Anda di halaman 1dari 18

PANDUAN ASUHAN KEFARMASIAN PENYAKIT

HEPATITIS

OLEH:
KELOMPOK 5

REIHAN ASKIYAH
ANIS RUSMAWATI RUSLI
PERAYANTI
ADILLA MUWAHADDAH
LINSEPDA LIMBONG
EKA ZULAIKA

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2023
Panduan Asuhan Kefarmasian (PAF) Hepatitis

1 Pengertian Hepatitis adalah peradangan pada hati (liver) yang disebabkan oleh
. virus, mengakibatkan infeksi sistemik oleh virus disertai nekrosis dan
inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan kumpulan perubahan
klinis, bikomia serta seluler yang khas. Sampai saat ini sudaj
teridentifikasi lima tipe hepatitis virus yang pasti yaitu: hepatitis A, B,
C, D dan E (Kemenkes, 2017).
2 Assesmen
. Kefarmasian
a. Efektivitas Hepatitis A
Pengobatan Manajemen Infeksi HAV
Tidak ada pengobatan khusus yang ada untuk infeksi HAV, dan
manajemennya hanyalah dukungan atau perawatan suportif. Ini berarti bahwa
ketika seseorang terinfeksi HAV, tidak ada obat khusus yang dapat digunakan
untuk mengobati infeksinya. Dalam kasus HAV, perawatan bertujuan untuk
mengurangi gejala dan mendukung tubuh dalam pemulihan alaminya.
Pencegahan HAV
Cara paling efektif untuk mencegah infeksi HAV adalah dengan
meningkatkan sanitasi, keamanan pangan, dan praktik imunisasi. Ini mengacu
pada pentingnya mencuci tangan dengan benar dan menjaga kebersihan tubuh
secara umum.
Vaksinasi Hepatitis A
Di Amerika Serikat, strategi vaksinasi saat ini mencakup vaksinasi semua
anak pada usia 1 tahun. Ada dua jenis vaksin virus inaktif yang tersedia, yaitu
Havrix dan Vaqta.

Vaksniasi direkomendasikan untuk :


1. Semua anak pada usia 1 tahun
2. Orang yang bepergian atau bekerja di negara-negara dengan tingkat
endemisitas Hepatitis A yang tinggi atau sedang
3. Pria yang berhubungan seks dengan pria (MSM)
4. Orang dengan risiko pekerjaan untuk infeksi
5. Orang dengan gangguan faktor pembekuan darah
6. Orang dengan penyakit hati kronis
Imunoglobulin (IG)
IG digunakan ketika profilaksis sebelum paparan terhadap infeksi HAV.
Dosis tunggal IG 0,02 mL/kg secara intramuskular direkomendasikan untuk
pelancong ke daerah berisiko tinggi jika perjalanan kurang dari 3 bulan.
Untuk tinggal dalam jangka panjang, digunakan dosis tunggal 0,06 mL/kg.

