevaluasi HIV-positif dan pasien AIDS, mendukung konsep bahwa respon host berkurang pada
orang-orang yang didiagnosis terkena NUP. Dimana immunocompromised pada pasien yang terinfeksi HIV positif
ini didukung oleh kerusakan fungsi T-cell. Cutler et al menjelaskan kerusakan aktivitas bakterisida PMNs pada dua
anak yang mengidap NUP.
2.5.3.3 Stres Psikologi
Cohen-cole et al menyatakan bahwa mereka yang memiliki NUG memiliki tingkat kemarahan, tingkat
depresi, dan tingkat stres lebih besar. Walaupun peran stres dalam pengembangan NUP tidak dilaporkan secara
khusus banyak kesamaan antara NUG dan NUP akan menunjukkan bahwa hubungan serupa dengan stres mungkin
ada.
Mekanisme pengaruhi stres pada penderita NUP belum ditetapkan. Namun, diketahui bahwa stres
meningkatkan kortisol sistemik, dan peningkatan kortison dapat menurunkan sistem imun. Jadi stres akibat
imunosupresi dapat merusak respon host dan menyebabkan penyakit nekrosis periodontal.
2.5.3.4 Malnutrisi
Bukti langsung hubungan antara malnutrisi dan penyakit nekrosis periodontal terlihat pada infeksi nekrosis
pada beberapa anak yang mengalami malnutrisi. Lesi NUG tetapi dengan progresi menjadi gangreous stomatitis
atau noma tergambarkan pada anak-anak yang menderita malnutrisi. Pada tahap lebih lanjut, lesi NUG memanjang
dari gingiva ke beberapa area lain dari kavitas oral, menjadi gangrenous stomatitis (noma) dan menyebabkan
nekrosis, dan hilangnya tulang alveolar.
Malnutrisi dapat menyebabkan hilangnya resistensi host terhadap infeksi dan penyakit nekrotis.
Kekurangan nutrisi pada sel dan jaringan berakibat immunosupresi dan mudahnya terkena penyakit.
2.6 Patologi dan Penatalaksanaan Periodontal pada Pasien Terinfeksi HIV
2.6.1 Patogenesis
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) ditandai oleh penurunan yang jelas dari sistem imun.
Keadaan ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1981, dan suatu virus patogen, yakni virus human immunodefiency
virus (HIV), diidentifikasi pada tahun 1984. Kondisi ini awalnya dipercaya hanya terbatas di kalangan pria
homoseksual. Lebih lanjut, juga diidentifikasi pada pria dan wanita heteroseksual dan biseksual yang terlibat dalam
aktivitas seksual tak terlindungi atau pemakaian obat-obatan suntik. Saat ini, aktivitas seksual dan penggunan obatobatan merupakan cara penyebaran yang utama.
HIV mempunyai afinitas yang kuat untuk sel pada sistem imun, lebih spesifik kepada yang membawa
molekul reseptor permukaan sel CD4. Kemudian, yang membantu limfosit T (sel T4) cukup jelas terpengaruh,
namun monosit, makrofag, sel Langerhans, dan beberapa sel otak neuronal dan glial juga terlibat. Replikasi virus
terjadi secara berkelanjutan di jaringan limforetikular dari lymph nodes, spleen, gut-associated lymphoid cells, dan
makrofag.
Limfosit B tidak terinfeksi, tapi fungsi pengganti dari limfosit T4 yang terinfeksi menyebabkan disregulasi
sel B dan penggantian fungsi neutrofil.
Ini dapat menempatkan individu HIV positif pada resiko infeksi ganas dan disseminasi dengan
mikroorganisme seperti virus, mycobacterioses, dan mycoses. Individu HIV positif juga beresiko terhadap reaksi
berlawanan obat karena perubahan regulasi antigenik.
Sel epitel mukosa dapat terinfeksi dan mempermudah akses virus ke aliran darah. Banyak kejadian,
mengindikasikan jika penyebaran virus oral transmucosal terjadi setelah trauma dari membran mukosa. Ini
membuat infeksi sirkulasi pertahanan sel inang seperti limfosit, makrofag, dan sel dendrit.
