HEPATITIS
OLEH:
KELOMPOK 5
REIHAN ASKIYAH
ANIS RUSMAWATI RUSLI
PERAYANTI
ADILLA MUWAHADDAH
LINSEPDA LIMBONG
EKA ZULAIKA
1 Pengertian Hepatitis adalah peradangan pada hati (liver) yang disebabkan oleh
. virus, mengakibatkan infeksi sistemik oleh virus disertai nekrosis dan
inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan kumpulan perubahan
klinis, bikomia serta seluler yang khas. Sampai saat ini sudaj
teridentifikasi lima tipe hepatitis virus yang pasti yaitu: hepatitis A, B,
C, D dan E (Kemenkes, 2017).
2 Assesmen
. Kefarmasian
a. Efektivitas Hepatitis A
Pengobatan Manajemen Infeksi HAV
Tidak ada pengobatan khusus yang ada untuk infeksi HAV, dan
manajemennya hanyalah dukungan atau perawatan suportif. Ini berarti bahwa
ketika seseorang terinfeksi HAV, tidak ada obat khusus yang dapat digunakan
untuk mengobati infeksinya. Dalam kasus HAV, perawatan bertujuan untuk
mengurangi gejala dan mendukung tubuh dalam pemulihan alaminya.
Pencegahan HAV
Cara paling efektif untuk mencegah infeksi HAV adalah dengan
meningkatkan sanitasi, keamanan pangan, dan praktik imunisasi. Ini mengacu
pada pentingnya mencuci tangan dengan benar dan menjaga kebersihan tubuh
secara umum.
Vaksinasi Hepatitis A
Di Amerika Serikat, strategi vaksinasi saat ini mencakup vaksinasi semua
anak pada usia 1 tahun. Ada dua jenis vaksin virus inaktif yang tersedia, yaitu
Havrix dan Vaqta.
Hepatitis B
Penggunaan obat pada Hepatitis B:
1. Golongan Interferon
Interferon (IFN) adalah mediator inflamasi fisiologis dari tubuh berfungsi
dalam pertahanan terhadap virus. Interferon akan mengaktifkan sel T
sitotoksik, sel natural killer, dan makrofag. Secara umum dapat
disimpulkan bahwa terapi interferon boleh digunakan pada pasien dengan
karakteristik:
a. Pasien muda yang telah memenuhi indikasi terapi, tanpa penyakit
penyerta, dan memiliki biaya yang mencukupi.
b. Pada pasien yang diketahui terinfeksi VHB genotip A atau B,
mengingat penelitian yang ada telah membuktikan bahwa terapi
interferon akan memberikan efektivitas yang lebih baik pada infeksi
VHB dari genotip tersebut.
Sebaliknya, interferon tidak boleh diberikan pada pasien dengan
karakteristik:
a. Pasien dengan gangguan psikiatri.
b. Pasien yang sedang hamil.
c. Pasien dengan penyakit autoimun aktif.
Saat ini tersedia 2 jenis pegylated interferon, yaitu pegylatedinterferon α-
2a (peg-IFN α-2a) dan pegylated-interferon α-2b (pegIFN α-2b).
2. Golongan Analog Nukleos(t)ida
Analog nukleos(t)ida bekerja dengan menghambat tempat berikatan
polimerase virus, berkompetisi dengan nukleosida atau nukleotida, dan
menterminasi pemanjangan rantai DNA.
a. Entecavir
Entecavir (ETV) adalah analog 2-deoxyguanosine. Obat ini bekerja
dengan menghambat priming DNA polimerase virus, reverse
transcription dari rantai negatif DNA, dan sintesis rantai positif DNA.
b. Tenofovir Disoproxil Fumarate
Tenofovir disoproxil fumarate (TDF) adalah prekursor tenofovir,
sebuah analog nukleotida yang efektif untuk hepadanavirus dan
retrovirus.
c. Lamivudin
Analog nukleos(t)ida bekerja dengan menghambat tempat berikatan
polimerase virus, berkompetisi dengan nukleosida atau nukleotida,
dan menterminasi pemanjangan rantai DNA.
