Anda di halaman 1dari 15

Definisi Hepatitis

Hepatitis B kronis masih merupakan masalah terbesar di Asia, dimana terdapat


sedikitnya 75% dari seluruhnya 300 juta individu dengan HbsAg positif menetap di
seluruh dunia. Di Asia sebagian besar pasien dengan Hepatitis B kronik, mendapat
infeksinya sejak masa perinatal. Dewasa ini, definisi hepatitis B kronis adalah adanya
persistensi virus hepatitis B (VHB) lebih dari 6 bulan.

Virus hepatitis B merupakan virus DNA hepatotropik, Hepadnaviridae . Terdiri


atas 6 genotipe (A sampai H), terkait dengan derajat beratnya dan respon terhadap
terapi . Memiliki 42nm partikel sferis dengan Inti nukleokapsid, densitas elektron,
diameter 27 nm dan memiliki selubung luar lipoprotein dgn ketebalan 7 nm. Inti
HBV mengandung :

1. ds DNA partial (3,2 kb) dan protein polimerase DNA dengan aktivitas reverse
transcriptase.
2. Antigen hepatitis B core (HbcAg), merupakan protein skuktural
3. Antigen hepatitis B e (HbeAg), protein non-struktural yang berkorelasi secara
tidak sempuma dengan replikasi aktif HBV

Sedangkan, selubung lipoprotein HBV mengandung Antigen permukaan


hepatitis B (HBsAg), dgn tiga selubung protein yaitu utama, besar dan menengah.
Lipid minor dan komponen karbohidrat serta HbsAg dalam bentuk partikel non
infeksius dengan bentuk sferis 22 nm atau tubular. Virus HBV mutan merupakan
konsekuensi kemampuan proof reading yang terbatas dari reverse transcriptase atau
munculnya resistensi. Antara lain dengan adanya HbeAg negatif mutasi precore /
core, mutasi yang diinduksi oleh vaksin HBV dan mutasi YMDD oleh karena
lamivudine.

Virus Hepatitis B memiliki masa inkubasi 15- 180 hari (rata-rata 60-90 hari).
Viremia berlangsung setelah beberapa minggu, beberapa bulan atau setelah infeksi
akut. Sebanyak l-5% dewasa, 90% neonatus dan 50% bayi akan berkembang
menjadi hepatitis kronik dan viremia yang persisten. Infeksi yang persisten
dihubungkan dengan hepatitis konik, sirosis dan kanker hati. HBV dapat ditemukan
di dalam darah, semen, seket servikovaginal, saliva dan cairan tubuh lain.

Transmisi HBV dapat terjadi melalui :

 Darah  penerima produk darah, pasien hemodialisis, pekerja kesehatan,


pekerja yang terpapar darah
 Transmisi seksual
 Penetrasi jaringan (perkutan) atau permukosa  tertusuk jarum, penggunaan
ulang peralatan medis yang terkontaminasi, penggunaan bersama pisau
cukur dan silet, tato, akupunktur, tindik dan penggunaan sikat gigi bersama .
 Transmisi maternal-neonatal, matemal-infant
 Tak ada bukti penyebaran fekal-oral

2.2 Patogenesis Hepatitis B

Virus Hepatitiv B masuk ke dalam tubuh secara parentral. Mulai dari peredaran
darah membentuk dane partikel, kemudian masuk ke dalam hati dan berreplikasi.
Kemudian sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel dane utuh dan partikel
HbsAg yang berbentuk bulat dan tubuler, sedangkan untuk HbeAg tidak ikut
membentuk partikel virus. Pertama-tama, VHB merangsang respon imun non
spesifik/ innate imun respon dengan bantuan NK sel dan NK-T, karena hanya
membutuhkan waktu beberapa menit hingga detik.

