Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN MELAKUKAN TINDAKAN

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI NOSOKOMIAL PADA TN. K


UMUR 65 TAHUN DENGAN HEPATITIS B DI RUANGAN LAVENDER RSUD
SULTAN FATAH DEMAK

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Kebutuhan Dasar Manusia (KDM)

Disusun Oleh :

SEFTIAINI NURIFATIMAH

NIM : P1337424422078

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN SEMARANG


DAN PROFESI BIDAN SEMARANG JURUSAN KEBIDANAN
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
TAHUN 2023
A. Tinjauan Kasus
1. Pengertian Hepatitis B
Hepatitis adalah peradangan sel-sel hati, biasanya disebabkan infeksi (virus,
bakteri, parasit), obat-obatan (termasuk obat tradisional), konsumsi alkohol, lemak
berlebih, dan penyakit autoimun. Hepatitis dapat disebabkan oleh berbagai virus
seperti virus hepatitis A (HAV), hepatitis B (HBV), hepatitis C (HCV), hepatitis D
(HDV), dan hepatitis E (HEV).
Hepatitis adalah peradangan sel-sel hati, biasanya disebabkan infeksi (virus,
bakteri, parasit), obat-obatan (termasuk obat tradisional), konsumsi alkohol, lemak
berlebih, dan penyakit autoimun. Hepatitis dapat disebabkan oleh berbagai virus
seperti virus hepatitis A (HAV), hepatitis B (HBV), hepatitis C (HCV), hepatitis D
(HDV), dan hepatitis E (HEV). Hepatitis B adalah peradangan hepar disebabkan virus
hepatitis B. Hepatitis akut apabila inflamasi hepar akibat infeksi virus hepatitis setelah
masa inkubasi virus 30- 180 hari atau 8 – 12 minggu; disebut hepatitis kronik apabila
telah lebih dari 6 bulan.

2. Etiologi Hepatitis B
Virus hepatitis B adalah virus DNA sirkuler berantai ganda Family
Hepadnaviridae, mempunyai 3 jenis antigen, yaitu antigen surface hepatitis B
(HBsAg) yang terdapat pada mantel (envelope virus), antigen core hepatitis B
(HbcAg) terdapat pada inti dan antigen “e” hepatitis B (HBeAg) terdapat pada
nukleokapsid virus. Ketiga jenis antigen ini menimbulkan respons antibodi spesifik
terhadap antigen – antigen disebut anti-HBs, anti-HBe, dan anti-HBc. Berdasarkan
sifat imunologik protein pada HBsAg, virus dibagi atas 4 subtipe yaitu adw, adr, ayw,
dan ayr yang menyebabkan perbedaan geografi dalam penyebarannya. Subtype adw
terjadi di Eropa, Amerika dan Australia. Virus dengan subtype ayw terjadi di Afrika
Utara dan Selatan. Sedangkan Virus dengan subtype adw dan adr terjadi di wilayah
Malaysia, Thailand, Indonesia. Dan subtype adr terjadi di Jepang dan China.