d. Strategi Pemantauan Terapi Analog Nukleos(t)ida
Terapi dengan analog nukleos(t)ida umumnya cukup efektif dan
relatif lebih bebas efek samping. Namun tingginya kemungkinan
resistensi adalah masalah yang harus dihadapi (Konsensus Nasional,
2012; Permenkes, 2019)
3. Terapi kombinasi
Sebuah meta analisis oleh Peng, dkk. berusaha mengevaluasi efek terapi
kombinasi Peg-IFN + analog nukleosida bila dibandingkan dengan
monoterapi Peg-IFN. Pada pasien dengan HBeAg positif, monoterapi Peg-
IFN terbukti memberikan respons lebih signifikan (51%) apabila
dibandingkan dengan kombinasi Peg-IFN dengan lamivudin / adefovir /
tenofovir (44%), sedangkan pada pasien dengan HBeAg negatif, terapi
kombinasi memberikan hasil lebih baik (67%, IK 95% 50-85%) apabila
dibandingkan dengan monoterapi (57%, IK 36-77%).
4. Terapi penambahan (add-on therapy)
Penelitian terapi sekuensial pertama kali dilakukan oleh Sarin, dkk. Pasien
HBeAg positif dirandomisasi untuk terapi dengan lamivudin selama 52
minggu dan terapi dengan lamivudine dengan adisi interferon-α selama 16
minggu pada minggu ke 8.
5. Terapi pada Anak
Anak yang terkena hepatitis B kronik umumnya tidak memiliki gejala
karena berada pada fase imunotoleran sehingga Sebagian besar anak
dengan hepatitis B tidak terapi.
Hepatitis C
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hepatitis C yang utama adalah terapi antivirus dengan direct-
acting antivirals (DAAs), seperti sofosbuvir. DAAs umumnya digunakan
dalam regimen kombinasi dengan DAAs lain untuk meningkatkan efikasinya.
Sebelum ditemukannya all-oral DAAs, hepatitis C diterapi dengan injeksi
pegylated interferon dan ribavirin, namun terapi tersebut hanya memiliki
angka kesembuhan 40-60% serta banyak menimbulkan efek samping seperti
neutropenia, trombositopenia, anemia berat, dan efek neurokognitif. Dengan
DAAs, angka kesembuhan meningkat sampai 90-97%, efek samping lebih
ringan, durasi terapi lebih singkat, serta menurunkan penggunaan obat injeksi.
15-50% pasien hepatitis C akut dapat sembuh spontan, namun terapi harus
segera diberikan tanpa menunggu resolusi spontan. Pilihan regimen terapi
untuk hepatitis C akut sama dengan regimen terapi untuk hepatitis C kronik.
Target Terapi
Target terapi hepatitis C adalah mencapai eradikasi HCV berkelanjutan yang
ditandai dengan tidak adanya HCV RNA dalam serum 12 minggu setelah
terapi antivirus, serta mencegah progresi ke arah sirosis, hepatocellular
carcinoma (HCC), dan penyakit hati dekompensata yang membutuhkah
transplantasi hati.
3 Identifikasi
DRPS
a. Pemilihan Masalah terkait obat terjadi karena pemilihan obat:
Obat 1. Obat tidak sesuai dengan pedoman/formularium
2. Obat sesuai pedoman, namun terdapat kontraindikasi
3. Tidak ada indikasi untuk obat
4. Kombinasi tidak tepat misalnya obat-obat, obat herbal, atau obat
suplemen
5. Duplikasi dari kelompok terapeutik atau bahan aktif yang tidak tepat
6. Pengobatan tidak diberikan atau tidak lengkap walaupun terdapat indikasi
7. Terlalu banyak obat yang diresepkan (polifarmasi) untuk satu indikasi
(Van Mil, Horvat, & Westerlund, 2019; KARS, 2012)
b. Bentuk obat
Masalah terkait obat terjadi karena pemilihan bentuk sediaan obat adalah
bentuk sediaan obat yang tidak sesuai dengan pasien (Van Mil, Horvat, &
Westerlund, 2019; KARS, 2012).
c. Pemilihan Masalah terkait obat terjadi karena pemilihan dosis obat:
Dosis 1. Dosis obat terlalu rendah
2. Dosis obat terlalu tinggi
3. Regimen dosis kurang
4. Regimen dosis terlalu sering
5. Instruksi waktu pemberian dosis salah, tidak jelas atau tidak ada (Van Mil,
Horvat, & Westerlund, 2019).