Hepatitis B
Penggunaan obat pada Hepatitis B:
1. Golongan Interferon
Interferon (IFN) adalah mediator inflamasi fisiologis dari tubuh berfungsi
dalam pertahanan terhadap virus. Interferon akan mengaktifkan sel T
sitotoksik, sel natural killer, dan makrofag. Secara umum dapat
disimpulkan bahwa terapi interferon boleh digunakan pada pasien dengan
karakteristik:
a. Pasien muda yang telah memenuhi indikasi terapi, tanpa penyakit
penyerta, dan memiliki biaya yang mencukupi.
b. Pada pasien yang diketahui terinfeksi VHB genotip A atau B,
mengingat penelitian yang ada telah membuktikan bahwa terapi
interferon akan memberikan efektivitas yang lebih baik pada infeksi
VHB dari genotip tersebut.
Sebaliknya, interferon tidak boleh diberikan pada pasien dengan
karakteristik:
a. Pasien dengan gangguan psikiatri.
b. Pasien yang sedang hamil.
c. Pasien dengan penyakit autoimun aktif.
Saat ini tersedia 2 jenis pegylated interferon, yaitu pegylatedinterferon α-
2a (peg-IFN α-2a) dan pegylated-interferon α-2b (pegIFN α-2b).
2. Golongan Analog Nukleos(t)ida
Analog nukleos(t)ida bekerja dengan menghambat tempat berikatan
polimerase virus, berkompetisi dengan nukleosida atau nukleotida, dan
menterminasi pemanjangan rantai DNA.
a. Entecavir
Entecavir (ETV) adalah analog 2-deoxyguanosine. Obat ini bekerja
dengan menghambat priming DNA polimerase virus, reverse
transcription dari rantai negatif DNA, dan sintesis rantai positif DNA.
b. Tenofovir Disoproxil Fumarate
Tenofovir disoproxil fumarate (TDF) adalah prekursor tenofovir,
sebuah analog nukleotida yang efektif untuk hepadanavirus dan
retrovirus.
c. Lamivudin
Analog nukleos(t)ida bekerja dengan menghambat tempat berikatan
polimerase virus, berkompetisi dengan nukleosida atau nukleotida,
dan menterminasi pemanjangan rantai DNA.
d. Strategi Pemantauan Terapi Analog Nukleos(t)ida
Terapi dengan analog nukleos(t)ida umumnya cukup efektif dan
relatif lebih bebas efek samping. Namun tingginya kemungkinan
resistensi adalah masalah yang harus dihadapi (Konsensus Nasional,
2012; Permenkes, 2019)
3. Terapi kombinasi
Sebuah meta analisis oleh Peng, dkk. berusaha mengevaluasi efek terapi
kombinasi Peg-IFN + analog nukleosida bila dibandingkan dengan
monoterapi Peg-IFN. Pada pasien dengan HBeAg positif, monoterapi Peg-
IFN terbukti memberikan respons lebih signifikan (51%) apabila
dibandingkan dengan kombinasi Peg-IFN dengan lamivudin / adefovir /
tenofovir (44%), sedangkan pada pasien dengan HBeAg negatif, terapi
kombinasi memberikan hasil lebih baik (67%, IK 95% 50-85%) apabila
dibandingkan dengan monoterapi (57%, IK 36-77%).
4. Terapi penambahan (add-on therapy)
Penelitian terapi sekuensial pertama kali dilakukan oleh Sarin, dkk. Pasien
HBeAg positif dirandomisasi untuk terapi dengan lamivudin selama 52
minggu dan terapi dengan lamivudine dengan adisi interferon-α selama 16
minggu pada minggu ke 8.
5. Terapi pada Anak
Anak yang terkena hepatitis B kronik umumnya tidak memiliki gejala
karena berada pada fase imunotoleran sehingga Sebagian besar anak
dengan hepatitis B tidak terapi.
Hepatitis C
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hepatitis C yang utama adalah terapi antivirus dengan direct-
acting antivirals (DAAs), seperti sofosbuvir. DAAs umumnya digunakan
dalam regimen kombinasi dengan DAAs lain untuk meningkatkan efikasinya.
Sebelum ditemukannya all-oral DAAs, hepatitis C diterapi dengan injeksi
pegylated interferon dan ribavirin, namun terapi tersebut hanya memiliki
angka kesembuhan 40-60% serta banyak menimbulkan efek samping seperti
neutropenia, trombositopenia, anemia berat, dan efek neurokognitif. Dengan
DAAs, angka kesembuhan meningkat sampai 90-97%, efek samping lebih
ringan, durasi terapi lebih singkat, serta menurunkan penggunaan obat injeksi.
15-50% pasien hepatitis C akut dapat sembuh spontan, namun terapi harus
segera diberikan tanpa menunggu resolusi spontan. Pilihan regimen terapi
untuk hepatitis C akut sama dengan regimen terapi untuk hepatitis C kronik.
Target Terapi
Target terapi hepatitis C adalah mencapai eradikasi HCV berkelanjutan yang
ditandai dengan tidak adanya HCV RNA dalam serum 12 minggu setelah
terapi antivirus, serta mencegah progresi ke arah sirosis, hepatocellular
carcinoma (HCC), dan penyakit hati dekompensata yang membutuhkah
transplantasi hati.

Terapi Antivirus Hepatitis C


Terapi antivirus diberikan berdasarkan kasus (case-by-case). Hal-hal yang
perlu dipertimbangkan sebelum memulai terapi DAAs antara lain genotipe
virus, status sirosis pasien, koinfeksi virus lain seperti HIV atau hepatitis B,
serta usia dan status kehamilan pasien. Peresepan DAAs merupakan
kompetensi spesialis penyakit dalam, spesialis penyakit dalam konsultan
gastroenterohepatologi, dan spesialis anak konsultan gastroenterohepatologi.

Direct-Acting Antivirals (DAAs)


Pasien hepatitis C tanpa sirosis umumnya diterapi selama 8-12 minggu,
sedangkan pasien hepatitis C dengan sirosis umumnya diterapi selama 12-24
minggu. WHO merekomendasikan terapi hepatitis C dengan DAAs untuk
pasien anak usia 3 tahun sampai pasien dewasa.[1,5]
Hingga saat ini, terdapat 3 kelas DAAs:
a. Inhibitor NS3/4A serine proteases glecaprevir yang bekerja dengan cara
menekan replikasi HCV
b. Inhibitor NS5A yang bekerja dengan cara mengganggu protein struktural
NS5A (elemen penting dalam pembentukan kompleks replikasi). DAAs
kelas kedua terdiri atas 2 generasi, yaitu generasi pertama seperti
daclatasvir dan generasi kedua seperti pibrentasvir dan velpatasvir
c. Inhibitor polimerase NS5B sofosbuvir yang bekerja dengan cara
menghambat enzim transkripsi negative-strand intermediate untuk
pembentukan virus baru.