3. Tanda gejala Hepatitis B


Secara umum tanda gejala dari hepatitis B yaitu kehilangan nafsu makan, mual
dan muntah, penurunan berat badan, gejala yang menyerupai flu seperti lelah, nyeri
pada tubuh, sakit kepala, dan demam tinggi (sekitar 38ºC atau lebih), nyeri perut,
lemas dan lelah, sakit kuning (kulit dan bagian putihmata yang menguning).
Manifestasi klinis (tanda gejala) gejala klinis hepatitis B akut akan mengalami
gejala prodromal yang sama dengan Hepatitis akut umumnya, yaitu kelelahan,
kurangnya nafsu makan, mual, muntah, nyeri sendi, nyeri kepala, dan malaise diikuti
jaundice muncul setelah 1–2 minggu. Saat timbul ikterus, umumnya gejala klinis
membaik dan gejala-gejala prodromal ini juga akan membaik ketika peradangan hati,
yang umumnya ditandai dengan gejala kuning timbul. Tetapi tidak semua penderita
hepatitis B yang akut mengalami tanda kuning pada kulit dan bagian putih mata.
Sebagian dari penderita penyakit hepatitis B akut akan 90% mengalami resolusi yaitu
dengan kesembuhan secara spontan, sementara sebagian lagi 10% menjadi akan
berkembang menjadi penyakit hepatitis B kronik. Hepatitis B kronik umumnya
asimptomatik, gejala klinis yang mungkin timbul adalah anoreksia menetap,
penurunan berat badan, fatigue, hepatosplenomegali, artritis, vaskulitis,
glomerulonefritis, miokarditis, mielitis transversa, dan neuropatiperifer.
Manisfestasi kinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut cenderung
ringan. Kondisis asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka pengidap tanpa adanya
riwayat hepatitis akut.Gejala hepatitis akut terbagi menjadi 4 tahap yaitu :
1. Fase Inkubasi Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejalan
atau icterus. Fase inkubasi Hepatitis B berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata
60-90 hari.
2. Fase prodromal Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya
gejala ikterus. Awitannya singkat atau insidious ditandai dengan malaise umum,
myalgia, artalgia, mudah lelah, gejala saluran napas atas dan anoreksia. Diare atau
konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran
kanan atas atau epigastrum, kadang diperberat dengn aktivitas akan tetapi jarang
menimbulkan kolestitis.
3. Fase icterus Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan
dengan munculnya gejala. Banyak kasus pada fase icterus tidak terdeteksi. Setelah
timbul icterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan terjadi
perbaikan klinis yang nyata.
4. Fase konvalesen (penyembuhan) Diawali dengan menghilangnya icterus dan
keluhan lain, tetapi hepatomegaly dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul
perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus
perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya <1% yang menjadi
fulminant.
Hepatitis B kronis didenfinisikan sebagai peradangan hati yang berlanjut lebih
dari enam bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit. Perjalanan hepatitis B
kronik dibagi menjadi tiga fase yaitu :
1. Fase imunotoleransi Sistem imun tubuh toloren terhadap VHB sehingga
konsentrasi virus tinggi dalam darah, tetapi terjadi peradangan hati yang berarti. Virus
Hepatitis B berada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi.
2. Fase Imunoaktif (clearance) Sekitar 30% individu persisten dengan VHB akibat
terjadinya replikasi virus yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang
tampak dari kenaikan konsentrasi ALT. Fase clearance menandakan pasien sudah
mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB.
3. Fase Residual Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya
sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya dapat
menghilangkan sebagian besar partikel virus tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti.
Fase residual ditandai dengan titer HBsAg rendah, HBeAg yang menjadi negative dan
anti-HBe yang menjadi positif, serta konsentarsi ALT normal.

