Disusun Oleh :
SEFTIAINI NURIFATIMAH
NIM : P1337424422078
2. Etiologi Hepatitis B
Virus hepatitis B adalah virus DNA sirkuler berantai ganda Family
Hepadnaviridae, mempunyai 3 jenis antigen, yaitu antigen surface hepatitis B
(HBsAg) yang terdapat pada mantel (envelope virus), antigen core hepatitis B
(HbcAg) terdapat pada inti dan antigen “e” hepatitis B (HBeAg) terdapat pada
nukleokapsid virus. Ketiga jenis antigen ini menimbulkan respons antibodi spesifik
terhadap antigen – antigen disebut anti-HBs, anti-HBe, dan anti-HBc. Berdasarkan
sifat imunologik protein pada HBsAg, virus dibagi atas 4 subtipe yaitu adw, adr, ayw,
dan ayr yang menyebabkan perbedaan geografi dalam penyebarannya. Subtype adw
terjadi di Eropa, Amerika dan Australia. Virus dengan subtype ayw terjadi di Afrika
Utara dan Selatan. Sedangkan Virus dengan subtype adw dan adr terjadi di wilayah
Malaysia, Thailand, Indonesia. Dan subtype adr terjadi di Jepang dan China.
4. Penatalaksanaan Hepatitis B
Transmisi vertikal dari Hepatitis B menjadi penting untuk dicegah karena
infeksi kronis dari hepatitis B sangat bergantung pada kapan infeksi pertama terjadi.
Contohnya, pada pasien yang terinfeksi virus hepatitis B sewaktu bayi (transmisi
vertikal) 90% dari total pasien berkembang menjadi kronis, hal ini sangat signifikan
jika dibandingkan dengan hanya kurang dari 5% pasien yang menjadi kronis jika
terinfeksi saat dewasa. Dengan demikian, deteksi dini sangat penting untuk dilakukan
agar mencegah progresi dari penyakit hati.
Selain deteksi dini, pengenalan fase penyakit juga penting dalam tata laksana
hepatitis B. Pada panduan yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Peneliti Hati
Indonesia, ada beberapa parameter (DNA HBV serum, status HbeAg, ALT dan
histologis hati) yang digunakan untuk menilai waktu yang tepat untuk memulai terapi
hepatitis B untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan menurunkan angka
resistensi. Hal ini penting karena semakin lama pengobatan hepatitis B diberikan,
maka semakin tinggi prevalensi resistensi khusunya pada jenis antiviral denganlow
barrier resistance.
Pada awalnya, terapi awal yang digunakan dalam terapi hepatitis B adalah
interferon, lalu muncul pengobatan golongan baru berupa nukleos(t)ida analog (NA)
oral baru yaitu lamivudine. Dalam perkembangannya, adefovir, entecavir, Peg-IFN,
telbivudine, dan tenofovir ditemukan dan diizinkan untuk digunakan sebagai terapi
Hepatitis B. Sementara pada saat ini, terapi yang disarankan untuk digunakan adalah
tenofovir dan entecavir karena mempunyai efikasi yang baik dan barrierresistensi
yang tinggi. Akan tetapi, ketersediaan obat di Indonesia masih menjadi masalah
dalam tata laksana penyakit, tidak terkecuali hepatitis B. Saat ini, ketersediaan
pengobatan Hepatitis B terbatas hanya pada obat-obatan yang tersedia pada jaminan
kesehatan nasional (JKN). Maka dari itu, jika tenofovir dan entecavir tidak tersedia,
maka terapi lini kedua seperti lamivudine, adefovir, dan telbivudine dapat digunakan.
Namun, penggunaan pengobatan lini kedua ini memunculkan masalah di
kemudian hari karena adanya tingkat resistensi yang tinggi sejalan dengan lama
pemberian terapi. Sehingga, pasien akhirnya menggunakan tenofovir sebagai obat
program dari pemerintah. Pada penatalaksanaan hepatitis B awalnya terapi yang
diberikan ialah interferon, selanjutnya hadir nukleosida analog (NA) oral yaitu
lamivudin yang merupakan obat golongan baru. Kemudian seiring perkembangannya
ditemukan pengobatan yang lebih baru yang diizinkan untuk digunakan pada terapi
hepatitis B seperti adefovir, entecavir, Peg-IFN, telbivudine, dan tenofovir.
B. Tindakan /perasat
1. Pengertian Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Nosokomial
Pencegahan dan pengendalian infeksi nasokomial dengan penerapan
keselamatan dan kesehatan kerja pada perawat ditemukan bahwa kewaspadaan
standar pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial dalam tindakan operasional
mencakup mencuci tangan, menggunakan alat pelindung diri (sarung tangan, masker,
pelindung wajah, kacamata dan apron), praktik keselamatan kerja, perawatan pasien,
penggunaan antiseptik, penanganan peralatan dalam perawatan pasien dan kebersihan
lingkungan.
Berdasarkan data ditemukan bahwa infeksi nosokomial hingga saat ini masih
merupakan masalah perawatan kesehatan di rumah sakit seluruh dunia. Masalah yang
ditimbulkan dapat memperberat penyakit yang ada, bahkan dapat menyebabkan
kematian. Menurut data World Health Organization tahun 2002, infeksi nosokomial
merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan dan kematian di dunia. Infeksi
ini menyebabkan 1,4 juta kematian setiap hari di dunia (WHO, 2002; Jeyamohan,
2010)
C. Pembahasan
Dari Pembahasan penelitian kasus hepatitis B pada Tn. K umur 65 tahun, menurut teori pencegahan
dan pengendalian infeksi nosokomial dengan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja pada
perawat ditemukan bahwa kewaspadaan standar pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial
dalam tindakan operasional mencakup mencuci tangan, menggunakan alat pelindung diri (sarung
tangan, masker, pelindung wajah, kacamata dan apron), praktik keselamatan kerja, perawatan
pasien, penggunaan antiseptik, penanganan peralatan dalam perawatan pasien dan kebersihan
lingkungan.
Sedangkan, dalam pembahasan Penelitian kasus hepatitis B pada Tn. K umur 65 tahun, menurut
menurut praktik langsung dilingkungan juga menerapkan bagaimana cara pencegahan dan
pengendalian infeksi nosokomial yaitu dengan mencakup mencakup mencuci tangan, menggunakan
beberapa alat pelindung (yang berupa sarung tangan dan masker), perawatan pasien, menggunakan
antiseptik, dan menggunakan peralatan dalam perawatan pasien dan kebersihan lingkungan.
D. Daftar Pustaka
Filya A. hunou, B. J. (2022). Penatalaksanaan Hepatitis B pada Populasi Khusus. Medical
Scope Journal , 30.
_____________________ _____________________
Pembimbing Institusi
_____________________