Regimen Terapi Hepatitis C

Pilihan Regimen (diminum sekali sehari)


Hepatitis C tanpa sirosis Glecaprevir 300 mg + pibrentasvir 120 mg
Sofosbuvir 400 mg + daclatasvir 60 mg
Sofosbuvir 400 mg + velpatasvir 100 mg
Hepatitis C dengan Glecaprevir 300 mg + pibrentasvir 120 mg
sirosis kompensata Sofosbuvir 400 mg + daclatasvir 60 mg
Sofosbuvir 400 mg + daclatasvir 60 mg
Sofosbuvir 400 mg + velpatasvir 100 mg

Terapi Hepatitis C dengan Sirosis Dekompensata


Pada sirosis dekompensata, ribavirin juga dikombinasikan dengan regimen
DAAs dengan kekuatan dosis ribavirin 1000 mg untuk berat badan <75 kg,
dan 1200 mg untuk berat badan ≥75 kg. Pilihan regimen terapi hepatitis C
dengan sirosis dekompensata adalah sebagai berikut:
a. Sofosbuvir 400 mg + daclatasvir 60 mg + ribavirin selama 12 minggu:
semua genotipe, dengan pengecualian 24 minggu untuk genotipe 3
b. Sofosbuvir 400 mg + daclatasvir 60 mg selama 24 minggu: semua
genotipe, kecuali genotipe 3
c. Sofosbuvir 400 mg + velpatasvir 100 mg + ribavirin selama 12 minggu:
semua genotipe, dengan pengecualian 24 minggu untuk genotipe 3
d. Sofosbuvir 400 mg + velpatasvir 100 mg selama 24 minggu: semua
genotipe, kecuali genotipe 3
e. Sofosbuvir 400 mg + ledipasvir 90 mg + ribavirin selama 12 minggu:
genotipe 1,4,5, 6
f. Sofosbuvir 400 mg + ribavirin selama 16-20 minggu: genotipe 2[4,8]
Pada pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap ribavirin, terapi regimen
dengan ribavirin dapat tetap diberikan tanpa pemberian ribavirin namun
dengan durasi yang lebih lama yaitu 24 minggu.
Terapi pada Anak
DAAs dapat diberikan untuk anak dan remaja mulai usia 3 tahun. Pada anak
usia 3-12 tahun, diberikan regimen ledipasvir + sofosbuvir sekali sehari
selama 12 minggu dengan dosis sesuai berat badan.
▪ Untuk berat badan di bawah 17 kg, diberikan ledipasvir 33,75 mg +
sofosbuvir 150 mg
▪ Untuk berat badan 17-35 kg, diberikan ledipasvir 45 mg + sofosbuvir
200 mg
▪ Untuk berat badan ≥35 kg, diberikan ledipasvir 90 mg + sofosbuvir
400 mg
Pada anak usia 12 tahun ke atas atau berat badan melebihi 45 kg, diberikan
regimen glecaprevir 300 mg + pibrentasvir 120 mg sekali sehari selama 8
minggu.
Pemantauan Terapi
Selama terapi, perlu dilakukan pemantauan untuk melihat progresi hepatitis C
dan menilai keberhasilan terapi. Pemeriksaan biokimia hati dilakukan saat
diagnosis dan setiap tahun (annually) untuk memonitor progresi hepatitis C.
Pemantauan Keberhasilan Terapi
Keberhasilan terapi dimonitor dengan pengukuran kadar HCV RNA
menggunakan teknik realtime-PCR. Pemeriksaan HCV RNA dilakukan pada
awal terapi dan minggu ke-12 setelah terapi dihentikan. Jika HCV RNA
negatif pada minggu ke-12, maka pasien dinyatakan bebas infeksi HCV dan
tidak perlu dilakukan pemeriksaan HCV RNA lagi, kecuali pada pasien
dengan sirosis. Pasien dengan sirosis tetap perlu dilakukan monitor dan
evaluasi surveilans HCC dengan alpha-fetoprotein (AFP) dan ultrasonografi
abdomen setiap 6 bulan.
Pemeriksaan endoskopi berkala perlu dilakukan jika terdapat varises
esofagus sebelum terapi. Evaluasi kemungkinan terjadinya infeksi ulang dapat
dilakukan apabila pasien berisiko tinggi untuk terinfeksi hepatitis C kembali.
Pasien hepatitis C dinyatakan sembuh jika selesai pengobatan (12
minggu untuk hepatitis C tanpa sirosis dan 24 minggu untuk hepatitis C
b. Keamanan dengan sirosis) dan viral load HCV RNA tidak terdeteksi lagi pada 3 bulan
Pengobatan setelah selesai pengobatan.
(Efek
Samping Efek Samping Terapi Hepatitis A
Potensial) Beberapa efek samping umum dari vaksinasi HAV, seperti rasa sakit dan
kehangatan di tempat suntikan, sakit kepala, malaise (perasaan tidak enak
badan umum), dan nyeri.
Efek Samping Terapi Hepatitis B
Kebanyakan efek samping ini bersifat reversibel dan akan hilang bila obat
dihentikan.
1. Adefovir Dipivoxil: Gangguan fungsi ginjal (azotemia, hipofosfatemia,
asidosis, glicosuria, dan proteinuria) yang bersifat dose-dependent dan
reversibel.
2. Tenofovir: Gangguan ginjal pada pasien dengan koinfeksi VHB dan HIV
(Konsensus Nasional, 2012).
Efek samping Terapi Hepatitis C
a. Ribavirin
Obat ini dapat menyebabkan kelelahan, mengantuk atau kebingungan,
jikan menggunakan obat ini, jangan mengemudi atau mengoperasikan
mesin. (Mims, 2023)
b. Interferon (Peg-IFN)
Obat ini dapat menyebabkan Diare, Mual, Muntah,Demam, Sakit kepala,
Menggigil, Nyeri otot, Malaise (lelah, tidak nyaman, atau kurang enak
badan), Hilang nafsu makan, Berat badan turun