Dibutuhkan proses eradikasi VHB yang lebih spesifik, sehingga merangsang


respon imun spesifik untuk mengaktivasi sel T limfosit dan limfosit B. Proses aktivasi
sel T CD8 terjadi setelah adanya kontak reseptor antara sel T dengan kompleks
VHB-MHC I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan permukaan dinding APC.
Selain itu, juga mendapat bantuan dari sel T CD4 yang sudah mengalami kontak
dengan MHC kelas II pada dinding APC. HbcAG dan HbeAg merupakan peptide
VHB yang ditampilkan pada permukaan dinding sel hati dan menjadiantigen sasaran
respons imun. Selanjutnya, sel CD8 akan

mengeliminasi virus yang ada di dalam sel hati yang sudah terinfeksi dengan cara
membuat sel hati yang sudah teinfeksi menjadi nekrosis yang kemudia
menyebabkan terjadinya peningkatan ALT dengan mekanisme sitolitik. Disamping
itu, bisa juga terjadi eliminasi virus tanpa kerusakan dari sel hati yang sudah
terinfeksi yaitu melalui aktifitas Interferon gamma dan TNF alfa (Tissue Necroting
Factor) yang dihasilkan oleh sel T CD8 dengan mekanisme non sitolitik.

Sel T CD4 mengaktivasi sel limfosit B untuk menghasilkan antibodi, anti HbS,
anti HbC, dan anti Hbe. HbS berfungsi untuk menetralisir VHB dan mencegah
masuknya virus ke dalam sel hati, sehingga menghambat penyebaran virus dari sel
ke sel. Terjadinya infeksi kronik pada hepatitis B bukan disebabkan karena adanya
gangguan produksi anti Hbs, tetapi didapatkan kasus pasien dengan hepatitis B
kronik dengan anti Hbs yang tidak dapat terdeteksi melalui metode pemeriksaan
biasa karena anti Hbs bersembunyi di dalam kompleks HbsAg. Ketika proses
eliminasi virus berjalan dengan baik, maka dapat menyebabkan infeksi tidak
berkelanjutan. Namun, ketika proses eliminasinya kurang efisien maka infeksi
tersebut menetap dan bisa menjadi infeksi kronis. Hal tersebut dapat terjadi,
disebabkan karena adanya faktor pejamu dan faktor virus. Faktor virus disebabkan
karena adanya imuno toleransi terhadap VHB sehingga proses sel lisis terganggu
dan bisa juga disebabkan karena adanya mutasi virus yang menyebabkan tidak
adanya produksi HbeAg. Sedangkan untuk faktor pejamu, dipengaruhi oleh faktor
genetic, kurangnya produksi interferon gamma, adanya antibodi terhadap antigen
nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, faktor kelamin dan hormonal.

2.3 Perjalanan Penyakit Hati

Terdapat 90% individu dengan infeksi VHB dari sejak lahir akan tetap HbsAg +
sepanjang hidupnya, hanya 5% individu yang terinfeksi yang mengalami persistensi
infeksi. Interaksi antara VHB dengan respons imun tubuh terhadap VHB, memiliki
peranan besar dalam menentukan derajat keparahan hepatitis. Makin besar respons
imun tubuh terhadap VHB, makin besar pula kerusakan janngan hati, sebaliknya bila
tubuh toleran terhadap virus tersebut, maka tidak terjadi kerusakan hati.

Perjalanan penyakit hepatitis B kronik memiliki 3 fase, yaitu fase imun toleran,
imunoaktif dan fase non replikatif. Yang dimaksud dengan fase imun toleran adalah
ketika konsentrasi virus di dalam darah tinggi, tetapi tidak ada peradangan sel hati
yang bermakna. Hal ini disebabkan karena VHB berada dalam fase replikatif, dengan
titer HBsAg yang sangat tinggi, HBeAg positif, anti-HBe negatif, titer DNA VHB tinggi
dan konsentrasi ALT yang relatlif normal. Pada fase ini, biasanya jarang trerjadi
serokonversi secara HbeAg secara spontan, dan terapi untuk menginduksi
serokonversi HBeAg tersebut biasanya tidak efektif. Pada sekitar 30% individu
dengan persistensi VHB akibat terjadinya replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi
proses nekroinflamasi yang dapat dilihat dari kenaikan konsentrasi ALT. Pada
keadaan ini pasien rnulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB. Fase ini disebut
fase imunoaktif. Pada fase ini terjadi penghancuran virus dan menimbulkan
pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Selain itu, juga terjadi serokonversi
HbeAg baik secara spontan ataupun karena efek terapi. Kemudian, sekitar 70%
individu dapat menghilangkan partikel VHB, tanpa adanya kerusakan sel hati, hal ini
disebabkan karena titer HbsAg rendah dengan HBeAg yang menjadi negatif dan
anti-HBe yang menjadi positif secara spontan, serta konsentrasi ALT yang normal.
Inilah yang dinamakan fase non replikatif.

