Anda di halaman 1dari 37

STUDI KASUS FARMASI KLINIK DAN RUMAH SAKIT

“PEMANTAUAN TERAPI OBAT”


KASUS 2 – HEPATITIS B

Dosen pengampu :
Dr. apt. Lucia Vita Inandha Dewi, M. Sc

Disusun oleh :
Kelas A4 – Kelompok 2

Diana Nur Aulia Sari (2120414600)


Arief Wibisana (2120414601)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. DEFINISI
Istilah "hepatitis" dipakai untuk semua jenis peradangan pada hati. Penyebabnya
dapat berbagai macam, mulai dari virus sampai dengan obat-obatan, termasuk obat
tradisional. Virus hepatitis terdiri dari beberapa jenis, hepatitis A, B, C, D, E, F dan G.
Hepatitis A, B dan C adalah yang paling banyak ditemukan. Manifestasi penyakit
hepatitis akibat virus bisa akut (hepatitis A), kronik (hepatitis B dan C) ataupun kemudian
menjadi kanker hati (hepatitis B dan C).
Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B
(HBV). HBV merupakan famili Hepanadviridae yang dapat menginfeksi manusia. Virus
ini mengandung DNA yang mempunyai empat open reading frame: core (C), surface (S),
polymerase (P), dan X. Gen C mengkode protein nukleokapsid yang penting dalam
membungkus virus dan HBeAg. Gen S mengkode protein envelope. Gen X penting
dalam proses karsiogenesis. Genotip virus hepatitis B: genotip A, B, C, D, E, F, G, H.
Genotip B dan C paling banyak ditemukan di Asia. Hepatitis B adalah suatu penyakit hati
yang disebabkan oleh virus Hepatitis B, suatu anggota famili hepadnavirus yang dapat
menyebabkan peradangan hati akut atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati
atau kanker hati. Hepatitis B akut jika perjalanan penyakit kurang dari 6 bulan sedangkan
Hepatitis B kronis bila penyakit menetap, tidak menyembuh secara klinis atau
laboratorium atau pada gambaran patologi anatomi selama 6 bulan (Mustofa &
Kurniawaty, 2013).
Tabel perbandingan virus hepatitis
B. PATOFISIOLOGI
Penyakit ini disebakan infeksi oleh virus hepatitis B, sebuah virus DNA dari
keluarga Hepadnaviridae dengan struktur virus berbentuk sirkular dan terdiri dari 3200
pasang basa. Pajanan virus ini akan menyebabkan dua keluaran klinis, yaitu: (1) Hepatitis
akut yang kemudian sembuh secara spontan dan membentuk kekebalan terhadap penyakit
ini, atau (2) Berkembang menjadi kronik.
Pasien yang terinfeksi VHB secara kronik bisa mengalami 4 fase penyakit, yaitu
fase immune tolerant, fase immune clearance, fase pengidap inaktif, dan fase reaktivasi.
Fase immune tolerant ditandai dengan kadar DNA VHB yang tinggi dengan kadar alanin
aminotransferase (ALT) yang normal. Sedangkan, fase immune clearance terjadi ketika
sistem imun berusaha melawan virus. Hal ini ditandai oleh fluktuasi level ALT serta
DNA VHB. Pasien kemudian dapat berkembang menjadi fase pengidap inaktif, ditandai
dengan DNA VHB yang rendah (<2000 IU/ml), ALT normal, dan kerusakan hati
minimal. Seringkali pasien pada fase pengidap inaktif dapat mengalami fase reaktivasi
dimana DNA VHB kembali mencapai >2000 IU/ml dan inflamasi hati kembali terjadi.

C. TATALAKSANA DAN DIAGNOSA HEPATITIS B


Menurut Permenkes NOMOR HK.01.07/MENKES/322/2019 Tentang Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Hepatitis B dibedakan menjadi :
1. Infeksi VHB Akut
Sekitar 70% pasien dengan infeksi akut VHB menunjukkan gejala subklinis atau hepatitis
non-ikterus. Masa inkubasi virus terjadi selama 1-4 bulan. Memasuki periode prodomal,
sindrom serum sickness-like mulai muncul dan diikuti dengan malaise, anoreksia, mual,
rasa tidak nyaman pada perut bagian kanan atas, dan pada sebagian pasien menunjukkan
demam, muntah, dan ikterus. Gejala klinis dan ikterus umumnya hilang setelah 1-3 bulan.
Gejala lemah pada sebagian pasien akan bertahan walaupun kadar serum ALT telah
normal. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatomegali, ikterus, dan demam
dengan suhu yang rendah. Sebagian kecil pasien dapat ditemukan splenomegali dan
spider nevi
2. Infeksi VHB Kronik
Sebagian besar pasien dengan infeksi kronik VHB tidak merasakan gejala. Sebagian
pasien merasakan kelemahan maupun rasa tidak nyaman pada perut bagian kanan atas.
Pada kasus eksaserbasi infeksi kronik VHB, pasien dapat bersifat asimtomatik maupun
menunjukkan gejala yang menyerupai infeksi akut. Pada kasus yang jarang,
dekompensasi hati terjadi pada kondisi ini. Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan hasil
yang normal maupun adanya stigmata dari penyakit hati kronik dan hepatomegali yang
ringan. Pada pasien dengan sirosis, limpa dapat teraba dan terdapat gejala gagal hati
seperti ikterus, edema tungkai, asites, dan ensefalopati.
Anamnesis pasien dengan faktor risiko merupakan hal penting dalam diagnosis
infeksi VHB. Pasien-pasien dengan faktor resiko merupakan kandidat untuk
dilakukannya penapisan infeksi. Faktor risiko seseorang infeksi VHB antara lain:
1. Lahir dari daerah endemis infeksi VHB
2. Belum pernah mendapatkan vaksinasi dan lahir dari orang tua yang tinggal di daerah
endemis hepatitis B
3. Berhubungan seksual dengan penderita hepatitis B
4. Laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki
5. Pengguna narkoba suntik
6. Terinfeksi HIV
7. Sedang menjalani hemodialisis
8. Menjalani kemoterapi maupun terapi supresi lainnya