e. Dispensing/P Masalah terkait obat terjadi karena proses ketersediaan obat yang diresepkan
enyiapan dan proses penyiapannya:
Obat 1. Obat yang diresepkan tidak tersedia
2. Informasi yang diperlukan tidak tersedia
3. Salah obat, kekuatan sediaan atau regimen dosis yang disarankan (khusus
OTC/obat bebas)
4. Salah penyiapan obat atau kekuatan obat (Van Mil, Horvat, & Westerlund,
2019)
Masalah terkait obat terjadi karena penggunaan obat dari pasien terlepas dari
f. Proses instruksi yang tepat (pada label/etiket) oleh tenaga medis atau perawat:
Penggunaan 1. Waktu pemberian obat atau interval dosis tidak tepat
Obat 2. Obat yang diberikan kurang
3. Obat yang diberikan berlebih
4. Obat tidak diberikan sama sekali
5. Obat yang diberikan salah
6. Obat diberikan melalui rute yang salah (Van Mil, Horvat, & Westerlund,
2019).
Masalah terkait obat terjadi karena pasien dan perilakunya (sengaja atau tidak
sengaja):
g. Terkait 1. Pasien menggunakan obat lebih sedikit dari yang diresepkan atau tidak
Pasien menggunakan obat sama sekali
2. Pasien menggunakan obat lebih banyak dari yang diresepkan
3. Pasien menyalahgunakan obat (tidak sesuai anjuran)
4. Pasien menggunakan obat yang tidak perlu
5. Pasien mengkonsumsi makanan yang menyebabkan interaksi obat
6. Pasien menyimpan obat secara tidak tepat (Van Mil, Horvat, &
Westerlund, 2019).
b. Pemantauan A. Hepatitis A
terapi obat Perlindungan Vaksin Hepatitis A Dosis Tunggal
Tingkat antibodi anti-HAV yang protektif setelah satu dosis vaksin
Hepatitis A yang di inaktivasi dapat bertahan selama hamper 11
tahun dan meningkat atau muncul kembali setelah vaksinasi
booster. Satu dosis vaksin Hepa A telah terbukti menginduksi
imunitas selular spesifik HAV serupa dengan imunitas yang
diinduksi oleh infeksi alami. Vaksin HepaA antigen tunggal juga
telah terbukti mengendalikan wabah hepatitis A.
Kehadiran anti-HAV yang di dapat secara pasif dari ibu pada saat
vaksinasi bayi (usia 12 bulan) menganggu respon imun terhadap
vaksinasi HepaA dan secara signifikan mengurangi konsentrasi
anti-HAV setelah vaksinasi.
B. Hepatitis B
1. Terapi dengan analog Nukleos(t)ida
Terapi dengan analog nukleos(t)ida umumnya cukup efektif dan
relatif lebih bebas efek samping. Namun tingginya
kemungkinan resistensi adalah masalah yang harus dihadapi.
Oleh karena itu, selama terapi perlu dilakukan pemeriksaan
DNA VHB, anti HBe, dan ALT secara berkala setiap 3-6 bulan.
Di samping itu, pada pasien yang mendapat terapi adefovir atau
tenofovir, diperlukan pemantauan fungsi ginjal secara rutin
sekurang-kurangnya setiap 3 bulan. Terapi dengan analog
nukleos(t)ida umumnya cukup efektif dan relatif lebih bebas
efek samping. Namun tingginya kemungkinan resistensi adalah
masalah yang harus dihadapi. Oleh karena itu, selama terapi
perlu dilakukan pemeriksaan DNA VHB, anti HBe, dan ALT
secara berkala setiap 3-6 bulan. Di samping itu, pada pasien
yang mendapat terapi adefovir atau tenofovir, diperlukan
pemantauan fungsi ginjal secara rutin sekurang-kurangnya
setiap 3 bulan.
2. Terapi dengan Pegylated Interferon
Terdapat beberapa parameter yang menentukan respon terapi
menggunakan Peg-IFN. Kadar serum HBsAg merupakan faktor
penting dalam memprediksi respon terapi. Nilai batas dari kadar
HBsAg dipengaruhi oleh genotipe virus. Pemeriksaan HBeAg,
ALT, dan DNA VHB dilakukan tiap bulan pada 3 bulan pertama
terapi dihentikan. Kemudian dilanjutkan tiap 3 bulan selama
satu tahun. Bila tidak ada relaps, pemeriksaan dilakukan tiap 3
bulan pada pasien sirosis dan tiap 6 bulan pada non-
sirosis.(Gani, Rino., dkk. 2012).