3 Identifikasi
DRPS
a. Pemilihan Masalah terkait obat terjadi karena pemilihan obat:
Obat 1. Obat tidak sesuai dengan pedoman/formularium
2. Obat sesuai pedoman, namun terdapat kontraindikasi
3. Tidak ada indikasi untuk obat
4. Kombinasi tidak tepat misalnya obat-obat, obat herbal, atau obat
suplemen
5. Duplikasi dari kelompok terapeutik atau bahan aktif yang tidak tepat
6. Pengobatan tidak diberikan atau tidak lengkap walaupun terdapat indikasi
7. Terlalu banyak obat yang diresepkan (polifarmasi) untuk satu indikasi
(Van Mil, Horvat, & Westerlund, 2019; KARS, 2012)
b. Bentuk obat
Masalah terkait obat terjadi karena pemilihan bentuk sediaan obat adalah
bentuk sediaan obat yang tidak sesuai dengan pasien (Van Mil, Horvat, &
Westerlund, 2019; KARS, 2012).
c. Pemilihan Masalah terkait obat terjadi karena pemilihan dosis obat:
Dosis 1. Dosis obat terlalu rendah
2. Dosis obat terlalu tinggi
3. Regimen dosis kurang
4. Regimen dosis terlalu sering
5. Instruksi waktu pemberian dosis salah, tidak jelas atau tidak ada (Van Mil,
Horvat, & Westerlund, 2019).

d. Durasi Masalah terkait obat terjadi karena durasi pengobatan:


Pengobatan 1. Durasi pengobatan terlalu singkat
2. Durasi pengobatan terlalu lama (Van Mil, Horvat, & Westerlund, 2019).

e. Dispensing/P Masalah terkait obat terjadi karena proses ketersediaan obat yang diresepkan
enyiapan dan proses penyiapannya:
Obat 1. Obat yang diresepkan tidak tersedia
2. Informasi yang diperlukan tidak tersedia
3. Salah obat, kekuatan sediaan atau regimen dosis yang disarankan (khusus
OTC/obat bebas)
4. Salah penyiapan obat atau kekuatan obat (Van Mil, Horvat, & Westerlund,
2019)

Masalah terkait obat terjadi karena penggunaan obat dari pasien terlepas dari
f. Proses instruksi yang tepat (pada label/etiket) oleh tenaga medis atau perawat:
Penggunaan 1. Waktu pemberian obat atau interval dosis tidak tepat
Obat 2. Obat yang diberikan kurang
3. Obat yang diberikan berlebih
4. Obat tidak diberikan sama sekali
5. Obat yang diberikan salah
6. Obat diberikan melalui rute yang salah (Van Mil, Horvat, & Westerlund,
2019).