4. Penatalaksanaan Hepatitis B
Transmisi vertikal dari Hepatitis B menjadi penting untuk dicegah karena
infeksi kronis dari hepatitis B sangat bergantung pada kapan infeksi pertama terjadi.
Contohnya, pada pasien yang terinfeksi virus hepatitis B sewaktu bayi (transmisi
vertikal) 90% dari total pasien berkembang menjadi kronis, hal ini sangat signifikan
jika dibandingkan dengan hanya kurang dari 5% pasien yang menjadi kronis jika
terinfeksi saat dewasa. Dengan demikian, deteksi dini sangat penting untuk dilakukan
agar mencegah progresi dari penyakit hati.
Selain deteksi dini, pengenalan fase penyakit juga penting dalam tata laksana
hepatitis B. Pada panduan yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Peneliti Hati
Indonesia, ada beberapa parameter (DNA HBV serum, status HbeAg, ALT dan
histologis hati) yang digunakan untuk menilai waktu yang tepat untuk memulai terapi
hepatitis B untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan menurunkan angka
resistensi. Hal ini penting karena semakin lama pengobatan hepatitis B diberikan,
maka semakin tinggi prevalensi resistensi khusunya pada jenis antiviral denganlow
barrier resistance.
Pada awalnya, terapi awal yang digunakan dalam terapi hepatitis B adalah
interferon, lalu muncul pengobatan golongan baru berupa nukleos(t)ida analog (NA)
oral baru yaitu lamivudine. Dalam perkembangannya, adefovir, entecavir, Peg-IFN,
telbivudine, dan tenofovir ditemukan dan diizinkan untuk digunakan sebagai terapi
Hepatitis B. Sementara pada saat ini, terapi yang disarankan untuk digunakan adalah
tenofovir dan entecavir karena mempunyai efikasi yang baik dan barrierresistensi
yang tinggi. Akan tetapi, ketersediaan obat di Indonesia masih menjadi masalah
dalam tata laksana penyakit, tidak terkecuali hepatitis B. Saat ini, ketersediaan
pengobatan Hepatitis B terbatas hanya pada obat-obatan yang tersedia pada jaminan
kesehatan nasional (JKN). Maka dari itu, jika tenofovir dan entecavir tidak tersedia,
maka terapi lini kedua seperti lamivudine, adefovir, dan telbivudine dapat digunakan.
Namun, penggunaan pengobatan lini kedua ini memunculkan masalah di
kemudian hari karena adanya tingkat resistensi yang tinggi sejalan dengan lama
pemberian terapi. Sehingga, pasien akhirnya menggunakan tenofovir sebagai obat
program dari pemerintah. Pada penatalaksanaan hepatitis B awalnya terapi yang
diberikan ialah interferon, selanjutnya hadir nukleosida analog (NA) oral yaitu
lamivudin yang merupakan obat golongan baru. Kemudian seiring perkembangannya
ditemukan pengobatan yang lebih baru yang diizinkan untuk digunakan pada terapi
hepatitis B seperti adefovir, entecavir, Peg-IFN, telbivudine, dan tenofovir.
B. Tindakan /perasat
1. Pengertian Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Nosokomial
Pencegahan dan pengendalian infeksi nasokomial dengan penerapan
keselamatan dan kesehatan kerja pada perawat ditemukan bahwa kewaspadaan
standar pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial dalam tindakan operasional
mencakup mencuci tangan, menggunakan alat pelindung diri (sarung tangan, masker,
pelindung wajah, kacamata dan apron), praktik keselamatan kerja, perawatan pasien,
penggunaan antiseptik, penanganan peralatan dalam perawatan pasien dan kebersihan
lingkungan.
Berdasarkan data ditemukan bahwa infeksi nosokomial hingga saat ini masih
merupakan masalah perawatan kesehatan di rumah sakit seluruh dunia. Masalah yang
ditimbulkan dapat memperberat penyakit yang ada, bahkan dapat menyebabkan
kematian. Menurut data World Health Organization tahun 2002, infeksi nosokomial
merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan dan kematian di dunia. Infeksi
ini menyebabkan 1,4 juta kematian setiap hari di dunia (WHO, 2002; Jeyamohan,
2010)

2. Tujuan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Nosokomial


Tujuan pencegahan dan pengendalian infeksi menggunakan APD seperti
masker, handscoon, dan alat pelindung lainnya bertujuan untuk mencegah terjadinya
infeksi bagi petugas saat dimulainya tindakan kepada pasien. Tidak hanya itu bagi
petugas kesehatan, tetapi juga bagi pengunjung yang dalam hal ini bagi yang
mengunjungi pasien seperti hepatitis B yang mengharuskan petugas kesehatan
menggunakan masker, handscoon dan alat pelindung lainnya. Agar terhindar dari
risiko penularan penyakit baik dari pasien ke petugas maupun sesama pasien. Karena
petugas juga mempunyai risiko yang tinggi untuk menerima pajanan penyakit akibat
adanya infeksi yang dapat mengancam keselamatannya saat berkerja.

3. Indikasi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Nosokomial


Pencegahan dan pengendalian infeksi di Rumah Sakit sangat penting karena
menggambarkan mutu pelayanan rumah sakit juga untuk melindungi pasien, petugas,
pengunjung dan keluarga dari resiko tertularnya infeksi. Infeksi yang terjadi di rumah
sakit tidak saja dapat dikendalikan tetapi juga dapat dicegah dengan melakukan
langkah-langkah yang sesuai dengan prosedur dan pedoman yang berlaku. Untuk
meminimalkan resiko terjadinya infeksi di rumah sakit perlu diterapkan program
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI), yaitu kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, pendidikan, pelatihan, monitoring dan
evaluasi.