Pada beberapa pasien dalam fase non replikatif, ketika terjadi serokonversi
HbeAg positif menjadi anti Hbe yang positif, namun seseorang justru jatuh ke dalam
sirosis. Hal ini disebabkan karena terjadinya fibrosis setelah nekrosis yang berulang,
yang terjadi sebelum terjadinya serokonversi. Dalam fase residual, replikasi VHB
sudah mencapai titik minimal dan dari penelitian menunjukkan bahwa angka harapan
hidup pada pasien yang anti-HBe positif lebih tinggi dibandingkan pasien HBeAg
positif.

2.3 Tanda dan Gejala Klinis


Gambaran klinis pada hepatitis B sangat bervariasi, mulai dari adanya infeksi
yang asimptomatis tanpa kuning, hingga yang sangat berat yaitu hepatitis fulminant,
yang dalam beberapa hari saja dapat menyebabkan kematian. Didapatkan gejala
klinis hepatitis akut, meliputi 4 fase antara lain :
1. Fase Inkubasi  fase mulai dari masuknya virus sampai timbulnya gejala/
ikterus. Pada fase ini berbeda panjang fasenya, tergantung dari dosis
inoculum yang ditularkan dan jalur penularannya. Makin besar dosis
inoculum, makin pendek masa inkubasi virus ini.
2. Fase Prodromal (pra ikterus)  Fase ini merupakan fase antara
munculnya keluhan sampai timbulnya gejala, yang ditandai dengan
adanya malaise umum, mialgia , atralgia, mudah lelah, gejala saluran
napas atas dan anoreksia. Diare atau konstipasi dapat terjadi. Nyeri
abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau
epigastrium, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang
menimbulkan kolesistitis.
3. Fase Ikterus  Didapatkan adanya ikterus setelah 5-10 hari, tetapi dapat
juga muncul bersamaan dengan gejalanya. Terkadang, fase ini juga tidak
terdeteksi. Setelah timbul ikterus jarang terjadi perburukan gejala
prodromal, tetapi justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata.
4. Fase Konvalesen/ Penyembuhan  Ditandai dengan hilang icterus,
namun hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati masih ada. Nafsu
makan mulai meningkat dan tubuh terasa sehat. Kondisi akut akan
membaik dalam 2-3minggu. Pada hepatitis B, perbaikan klinis dan
laboratorium lengkap akan terjadi dalam 16 minggu.
Pada banyak kasus tidak didapatkan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes
faal hati hasilnya normal. Pada sebagian lagi didapatkan hepatomegali atau bahkan
splenomegali atau tanda-tanda penyakit hati kronis lainnya, misalnya eritema
palmaris dan spider nevi, serta pada pemeriksaan laboratorium sering didapatkan
kenaikan konsentrasi ALT walaupun hal itu tidak selalu didapatkan. Pada umumnya
didapatkan konsentrasi bilirubin yang normal. Konsentrasi albumin serum umumnya
masih normal kecuali pada kasus-kasus yang parah.
Secara sederhana manifestasi klinis hepatitis B kronik dapat dikelompokkan
menjadi 2 yaitu:
1. Hepatitis B kronik yang masih aktif (hepatitis B kronik aktif). HbsAg positif dengan
DNA VHB lebih dari 105 kopi/ml didapatkan kenaikan ALT yang menetap atau
intermiten. Tanda-tanda penyakit hati kronik sering didapatkan. Pada biopsi hati
didapatkan gambaran peradangan yang aktif. Menurut status HbeAg dapat
dikelompokkan menjadi hepatitis B kronik HbeAg positif dan hepatitis B kronik
HbeAg negatif.
2. Carrier VHB Inaktif (Inactive HBV Carrier State). Pada kelompok ini HBsAg postif
dengan titer DNA VHB yang rendah yaitu kurang dari 105 kopi/ml. Pasien
menunjukkan konsentrasi ALT normal dan tidak didapatkan keluhan. Terdapat
kelainan jaringan yang minimal pada pemeriksaan histologik. Hepatitits B kronik
Hbe negatif dengan pasien carrier VHB inaktif sering sulit dibedakan karena
pemeriksaan DNA kuantitatif masih jarang dilakukan secara rutin. Perlu dilakukan
pemeriksaan ALT berulang kali untuk waktu yang cukup lama.
Biopsi hati diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti dan untuk
meramalkan prognosis serta kemungkinan keberhasilan terapi (respon histologik).
Pemeriksaan biopsi untuk pasien hepatitis B kronik sangat penting terutama untuk
pasien dengan HbeAg positif dengan konsentrasi ALT 2x nilai normal tertinggi atau
lebih.