Diagnosis pada infeksi hepatitis B kronik dilakukan untuk :


1. Menemukan hubungan kausal penyakit hati dengan infesi kronik VHB
2. Penilaian derajat kerusakan hati. Dilakuka dengan pemeriksaan penanda biokimia yaitu
ALT, GGT, alkali fosfatase, bilirubin, albumin dan globulin serum, darah lengkap, PT,
dan USG hati. Pada umumnya ALT aan lebih tinggi dari AST, namun seiring dengan
progresifitas penyakit menuju sirosis rasio ini akan terbalik. Bila sirosis telah terbentuk,
maka akan tampak penurunan progresif dari albumin, peningkatan globulin dan
pemanjangan waktu protrombin yang disertai penurunan jumlah trombosit.
3. Menemukan penyebab penyakit lain, termasuk kemungkinan ko-infeksi dengan VHC
dan/atau HIV. Penyakit komorbid lain seperti hati metabolic, autoimun serta alkoholik
dengan atau tanpa steatosis/steatohepatitis juga perlu dievaluasi.
4. Indikasi terapi pada infeksi VHB kronik ditentukan oleh nilai DNA VHB, ALT serum
dan gambaran histologist hati. indikasi terapi pada infeksi Hepatitis B ditentikan
berdasarkan kombinasi dari empat kriteria yaitu :
a. Nilai DNA VHB serum. Nilai DNA VHB merupakan salah satu indicator mortalitas
dan morbiditas yang paling kuat untuk hepatitis B.
b. Status HBeAg. Pasien dengan HBeAg positif diketahui memiliki resiko morbiditas
dan mortaltas lebih tinggi. Pada pasien dengan HBeAg positif terapi dapat dimulai
pada DNA VHB diatas 2x104 IU/mL dengan ALT 2-5x batas normal yang menetap
selama 3-6 bulan atau ALT serum >5x batas normal atau dengan gambaran histologist
fibrosis derajat sedang sampai berat. Sedangkan pasa pasien HBeAg negatif,
terapidimulai pada pasien dengan DNA VHB lebih dari 2x103 IU/mL dan kenaikan
ALT >2x batas atas normal yang menetap selama 3-6 bulan.
c. Nilai ALT.
d. Gambaran histologi hati. ppenilaian fibrosis hati merupakan factor prognostic pada
infeksi hepatitis B kronik. Indikasi dilakukannya pemeriksaan histologis hati adalah
pasien yang tidak memenuhi criteria pengobatan dan berumur >30 tahun atau <30
tahun dengan riwayat KHS dan sirosis dalam keluarga
D. GUIDLINE FARMAKOTERAPI
Sampai sekarang telah terdapat setidaknya 2 jenis obat hepatitis B yang diterima
secara luas, yaitu golongan interferon (baik interferon konvensional, pegylated interferon
α-2a, maupun pegylated interferon α-2b) dan golongan analog nukleostida. Golongan
analog nukleostida ini lebih jauh lagi terdiri atas lamivudin, adefovir, entecavir,
telbivudin, dan tenofovir.
1. Interferon
Terapi IFN-alfa adalah terapi pertama yang disetujui untuk pengobatan HBV
dan meningkatkan hasil jangka panjang serta kelangsungan hidup. Pasien yang
merespon terapi IFN cenderung memiliki respon yang lebih tahan lama dibandingkan
dengan lamivudine, kemungkinan sebagai konsekuensi dari stimulasi IFN pada
respon imun untuk serokonversi. Namun, serokonversi dengan terapi IFN paling
mungkin terjadi pada pasien dengan HBeAg positif dan yang mengalami peningkatan
ALT persisten atau intermiten. Durasi terapi yang dianjurkan adalah 48 minggu.
Risiko tinggi infeksi menghalangi penggunaan IFN pada pasien sirosis
dekompensasi dan dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit autoimun,
penyakit kejiwaan yang tidak terkontrol, sitopenia, penyakit jantung berat, dan
kejang yang tidak terkontrol. Pada pasien dengan sirosis kompensasi, IFN dapat
memicu flare hati dan memicu dekompensasi hati. Namun, karena efek samping
yang substansial, kebutuhan pemantauan, dan toksisitas terapi berbasis IFN, IFN
tidak dianggap sebagai pilihan di negara terbatas sumber daya dan tidak
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama oleh WHO.
2. Entecavir
Entecavir adalah guanosin NA oral yang bekerja dengan menghambat
replikasi HBV. Ia memiliki aktivitas yang lemah melawan HIV. Entecavir
dianggap sebagai agen lini pertama untuk terapi HBV karena kemanjurannya dan
tingkat resistansi yang rendah. Ini lebih manjur daripada 3TC dan adefovir dalam
menekan tingkat DNA HBV serum, perbaikan dalam histologi hati, dan
normalisasi tingkat ALT. Dosis obat 0,5 mg per oral setiap hari untuk orang