4. Kontraindikasi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Nosokomial


Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi
di rumah sakit dan menyerang penderita yang sedang dalam proses perawatan. Infeksi
dapat terjadi karena adanya transmisi mikroba patogen yang bersumber dari
lingkungan rumah sakit dan perangkatnya. Infeksi nosokomial terjadi lebih dari 48
jam setelah penderita masuk rumah sakit. Penyakit infeksi merupakan penyakit yang
disebabkan oleh mikroba patogen dan bersifat dinamis. Infeksi nosokomial
merupakan masalah serius dan salah satu penyebab meningkatnya angka kesakitan
(morbidity) dan angka kematian (mortality) di rumah sakit. Infeksi nosokomial dapat
menjadi masalah kesehatan baru, baik di negara berkembang maupun di negara maju.
Oleh karena itu rumah sakit dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang
bermutu sesuai dengan standar yang sudah ditentukan dan harus diterapkan oleh
semua kalangan petugas kesehatan.

5. Langkah-langkah Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Nosokomial


Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial dengan penerapan
keselamatan dan kesehatan kerja pada perawat ditemukan bahwa kewaspadaan
standar pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial dalam tindakan operasional
mencakup mencuci tangan, menggunakan alat pelindung diri (sarung tangan, masker,
pelindung wajah, kacamata dan apron), praktik keselamatan kerja, perawatan pasien,
penggunaan antiseptik, penanganan peralatan dalam perawatan pasien dan kebersihan
lingkungan.
Komponen utama standar pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial
dalam tindakan operasional mencakup kegiatan sebagai berikut:
a. Mencuci tangan
Mencuci tangan sebaiknya dilakukan pada air yang mengalir
dan dengan sabun yang digosokkan selama 15 sampai 20 detik.
Mencuci tangan dengan sabun biasa dan air bersih adalah sama
efektifnya mencuci tangan dengan sabun antimikroba. Ada beberapa
kondisi yang mengharuskan petugas kesehatan menggunakan sabun
antiseptik ini, yaitu saat akan melakukan tindakan invasif, sebelum
kontak dengan pasien yang dicurigai mudah terkena infeksi (misalnya:
pasien hepatitis B memiliki luka). Mencuci tangan sebaiknya
dilakukan sebelum dan sesudah memeriksa dan mengadakan kontak
langsung dengan pasien, saat memakai melepas sarung tangan bedah
steril atau yang telah di disinfeksi tingkat tinggi pada operasi serta
pada pemeriksaan untuk prosedur rutin, saat menyiapkan,
mengkonsumsi dan setelah makan juga pada situasi yang membuat
tangan terkontaminasi (misal: memegang instrumen kotor, menyentuh
membran mukosa, cairan darah, cairan tubuh lain, melakukan kontak
yang intensif dalam waktu yamg lama dengan pasien, mengambil
sampel darah, saat memeriksa tekanan darah, tanda vital lainnya juga
saat keluar masuk unit isolasi).
b. Penggunaan alat pelindung diri
Alat pelindung diri yang paling baik adalah yang terbuat dari
bahan yang telah diolah atau bahan sintetik yang tidak tembus oleh
cairan. Sarung tangan melindungi tangan dari bahan yang dapat
menularkan penyakit dan dapat melindungi pasien dari
mikroorganisme yang terdapat di tangan petugas kesehatan.
Sarung tangan merupakan penghalang (barrier) yang paling
penting untuk mencegah penyebaran infeksi. Satu pasang sarung
tangan harus digunakan untuk setiap pasien sebagai upaya menghindari
kontaminasi silang. Sarung tangan dipakai saat ada kemungkinan
kontak dengan darah atau cairan tubuh lain, membran mukosa atau
kulit yang terlepas, saat akan melakukan prosedur medis yang bersifat
invasif (seperti: pemasangan kateter dan infus intravena), saat
menangani bahan-bahan bekas pakai yang telah terkontaminasi atau
menyentuh permukaan yang tercemar, serta memakai sarung tangan
bersih atau tidak steril saat akan memasuki ruang pasien yang telah
diketahui atau dicurigai mengidap penyakit menular.
Masker dipakai untuk mencegah percikan darah atau cairan
tubuh memasuki hidung atau mulut petugas kesehatan, juga menahan
cipratan yang keluar sewaktu petugas kesehatan berbicara, bersin dan
batuk. Masker juga dipakai untuk mencegah partikel melalui udara
atau droplet dari penderita penyakit menular (tuberkulosis). Masker
dilepas setelah pemakaian selama 20 menit secara terus-menerus atau