HIV dideteksi hampir di seluruh cairan tubuh, meskipun ditemukan dalam jumlah besar hanya dalam darah,
semen, dan cairan serebrospinal. Penyebarannya terjadi di hampir secara eksklusif oleh kontak seksual, penggunaan
obat suntik terlarang, atau paparan pada darah atau produk darah. Penyebaran dengan gigitan manusia sempat
dilaporkan meskipun resikonya sangat rendah.
Populasi yang beresiko tinggi termasuk pria homoseksual dan biseksual, pengguna obat-obatan suntik
ilegal, orang dengan hemofilia atau kelainan koagulasi lainnya, penerima transfusi darah sebelum April 1985; bayi
dari ibu yang terinfeksi HIV (yang transmisinya terjasi karena transmisi fetal, saat melahirkan, atau ketika
menyusui); hubungan heteroseksual bebas; dan individu yang melakukan hubungan seks dengan orang yang HIV
positif. Penyebaran heteroseksual merupakan sebab AIDS yang paling umum dalam populasi dunia dan ini
bertambah secara signifikan di Amerika Serikat. Penyebaran lebih sering terjadi melalui kontak dengan individu
yang terinfeksi HIV dengan plasma bioload tinggi dari virus. Penyebaran HIV juga dilaporkan terjadi melalui
transplantasi organ dan inseminasi artifisal.
Beberapa minggu setelah exposure awal, beberapa pasien dapat mengalami beberapa gejala akut seperti
onset tiba-tiba dari penyakit mononucleus-like akut yang ditandai dengan malaise, kelelahan, demam, myalgia,
erupsi erythematous cutaneous, oral candidiasis, oral ulceration, dan trombositopenia.
Klasifikasi Kasus Pengawasan CDC:
Pasien AIDS dikelompokkan berdasarkan klasifikasi kasus pengawasan CDC (1993):
1. Kategori A: termasuk pasien dengan gejala akut atau penyakit simptomatik, bersamaan dengan individu dengan
generalized limfadenopati persisten, dengan atau tanpa malaise, kelelahan, atau demam tingkat rendah.
2. Kategori B: pasien yang memiliki kondisi simptomatik seperti oropharyngeal atau vulvovaginal candidiasis, oral
hairy leukoplakia, trombositopenia idiopatik, atau gejala konstitusional dari demam, diare, dan berkurangnya
berat badan.
3. Kategori C: pasien dengan AIDS, yang bermanifestasi oleh kondisi life-threatening atau diidentifikasikan melalui
level CD4+ limfosit T dibawah 200 sel/mm3.
Kategori tahapan CDC menunjukkan disfungsi imunologik yang progresif, namut pasien tidak mengalami progres
secara urut terhadap ketiga tahapan tersebut, dan perkiraan jumlah kategori ini tidak diketahui. Meskipun HAART
memberikan berbagai efek samping, banyak pusat perawatan AIDS tetap menggunakannya dengan memulai atau
melanjutkannya dengan terapi multi obat.
2.6.4 Manifestasi Oral dan Periodontal pada Infeksi HIV
Lesi oral seringkali ditemukan pada pasien yang terinfeksi HIV, walaupun faktor geografi dan lingkungan juga
mempengaruhi. Dari laporan yang ada mengindikasikan bahwa sebagian besar pasien HIV memiliki lesi pada kepala
dan leher, sedangkan lesi oral sangat umum terdapat pada individu yang positif terinfeksi HIV tetapi belum
menderita AIDS. Beberapa laporan telah mengidentifikasikan hubungan yang sangat kuat antara infeksi HIV dengan
oral candidiasis, oral hairy leukoplakia, atypical periodontal disease, oral Kaposis Sarcoma, dan oral nonHodgkin lymphoma.
Lesi oral yang memiliki sedikit hubungan kuat dengan infeksi HIV antara lain melanotic hyperpigmentation,
mycobacterial infection, necrotizing ulcerative stomatitis, miscellaneous oral oral ulceration, dan infeksi viral
( herpes simplex virus, herpes zoster, condyloma acuminatum). Lesi yang terdapat pada pasien HIV tetapi seringkali
tidak terdeteksi adalah infeksi viral (seperti CMV, molluscum contangiosum), recurrent aphthous stomatitis, dan
bacillary angiomatosis (epitheloid angiomatosis).