dewasa dengan infeksi naϊve atau pengobata resisten non-lamivudine dan 1 mg
setiap hari pada pasien yang mengkonsumsi lamivudine atau pasien dengan sirosis
dekompensasi. Pada pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan,
resistansi entecavir tetap rendah, menunjukkan tingginya hambatan terhadap
resistansi obat. Namun, resistensi terhadap 3TC merupakan faktor risiko resistensi
entecavir; oleh karena itu, pedoman tidak merekomendasikan penggunaan
entecavir pada pasien dengan pengalaman lamivudine sebelumnya. Entecavir
aman dan dapat ditoleransi dengan baik.
3. Tenofovir
Karena penghalang yang tinggi terhadap resistansi, tenofovir dianggap
sebagai terapi lini pertama dalam pengobatan HBV. Ada dua bentuk tenofovir
yang tersedia: tenofovir disoproxil fumarate (tenofovir DF) dan tenofovir
alafenamide. Tenofovir DF tersedia dalam dosis 300 mg untuk HBV. Tenofovir
alafenamide adalah obat yang diubah menjadi tenofovir aktif dalam hepatosit,
memungkinkan dosis yang lebih rendah pada 25 mg. Secara historis, tenofovir
diprovoxil digunakan untuk HBV yang sangat efektif dalam penekanan virus
HBV DNA yang menunjukkan regresi fibrosis. Ini efektif bahkan pada pasien
yang sebelumnya dirawat dengan terapi HBV lain.
Tenofovir alafenamide menawarkan beberapa keunggulan dibandingkan
tenofovir DF karena memungkinkan pengiriman tenofovir yang lebih efisien
langsung ke hepatosit sehingga memiliki mekanisme lebih langsung melawan
replikasi HBV. Pada pasien HBeAg-positif dan HBeAg-negatif, tenofovir
alafenamide sama efektifnya dengan tenofovir DF dan lebih mungkin
menghasilkan normalisasi ALT. Kemampuan untuk mengurangi pajanan sistemik
terhadap tenofovir memungkinkan profil keamanan yang lebih baik.
Dibandingkan dengan tenofovir DF, tenofovir alafenamide menunjukkan
peningkatan keamanan tulang dan perubahan yang lebih kecil dalam perkiraan
tingkat filtrasi glomerulus.
Resistensi terhadap tenofovir belum terlihat dalam studi klinis. Tidak ada
resistansi yang diidentifikasi terhadap tenofovir DF selama masa penelitian 7
tahun dan penekanan virus terlihat pada hampir semua pasien, terlepas dari status
HBeAg. Demikian pula, tidak ada resistansi terhadap tenofovir alafenamide
dengan masa tindak lanjut 96 minggu.
4. Lamivudine
Lamivudine merupakan agen NA, memiliki aktivitas antivirus untuk
melawan HIV dan HBV tetapi tidak direkomendasikan sebagai terapi lini pertama
untuk infeksi HBV kronis. Ini diberikan dengan dosis 100 mg secara peroral
setiap hari. Batasan utama penggunaan 3TC adalah kemungkinan terjadinya
resistensi, yang dianggap tak terelakkan dan dapat merusak nilai pengobatan.
Munculnya mutan yang resisten meningkat dengan setiap tahun terapi berikutnya,
dengan angka mendekati 80% setelah 5 tahun terapi, dan dikaitkan dengan
kembalinya HBV DNA serum dan peningkatan kadar ALT. Relaps juga dikaitkan
dengan pengembalian manfaat histologis. Pada hepatitis B kronis HBeAg negatif,
di mana terapi jangka panjang dan durasi pasti terapi tidak diketahui, resistensi
merupakan masalah yang sangat menakutkan, sehingga lamivudine adalah terapi
yang tidak disukai.
5. Adefovir
Adefovir dipivoxil adalah NA asiklik dari adenosin monofosfat yang
menghambat transkriptase balik HBV dan DNA polimerase. Peran adefovir dalam
terapi HBV tidak jelas. Menurut pedoman internasional, obat ini tidak lagi
direkomendasikan sebagai terapi tunggal karena memiliki penghalang yang relatif
rendah terhadap resistansi dan baik entecavir maupun tenofovir adalah terapi yang
lebih manjur.
6. Telbivudine
Telbivudine bertindak sebagai penghambat kompetitif dari reverse
transcriptase virus dan DNA polimerase untuk menghambat sintesis HBV DNA..
Dibandingkan dengan 3TC, telbivudine adalah penekan HBV DAN yang lebih
manjur. Namun, mirip dengan lamivudine, telbivudine memiliki tingkat mutasi
tinggi yang membatasi kemanjurannya. Karena masalah resistensi, monoterapi
telbivudine memiliki peran terbatas dalam pengobatan HBV dan bukan
pengobatan yang direkomendasikan.