Masalah terkait obat terjadi karena pasien dan perilakunya (sengaja atau tidak
sengaja):
g. Terkait 1. Pasien menggunakan obat lebih sedikit dari yang diresepkan atau tidak
Pasien menggunakan obat sama sekali
2. Pasien menggunakan obat lebih banyak dari yang diresepkan
3. Pasien menyalahgunakan obat (tidak sesuai anjuran)
4. Pasien menggunakan obat yang tidak perlu
5. Pasien mengkonsumsi makanan yang menyebabkan interaksi obat
6. Pasien menyimpan obat secara tidak tepat (Van Mil, Horvat, &
Westerlund, 2019).

Masalah terkait obat terkait dengan perpindahan pasien antara perawatan


primer, sekunder, dan tersier, atau dalam satu ruang perawatan:
1. Tidak ada rekonsiliasi obat saat pasien dipindahkan
h. Terkait 2. Tidak ada daftar obat baru yang tersedia
Transfer 3. Informasi tentang obat-obatan pada saat pemulangan/transfer tidak
Pasien lengkap atau hilang
4. Informasi klinis tentang pasien tidak memadai
5. Pasien belum menerima obat yang diperlukan saat pemulangan (Van Mil,
Horvat, & Westerlund, 2019).

Masalah terkait obat karena alasan lain:


1. Tidak terdapat hasil pematauan terapi obat yang sesuai (termasuk
TDM/Therapeutic Drug Monitoring)
i. Lainnya 2. Penyebab lain
3. Tidak ada penyebab yang jelas (Van Mil, Horvat, & Westerlund, 2019).
4. Intervensi Farmasi
a. Rekomendasi dosis A. Hepatitis A
obat 1. Vaksin Hepatitis A
Dosis pediatrik diindikasikan untuk anak-anak
Usia 12 bulan hingga 18 tahun, dan dosis dewasa adalah untuk
pasien berusia 19 tahun ke atas.
a. Vaksin Havrik
Usia 1-18 tahun dosis yang diberikan 720 unit ELISA 2
kali di tahun ke 6 dan 12 dan untuk usia > 19 tahun dosis
1.440 unit ELSA 2 kali di tahun ke 6 dan 12
b. Vaksin Vaqta
Usia 1-18 tahun dosis yang diberikan 25 unit ELISA 2 kali
di tahun ke 6 dan 18 dan untuk usia > 19 tahun dosis 50 unit
ELSA 2 kali di tahun ke 6 dan 18
Untuk mengatasi efek samping dari vaksin seperti sakit, rasa
tidak enak badan dan nyeri bisa diberikan analgesic dan
antipiretik
2. Imunoglobulin
Dosis Ig sama untuk orang dewasa dan anak-anak. Untuk
pasca paparan profilaksis dan untuk cakupan prapaparan
jangka pendek <3 bulan, dosis tunggal 0,02 mL/kg diberikan
secara intramuskular. Untuk jangka panjang profilaksis
sebelum paparan ≤5 bulan, dosis tunggal 0,06 mL/kg
digunakan. Otot deltoid atau gluteal dapat digunakan. Pada
anak-anak lebih muda dari usia 24 bulan, Ig dapat diberikan
di anterolateral otot paha
B. Hepatitis B
1. Interferon
Terapi IFN-α2b adalah terapi pertama yang disetujui untuk
pengobatan HBV dan meningkatkan hasil jangka panjang
dan kelangsungan hidup. Serokonversi tarif berkisar antara
30% hingga 40% dan seringkali bersifat permanen, meskipun
kekambuhan lebih mungkin terjadi pada pasien HBeAg-
negatif. Pengobatan untuk minimal 12 bulan dikaitkan
dengan tingkat tanggapan virologi berkelanjutan yang lebih
besar dibandingkan pengobatan selama 4 sampai 6 bulan.
Serokonversi dapat terjadi selama atau setelah terapi selesai.
Durasi pengobatan yang diperpanjang selama 24 bulan
mungkin bermanfaat pasien HBeAg-negatif yang sulit
diobati peberian suntikan tiga kali seminggu; Penggunaan
IFN pegilasi (PEG-IFN) karena manfaat dalam kemudahan