2.4 Gambaran Histopatologik Hepatitis B Kronik


Terdapat infiltrasi sel radang terutama limfosit dan sel plasma pada segitiga
portal, dapat terjadi peningkatan fibrosis sesuai dengan derajat keparahan penyakit.
Sel radang dapat masuk ke dalam lobulus sehingga terjadi erosi limiting plate, sel-sel
hati dapat mengalami degenerasi baluning dan dapat terjadi badan asidofil
(achidofilic bodies). Gambaran kolestasis pada pasien hepatits B kronik jarang
didapatkan. Untuk menilai derajat keparahan hepatits serta untuk menentukan
prognosis, dahulu gambaran histopatologik hepatits B kronik dibagi menjadi 3
kelompok yaitu: 1.) Hepatits kronik persisten (HKP) adalah infiltrasi sel-sel
mononuklir pada daerah portal dengan sedikit fibrosis, limiting plate masih utuh, tidak
ada piecemeal necrosis. Gambaran ini sering didapatkan pada carrier asimtomatik;
2.) Hepatits kronik aktif (HKA) adalah adanya infiltrat radang yang menonjol, yang
terutama terdiri dari limfosit dan sel plasma yang terdapat di daerah portal. Infiltrat
peradangan inimasuk sampai ke dalam lobulus hati dan menimbulkan erosi limiting
plate dan disertai placemeal necrosis. Gambaran ini sering tampak pada carrier yang
sakit (simtomatik); 3.) Hepatitis kronik lobular (HKL), sering dinamakan hepatits akut
yang berkepanjangan. Gambaran histopatologi mirip hepatitis akut tetapi timbul lebih
dari 3 bulan. Didapatkan gambaran peradangan dan nekrosis intralobular, tidak
terdapat piecemeal necrosis dan bridging necrosis.
Salah satu klasifikasi histologik untuk menilai aktivitas peradangan yang
terkenal adalah Histological Activity Index (HAI)

Komponen Skor
Nekrosis periportal dengan atau tanpa bridging necrosis 0-10
Regenerasi intralobular dan nekrosis fokal 0-4
Inflamasi portal 0-4

Dengan demikian skor HAI yang mungkin adalah 0-18. Pada 2 dapat dilihat
hubungan antara skor indeks aktivitas histologik dengan derajat hepatitis kronik.

Tabel 2. Hubungan Antara Skor HAI dengan Derajat Hepatits Kronik dengan
Menyingkirkan Fibrosis
HAI
Diagnosis
1-3
Minimal
4-8
Ringan
9-12
Sedang
13-18
Berat
Intensitas nekrosis (grade) dan progresi struktural penyakit hati (stage) yang
dinyatakan dalam bentuk kuantitatif yang lebih sederhana dan lebih sering dipakai
berdasarkan skor.

Berikut ini rincian dari sistem skor tersebut:

I. Aktivitas Peradangan Portal dan Lobular

Grade Patologi
1 Tidak ada peradangan portal atau peradangan portal minimal
2 Peradangan portal tanpa nekrosis atau Peradangan lobular tanpa nekrosis
3 Limiting plate necrosis ringan (Interface Hepatitis Ringan) dengan atau
nekrosis lobular yang bersifat fokal
4 Limiting plate necrosis sedang atau Interface Hepatitis Sedang dan atau
nekrosis fokal berat (Confluens necrosis)
5 Limiting plate necrosis berat (Interface Hepatitis berat) dan atau bridging
necrosis

II. Fibrosis

Stage Patologi
1 Tidak ada Fibrosis
2 Fibrosis terbatas pada zona portal yang melebar
3 Pembentukan septa periportal atau septa portal-portal dengan arsitektur
yang masih utuh
4 Distorsi arsitektur (Fibrosis septa bridging) tanpa sirosis yang jelas
5 Kemungkinan sirosis atau pasti sirosis