Alternatif terapi
Terapi kombinasi tidak direkomendasikan untuk pengobatan HBV awal. Mungkin
ada peran terapi kombinasi pada pasien tertentu dengan penekanan virus HBV DNA
suboptimal dengan entecavir, tenofovir DF, atau tenofovir alafenamide, atau pada pasien
dengan beberapa mutasi resistansi HBV yang mendasari. Selain itu, di area terbatas
sumber daya di mana akses ke monoterapi mungkin mahal, terapi kombinasi mungkin
menawarkan strategi untuk mengurangi resistansi dan memberikan penekanan virus HBV
yang optimal. Terapi kombinasi tidak dianjurkan sebagai terapi awal. Pasien yang patuh
pada pengobatan tetapi memiliki kontrol virus HBV DNA yang tidak lengkap pada
entecavir atau tenofovir DF atau tenofovir alafenamide harus dialihkan ke obat lain atau
terapi kombinasi dapat dipertimbangkan.

Terapi Kombinasi
Terapi Kombinasi Terapi dengan menggunakan satu jenis obat saja (monoterapi)
seringkali dianggap tidak cukup untuk mengatasi hepatitis B kronik. Maka dari itu
beberapa peneliti mencoba membandingkan efektivitas terapi kombinasi (baik interferon
dengan analog nukleos(t)ida maupun antara 2 jenis analog nukleos(t)ida). Sayangnya
hasil yang didapat belum mendukung penggunaan terapi kombinasi ini. Beberapa
penelitian dan sebuah meta analisis yang mencoba membandingkan efektivitas interferon,
lamivudin, atau kombinasi keduanya ternyata memberikan hasil bahwa terapi kombinasi
ini tidak lebih efektif daripada monoterapi pada indikator respon virologis, biokimia,
serologis, maupun histologis. Namun, terapi kombinasi memiliki tingkat resistensi yang
lebih rendah bila dibandingkan dengan monoterapi lamivudin. Sebuah penelitian juga
telah mencoba membandingkan efektivitas terapi kombinasi adefovir dan lamivudin pada
pasien naïf dengan hasil yang cukup memuaskan dalam memicu respon virologis dan
biokimia jangka panjang bila dibandingkan dengan adefovir tunggal. Lebih jauh lagi,
pada kelompok yang mendapat terapi kombinasi, tidak ditemukan adanya resistensi
sampai pada pemakaian 4 tahun. Walaupun begitu, bukti-bukti yang ada belum cukup
kuat sehingga panduan-panduan yang ada belum mencantumkan rekomendasi mengenai
penggunaan terapi
Terapi Non Farmakologi
 Memperbaiki pola hidup, misalnya diet rendah lemak dan garam, tidak minum
minuman beralkohol, istirahat yang cukup.
 Mengkonsumsi makanan bernutrisi dan mencukupi kebutuhan cairan dengan minum
air putih minimal 8 gelas/hari.
 Mengikuti dan menjalankan pengobatan dengan baik dan disiplin.
 Anjurkan keluarga atau orang-oang sekitar untuk mengikuti vaksinasi sesuai anjuran
pemerintah.
 Menerapkan gaya hidup yang bersih seperti rajin mencuci tangan, menjaga
kebersihan lingkungan, dan rutin melakukan check-up untuk mengetahui
perkembangan maupun perbaikan penyakit (untuk penderita).
BAB II
PEMBAHASAN
KASUS 2
FORM MONOGRAFI OBAT

NAMA
NO DOSIS INDIKASI KI ADR INTERAKSI
OBAT
1 Lanzoprasole 30 mg setiap hari tukak duodenum Kontraindikasi gangguan saluran Clopidogrel,
30mg 1x1 sebelum makan, dan tukak lambung Hipersensitivitas cerna, sakit kepala fluconazole,
malam hari pagi hari ringan, refluks terhadap dan pusing ketoconazole,
esofagitis lansoprazole, (PIONAS) methotrexate (DHI)
(PIONAS) substitusi
benzimidazoles
(yaitu,
esomeprazole,
omeprazole,
pantoprazole,
rabeprazole) (DHI)
2 Metronidazole Trikomoniasis : Uretritis dan Hipersensitivitas Mual, muntah, sakit Peningkatan risiko
tab 500 mg 2 kali sehari 500 vaginitis karena terhadap kepala, insomnia, perdarahan pada
3x1 mg per hari, selama Trichomonas metronidazol, pusing, mengantuk, penggunaan
7 hari. vaginalis, kehamilan dispepsia atau bersama warfarin.
amoebiasis trimester 1, timbul ruam pada
Amubiasis hati/ intestinal dan hepar, menyusui, riwayat kulit.
intestinal : pencegahan infeksi penyakit darah,
Dewasa : 3 kali anaerob pasca gangguan SSP.
sehari 500-750 mg operasi, giardiasis
selama 5-10 hari karena Giardia
lambliasis.
Giardiasis :
Dewasa : 3 kali
sehari 250-500 mg
per hari selama 5-7
hari

