Diagnosis sering didasarkan pada riwayat klinik, meningkatnya kadar ALT serta
tambahan seperti anti-HBe IgM kadang kala dibutuhkan pada beberapa kasus
dimana pasien diduga mengalami infeksi akut dengan kadar HBsAg negatif, pasien
pada kasus ini harus dicurigai sedang berada pada “fase jendela” (window phase).
Pada pasien dengan dugaan hepatitis B kronik harus dilakukan pemeriksaan HBsAg
dan HBV DNA untuk diagnosis, indikasi terapi dan untuk mengamati perkembangan
dari pasien tersebut. Beberapa tes serologi penting antara lain HBeAg yang
menunjukkan kondisi pasien yang sangat infeksius, HBV DNA menunjukkan jumlah
virus dalam tubuh pasien, anti HBe atau HBeAg yang mengindikasikan bahwa
Penatalaksanaan
Wanita usia subur dengan infeksi hepatitis B disarankan untuk menggunakan kontrasepsi
selama pengobatan dan pasien harus diberikan informasi mengenai pengobatan hepatitis B
dan dampaknya terhadap kehamilan. Pada wanita hamil yang didiagnosis mengidap infeksi
hepatitis B kronik pada awal kehamilan keputusan untuk memulai terapi harus
pada pasien dengan fibrosis hepatik atau dengan risiko dekompensasi. Terapi hepatitis B pada
wanita hamil biasanya ditunda sampai dengan trimester 3 untuk menghindari transmisi
perinatal.
seperti lamivudin, entecavir, dan adefovir dikategorikan dalam profil keamanan kehamilan
kelas C. Telbivudin dan tenofovir dikategorikan dalam profil keamanan kehamilan kelas B.
Tenovofir lebih direkomendasikan sebagai terapi karena risiko resistensi yang rendah. Bila
pasien menjadi hamil pada saat menjalani terapi, maka pengobatan perlu dievaluasi. Pasien
disarankan untuk menghentikan pengobatan, kecuali pada pasien dengan sirosis dan fibrosis
hamil yang terapinya dihentikan berisiko untuk mengalami hepatitis flare dan disarankan
untuk menjalani pemantauan ketat. Alur pengobatan dapat dilihat pada bagan di bawah ini.
penggunaan obat-obatan antivirus pada trimester pertama dan kedua, apabila terapi antivirus
hanya diberikan dengan tujuan menurunkan risiko transmisi, maka terapi hanya harus dimulai
pada trimester ketiga untuk menurunkan risiko paparan dan dampak negatif pada fetus.
Pencegahan transmisi perinatal dapat dilakukan dengan pemberian HBIg pada fetus dalam 12
jam setelah lahir yang dikombinasikan dengan vaksinasi hepatitis B. Pada wanita hamil
dengan muatan virus yang tinggi, risiko transmisi perinatal mencapai >10% walaupun dengan
kombinasi HBIg dan vaksinasi. Oleh karena itu, supresi muatan virus dengan analog
meningkatkan efektivitas HBIg dan vaksinasi pada fetus. Studi buta acak ganda membuktikan
efektivitas lamivudin pada trimester ketiga kehamilan untuk mencegah transmisi perinatal.
Pemberian ASI pada ibu dengan hepatitis B positif tidak dikontraindikasikan, kecuali pada
ibu dengan kelainan patologi pada payudara seperti luka lecet pada puting.
hepatitis B dari ibu ke anak pada mode persalinan per vaginam atau per abdominam gagal
untuk secara konklusif menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam hal infeksi hepatitis B
neonatus. Pendapat ahli menyebutkan bahwa masih kurangnya data untuk merekomendasikan
perubahan cara persalinan perempuan yang terinfeksi hepatitis B. Beberapa data terbaru
memang mendukung pertimbangan dilakukannya persalinan via seksio sesarea elektif untuk
mengurangi risiko penularan, seperti pada sebuah meta-analisis yang menunjukkan bahwa
seksio sesarea berkaitan dengan penurunan risiko absolut sebesar 17,5% jika dibandingkan
dengan terapi imunoprofilaksis saja. Pada sebuah studi di Beijing yang melibatkan 1.409 bayi
yang lahir dari ibu HbsAg positif dari tahun 2007-2011 mengungkapkan hasil berupa tidak
terdapat perbedaan risiko transmisi berdasarkan cara persalinan pada bayi-bayi yang lahir
dari ibu dengan tingkat virus rendah (HBV DNA <1.000.000 kopi/mL). Namun, seksio
sesarea memiliki potensi peran yang signifikan dalam mengurangi risiko transmisi pada
mengurangi transmisi vertikal pada wanita dengan risiko tertinggi dikarenakan tingkat DNA
HBV yang tinggi, namun pemberian terapi interferon dikontraindikasikan pada kehamilan.