masker sudah tampak kotor atau lembab.
Pelindung mata dan wajah harus dipakai pada prosedur yang
memiliki kemungkinan terkena percikan darah atau cairan tubuh.
Pelindung mata harus jernih, tidak mudah berembun, tidak
menyebabkan distorsi, dan terdapat penutup disampingnya.
Pemakaian gaun pelindung terutama untuk melindungi baju dan
kulit petugas kesehatan dari sekresi respirasi. Gaun pelindung juga
harus dipakai saat ada kemungkinan terkena darah, cairan tubuh.
Apron terbuat dari karet atau plastik, merupakan penghalang tahan air
sepanjang bagian depan tubuh petugas kesehatan.
Apron harus dikenakan dibawah gaun pelindung ketika
melakukan perawatan langsung pada pasien, membersihkan pasien
atau melakukan prosedur saat terdapat risiko terkena tumpahan darah
dan cairan tubuh. Hal ini penting jika gaun tidak tahan air.
c. Praktik keselamatan kerja
Praktik keselamatan kerja berhubungan dengan pemakaian
instrumen tajam seperti jarum suntik. Hal ini meliputi: hindari menutup
kembali jarum suntik yang telah digunakan. Bila terpaksa dilakukan,
maka gunakan teknik satu tangan untuk menutup jarum, hindari
melepas jarum yang telah digunakan. Bila terpaksa dilakukan, maka
gunakan teknik satu tangan untuk menutup jarum, hindari melepas
jarum yang telah digunakan dari spuit sekali pakai, hindari
membengkokkan, menghancurkan atau memanipulasi jarum suntik
dengan tangan serta masukkan instrumen tajam ke dalam wadah yang
tahan tusukkan dan tahan air.
d. Perawatan pasien
Perawatan pasien yang sering dilakukan meliputi tindakan:
pemakaian kateter urin, pemakaian alat intravaskular, transfusi darah,
pemasangan selang nasogastrik, pemakaian ventilator dan perawatan
luka bekas operasi. Kateterisasi kandung kemih membawa risiko tinggi
terhadap infeksi saluran kemih (ISK). Penelitian menunjukkan bahwa
kebanyakan ISK nosokomial terjadi akibat instrumentasi traktus
urinarius, terutama pada tindakan kateterisasi. Pemasangan kateter urin
merupakan tindakan perawatan yang sering dilakukan di rumah sakit.
Prosedur pemasangan hingga pencabutan kateter urin harus dilakukan
sesuai prinsip aseptik untuk mencegah dan mengendalikan ISK
nosokomial. Penggunaan alat intravaskular untuk memasukkan cairan
steril, obat atau makanan serta untuk memantau tekanan darah sentral
dan fungsi hemodinamik meningkat tajam pada dekade terakhir.
Kateter yang dimasukkan melalui aliran darah vena atau arteri
melewati mekanisme pertahanan kulit yang normal dan penggunaan
alat ini dapat membuka jalan untuk masuknya mikroorganisme.
Transfusi darah memiliki kesamaan dalam beberapa hal dengan
penggunaan pemberian pengobatan melalui pembuluh darah. Terdapat
risiko serius bagi pasien yang menerima transfusi darah. Pedoman
dalam melakukan proses seleksi, pemeriksaan serta prosedur transfusi
yang tepat dan aman telah dikembangkan mengingat resiko infeksi
HBV, HCV dan HIV.
e. Penggunaan antiseptik
Larutan antiseptik dapat digunakan untuk mencuci tangan
terutama pada tindakan bedah, pembersihan kulit sebelum tindakan
bedah atau tindakan invasif lainnya. Instrumen yang kotor, sarung
tangan bedah dan barang-barang lain yang digunakan kembali dapat
diproses dengan dekontaminasi, pembersihan dan sterilisasi atau
disinfeksi tingkat tinggi (DTT) untuk mengendalikan infeksi.
Dekontaminasi dan pembersihan merupakan dua tindakan pencegahan
dan pengendalian yang sangat efektif meminimalkan risiko penularan
infeksi. Hal penting sebelum membersihkan adalah mendekontaminasi
alat tersebut.
Sterilisasi harus dilakukan untuk alat-alat yang kontak langsung
dengan aliran darah atau cairan tubuh lainnya dan jaringan. Sterilisasi
dapat dilakukan dengan menggunakan uap bertekanan tinggi
(autoclafe), pemanasan kering (oven), sterilisasi kimiawi dan fisik.
Kewaspadaan berdasarkan transmisi perlu dilakukan sebagai tambahan
kewaspadaan standar.Kewaspadaan berdasarkan transmisi meliputi:
penanganan linen dan pakaian kotor, penanganan peralatan makan
pasien, dan pencegahan infeksi untuk prosedur yang menimbulkan
aerosol pada pasien suspek atau probabel menderita penyakit menular
melalui udara atau airborne. Selain tindakan diatas isolasi pasien yang
akan menjadi sumber infeksi juga perlu diperhatikan untuk mencegah
transmisi langsung atau tidak langsung.