Infeksi anaerob
(biasanya selama 7
hari): Dewasa : 3
kali sehari 500 mg
selama 7 hari
3 RL infus 20 20 tpm ketidakseimbangan Hipematremia, Pemberian dosis Pengunaan
tpm elektrolit kelainan ginjal, besar dapat Bersama
kerusakan sel hati, menyebabkan Ceftriaxone, dapat
laktat asidosis penumpukan menyebabkan
natrium dan udem. pengendapan garam
Nyeri dada, detak kalsium.
jantung Kortikosteroid
abnormal,penurunan
tekanan darah,
kesulitan bernapas,
batuk, bersin-bersin,
ruam, gatal-gatal,
dan sakit kepala,
4 HP pro tab 1 x 3x1 kapsul setelah Menghentikan Wanita hamil dan Heartburn,
1 makan (1-3 bulan), nekroinflamasi menyusui gangguan pada
bila SGPT dan hepar, saluran cerna
SGOT kembali meningkatkan
normal kemampuan
penggunaan dapat detoksifikasi
dihentikan. (menetralkan racun)
Jika SGPT belum sel hepar, mencegah
kembali normal kerusakan sel hepar
setelah pemakaian akibat radikal bebas,
selama 1-2 bln, meningkatkan salah
dosis ditingkatkan satu enzim
menjadi sehari 2 antioksidan sel
kapsul 3 x sehari hepar yang penting
selama 6 bln-1 thn (SOD),
menstimulasi
sintesa albumin dan
glikogen oleh sel
hepar
5 Sanmol Dewasa: 1 tablet, Analgetik dan Gangguan fungsi Jarang terjadi efek Peningkatan risiko
3-4 kali per hari. antipiretik hati berat, samping, tetapi kerusakan fungsi
hipersensitivitas. dilaporkan terjadi hati pada
reaksi pengunaan bersama
hipersensitivitas, alkohol.
ruam kulit, kelainan
darah (termasuk
trombositopenia,
leukopenia,
neutropenia),
hipotensi juga
dilaporkan pada
infus, PENTING:
Penggunaan jangka
panjang dan dosis
berlebihan atau
overdosis dapat
menyebabkan
kerusakan hati, lihat
pengobatan pada
keadaan darurat
karena keracunan.
6 Ibuprofen 200 Dewasa, dosis Nyeri ringan sampai Kehamilan Umum: pusing,  AINS dan
mg 3x1 yang dianjurkan sedang antara lain trimester akhir, sakit kepala, penghambat
200-250 mg 3-4 nyeri pada penyakit pasien dengan dispepsia, diare, selektif COX-2:
kali sehari. gigi atau pencabutan ulkus peptikum mual, muntah, nyeri berpotensi
Osteoartritis, gigi, nyeri pasca (ulkus duodenum abdomen, menimbulkan
artritis reumatoid: bedah, sakit kepala, dan lambung), konstipasi, efek adiktif.
1200 mg – 1800 gejala artritis hipersensitivitas, hematemesis,  Glikosida
mg 3 kali sehari. reumatoid, gejala polip pada hidung, melena, perdarahan jantung:
Eksaserbasi akut: osteoartritis, gejala angioedema, asma, lambung, ruam. menurunkan
Dosis maksimum juvenile artritis rinitis, serta Tidak umum: rinitis, kecepatan
2400 mg/hari, jika reumatoid, urtikaria ketika ansietas, insomnia, filtrasi
kondisi sudah menurunkan demam menggunakan asam somnolen, glomerulus dan
stabil selanjutnya pada anak. asetilsalisilat atau paraestesia, meningkatkan
dosis dikurangi AINS lainnya. gangguan konsentrasi
hingga maksimum penglihatan, plasma
1800 mg/hari. gangguan glikosida
pendengaran, jantung.
tinnitus, vertigo,  Kortikosteroid:
asma, dispnea, meningkatkan
ulkus mulut, risiko ulkus atau
perforasi lambung, perdarahan
ulkus lambung, lambung.
gastritis, hepatitis,  Antikoagulan
gangguan fungsi (warfarin):
hati, urtikaria, meningkatkan
purpura, efek dari
angioedema, antikoagulan.
nefrotoksik, gagal Antiplatelet dan
ginjal.  Golongan SSRI
Jarang: meningitis (klopidogrel,
aseptik, gangguan tiklopidin):
hematologi, reaksi meningkat
anafilaktik, depresi, risiko
kebingungan, perdarahan
neuritis optik, lambung.
neuropati optik,  Asetosal:
edema. meningkatkan
Sangat jarang: risiko efek
pankreatitis, gagal samping.
hati, reaksi kulit  Anti hipertensi:
(eritema multiform, menurunkan
sindroma Stevens – efek anti
Johnson, nekrolisis hipertensi.
epidermal toksik),  Diuretik:
gagal jantung, meningkatkan
infark miokard, risiko
hipertensi. nefrotoksik.
 Litium:
mempercepat
eliminasi litium.
 Metotreksat:
mengurangi
bersihan
metotreksat.
 Siklosporin dan
takrolimus:
meningkatkan
risiko
nefrotoksik.
 Zidovudin:
meningkatkan
risiko gangguan
hematologi.
 Kuinolon:
meningkatkan
risiko kejang.
Aminoglikosida:
menurunkan
eksresi
aminoglikosida.
 Mifepriston:
jangan gunakan
AINS selama 8
– 12 hari setelah
terapi
mifepriston
karena dapat
mengurangi
efek
mifepriston.
 Ginkgo biloba:
meningkatkan
risiko
perdarahan.
7 Pegylated Hepatitis B kronik Kambuhan atau Peginterferon alfa- Anemia, anoreksia, Aminophilline,
Interferon 2b (HbeAg-positif dan metatstasis 2b penurunan berat theophylline,
150 ug 1 x HbeAg negatif): 1- karsinoma sel dikontraindikasika badan, sakit kepala, antivirus (adefovir),
seminggu 1.5 ginjal, limfoma sel n pada pasien insomnia, imunosupresan
ug/kgBB/minggu T kutan yang dengan riwayat irritabilitas, depresi, (ciclosporin,
selama 16-24 progresif, limfoma hipersensitivitas pusing, gangguan tacrolimus,
minggu dengan non Hodgkin terhadap interferon konsentrasi, gelisah, sirolimus)
injeksi subkutan folikuler, sarkoma alfa, seperti dispnea, batuk,
pada abdomen atau Kaposi, hairy cell angioedema, mual, diare, nyeri (DRUG
paha leukemia, hepatitis urtikaria, abdomen, alopesia, HANDBOOK)
B kronik aktif, bronkokonstriksi, pruritus, dermatitis,
hepatitis C kronik anafilaksis, kulit kering,
aktif, leukemia sindrom Stevens- myalgia, arthralgia,
mieloid kronis Johnson, dan toxic kelelahan, pyreksia,
epidermal kekakuan, reaksi
necrolysis. Selain pada tempat
itu, obat ini juga penyuntikan,
dikontraindikasika asthenia, nyeri,
n pada hepatitis gangguan
autoimun, penyakit neuropsikiatri,
liver dekompensasi infeksi, iskemik,
(dengan skor atau autoimun yang
Child-Pugh >6), mungkin timbul dan
dan pada sirosis kadang dapat
hepatis akibat mengancam nyawa.
hepatitis C kronik
yang terjadi
sebelum atau saat
terapi.
8 Lovastatin 20 oral, dewasa, dosis Untuk menurunkan Penyakit hati aktif, Kelainan otot, Peningkatan risiko
mg 1x1 awal, 10 mg (kadar kadar trigliserida, hipersensitif seperti miopati, terjadinya miopati
kolesterol total kolesterol jahat terhadap lovastatin. Sakit kepala, atau
serum kurang dari (LDL), dan Hamil dan laktasi. Sembelit, Mudah rhabdomyolysis
240 mg/dL) atau meningkatkan kadar lupa, Pusing, jika digunakan
20 mg (kadar kolesterol baik Penglihatan kabur, bersama dengan
kolesterol total (HDL) di dalam Insomnia, Muncul clarithromycin,
serum lebih dari darah. tanda dan gejala itraconazole,
240 mg/dL) sekali rhabdomyolisis, niacin,
sehari pada waktu seperti nyeri otot, ketoconazole,
malam lemas, atau otot gemfibrozil,
yang terasa lembut, nefazodone, atau
terlebih jika disertai obat antivirus,
demam, Gangguan seperti telaprevir.
hati, yang ditandai Peningkatan kadar
dengan sakit di lovastatin jika
perut bagian atas, digunakan bersama
tubuh lemas, amiodarone,
kehilangan nafsu diltiazem, atau
makan, urine ceritinib.
berwarna gelap, Peningkatan
serta mata dan kulit efektivitas obat
kekuningan antikoagulan,
(penyakit kuning), seperti warfarin.
Gangguan ginjal, Selain itu, kadar
yang ditandai lovastatin dapat
dengan buang air menurun jika
kecil sedikit, dikonsumsi
pembengkakan di bersama St. John’s
pergelangan kaki, wort, dan dapat
dan napas pendek meningkat jika
dikonsumsi
bersama grapefruit.