Oral Candidiasis
Candida, jamur yang ditemukan sebagai flora normal ronnga mulut, berproliferasi pada permukaan mukosa
oral pada kondisi tertentu. Faktor utama yang berhubungan dengan pertumbuhan yang berlebihan dari Candida
adalah berkurangnya resistensi dari host, seperti yang terlihat pada pasien yang lemah atau pasien yang menerima
terapi imunosupresi. Insidensi dari infeksi candida akan meningkat secara progresif dalam hubungannya dengan
menurunnya kompetensi imun.
Candidiasis adalah lesi oral yang paling umum pada HIV-infected dan ditemukan pada sekitar 90% penderita AIDS.
Biasanya terdapat satu dari empat presentasi klinis:
a. Pseodomembranus candidiasis
sensitive dan tidak sakit yang dapat segera dikikis dan diangkat dari
permukaan mukosa oral. Tipe ini sering terdapat pada palatum keras dan
lunak dan pada mukosa labial dan bukal.
b.
Erythematous
candidiasis,
pada mukosa bukal dan lidah. Tipe ini lebih sulit untuk dihilangkan
dibandingkan yang lainnya.
d. Angular cheilitis,
hifa
dan
yeast
dari
organisme tersebut.
penurunan
yang
signifikan
dari
insidensi
orofaringeal
imunodefisiensi dikarenakan kegagalan terapetik, kesalahan dalam mengkonsumsi obat sesuai resep, atau
mengurangi dosis obat untuk menurunkan efek samping obat. Perawatan OHL yang terlalu berlebihan biasanya
tidak diindikasikan. Bagaimanapun juga, lesi biasanya merespon terapi obat HIV atau penggunaan obat antivirus
seperti acyclovir atau valacyclovir. Lesi dapat seluruhnya dihilangkan dengan menggunakan laser atau pembedahan
konvensional. Juga terdapat penggunaan obat-obatan topikal seperti podophylin, retinoid, atau interferon.
Kaposis Sarcoma dan Keganasan Lainnya
Keganasan dalam rongga mulut lebih sering terjadi pada individu imunokompromis dibandingkan pada
populasi umum. Individu HIV-positif dengan non-Hodgkins lymphoma (NHL) atau Kaposis sarcoma (KS)
dikategorikan mengidap AIDS. Insidensi dari squamous cell carcinoma juga meningkat pada individu yang
terinfeksi HIV.
KS adalah keganasan dalam rongga mulut paling sering yang terdapat pada AIDS. Kaposis sarcoma (KS)
jarang terjadi, multifocal, neoplasma vascular. Baru-baru ini, strain baru dari herpes virus telah diidentifikasi sangat
berhubungan dengan terjadinya KS. Virus ini pada awalnya dinamakan KS-herpes virus tetapi sekarang ini lebih
dikenal sebagai human herpes virus-8 (HHV-8). HHV-8 telah dihubungkan dengan AIDS-related dengan AIDS-non
related KS. Walaupun begitu, individu yang terinfeksi HIV memiliki resiko 7000 kali lebih besar untuk terkena KS.
Walaupun virus ini virus ini dapat ditransmisikan secara seksual, virus ini juga dapat ditransmisikan dari ibu yang
terinfeksi kepada anaknya.
KS yang terdapat pada pasien terinfeksi HIV muncul dalam gambaran klinis yang berbeda-beda. Pada
individu ini, KS menjadi lesi yang lebih agresif dan mayoritas (71%) berkembang menjadi lesi pada mukosa
oral,terutama pada palatum dan gingival.
Pada stadium awal, lesi oral tidak sakit, macula berwarna ungu kemerah-merahan. Selama lesi berkembang,
lesi ini sering menjadi nodular dan dengan mudah menjadi sulit dibedakan dengan kesatuan vascular oral lainnya
seperti hemangioma, hematoma, varicosity, atau pyogenic ganuloma (ketika terjadi di gingival).
Lesi-lesinya bermanifestasi sebagai nodul, papula, atau macula nonelevated yang biasanya berwarna cokelat, ungu,
atau biru. Terkadang lesi ini dapat terlihat dalam pigmentasi normal. Diagnosis berdasarkan pemeriksaan histologis.