administrasi, penurunan profil efek samping, dan
peningkatan kemanjuran. Dibandingkan dengan IFN
konvensional, PEGIFN memiliki waktu paruh yang lebih
lama sehingga memungkinkan suntikan sekali seminggu.
Untuk HBV pengobatan, formulasi PEG-IFN yang disetujui
adalah PEG-IFN-α2a. Studi membandingkan monoterapi
PEG-IFN-α2a dengan PEG-IFN-α2a-lamivudine terapi
kombinasi menyarankan bahwa terapi kombinasi
menyebabkan penekanan DNA HBV yang lebih besar
dibandingkan monoterapi PEG-IFN-α2a. Monoterapi PEG-
IFN-α2a mencapai serokonversi HBeAg lebih baik
dibandingkan monoterapi lamivudine tanpa perbedaan
kombinasi terapi, dan terapi kombinasi menghasilkan
resistensi lamivudine yang lebih rendah dibandingkan
monoterapi lamivudine. Tingginya risiko infeksi
menghalangi penggunaan IFN pada pasien sirosis
dekompensasi. Pada pasien dengan sirosis terkompensasi,
IFN tampaknya aman dan efektif, meskipun bisa
2. Lamivudin
Lamivudine, analog nukleosida, memiliki aktivitas antivirus
melawan baik HIV maupun HBV. Dosisnya 100 mg setiap
hari; durasi optimal pengobatannya tidak diketahui. Baik
pada HBeAg positif maupun negative pasien, lamivudine
menunjukkan penekanan virus yang mendalam. Lamivudine
bergantung pada tingkat ALT awal. Keuntungan terapi
berbasis sediaannya tablet oral dapat digunakan dengan aman
pasien imunosupresi dan sirosis, namun lama penggunaan
tidak jelas dan dapat terjadi kekambuhan. Terapi jangka
panjang dapat menyebabkan resisten. Pemantauan nila ALT
3. Adefovir
Adefovir dipivoxil adalah analog nukleosida asiklik dari
adenosine monofosfat. Obat ini bekerja dengan menghambat
DNA polimerase HBV. Dosisnya 10 mg setiap hari selama 1
tahun, meskipun optimal durasi terapi tidak diketahui. Pada
pasien yang diobati secara kronis dengan dosis 10 mg setiap
hari, kejadian nefrotoksisitas sama dengan plasebo. Pada
pasien yang sedang mengembangkan lamivudine resistensi
seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan kadar DNA HBV,
tambahannya Adefovir lebih efektif bila dilakukan ketika
kadar ALT masihbiasa.
4. Entecavir
Entecavir adalah analog nukleosida guanosin yang bekerja
dengan cara menghambat Polimerase HBV. Obat oral, lebih
manjur dibandingkan lamivudine dalam menekan kadar
DNA HBV serum dan efektif dalam lamivudine- HBV yang
resisten. Obat ini diberikan dengan dosis 0,5 mg setiap hari
dalam infeksi yang belum pernah menggunakan pengobatan
atau tidak resisten terhadap lamivudine dan pada dosis 1 mg
setiap hari pada pasien yang refrakter terhadap lamivudine.
Pasien beralih dari lamivudine hingga entecavir berisiko
menyebabkan serangan hati.
5. Telbivudin
Obat yang paling baru disetujui untuk pengobatan HBV
adalah telbivudine, analog nukleosida spesifik HBV.
Telbivudine bertindak sebagai kompetitif penghambat
reverse transkriptase virus dan DNA polimerase. Obat
menghambat sintesis DNA HBV tanpa aktivitas melawan
yang lain. Dibandingkan dengan lamivudine, telbivudine
adalah penekan DNA HBV yang lebih kuat dengan median
lebih besar Pengurangan log DNA HBV dan semakin banyak
pasien yang tidak terdeteksi viral load. Lebih banyak pasien
juga mengalami normalisasi tingkat ALT.
C. Hepatitis C

b. Pemantauan A. Hepatitis A
terapi obat Perlindungan Vaksin Hepatitis A Dosis Tunggal
Tingkat antibodi anti-HAV yang protektif setelah satu dosis vaksin
Hepatitis A yang di inaktivasi dapat bertahan selama hamper 11
tahun dan meningkat atau muncul kembali setelah vaksinasi
booster. Satu dosis vaksin Hepa A telah terbukti menginduksi
imunitas selular spesifik HAV serupa dengan imunitas yang
diinduksi oleh infeksi alami. Vaksin HepaA antigen tunggal juga
telah terbukti mengendalikan wabah hepatitis A.
Kehadiran anti-HAV yang di dapat secara pasif dari ibu pada saat
vaksinasi bayi (usia 12 bulan) menganggu respon imun terhadap
vaksinasi HepaA dan secara signifikan mengurangi konsentrasi
anti-HAV setelah vaksinasi.
B. Hepatitis B
1. Terapi dengan analog Nukleos(t)ida
Terapi dengan analog nukleos(t)ida umumnya cukup efektif dan
relatif lebih bebas efek samping. Namun tingginya
kemungkinan resistensi adalah masalah yang harus dihadapi.
Oleh karena itu, selama terapi perlu dilakukan pemeriksaan
DNA VHB, anti HBe, dan ALT secara berkala setiap 3-6 bulan.
Di samping itu, pada pasien yang mendapat terapi adefovir atau
tenofovir, diperlukan pemantauan fungsi ginjal secara rutin
sekurang-kurangnya setiap 3 bulan. Terapi dengan analog
nukleos(t)ida umumnya cukup efektif dan relatif lebih bebas
efek samping. Namun tingginya kemungkinan resistensi adalah
masalah yang harus dihadapi. Oleh karena itu, selama terapi
perlu dilakukan pemeriksaan DNA VHB, anti HBe, dan ALT
secara berkala setiap 3-6 bulan. Di samping itu, pada pasien
yang mendapat terapi adefovir atau tenofovir, diperlukan
pemantauan fungsi ginjal secara rutin sekurang-kurangnya
setiap 3 bulan.
2. Terapi dengan Pegylated Interferon
Terdapat beberapa parameter yang menentukan respon terapi
menggunakan Peg-IFN. Kadar serum HBsAg merupakan faktor
penting dalam memprediksi respon terapi. Nilai batas dari kadar
HBsAg dipengaruhi oleh genotipe virus. Pemeriksaan HBeAg,
ALT, dan DNA VHB dilakukan tiap bulan pada 3 bulan pertama
terapi dihentikan. Kemudian dilanjutkan tiap 3 bulan selama
satu tahun. Bila tidak ada relaps, pemeriksaan dilakukan tiap 3
bulan pada pasien sirosis dan tiap 6 bulan pada non-
sirosis.(Gani, Rino., dkk. 2012).
C. Hepatitis C
Pemantauan keberhasilan terapi harus dilakukan dengan
pengukuran kadar RNA VHC. Pengukuran ini sebaiknya
dilakukan pada waktu yang spesifik. Pengukuran berkala
digunakan juga untuk menilai kepatuhan pasien. Pada beberapa
regimen, hasil dari tes RNA VHC dapat digunakan untuk
menentukan apakah terapi dilanjutkan atau tidak. Namun secara
umum, pemantauan ini digunakan untuk menentukan apakah
terapi yang dilakukan berhasil atau tidak. Teknik real time-PCR
dengan nilai deteksi terendah adalah <15 IU/Ml, digunakan
untuk memantau kadar RNA VHC saat dan setelah terapi. Pada
dual therapy Peg-INF/RBV, pemeriksaan RNA VHC dilakukan
pada awal terapi, minggu ke-4, 12, 24, akhir terapi antivirus dan
24 minggu setelah terapi diberhentikan. Pada terapi tanpa IFN,
RNA VHC dinilai baik secara kuantitatif maupun kualitatif pada
awal terapi dan 12 minggu setelah terapi dihentikan.
c. Monitoring Efek Monitoring efek samping obat (MESO) terbagi atas 2, yaitu
Samping Obat (KARS, 2012):
(MESO) 1. Dapat diprediksi, adalah efek samping obat yang sudah dapat
diprediksikan atau tertera dalam literatur, meliputi aksi
farmakologik yang berlebihan, respon karena penghentian
obat.
2. Tidak dapat diprediksi, adalah efek samping obat yang timbul
tidak diketahui penyebabnya dan memberikan efek yang
serius, meliputi reaksi alergi, reaksi faktor genetik, reaksi
idiosinkrati.
Bentuk monitoring berupa pemantauan langsung ke pasien
setelah menggunakan obat-obat tersebut dan penanganan jika
terjadi efek samping serta menghubungi DPJP. Monitoring
dilakukan dengan membuat laporan MESO dalam form berwarna
kuning, dan dilaporkan ke BPOM. Pemantauan dan Pelaporan
efek samping obat dikoordinasikan oleh Panitia Farmasi dan
Terapi RS.
d. Monitoring Terapi dengan kombinasi PegIFN dan telbivudin kemungkinn
Interaksi Obat dapat menyebabkan neuropati perifer. Kombinasi adevofir dan
tenofovir menyebakan interaksi secara farmakodinamik sinergis,
dapat meningatkan nefrotosisitas dan meningkatkan konsentrasi
tenofovir di dalam serum sehingga dapat menurunkan fungsi
ginjal.(Medscape,2023)
5 Monitoring dan Evaluasi
a. Efek terapi obat 1. Penggunaan terapi obat selama 1-6 bulan
2. Pemilihan obat kombinasi
3. Efek terapi tercapai
4. Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan
5. Efek samping setelah penyuntikan
6. Pemeriksaan antigen spesifik (HBsAg, HbcAg, HBeA)
7. Tes laboratorium urin
8. Pemeriksaan darah (kadar SGOT dan SGPT)
9. Pemeriksaan DNA VHB
10. Pemeriksaan kadar alanin aminotransferase (ALT)
11.Gambaran histologis hati/bipsi hati
b. Adverse drug 1. Mual-muntah
Reaction (ADR) 2. Nyeri pada bekas penyuntikkan vaksin
3. Sakit kepala
4. Konstipasi
6 Edukasi dan Informasi
a. Kepatuhan 1. Apoteker: member edukasi dan informasi terkait waktu minum
minum obat kepasien, keluarga pasien, perawat, serta memantau
obat kepatuhan pasien dalam penggunaan obatnya.
2. Perawat di ruang perawatan: member obat kepasien setiap
waktu/jam pemberian obat serta memastikan obat sudah di
minum (oral)/disuntikkan (intravena bolus, infuse intravena)
dengan mengisi dan member paraf pada lembar kardeks obat
pasien di berkas rekam medik (BRM).
b. Efek samping 1. Memberikan edukasi dan informasi kepada pasien, keluarga
obat pasien dan perawat terkait efek samping obat hepatitis yang
digunakan. Apoteker menyampaikan kepasien kemungkinan
efek samping yang akan timbul jika menggunakan antibiotika,
misalnya alergi, atau ketika menggunakan obat-obat dan
merasakan efek samping yang tidak diharapkan untuk segera
melapor keperawat.

2. Perawat melakukan tes reaksi alergi sebelum memberikan


antibiotic kepasien
c. Cara 1. Cara menggunakan obat oral
Obat dimasukkan di mulut dan ditelan dengan minum air putih.
menggunakan
Obat diminum sesuai aturan pakai pemberian obat, misalnya
obat yang benar aturan pakai 3 x1 artinya pemberian obat tiap 8 jam, 2 x 1 tiap
12 jam, 1 x 1 tiap 24 jam. Diminum sesudah atau sebelum
makan.
a. Cara menggunakan obat injeksi
perawat memberikan secara intravena denga pemberian obat
sesuai jam penyuntika/sesuai aturan pakai misalnya 3 x 1
artinya pemberian obat tiap 8 jam, 2 x 1 tiap 12 jam, 1 x 1 tiap
24 jam
c. Konseling dan 1. Pasien harus menghindari alcohol sama sekali dan mengurangi
Edukasi makanan yang memiliki kemungkinan bersifat hepatotoksik.
Pencegahan 2. Pasien harus berhati-hati dalam mengkonsumsi jamu,
Hepatitis suplemen, atau obat yang dijual bebas.
3. Pasien harus memberitahukan status hepatitis B-nya apabila
berobat kedokter untuk menghindari pemberian terapi yang
bersifat hepatotoksik dan terapi imunosupresi.
4. Pasien tidak diperbolehkan bertukar sikat gigi ataupun pisau
cukur.
5. Pasien tidak diperbolehkan mendonorkan darah, organ,
(Kemenkes,2019).
e. Cara menyimpan 1. Penyimpanan obat di instalasi farmasi rumah sakit dilakukan
obat yang benar berdasarkan beberapa kategori seperti berdasarkan jenis dan
bentuk sediaan, suhu penyimpanan dan stabilitas obat, sifat
bahan, susunan alfabetis, dengan menerapkan prinsip FEFO
(First Expired First Out) dan FIFO (First In First Out) untuk
mencegah tersimpannya obat yang sudah kadaluarsa.
Penyimpanan obat yang nama dan rupanya mirip LASA (Look
Alike Sound Alike) perlu diberikan penandaan khusus seperti
stiker berlogo pada wadah obat dan penyimpanan tidak
diletakkan berdampingan.
2. Penyimpanan obat di ruang perawatan: obat di simpan pada
suhu kamar 15°-30°C terlindung dari cahaya sinar matahari.
3. Sediaan injeksi harus disimpan pada suhu di bawah 25°C.
(KEMENKES, 2011).
7. Penelaah kritis Apoteker klinis: apt. Kelompok 6 S.Farm.
8. Indikator 1. Melakukan vaksinasi
2. Gejala hepatitis seperti: flu, mual, muntah, demam, dan lemas,
feses berwarna pucat, mata dan kulit berubah warna
kekuningan, nyeri dibagian perut.
9. Kepustakaan 1. Depkes RI. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hati.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik ; Jakarta.
2. KARS. (2012). Pedoman Penyusunan Panduan Praktis.
3. KepMenKes No HK.01.07/MENKES/322/2019 Tentang
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Hepatitis B. Kemenkes ; Jakarta.
4. Medscape.2023. Drug Interaction checker.
5. KEMENKES. (2011). Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotika. Jakarta: Depkes RI.
6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2019.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Hepatitis B: Depkes RI.

Anda mungkin juga menyukai