FORM PEMANTAUAN TERAPI OBAT (PTO)


Nama Pasien : Tn. Y Pendidikan :-
Umur : 50 tahun Pekerjaan :-
Jenis kelamin : Laki – laki Tgl masuk RS : 2 April 2020
Berat badan : 38 kg Diagnosis : Hepatitis B
Alamat : Dsn. Karangbolotan RT/RW 01/03, Riwayat Penyakit : Hepatitis B
Ds. Padringan, Kec/kota Adipura, Alengka

TGL S O TERAPI ASESSMENT DRP P M


1/04/ - Demam 5  TD 140/90  Pegylated - Lansoprazole - Dosis terlalu - Disarankan - Suhu
2019 hari  Suhu 38,4 dosisnya terlalu tinggi tinggi dilakukan - Udem
interferon alfa 2b
 AL 12.000
- Mual  RR 150 mcg 1x - Metoklopramid - Pemilihan obat penurunn dosis - SGPT
- Muntah 20x/menit seminggu memiliki efek kurang tepat Lansoprazole - SGOT
 Udema ++
interik  Ikterik ++  HP Pro 1x1 samping - Memerlukan 30mg 1x1 pagi
tambahan terapi
 Vol. urine  Lansoprazol 30 menyebabkan udem hari
1000 ml
mg 1x1 malam - Belum ada terapi - Disarankan
 Scr 0,9
 Trombosit  RL infus 20 tpm untuk demam penggunaan
98x103/UL Metoklopramid
 HB 9 g/dl  Metronodazole tab
 SGOT 200 500 mg 3x1 dihentikan dan
 SGPT 180 diganti dengan
 Kolesterol  Sanmol
250 mg/dl Ondansentron iv 4
 Albumin 2 mg 2x1 sehari
 HBV DNA
2,5x 104
IU/ml - Disarankan
 HBsAg (+)
penggunaan
Ibuprofen 400 mg
3x1
4/04/ - Tidak bisa  AL 13.000 Lanjut - RL infus berpotensi - Pemilihan obat - Disarankan - SGOT
2019 BAB sudah  Ibuprofen 200 memperberat kerja kurang tepat penggunaan RL - SGPT
3 hari hati karena - Dosis terlalu dihentikan, dan - Seroko
- Mual mg 3x sehari 1 dimetabolisme tinggi diganti dengan HBsA
- Muntah  Lovastatin 20 mg dihati dan diubah - Reaksi Obat infus albumin - HBV D
- Tidak bias 1x1 menjadi bikarbonat yang merugikan dengan dosis - Anti H
tidur  Sanmol stop - Lansoprazole maksimal 2 g/kg - Album
- Riwayat dosisnya terlalu BB/hari (dengan - Hb
gangguan tinggi kecepatan infus 5
psikiater 1 -Metoklopramid ml/menit untuk
tahun yang memiliki efek larutan 5% dan 1-
lalu samping 2 ml/menit untuk
menyebabkan udem larutan 20%)
-Na Diklofenak - Disarankan
memiliki ES yg dpt dilakukan
memperparah kondisi penurunn dosis
hepatitis Lansoprazole 30
mg 1x1 pagi hari
- Disarankan
penggunaan
Metoklopramid
dihentikan dan
diganti dengan
Ondansentron iv 4
mg 2x1 sehari
- Disaranka
menghentikan
penggunaan Na
Diklofenak, jika
memungkinkan
(misalnya
mengganti dengan
ibuprofen 400 mg
3x1 atau prn)
kompleks 3x1
- Disarankan lebih
banyak
mengkonsumsi air
putih dan zat besi
- Diberikan obat
pencahar stimulan
difenilmetana
(bisacodyl) bentuk
suppositoria 10mg
agar efek yang
diinginkan cepat
- Pemberian
suplemen/vitamin
B 3x1 untuk
mengatasi anemia
pasien
04/04 -Nyeri - SCr : 2,5 - RL infus 20 tpm - RL infus berpotensi - Pemilihan obat - Disarankan  SGPT
/2020 abdomen mg/dL - Lansoprazole 30 mg memperberat kerja kurang tepat penggunaan RL  SGOT
-BAK sulit 2x1 p.o hati karena - Dosis terlalu dihentikan, dan  Sr Cr
-gelisah - Metokopramide iv dimetabolisme tinggi diganti dengan  Serokon
10 mg 3 x 1 dihati dan diubah - Reaksi Obat infus albumin HBsAg
- Hp Pro tab 3 x 1 menjadi bikarbonat yang merugikan dengan dosis  HBV DN
- Tenofovir 300 mg - Lansoprazole maksimal 2 g/kg
 Anti HB
1x1 dosisnya terlalu BB/hari (dengan
 Albumin
- Na Diklofenak 50 tinggi kecepatan infus 5
 Hb
mg 1x1 prn -Metoklopramid ml/menit untuk
- Pegylated memiliki efek larutan 5% dan 1-
interfeeron 2a samping 2 ml/menit untuk
150ug 1xseminggu menyebabkan udem larutan 20%)
- Na Diklofenak - Disarankan
memiliki ES yg dpt dilakukan
memperparah penurunn dosis
kondisi hepatitis Lansoprazole
- Pegylated 30mg 1x1 pagi
interfeeron 2a hari
memiliki - Disarankan
efeksamping yang penggunaan
memperparah Metoklopramid
gelisah dihentikan dan
diganti dengan
Ondansentron iv 4
mg 2x1 sehari
- Disaranka
menghentikan
penggunaan Na
Diklofenak, jika
memungkinkan
(misalnya
mengganti dengan
ibuprofen 400 mg
3x1 atau prn)
- Disarankan lebih
banyak
mengkonsumsi air
putih dan zat besi
- Diberikan obat
pencahar stimulan
difenilmetana
(bisacodyl) bentuk
suppositoria 10mg
agar efek yang
diinginkan cepat
- Disarankan
menghentikan
peberian
Pegylated
interfeeron 2a dan
dilanjutkan
dengan terapi
tenofovir 300mg
1x1

FORM CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN TERINTEGRASI (CPPT)


Nama Pasien : Bp. A Pendidikan :-
Umur : 52 tahun Pekerjaan :-
Jenis kelamin : Laki – laki Tgl masuk RS: 2 April 2020
Berat badan : 40 kg Diagnosis : Hepatitis
Alamat : Dsn. Mawar RT/RW 01/12, Ds. Melati, Jawa Utara Riwayat Penyakit : Hepatitis B kronis