C. Hepatitis C
Pemantauan keberhasilan terapi harus dilakukan dengan
pengukuran kadar RNA VHC. Pengukuran ini sebaiknya
dilakukan pada waktu yang spesifik. Pengukuran berkala
digunakan juga untuk menilai kepatuhan pasien. Pada beberapa
regimen, hasil dari tes RNA VHC dapat digunakan untuk
menentukan apakah terapi dilanjutkan atau tidak. Namun secara
umum, pemantauan ini digunakan untuk menentukan apakah
terapi yang dilakukan berhasil atau tidak. Teknik real time-PCR
dengan nilai deteksi terendah adalah <15 IU/Ml, digunakan
untuk memantau kadar RNA VHC saat dan setelah terapi. Pada
dual therapy Peg-INF/RBV, pemeriksaan RNA VHC dilakukan
pada awal terapi, minggu ke-4, 12, 24, akhir terapi antivirus dan
24 minggu setelah terapi diberhentikan. Pada terapi tanpa IFN,
RNA VHC dinilai baik secara kuantitatif maupun kualitatif pada
awal terapi dan 12 minggu setelah terapi dihentikan.
c. Monitoring Efek Monitoring efek samping obat (MESO) terbagi atas 2, yaitu
Samping Obat (KARS, 2012):
(MESO) 1. Dapat diprediksi, adalah efek samping obat yang sudah dapat
diprediksikan atau tertera dalam literatur, meliputi aksi
farmakologik yang berlebihan, respon karena penghentian
obat.
2. Tidak dapat diprediksi, adalah efek samping obat yang timbul
tidak diketahui penyebabnya dan memberikan efek yang
serius, meliputi reaksi alergi, reaksi faktor genetik, reaksi
idiosinkrati.
Bentuk monitoring berupa pemantauan langsung ke pasien
setelah menggunakan obat-obat tersebut dan penanganan jika
terjadi efek samping serta menghubungi DPJP. Monitoring
dilakukan dengan membuat laporan MESO dalam form berwarna
kuning, dan dilaporkan ke BPOM. Pemantauan dan Pelaporan
efek samping obat dikoordinasikan oleh Panitia Farmasi dan
Terapi RS.
d. Monitoring Terapi dengan kombinasi PegIFN dan telbivudin kemungkinn
Interaksi Obat dapat menyebabkan neuropati perifer. Kombinasi adevofir dan
tenofovir menyebakan interaksi secara farmakodinamik sinergis,
dapat meningatkan nefrotosisitas dan meningkatkan konsentrasi
tenofovir di dalam serum sehingga dapat menurunkan fungsi
ginjal.(Medscape,2023)
5 Monitoring dan Evaluasi
a. Efek terapi obat 1. Penggunaan terapi obat selama 1-6 bulan
2. Pemilihan obat kombinasi
3. Efek terapi tercapai
4. Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan
5. Efek samping setelah penyuntikan
6. Pemeriksaan antigen spesifik (HBsAg, HbcAg, HBeA)
7. Tes laboratorium urin
8. Pemeriksaan darah (kadar SGOT dan SGPT)
9. Pemeriksaan DNA VHB
10. Pemeriksaan kadar alanin aminotransferase (ALT)
11.Gambaran histologis hati/bipsi hati
b. Adverse drug 1. Mual-muntah
Reaction (ADR) 2. Nyeri pada bekas penyuntikkan vaksin
3. Sakit kepala
4. Konstipasi
6 Edukasi dan Informasi
a. Kepatuhan 1. Apoteker: member edukasi dan informasi terkait waktu minum
minum obat kepasien, keluarga pasien, perawat, serta memantau
obat kepatuhan pasien dalam penggunaan obatnya.
2. Perawat di ruang perawatan: member obat kepasien setiap
waktu/jam pemberian obat serta memastikan obat sudah di
minum (oral)/disuntikkan (intravena bolus, infuse intravena)
dengan mengisi dan member paraf pada lembar kardeks obat
pasien di berkas rekam medik (BRM).
b. Efek samping 1. Memberikan edukasi dan informasi kepada pasien, keluarga
obat pasien dan perawat terkait efek samping obat hepatitis yang
digunakan. Apoteker menyampaikan kepasien kemungkinan
efek samping yang akan timbul jika menggunakan antibiotika,
misalnya alergi, atau ketika menggunakan obat-obat dan
merasakan efek samping yang tidak diharapkan untuk segera
melapor keperawat.