C. Pembahasan
Dari Pembahasan penelitian kasus hepatitis B pada Tn. K umur 65 tahun, menurut teori pencegahan
dan pengendalian infeksi nosokomial dengan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja pada
perawat ditemukan bahwa kewaspadaan standar pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial
dalam tindakan operasional mencakup mencuci tangan, menggunakan alat pelindung diri (sarung
tangan, masker, pelindung wajah, kacamata dan apron), praktik keselamatan kerja, perawatan
pasien, penggunaan antiseptik, penanganan peralatan dalam perawatan pasien dan kebersihan
lingkungan.

Sedangkan, dalam pembahasan Penelitian kasus hepatitis B pada Tn. K umur 65 tahun, menurut
menurut praktik langsung dilingkungan juga menerapkan bagaimana cara pencegahan dan
pengendalian infeksi nosokomial yaitu dengan mencakup mencakup mencuci tangan, menggunakan
beberapa alat pelindung (yang berupa sarung tangan dan masker), perawatan pasien, menggunakan
antiseptik, dan menggunakan peralatan dalam perawatan pasien dan kebersihan lingkungan.

D. Daftar Pustaka
Filya A. hunou, B. J. (2022). Penatalaksanaan Hepatitis B pada Populasi Khusus. Medical
Scope Journal , 30.

Gozali, A. P. (2020). Dianogis, Tatalaksanaan, dan Pencegahan Hepatitis B dalam


Kehamilan . Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera/ Rumah Sakit Universitas
Sumatera Utara Medan Indonesia , 355.

HABEAHAN, H. (2020). PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI


NOSOKOMIAL DENGAN PENERAPAN KESELAMATAN DAN
KESEHATAN KERJA PADA PERAWAT . H Habeahan, 15.

Kurniawan, J. (2021). Perkembangan Terapi Hepatitis B Kronis di Indonesia . Divisi


Hepatobiler, Departement Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta , 110.

Lira Mufti Azzahri, K. I. (2019, April 1). HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG


PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) DENGAN KEPATUHAN
PENGGUNAAN APD PERAWAT DI PUSKESMAS KUOK . Program Studi S1
Kesehatan Masyarakat Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai , hal. 1-8.
SISWANTO. (2020). EPIDEMIOLOGI PENYAKIT HEPATITIS. Samarinda:
Mulawarman University PRESS.

Pembimbing Praktik / CI Praktikan,

_____________________ _____________________

Pembimbing Institusi

_____________________

Anda mungkin juga menyukai