Meskipun antiviral lamivudine, analog nukleosida cytidine, telah ditemukan secara signifikan
menurunkan risiko infeksi HBV janin pada wanita dengan tingkat virus HBV tinggi tetapi
data terbaru menunjukkan bahwa lamivudine mungkin kurang efektif pada trimester ketiga.
Selain itu, terkait dengan perkembangan dari mutasi yang resisten sehingga tidak lagi
direkomendasikan sebagai agen lini pertama. Obat yang lebih baru termasuk analog
resistensi yang lebih rendah daripada lamivudine. Obat antivirus ini digolongkan aman pada
kehamilan dan tidak terkait dengan kemungkinan tingkat tinggi dari malformasi kongenital
atau luaran obstetrik yang merugikan. Tenofovir saat ini adalah pilihan lini pertama yang
diberikan dikarenakan profil yang relatif lebih aman, resistensi rendah, dan efektivitas.
Namun, data jangka panjang lebih lanjut perlu dikumpulkan pada efek klinis terhadap
merekomendasikan inisiasi antivirus pada pasien dengan tingkat virus tinggi pada usia
kehamilan 28–32 minggu untuk mengurangi penularan ibu ke anak. Rekomendasi saat ini
oleh AASLD menyebutkan tingkat DNA HBV > 2 × 105 IU/mL sebagai indikasi untuk
memulai terapi karena risiko penularan HBV meningkat dengan tingkat viremia. HBIG yang
diberikan pada antepartum untuk wanita yang berisiko tinggi penularan juga merupakan
HBsAg, HBeAg dan HBV DNA diekskresikan dalam ASI ibu yang terinfeksi. Menurut
WHO, saat ini tidak ada risiko tambahan penularan HBV melalui menyusui, bahkan tanpa
adanya imunisasi. Namun, menyusui harus dihindari dengan adanya keadaan puting retak
atau berdarah karena akan menyebabkan pencampuran eksudat serosa dengan air susu dan
Kesimpulan
Infeksi hepatitis B masih merupakan masalah yang cukup sering dihadapi dalam praktik
manajemen perempuan hamil dan bayi baru lahir. Transmisi hepatitis B perinatal tetap
menjadi mode penularan virus yang awam terjadi, terutama pada daerah-daerah dengan
endemisitas tinggi. Ketersediaan obat-obatan antivirus oral dalam beberapa dekade terakhir
yang terbukti efektif mampu menekan replikasi virus telah memberikan pertimbangan baru
untuk memulai tatalaksana pada periode trimester ketiga demi menurunkan risiko penularan.
Hal ini terutama penting pada perempuan hamil dengan tingkat viral load yang tinggi.
Keputusan untuk memulai atau menghentikan terapi harus dibuat berdasarkan pertimbangan
risiko dan manfaat, kemampuan monitor dan tindak lanjut, dan efek pada bayi yang mungkin
terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Borgia G, Carleo MA, Gaeta GB, Gentile I. Hepatitis B in pregnancy. World J Gastroenterol.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2017 tentang eliminasi
penularan Human Immunodeficiency Virus, sifilis, dan hepatitis B dari ibu ke anak.
Tran, Tram T. Hepatitis B in pregnancy. Clin Infect Dis. 2016; 62(S4): S314-17.
Ayoub WS, Cohen E. Hepatitis B management in the pregnant patient: An update. J Clin
Tran, Tram T. Management of hepatitis B in pregnancy: Weighing the options. Cleve Clin J
Terrault NA, Bzowej NH, Chang KM, Hwang JP, Jonas MM, Murad MH. AASLD
2013;13:119.
Pan CQ, Zou H-b, Chen Y, Zhang X, Zhang H, Li J, et al. Cesarean section reduces perinatal
Kao JH, Lin CL. Prevention of mother-to-child transmission: The key of hepatitis B virus
Castillo E, Murphy K, Schalkwyk Jv. Clinical practice guideline: Hepatitis B and Pregnancy.