Secara mikroskopis KS terdiri dari empat komponen; (1)proliferasi sel endothelial dengan formasi dari saluran
vascular atypical;(2) extravascular hemorrhage dengan deposisi hemosiderin;(3) proliferasi sel spindle dalam
hubungannya dengan pembuluh atypical;(4) infiltrat inflamasi mononuclear yang terutama terdiri dari sel-sel
plasma.
Diagnosis diferensial dari oral KS termasuk granuloma pyogenicum, hemangioma, atypical hyperpigmentation,
sarcoidosis, bacillary angiomatosis, angiosarcoma, pigmented nevi, dan cat-scratch disease (kulit).
Pemberian HAART telah menurunkan insidensi dari KS. Bagaimanapun juga, lesi masih dapat ditemukan pada
individu imunokompromis yang hebat atau mereka yang tidak mengetahui status HIV-positif mereka. HHV-8 dapat
ditemukan lebih banyak pada saliva individu HIV-positif dengan jumlah sel CD4 yang lebih banyak, dapat
menunjukkan penyebaran virus pada tahap awal proses penyakit.
Penanganan oral KS antara lain agen antiretroviral, laser excision, cryotherapy,terapi radiasi, dan intralesional
injection dengan menggunakan vinblastine, interferon-, sclerosing agents, atau obat-obat kemoterapi lainnya.
Nichols dkk mengungkapkan keuntungan menggunakan injeksi intralesi dengan menggunakan vinblastine dengan
dosis 0.1 mg/cm2, 0.2 mg/ml solution sulfate dalam saline. Perawatan diulang dalam interval 2 minggu sampai
resolusi atau lesi stabil. Efek sampingnya adalah beberapa nyeri setelah perawatan dan kadang-kadang ulcerasi pada
lesi., tetapi secara umum, terapi sudah baik. Total resolusi yang didapat dalam 70% dari 82 lesi intraoral KS dengan
satu sampai enam kali perawatan. Lesi cenderung muncul kembali, bagaimanapun juga, mengindikasikan bahwa
perawatan harus tersedia untuk lesi oral KS yang mudah traumatisasi atau mengganggu pengunyahan atau
penelanan.
Bacillary (Epitheloid) Agiomatosis
Bacillary (epitheloid) angiomatosis (BA) adalah infeksi penyakit proliferasi vascular dengan gambaran
klinis dan histologis sangat mirip dengan KS. BA disebabkan oleh organism mirip ricketsia. Bartonellaclae
henselia, quintata, dan lainnya. Lesi kulit mirip dengan yang terlihat pada KS atau cat-scratch disease. Manifestasi
gingiva dari BA berupa lesi jaringan lunak yang edematous berwarna merah, ungu, atau biru yang dapat
menyebabkan kerusakan ligament periodontal dan tulang. Kondisi ini ebih sering terjadi pada individu HIV-positif
dengan level CD4 rendah.
Diferensiasi BA dari KS berdasarkan biopsy, yang menunjukkan proliferasi epiteloid dari sel angiogenik
ditambah adanya infiltrat sel inflamasi akut. Organisme penyebab pada spesimen biopsi terkadang bereaksi dengan
pewarna perak Warthen-Starry atau dengan menggunakan mikroskop electron.
Diagnosis banding untuk BA termasuk KS, angiosarcoma, hemangioma, granuloma pyogenicum, dan
proliferasi vascular nonspesifik. BA biasanya ditangani dengan menggunakan antibiotic spectrum luas seperti
erythromycin atau doxycycline. Lesi gingiva ditangani dengan menggunakan antibiotik bersama dengan terapi
periodontal konservatif dan mungkin eksisi lesi.
Oral Hyperpigmentation
Peningkatan insidensi oral hyperpigmentation telah dideskripsikan pada pasien HIV-infected. Area
pigmentasi oral sering muncul sebagai bintik (spot) atau bercak pada mukosa bukal, palatum, gingival, atau lidah.
Terkadang pigmentasi juga berhubungan dengan pemakaian obat-obatan yang berkepanjangan seperti zidovudine,
ketokonazole, atau clotazimine. Pigmentasi oral juga sebagai hasil dari insufisiensi adrenocorticoid yang diinduksi
oleh individu HIV-positif yang menggunakan ketokonazole yang berkepanjangan atau karena infeksi Pneumocyystis
carinii, CMV atau infeksi virus lainnya.
Atypical Ulcers
Ulserasi pada rongga mulut pada orang yang terjangkit HIV dapat mempunyai beragam etiologi termasuk
neoplasma seperti lymphoma, KS dan squamous cell carcinoma. Laporan kasus terbaru menyatakan bahwa HIVdiasosiasikan dengan neutropenia dapat juga menunjukan suatu ulcer. Neutropenia telah berhasil dilakukan dengan
menggunakan rekombinant human granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) dengan resolusi dihasilkan dari
Ulcer. Keganasan ulser yang berkepanjangan telah berhasil diatasi menggunakan prednisone dan thalidomide, obat
yang menghambat tissue necrosis factor alpha (TNF- ). Kekambuhan kemungkinan terjadi, jika obatnya dihentikan.
Herpes dapat melibatkan semua permukaan mucosal dan berkembang ke kulit dapat nampak selama berbulan
bulan. Pembesaran tidak teratur, persisten, nonspesifik, Ulcer yang menyakitkan terjadi pada seseorang yang
immunocompromised. Jika penyembuhan ditunda, luka ini dapat menjadi herpetic yang menetap atau luka aphthous.
Sejumlah bakteri dan infeksi viral dapat menghasilkan ulcer pada seseorang yang terjangkit HIV. Pada dasarnya,
seseorang yang immunocompromised beresiko dari penularan agen endemik pada lokasi geografis pasien. Ulser
tidak teratur atau tidak sembuh dapat memerlukan biopsi, kultur mikrobial, atau keduanya untuk menentukan
etiologi. Ulser telah digambarkan dalam hubungannya dengan organisme enterobacterial seperti Klebsiella
pneumonia, Enterobacter cloacea dan Escherichia coli. Infeksi tersebut adalah langka dan biasanya diasosiasikan
dengan pelibatan sistemik. Terapi antibiotik khusus adalah diindikasikan dan koordinasi dekat dari terapi mulut
dengan dokter pasien adalah biasanya diperlukan.
Herpes simplex virus (HSV), varicella-zoster virus (VZV), Epstein-Barr Virus (EBV) dan Cytomegalovirus (CMV)
adalah biasanya didapat kembali dari atypical ulcer, mengindikasikan kemungkinan peran etiologis. Baru baru ini,
atypical ulcer ditemukan dengan infeksi HSV dan CMV atau dengan EBV dan CMV. Ulcer ini dapat terjadi pada
seseorang yang neutropenic dalam hubungannya dengan infeksi HIV. Neutropenia dapat juga disebabkan oleh obat
seperti zidovudie, trimethoprim-sulfamethoxazoic dan gancyclovir. Ulcer tidak teratur dapat menjadi lebih keras dan
tahan lama pada seseorang yang rendah perhitungan sel CD4 dan adanya CMV mulut - disebabkan ulcer dapat
menjadi indikatif dari infeksi sistemik CMV.
Herpes labialis pada individual yang terjangkit HIV dapat menjadi responsif pada terapi antiviral topikal (sebagai
contoh., acyclovir, pencyclovir, doconasol), untuk mengurangi waktu penyembuhan atau luka dapat memerlukan
penggunaan agen sistemik antiviral (sebagai contoh., acyclovir, valacyclovir, famciclovir).
Recurrent aphtous stomatitis (RAS) telah digambarkan pada pasien yang terjangkit HIV. RAS dapat terjadi, akan
tetapi sebagai komponen inisial penyakit akut dari HIV seroconversion. Insidensi dari major aphtase dapat
meningkat dan oropharynx esophagus atau area lain dari saluran gastrointestinal dapat dilibatkan.
Metode untuk kekambuhan aphtous stomatitis termasuk topical atau intralesional corticosteroid, chlorhexidine dari
kumuran mulut antimicrobial, oral tetracycline rinse atau topical ammlexanox. Terapi systemic corticosteroid dapat
diperlukan dalam beberapa kasus. Akibatnya, pada pasien dengan infeksi HIV dan kekambuhan aphtase, sangat
berhubungan medis dan terapi gigi dapat diperlukan.
Infeksi viral oral pada pasien immunocompromised adalah dengan acyclovir (200-800 mg lima kali sehari untuk
setidaknya 10 hari). Terapi pemeliharaan harian secara berurutan (200 mg dua hingga lima kali sehari) dapat
diperlukan untuk mencegah kekambuhan. Resisten viral strain diperlakukan dengan foscarnet, ganciclovir atau
valacyclovir.
Terapi corticosteroid topical (fluocinonide gel digunakan tiga hingga lima kali sehari) aman untuk mencegah
terjadinya kekambuhan ulcer aphthous atau luka mucosal lain dalam immunocompromosed individual. Akan tetapi,
topical corticosteroid dapat mempengaruhi immunocompromised individual pada candidiasis. Akibatnya,
pengobatan prophylactic antifungal harus diresepkan.
Biasanya, aphtae besar dalam individual yang positif HIV dapat terbukti resisten pada terapi topikal konvensional.
Pada pasien ini, konsultasi pengobatan direkomendasikan dan pengadaan dari sistemik kortikosteroid (sebagai
contoh prednisone, 40-50 mg setiap hari) atau terapi alternatif (sebagai contoh thalidomide, levamisole,
pentoxiifylline) harus dipertimbangkan. Agen ini dapat mempunyai efek samping signifikan, akan tetapi, dan dokter
harus tetap waspada atas bukti lain dari reaksi obat yang merugikan. Dalam interaksi dengan pengobatan yang baru
saja diresepkan. Karena pada akhirnya semua agen antiviral digunakan dalam perlakuan infeksi HIV mempunyai
potensi efek samping merugikan dari interaksi obat, dokter gigi harus mempertimbangkan terapi topikal apabila
sesuai.
2.6.5 Komplikasi Perawatan Gigi
Komplikasi paskaoperatif meliputi pendarahan, infeksi, lamanya penyembuhan luka) pada pasien dengan
HIV/AIDS. Dokter gigi harus hati-hati dalam menangani pasien yang dicurigai terjangkit HIV/AIDS untuk
menghindari komplikasi yang tidak semestinya. Akan tetapi, tinjauan sistematis dari literatur mengindikasikan
bahwa tindakan pencegahan tidak diperlukan berdasarkan pada status HIV pasien ketika melakukan prosedur
perlakuan periodontal seperti dental prohylaxis, scaling dan root planing, operasi periodontal, ekstraksi, dan
penempatan implan. Biasanya, bagaimanapun, status kesehatan yang kurang baik dari pasien dengan AIDS dapat
membatasi terapi periodontal pada prosedur yang konservatif, minimalnya invasif dan terapi antibiotik dapat
diperlukan.
Efek Samping
Sejumlah obat yang menyebabkan efek samping telah dilaporkan pada pasien positif HIV dan dokter gigi dapat
menjadi pertama untuk mengenali reaksi obat mulut. Foscarnet, interferon dan 2-3 dideoxycytidine (DDC) biasanya
menyebabkan ulcer dan erythema multiforme telah dilaporkan dengan menggunakan didanosine (DDI). Zidovudine
dan ganciclovir dapat menyebabkan leukopenia, Xerostomia dan perubahan sensasi rasa telah digambarkan dalam
hubungannya dengan diethyldithiocarbamate (Dithiocarb) pasien positif HIV dipercaya secara umum rentan pada
obat menyebabkan mucositis dan reaksi obat lichenoid. Pada beberapa pasien, ulcer dan mucositis diatasi jika terapi
obat dilanjutkan lebih dari 2 hingga 3 minggu, tetapi ketika efek obat adalah keras atau menetap, terapi alternatif
dengan obat berbeda harus digunakan.
Obat HAART dapat menyebabkan efek samping merugikan bertingkat dari kondisi menengah relatif seperti pusing
hingga pengembangan batu ginjal. Individual dengan hepatitis C dan bersama infeksi HIV adalah rentan pada liver
cirrchosis. Efek merugikan dikenali baru adalah lipodystrophy, kondisi yang mencirikan redistribusi dari lemak
tubuh. Individual yang terinfeksi dapat mengembangkan ciri muka kurus kering namun menunjukan lemak perut
yang berlebih atau bahkan lapisan lemak pada bagian belakang bahu (buffalo hump/ponggol kerbau). Ini dapat
diikuti dengan kekerasan sistemik hyperlipide. Efek reaksi merugikan lain dari HAART termasuk peningkatan
resistensi insulin, gynecomastia, toxic epidermal necrolysis, dyscrasias darah, dan kemungkinan peningkatan
insidensi dari kutil mulut. Laporan mulut lainnya atau efek merugikan perioral termasuk reaksi oral lichenoid,
xerostomia, perubahan sensasi darah, perioral paresthesia dan exfollative chellitis. (Figur 34-24 dan 34-25)
2.6.6 Penyakit Gingiva dan Periodontal pada Pasien HIV
Minat yang sangat besar telah ditujukan pada sifat dasar dan insidensi dari penyakit gigi dan periodontal
pada individu yang terinfeksi HIV. Bukti yang ada mengindikasikan bahwa penyakit-penyakit tersebut lebih sering
terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV melalui penggunaan obat-obatan intravena. Hal ini muncul untuk
menghubungkan kurangnya oral hygiene dan dental care dibandingkan penurunan jumlah sel CD4.
Gingival dan periodontal manifestasi dapat ditemukan pada individu HIV positif. Terdapat linear gingival
erythema dan necrotizing ulcerative gingivitis, keduanya berkembang secara cepat menjadi NUS atau NUP.
Mengatur kondisi seperti ini harus melalui medical evaluation, termasuk penentuan status CD4.
Linear Gingival Erythema
Erythematous gingivitis (LGE) mudah berdarah, linear, dan bersifat persisten telah ditemukan pada pasien
HIV-positif. LGE dapat atau tidak dapat berperan sebagai precursor untuk necrotizing ulcerative periodontitis
(NUP). Mikroflora dari LGE lebih mirip organism yang terdapat pada periodontitis dibandingkan gingivitis. Lesi
linear gingivitis dapat bersifat umum atau lokal. Erithematous gingivitis memiliki ciri:
atau
povidone-iodine
10%.
Pasien
diinstruksikan
untuk
Banyak studi menyarankan bahwa individu HIV positif memiliki pengalaman chronic periodontitis dibandingkan
populasi umum. Membandingkan frekuensi lesi oral dan penyakit periodontal antara individu HIV positif dan
negatif, beberapa adalah IDU (injection drugs users). Mereka menyimpulkan bahwa gaya hidup IDU memiliki peran
yang lebih besar pada penyakit mulut dibandingkan dengan individu status HIV. Mereka juga menemukan lesi yang
konsisten pada lidah dengan hairy leukoplakia yang umumnya terjadi pada seropositif homoseksual males,
sedangkan candidiasis oral dan LGE umumnya pada IDU. Adanya laporan lain bahwa insiden dan keganasan dari
chronic periodontitis adalah sama pada grup HIV positif dan negatif. Klein at al mengevaluasi 181 heterosexual
dengan AIDS dan menemukan persentase lebih besar pada wanita (91%) dibandingkan pria (73%) denan gingivitis
atau periodontitis. Secara keseluruhan, beberapa heterosexual dengan AIDS hanya terkena gingivitis (70%).
Sedangkan yang lain periodontitis hebat (27%)..
Studi yang terkontrol dengan baik mengindikasikan resesi gingival dan kehilangan attachment sering
terjadi pada grup HIV dibandikan grup yang lain dalam populasi umum. Ini menegaskan bahwa individu
immunocompromised sedikit banyak mendertita chronic periodontitis dibandingkan dengan yang memiliki system
imun kuat. Sebagian besar individu HIV positif memiliki riwayat gingivitis dan chronic periodontitis dalam
kebiasaan yang sama dengan populasi secara umum.
2.6.7 Protokol Perawatan Periodontal pada Pasien HIV
Rongga mulut sering menjadi tempat dari manifestasi klinik dari penyakit tersebut. Kemampuan mengenali
dan mengatur manifestasi oral penyakit ini sangat penting sebagai bagian dari praktek kedokteran gigi. Dokter gigi
harus siap membantu pasien terinfeksi HIV dalam pemeliharaan kesehatan mulut dari penyakit tersebut.
Untuk keamanan dan efektivitas dalam terapi periodontal pada individu yang terinfeksi HIV, beberapa
perawatan sangatlah penting.
Health Status
Kesehatan pasien harus sesuai dengan riwayat kesehatan, evaluasi fisik, dan hasil konsultasi dengan
psikolog. Perawatan akan bergantung pada tingkat kesehatan pasien contohnya, penundaan penyembuhan luka dan
meningkatkan resiko infeksi setelah operasi memungkinkan adanya faktor komplikasi pada pasien AIDS. Sangatlah
penting untuk mendapatkan informasi status imun pasien dengan menanyakan beberapa pertanyaan seperti berikut:
1. Berapa level CD4+ T4 lymphocyte ?
2. Virus apa yang sedang menyerang ?
3. Sudah berapa lama infeksi HIV diidentifikasi? Apakah mungkin untuk mengidentifikasi perkiraan tanggal dari
original exposure?
4. Apakah terdapat sejarah penyalahgunaan obat, penyakit yang ditransmisikan secara seksual, infeksi multiple atau
fakor lain yang mungkin mengubah respon imun? Sebagai contoh, apakah pasien memiliki sejarah menderita
hepatitis B kronik, hepatitis C, neutropenia, thrombocytopenia, defisiensi nutrisi atau insufisiensi
adrenocorticoid ?
5. Pengobatan/ obat apa yang sedang dilakukan/dikonnsumsi oleh pasien?
6. Apakah pasien mendeskripsikan atau memperlihatkan efek samping ydari obat-obatan?
Infection Control Measures
Manajemen klinis periodontal pasien infeksi HIV membutuhkan kedisiplinan dalam perawatan untuk
membentuk metode infection control, berdasarkan ADA dan CDC. Terpenuhinya universal precaution akan
mengeliminasi atau meminimalisir resiko pada pasien dan dental staff. Pasien imunokompromis memiliki potensi
yang besar mendapat transmisi infeksi pada dental office atau fasilitas kesehatan lainnya.
Goals of Therapy
Tujuan utama dari terapi adalah perbaikan dan pemeliharaan kesehatan mulut, kenyamanan dan fungsi.
Minimal, tujuan periodontal treatment harus diarahkan langsung pada kontrol penyakit yang berasosiasi dengan HIV
(HIV-assosiated mucosal disease) seperti chronic candidiasis dan recurrent oral ulcerations. Acute Periodontal dan
Dental Infection harus ditangani dan pasien harus mendapatakan instruksi detail untuk melakukan prosedur oral
hygine yang efektif. Konservatif, terapi periodontal tanpa pembedahan menjadi pilihan perawatan untuk pasien HIV
positif, tetapi prosedur pembedahan periodontal pernah dilaporkan sukses mengobati pasien HIV positif.
Necrotizing ulcerative periodontal (NUP) atau Necrotizing ulcerative somatitis (NUS) menyebabkan kerusakan
hebat pada struktur periodontal, tapi sejarah dari kondisi seperti ini tidak otomatis membuat kita mengekstraksi gigi,
kalau pasien tidak bisa atau tidak sanggup memelihara oral hygine khususnya di daerah yang terkena atau terinfeksi.
Keputusan mengenai prosedur periodontal yang terpilih harus dibuat dengan izin pasien (informed consent) dan
setelah konsultasi medik, jika memungkinkan.
Maintenance Therapy
Sangatlah penting bahwa pasien harus menjaga oral hygine. Sebagai tambahan, kontrol untuk perawatan
periodontal dilakukan dalam jangka waktu 2-3 bulan. Terapi dengan antibiotik sistemik harus terkonsultasi atau
koordinasi dengan dokter sangat diperlukan.
Psychological Factor, infeksi HIV pada sel neural mempengaruhi fungsi otak dan menimbulkan outright dementia.
Hal ini sangat mempengaruhi responsive pasien pada dental treatment. Bagaimanapun, faktor psikologis banyak
ditemukan pada pasien yang terinfeksi HIV, walaupun lesi neuronal tidak ditemukan. Dengan penyakit seumur
hidup ini, pada beberapa pasien dapat menimbulkan depresi, rasa gelisah, kemarahan, sehingga perawatan harus
dilakukan dalam suasana rileks, tenang dan tingkat stress dari pasien harus minimum. Pasien dengan lesi oral dari
infeksi HIV harus segera diberi tahu dan jika benar atau tepat harus ditanyakan mengenai riwayat HIV. Jika dokter
gigi memilih melakukan tes untuk antibodi HIV maka pasien harus diberitahu. Pada keadaan atau situasi inform
consent (IC) diperlukan sebelum melakukan tes.