2.5 Diagnosis
Untuk mendiagnosis VHB tidak mungkin hanya atas dasar klinis, dibutuhkan
pemeriksaan laboratorium untuk membedakan hepatitis B dari virus hepatitis
lainnya dan dapat digunakan untuk membedakan infeksi akut dan kronis. WHO
merekomendasikan bahwa semua donor darah harus diuji untuk memastikan
keamanan darah dan menghindari penularan kecelakaan pada orang yang
menerima produk darah.
Pemeriksaan laboratorium berfokus pada deteksi antigen permukaan
hepatitis B (HBsAg). Penanda serologis tambahan infeksi VHB (HBeAg),
pengukuran level aminotransferase untuk menentukan peradangan hati, kuantifikasi
level VHB DNA, dan tahap fibrosis hati dengan tes non-invasif (NITs) seperti
sebagai aspartat aminotransferase to platelet rasio indeks (APRI) dan elastography
(FibroScan) atau FibroTest. (WHO, 2015)

Serologic marker Interpretation


HBsAg Total IgM anti- Anti-HBs
anti-HBc HBc
– – – – Tidak pernah terinfeksi

+ – – – Infeksi akut awal, masa transien (sampai 18


hari) setelah vaksin
+ + + – Infeksi akut
– + + – Infeksi akut telah selesai
– + – + Penyembuhan dari infeksi lampu dan
imunitas
+ + – – Infeksi kronik
– + – – False positive ( contoh : rentan), infeksi
lampau, infeksi kronis level rendah,
Transfer pasif untuk bayi baru lahir dengan
ibu HBsAg positif
– – – + Imunitas jika konsentrasi > 10 mIU / mL,
transfer pasif setelah pemberian HBIG

Tabel 1. Interpretasi hasil uji serologis untuk infeksi VHB (CDC, 2015)

Tes laboratorium yang dipakai untuk menegakkan diagnosis adalah:


1. Tes antigen-antibodi virus Hepatitis B:
a. HbsAg (antigen permukaan virus hepatatitis B)
Merupakan material permukaan/kulit VHB. HBsAg mengandung protein
yang dibuat oleh sel-sel hati yang terinfesksi VHB. Jika hasil tes HBsAg
positif, artinya individu tersebut terinfeksi VHB, karier VHB, menderita
hepatatitis B akut ataupun kronis. HBsAg bernilai positif setelah 6 minggu
infeksi VHB dan menghilang dalam 3 bulan. Bila hasil tetap setelah lebih
dari 6 bulan berarti hepatitis telah berkembang menjadi kronis atau
pasien menjadi karier VHB. HbsAg positif makapasien dapat menularkan
VHB.
b. Anti-HBs (antibodi terhadap HBsAg)
Merupakan antibodi terhadap HbsAg. Keberadaan anti-HBsAg
menunjukan adanya antibodi terhadap VHB. Antibodi ini memberikan
perlindungan terhadap penyakit hepatitis B. Jika tes anti-HbsAg bernilai
positif berarti seseorang pernah mendapat vaksin VHB ataupun
immunoglobulin. Hal ini juga dapat terjadi pada bayi yang mendapat
kekebalan dari ibunya. Anti-HbsAg posistif pada individu yang tidak
pernah mendapat imunisasi hepatitis B menunjukkan bahwa individu
tersebut pernah terinfeksi VHB.
c. HbeAg
Yaitu antigen envelope VHB yang berada di dalam darah. HbeAg bernilai
positif menunjukkan virus VHB sedang aktif bereplikasi atau
membelah/memperbayak diri. Dalam keadaan ini infeksi terus berlanjut.
Apabila hasil positif dialami hingga 10 minggu maka akan berlanjut
menjadi hepatitis B kronis. Individu yang memiliki HbeAg positif dalam
keadaan infeksius atau dapat menularkan penyakitnya baik kepada
orang lain maupun janinnya.
d. Anti-Hbe
Merupakan antibodi terhadap antigen HbeAg yang diproduksi oleh tubuh.
Anti-HbeAg yang bernilai positif berati VHB dalam keadaan fase non-
replikatif.
e. HbcAg (antigen core VHB)
Merupakan antigen core (inti) VHB, yaitu protein yang dibuat di dalam
inti sel hati yang terinfeksi VHB. HbcAg positif menunjukkan keberadaan
protein dari inti VHB.
f. Anti-Hbc (antibodi terhadap antigen inti hepatitis B)
Merupakan antibodi terhadap HbcAg. Antibodi ini terdiri dari dua tipe
yaitu IgM anti HBc dan IgG anti-HBc. IgM anti HBc tinggi menunjukkan
infeksi akut. IgG anti-HBc positif dengan IgM anti-HBc negatif
menunjukkan infeksi kronis pada seseorang atau orang tersebut
penah terinfeksi VHB.
2. Viral load VHB-DNA.
Apabila positif menandakan bahwa penyakitnya aktif dan terjadi replikasi
virus. Makin tinggi titer VHB-DNA kemungkinan perburukan penyakit semakin
besar.
3. Faal hati.
SGOT (Serum Glutamic Oxaloasetic Transaminase) dan SGPT (Serum
Glutamic Pyruvic Transaminase) dapat merupakan tanda bahwa penyakit
hepatitis B-nya aktif dan memerlukan pengobatan anti virus. Sering ditemukan
kadar setinggi 1000-2000 IU/L dengan nilai SGPT lebih tinggi daripada SGOT.
4. Alfa-fetoprotein (AFP)
Tes untuk mengukur tingkat AFP, yaitu sebuah protein yang dibuat oleh sel hati
yang kanker. (Price, 2006)
5. Biopsi hati
Merupakan penunjang untuk memastikan staging nekroinflammasi, fibrosis, dan
untuk panduan pengobatan. Ada beberapa metode baku mengukur histologi dan
aktivitas necroinflammasi yang secara terpisah dari staging (fibrosis). Namun,
keterbatasan biopsi antara lain sampling error, subjektivitas dalam pelaporan, biaya
tinggi, risiko perdarahan dan pneumotoraks, ketidaknyamanan kepada pasien, dan
membutuhkan pelatihan dan infrastruktur di low and middle income countries
(LMICs).
Patologi klinis Hepatitis B kronik pada biopsi hati bergantung pada staging
penyakit, respon imun tubuh dan tingkat replikasi virus. Beberapa sistem penilaian
biopsi hati telah dikembangkan dan paling banyak digunakan adalah METAVIR dan
Knodell and Ishak scores.

Tabel 2. Sistem skoring pada fibrosis Hati.( Standish RA et al.,2006)

2.6 Tatalaksana
Tidak ada terapi spesifik untuk hepatitis akut, tatalaksana diberikan
suportif dengan asupan kalori yang cukup. Pemantauan ditujukan pada untuk
memastikan tidak terjadi kronisitas. Pasien dengan infeksi VHB kronis harus dirujuk
ke Rumah Sakit berfasilitas lengkap untuk manajemen infeksi VHB kronis. (Lok,
2009)
Untuk pencegahan diberikan vaksin hepatitis B sebelum paparan.
a. Imunoprofilaksis vaksin hepatitis B sebelum paparan.
Vaksinasi VHB diberikan secara intramuskular, diulang pada 1 dan 6 bulan
kemudian.
Indikasi pemberian:
1. Imunisasi universal untuk bayi baru lahir.
2. Vaksinasi untuk anak sampai umur 19 tahun (bila belum
divaksinasi)
3. Grup resiko tinggi: pasangan dan anggota keluarga yang kontak
dengan karier hepatitis B, pekerja kesehatan dan pekerja yang
terpapar darah, homoseksual dan biseksual pria, individu dengan banyak
pasangan seksual, resipien transfusi darah, pasien hemodialisis,
sesama narapidana, individu dengan penyakit hati yang telah ada.
Tabel 4. Algoritma rekomendasi who tentang penatalaksaaan infeksi kronis
Hepatitis B (WHO.2015)

b. Imunoprofilaksis pasca paparan dengan vaksin hepatitis B dan


imunogobulin hepatitis B (HBIG)
Indikasi:
1. Kontak seksual dengan individu yang terinfeksi hepatitis akut:
a. Dosis 0,04-0,07 ml/kg HBIG sesegera mungkin setelah paparan.
b. Vaksin VHB pertama diberikan pada saat atau hari yang sama pada sisi
lain.
c. Vaksin kedua dan ketiga diberikan 1 dan 6 bulan kemudian.
2. Neonatus dari ibu yang diketahui mengidap HbsAg positif:
a. Setengah mililiter HBIG diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir di
bagian anterolateral otot paha atas.
b. Vaksin VHB dengan dosis 5-10 ug, diberikan dalam waktu 12 jam
pada sisi lain, diulang pada 1 dan 6 bulan. Untuk terapi hepatitis B kronik,
saat ini dikenal 2 kelompok terapi yaitu:
1. Kelompok imunomodulasi
a. Interferon.
b. Timosin alfa 1
c. Vaksinasi terapi.
2. Kelompok terapi antiviral
a. Lamivudin
b. Adefovir dipivoksil
Antiviral agent Potency against Resistance Activity against Cost
HBV barrier HIV

Interferons Moderate Not applicable Moderate High


Low (high in
Tenofovir High High High
Hong Kong and
other Asian
countries)
Entecavir High High Weak High
Emtricitabine Moderate Low High Low
Telbivudine High Low Unclear High
Lamivudine Moderate–high Low High Low
None
Adefovir Low Moderate High
(at 10 mg dose)

Tabel 5. Antivirus yang aktif terhadap infeksi virus hepatitis B (WHO, 2015)
a) Interferon (IFN) alfa.
IFN adalah kelompok protein intracelular yang normal ada dalam tubuh
dan diproduksi oleh berbagai macam sel. Beberapa fungsi interferon adalah
sebagai antiviral, imunomodulator, anti ploriferatif dan antifibrotik. Interferon
tidak memiliki fungsi anti viral secara langsung namun merangsang
berbagai macam protein efektir yang mempunyai fungsi antiviral.
Fungsi IFN untuk hepatitis B terutama karena efek imunomodulator. Pada
pasien hepatitis B terjadi penurunan kadar IFN, sebagai akibatnya terjadi
gangguan penampilan molekul HLA kelas I pada membran hepatosit
yang sangat diperlukan agar sel T dapat mengeali sel-sel hepatosit yang
terinfeksi VHB.
IFN merupakan pilihan pada pasien Hepatitis B kronik nonsirotik
dengan HbeAg positif dengan aktifitas penyakit ringan sampai sedang.
Dose
Tabel 6. Rekomendasi obat untuk Hepatitis B kronik pada dewasa
(WHO,2016)

b) Timosin alfa 1.
Timosin adalah suatu jenis sitotoksin yang berfungsi merangsang
limfosit. Pemberian timosin pada pasien hepatitis B ktonik dapat
menurunkan replikasi VHB dan menurunkan kadar atau menghilangkan DNA
VHB. Keunggulan obat ini adalah tidak adanya efek samping seperti IFN.
Dengan kombinasi dengan IFN, obat ini meningkatkan efektifitas IFN.

c) Vaksinasi terapi.
Salah satu langkah maju dalam bidang vaksinansi hepattis B adalh
kemingkinanm menggunakan vaksin hepatitis B untuk pengobatan infeksi VHB.
Salah satu dasar prinsip vaksinansi terapi adalah penggunaan vaksin
yang menyertakan epitop yang mampu merangsang sel T sitotoksik yang
bersifat Human Leucocyte Antigen (HLA)- restricted, diharapkan sel T
sitotoksik tersebut mampu mengahcnurkan sel hati yang terinfeksi VHB.
d) Lamivudin.
Lamivudin menghambat enzim reverse transkriptase yang berfungsi
dalam transkripsi balik dari RNA menjadi DNA yang terjadi dalam
replikasi VHB. Lamivudin menghambat produksi VHB baru dan
mencegah terjadinya infeksi hepatosit sehat yang belum terinfeksi, tetapi tidak
mempngaruhi sel-sel yang telah terinfeksi.
Penggunaan lamivudin pada anak-anak dianjurkan 3 mg/kgBB tiap hari
selama 52 minggu.
e) Adefivir dipovoksil
Adefovir dipivoksil menghambat enzim reverse transkriptase.
Keuntungan penggunaan adefovir adalah jarang terjadinya kekebalan.
Dengan demikian obat ini merupakan obat yang ideal untuk terapi
hepatitis B kronik dengan penyakti hati yang parah. Kerugiannya adalah
ahrga yang mahal dan masih kurangnya data mengenai keamanan dalam
jangka yang sangat panjang. Jika diberikan setiap hari selama 48 minggu,
terbukti memeberikan hasil yang signifikan.

Anda mungkin juga menyukai