TANGGAL SOAP TERINTEGRASI INSTRUKSI


2 April 2020 Subyektif: - Pemberian lansoprazole 30 mg 1x1 (pagi
Nyeri ulu hati, abdominal pain, pusing, gelisah, hari.
tidak BAB sejak 5 hari yang lalu, mual-muntah. - Pemberian ondansetron IV 4 mg 2x1
Obyektif: untuk menggantikan metoklopramid.
Demam 380C, udem perifer. - Pemberian ibuprofen 400 mg 3x1 hingga
Riwayat pengobatan: dirawat di puskesmas demam mereda.
selama 3 hari dan dirujuk ke RS.
Riwayat penyakit: hepatitis B kronis.
Diagnosis saat masuk RS: hepatitis.
Pengobatan:
Diet TKTP, lanzoprasole 30 mg 2x1 po,
metoklopramid iv 10 mg 3dd1.
Assessment:
- Dosis lansoprazole terlalu tinggi
- Metoklopramid tidak tepat digunakan pada
pasien dengan udem
- Belum ada terapi untuk demam
Plan:
- Menyesuaikan dosis lansoprazole menjadi
30 mg 1x1 (pagi hari)
- Mengganti metoklopramid dengan
ondansetron IV 4 mg 2x1
- Pemberian ibuprofen 400 mg 3x sehari
untuk mengatasi demam
3 April 2020 Subyektif: - Pemberian infus albumin dengan dosis
Nyeri abdomen, belum bisa BAB, nyeri punggung maksimal 2 g/kg BB/hari (dengan
dan tangan, muntah, makan hanya bisa 3 sendok, kecepatan infus 5 ml/menit untuk larutan
minum 2 gelas sehari, BAK 2x sehari. 5% dan 1-2 ml/menit untuk larutan 20%)
Obyektif: - Pemberian suplemen/vitamin B 3x1 untuk
HBsAg: + mengatasi anemia pasien
Anti HBc: + - Lansoprazole diberikan dengan dosis 30
HBVDNA + = 2,4. 10 ^4 IU/mL (>20.000, mg 1x1 di pagi hari
kemungkinan hepatitis B kronik) - Pemberian ondansetron IV 4 mg 2x1
Albumin 2 g/dL (rendah, normalnya 3,5-5,0 g/dL) untuk mengatasi mual-muntah pasien
SGPT = 500 unit (tinggi, normalnya 5-35U/L) - Menghindari penggunaan na diklofenak
HB = 10 g/dL (rendah, normalnya 13-18 g/dL) jika memungkinkan (misalnya mengganti
Pengobatan: infus RL 20 tpm, lansoprazole 30 mg ibuprofen 400 mg 3x1 atau prn)
2x1 po, metoklopramid IV 10 mg 3x1, HP pro tab
3x1, tenofovir 300 mg 1x1, Na diklofenak 50 mg
1x1 prn.
Assessment:
- Kadar albumin rendah (kemungkinan
karena hepatitis yang pasien derita)
- Hb pasien rendah (anemia)
- Dosis lansoprazole terlalu tinggi
- Metoklopramid tidak sesuai dengan
kondisi udem pasien
- Hati-hati terhadap penggunaan na
diklofenak karena dapat memperburuk
fungsi hepar dan ginjal pasien
Plan:
- Menambahkan terapi koloid dengan
albumin untuk meningkatkan kembali
kadar albumin pasien dan meminimalisir
transmisi virus hepatitis B
- Penambahan suplemen/vitamin B untuk
membantu menormalkan Hb pasien
- Menyesuaikan dosis lansoprazole menjadi
30 mg 1x1 (pagi hari)
- Mengganti metoklopramid dengan
ondansetron IV 4 mg 2x1
- Menghindari penggunaan na diklofenak
jika memungkinkan (misalnya mengganti
dengan ibuprofen 400 mg 3x1 atau prn)
4 April 2020 Subyektif: - Lansoprazole diberikan dengan dosis 30
Nyeri abdomen, sulit BAK, gelisah mg 1x1 di pagi hari
Obyektif: - Pemberian ondansetron IV 4 mg 2x1
Scr: 2,5 mg/dL (tinggi, normalnya 0,6-1,3 mg/dL) untuk mengatasi mual-muntah pasien
Pengobatan: infus RL 20 tpm, lansoprazole 30 mg - Menghindari penggunaan na diklofenak
2x1 po, metoklopramid IV 10 mg 3x1, HP pro tab jika memungkinkan (misalnya mengganti
3x1, tenovofir 300 mg 1x1, na diklofenak 1x1 dengan ibuprofen 400 mg 3x1 atau prn)
prn, pegylated interferon 2a 150 ug 1x seminggu - Pemberian bisakodil suppo 10 mg untuk
Assessment: konstipasi
- Dosis lansoprazole terlalu tinggi - Menghentikan pemberian pegylated
- Metoklopramid tidak sesuai dengan interfeeron 2a dan melanjutkan terapi
kondisi udem pasien tenofovir 300 mg 1x1
- Hati-hati terhadap penggunaan na - Monitoring fungsi ginjal pasien termasuk
diklofenak karena dapat memperburuk kesulitan BAK
fungsi hepar dan ginjal pasien
- Pegylated interfeeron 2a memiliki efek
samping yang memperparah gelisah
Plan:
- Menyesuaikan dosis lansoprazole menjadi
30 mg 1x1 (pagi hari)
- Mengganti metoklopramid dengan
ondansetron IV 4 mg 2x1
- Menghindari penggunaan na diklofenak
jika memungkinkan (misalnya mengganti
dengan ibuprofen 400 mg 3x1 atau prn)
- Mengatasi konstipasi dengan pemberian
bisakodil suppo 10 mg
- Menghentikan pemberian Pegylated
interfeeron 2a dan dilanjutkan dengan
terapi tenofovir 300 mg 1x1
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Penyakit Hati.
Departemen Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan;
Jakarta.
DIH. 2008. Drug Information Handbook Edisi 17. American Pharmacist Association
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2020, Pharmacotherapy
Handbook, Eleventh Edition., McGraw-Hill Education Companies, Inggris.
https://www.alodokter.com/albumin diakses pada 15 Maret 2021 pukul 21.40 WITA.
KEMENKES RI., 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
KEMENKES RI., 2019. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Hepatitis B.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Mustofa, S., Kurniawati, E. Hepatitis B: Panduan Bagi Dokter Umum. Aura printing &
Publishing, Bandar Lampung.(2013).
PPHI. 2012. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B Di Indonesia. Perhimpunan
Peneliti Hati; Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai