Anda di halaman 1dari 6

Pencegahan dan Penatalaksanaan Meningitis Bakterialis di

Fasilitas dengan Keterbatasan Sumber Daya


Elizabeth Molyneux, FRCPCH dan Jenala Njirammadzi, MBBS
Etiologi dan insidensi meningitis bakterial (MB) di fasilitas dengan keterbatasan
sumber daya telah berubah. Pola resistensi antibiotika juga telah berubah, dan
pilihan terapi empiris perlu ditinjau ulang. Penelitian-penelitian terbaru telah
menilai terapi ajuvan dan suportif.
Efek Vaksin terhadap Insidensi dan Etiologi BM
Satu dekade terakhir, telah terjadi penurunan bermakna mortalitas anak yang
diupayakan melalui usaha-usaha kesehatan masyarakat. Di negara endemis HIV,
peran kotrimoksazol profilaktik dan ketersediaan terapi antiretroviral yang
meningkat telah menurunkan insidensi infeksi Streptococcus pneumoniae. Peran
program-program ini dan peningkatan akses vaksin konjugat untuk Haemophilus
influenzae b (Hib), pneumococci dan meningococci grup A (MenAfriVac)
mengubah epidemiologi dan insidensi meningitis. Vaksin Hib merupakan bagian
dari program imunisasi luas di 72 negara yang menyebabkan penurunan cepat
infeksi Hib invasif.
Meningitis meningokokal merupakan meningitis bakterial yang paling umum di
seluruh dunia dan Grup A adalah yang paling sering menyebabkan epidemi. Pada
2010, suatu vaksin konjugat, MenAfriVac, mulai didistribusikan dan efikasinya
tinggi bahkan pada anak-anak kecil serta meningkatkan herd immunity. Pada
2016, 26 negara meningitis belt di Afrika akan telah mengimunisasi kelompokkelompok usia paling rentan. Namun masih ada yang harus dikerjakan: penyakit
serogrup A telah berkurang, namun serogrup W135 dan X baru-baru ini telah
menyebabkan outbreak. Di Amerika Serikat, Advisory Commitee on Immunization
Practices menyatakan bahwa imunogenisitas vaksin konjugat meningokokus
menurun seiring waktu, dan merekomendasikan dosis booster setelah 5 tahun.
Vaksin pneumokokus 13-valent, diizinkan pada 2010, telah dimasukkan dalam
program imunisasi luas di banyak negara, dan diharapkan akan masuk ke 50

negara pada 2015. Ini akan mengurangi penyakit invasif pneumokokal hingga
sekitar 40-70%--tergantung serotipe yang prevalen dan insidensi infeksi HIV. Di
daerah holoendemik malaria, MB karena spesies Salmonellae nontifoid naik-turun
selama satu dekade terakhir. Di beberapa daerah, hal ini muncul menyusul
pemakaian kelambu massal, penyemprotan insektisida, dan perubahan dari
regimen terapi antimalaria lini pertama yang gagal menjadi artemisinin-based
combination therapy yang efektif.
Diagnosis
Pemeriksaan liquor cerebrospinalis (LCS) adalah uji diagnosis gold standard pada
MB. Di banyak fasilitas dengan sumber daya terbatas, meskipun laboratorium
tidak menunjang, klinisi harus memiliki ambang pertimbangan yang rendah untuk
melakukan lumbar punksi. Gambaran makroskopis dan pewarnaan Gram LCS
membantu diagnosis. Jika tidak ada laboratorium, uji dengan dipstick urin akan
mengidentifikasi glukosa rendah, protein tinggi dan sel darah putih (leukosit
esterase positif) pada LCS.
Tatalaksana Umum
Anak dengan BM sering ditatalaksana dengan keterbatasan sumber daya dengan
latar belakang penyakit lain atau tingkat kesehatan yang rendah, yang
mengakibatkan outcome terkompromi bahkan setelah perawatan optimal.
Terapi Empiris Lini Pertama dan Resistensi Antibiotik
World Health Organization (WHO) merekomendasikan ceftriaxon atau cefotaxim
sebagai terapi antibiotika empiris lini pertama pada anak dengan suspek MB.
Cefotaxim lebih mahal dan membutuhkan injeksi per 8 jam (ceftriaxon hanya per
12

jam

atau

sekali

sehari).

Jika

sefalosporin

tidak

tersedia,

WHO

merekomendasikan penisilin/ampisilin dan kloramfenikol pada anak yang lebih


besar, dan penisilin/ampisilin dan gentamisin pada bayi/anak kecil.
Sensitivitas S. pneumoniae terhadap penisilin bervariasi di seluruh dunia; di
Malawi, resistensi stabil pada kisaran 16-18%. Falade et al. melaporkan tidak
terdapat isolat S. pneumoniae resisten penisilin di Nigeria (2009), dan suatu

laporan dari Uganda tidak menunjukkan adanya resistensi penuh, namun ada 83%
resistensi penisilin intermediat. Hib resisten kloramfenikol dan ampisilin di
sebagian besar negara. Salmonellae nontifoidal juga telah resisten terhadap
kloramfenikol, kotrimoksazol dan ampisilin, menyisakan pilihan ciprofloxacin
dan/atau ceftriaxon. Tabel 1 menunjukkan kausa umum MB pada kelompok umur
yang berbeda dan regimen terapetik yang direkomendasikan.

Tabel 1. Terapi Antibiotika Empirik untuk Meningitis Bakterialis di Fasilitas


dengan Keterbatasan Sumber Daya
Pada kelompok non-neonatus, S. pneumoniae adalah etiologi yang paling umum,
dan jika sensitivitas penisilin tidak diketahui sebaiknya diberikan sefalosporin
generasi ketiga. Terapi empiris dapat dimulai dengan sefalosporin dan diubah
menjadi antibiotika spektrum-sempit yang tepat jika dan ketika kausa

teridentifikasi. Di Malawi, lebih banyak kasus neonatal yang ditatalaksana efektif


dengan ceftriaxon dibanding penisilin + gentamisin (99.1% vs. 91.8%; P = 0.006),
khususnya pada isolat Gram negatif (95.1% vs. 86.0%; P = 0.012). Amikacin atau
ciprofloxacin parenteral efektif untuk banyak infeksi bakteri Gram negatif
(termasuk ESBL) dan dapat ditambahkan untuk bakteri Gram negatif jika
sefalosporin generasi ketiga gagal.
Durasi Terapi Antibiotika
Suatu studi multi-negara (n = 1004) pada daerah dengan keterbatasan sumber
daya menilai perbandingan terapi 5 versus 10 hari dengan ceftriaxon pada MB
karena salah satu dari 3 etiologi paling umum (S. pneumoniae, Neisseria
meningitidis and Hib). Randomisasi dilakukan pada hari kelima dan hanya
dilakukan pada pasien stabil tanpa komplikasi. Outcome terapi antibiotika selama
5 hari hampir sama dengan terapi selama 10 hari (60.4% vs. 60.8% selamat tanpa
sequelae, 26% vs. 27.2% dengan sequelae).
Terapi Ajuvan
Dexamethasone
Kortikosteroid sebagai ajuvan pada MB masih kontroversial. Studi pada anakanak Afrika menunjukkan bahwa dexamethasone tidak memberi keuntungan
sebagai ajuvan. Suatu Cochrane Review mengenai terapi steroid ajuvan juga
menunjukkan dexamethasone tidak memberikan keuntungan pada outcome terapi
di fasilitas dengan sumber daya terbatas.
Gliserol
Gliserol digunakan untuk menurunkan TIK. Pada suatu studi multi-negara di
Amerika Selatan menunjukkan bukti bahwa terhadap sequelae neurologis berat
dan kematian, gliserol lebih baik daripada plasebo (OR: 0.44; 95% CI: 0.250.76;
P = 0.003). Pada penelitian di Malawi di mana parasetamol dan gliserol diberikan
sebagai ajuvan, penambahan parasetamol dan gliserol sebagai terapi ajuvan tidak
memberikan keuntungan maupun kerugian.

Terapi Suportif
Terapi suportif adalah sangat penting, dan penekanan terutama adalah pada
layanan keperawatan yang baik dan pemantauan yang baik. Cairan harus
terpantau, kejang harus dikendalikan, asupan kalori yang adekuat harus
dipastikan, dan kadar glukosa dan elektrolit serum harus dijaga dalam batas
normal.
Suatu Cochrane Review menyatakan tidak terdapat bukti untuk menunjang
restriksi cairan dan beberapa bukti untuk mendukung pemberian IVFD
maintenance pada 48 jam pertama di fasilitas dengan mortalitas tinggi dan
diagnosis yang terlambat. Pada fasilitas di mana pasien lebih cepat terdiagnosis
dan mortalitas lebih rendah, bukti yang ada masih belum cukup untuk menjadi
panduan praktik.
Kejang harus dikendalikan segera. WHO merekomendasikan diazepam per rektal
dan/atau paraldehid diikuti dengan fenobarbiton jika kejang berlanjut. Kejang
intractable sulit ditatalaksana tanpa adanya ventilator mekanik dan loading dose
antikonvulsan seperti fenobarbiton harus diteruskan meskipun ada risiko gagal
napas. Kejang pada neonatus biasanya ditatalaksana dengan fenobarbiton.
Anemia dan Malnutrisi
Anemia dan malnutrisi adalah komorbiditas yang sering. Roine et al. menyatakan
bahwa koreksi anemia (Hb <8 g/dl) dengan transfusi mengurangi mortalitas pada
MB menjadi 23% dibandingkan tanpa transfusi (39%) (P = 0.003). Risiko
kematian meningkat dengan malnutrisi ringan sebanyak 1,98 kali, malnutrisi
sedang 2,55 kali, dan malnutrisi berat hingga 5,85 kali.
Prognosis
Tingkat kematian dapat mencapai 37%, tergantung kausa, usia, dan kofaktor lain.
Prognosis lebih buruk pada bayi, anak dengan leukosit rendah pada pemeriksaan
LCS, hipoglikemia, hipotensi, anemia, kejang persisten, anak yang terlambat
diobati atau koma. Kemudian, malnutrisi dan imunosupresi juga memperburuk
prognosis.

Komplikasi
Komplikasi akut selain yang telah disebutkan di antaranya empiema subdural dan
abses intrakranial. Jika demam tidak turun, sebaiknya dilakukan USG kepala pada
anak-anak dengan fontanella masih terbuka. Pengumpulan cairan subdural atau
abses intrakranial dapat didrainase secara transfontanella oleh personel yang
berpengalaman. Terapi antibiotik harus lebih lama diberikan. Selain itu, sebab lain
demam dapat berupa infeksi pada tempat injeksi/kanula, infeksi pada sendi atau
dada.
Sekuelae neurologis jangka panjang sering terjadi dan kebanyakan berat.
Penurunan pendengaran terjadi pada hingga 30% pasien (terutama pada
meningitis pneumokokal atau karena Salmonella spp.), dan hidrosefalus dapat
timbul setelah beberapa minggu/bulan. Semua pasien yang sembuh harus
diperiksa pendengarannya dan dipantau lingkar kepalanya. Follow-up harus
mencakup penilaian fisik, neurologis dan perkembangan.
Penelitian Lebih Lanjut

Pemantauan insidensi dan sensitivitas antibiotika harus terus memberikan


cukup informasi sebagai dasar terapi empiris.

Uji diagnostik yang cepat untuk mengidentifikasi organisme kausa dapat


menurunkan penggunaan antibiotika spektrum luas yang berlebihan.

Perlu penelitian lebih lanjut mengenai terapi ajuvan dan pengendalian


kejang.

Perlu perawatan neonatus yang lebih baik untuk mengurangi infeksi.

Anda mungkin juga menyukai