Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
1. ds DNA partial (3,2 kb) dan protein polimerase DNA dengan aktivitas reverse
transcriptase.
2. Antigen hepatitis B core (HbcAg), merupakan protein skuktural
3. Antigen hepatitis B e (HbeAg), protein non-struktural yang berkorelasi secara
tidak sempuma dengan replikasi aktif HBV
Virus Hepatitis B memiliki masa inkubasi 15- 180 hari (rata-rata 60-90 hari).
Viremia berlangsung setelah beberapa minggu, beberapa bulan atau setelah infeksi
akut. Sebanyak l-5% dewasa, 90% neonatus dan 50% bayi akan berkembang
menjadi hepatitis kronik dan viremia yang persisten. Infeksi yang persisten
dihubungkan dengan hepatitis konik, sirosis dan kanker hati. HBV dapat ditemukan
di dalam darah, semen, seket servikovaginal, saliva dan cairan tubuh lain.
Virus Hepatitiv B masuk ke dalam tubuh secara parentral. Mulai dari peredaran
darah membentuk dane partikel, kemudian masuk ke dalam hati dan berreplikasi.
Kemudian sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel dane utuh dan partikel
HbsAg yang berbentuk bulat dan tubuler, sedangkan untuk HbeAg tidak ikut
membentuk partikel virus. Pertama-tama, VHB merangsang respon imun non
spesifik/ innate imun respon dengan bantuan NK sel dan NK-T, karena hanya
membutuhkan waktu beberapa menit hingga detik.
mengeliminasi virus yang ada di dalam sel hati yang sudah terinfeksi dengan cara
membuat sel hati yang sudah teinfeksi menjadi nekrosis yang kemudia
menyebabkan terjadinya peningkatan ALT dengan mekanisme sitolitik. Disamping
itu, bisa juga terjadi eliminasi virus tanpa kerusakan dari sel hati yang sudah
terinfeksi yaitu melalui aktifitas Interferon gamma dan TNF alfa (Tissue Necroting
Factor) yang dihasilkan oleh sel T CD8 dengan mekanisme non sitolitik.
Sel T CD4 mengaktivasi sel limfosit B untuk menghasilkan antibodi, anti HbS,
anti HbC, dan anti Hbe. HbS berfungsi untuk menetralisir VHB dan mencegah
masuknya virus ke dalam sel hati, sehingga menghambat penyebaran virus dari sel
ke sel. Terjadinya infeksi kronik pada hepatitis B bukan disebabkan karena adanya
gangguan produksi anti Hbs, tetapi didapatkan kasus pasien dengan hepatitis B
kronik dengan anti Hbs yang tidak dapat terdeteksi melalui metode pemeriksaan
biasa karena anti Hbs bersembunyi di dalam kompleks HbsAg. Ketika proses
eliminasi virus berjalan dengan baik, maka dapat menyebabkan infeksi tidak
berkelanjutan. Namun, ketika proses eliminasinya kurang efisien maka infeksi
tersebut menetap dan bisa menjadi infeksi kronis. Hal tersebut dapat terjadi,
disebabkan karena adanya faktor pejamu dan faktor virus. Faktor virus disebabkan
karena adanya imuno toleransi terhadap VHB sehingga proses sel lisis terganggu
dan bisa juga disebabkan karena adanya mutasi virus yang menyebabkan tidak
adanya produksi HbeAg. Sedangkan untuk faktor pejamu, dipengaruhi oleh faktor
genetic, kurangnya produksi interferon gamma, adanya antibodi terhadap antigen
nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, faktor kelamin dan hormonal.
Terdapat 90% individu dengan infeksi VHB dari sejak lahir akan tetap HbsAg +
sepanjang hidupnya, hanya 5% individu yang terinfeksi yang mengalami persistensi
infeksi. Interaksi antara VHB dengan respons imun tubuh terhadap VHB, memiliki
peranan besar dalam menentukan derajat keparahan hepatitis. Makin besar respons
imun tubuh terhadap VHB, makin besar pula kerusakan janngan hati, sebaliknya bila
tubuh toleran terhadap virus tersebut, maka tidak terjadi kerusakan hati.
Perjalanan penyakit hepatitis B kronik memiliki 3 fase, yaitu fase imun toleran,
imunoaktif dan fase non replikatif. Yang dimaksud dengan fase imun toleran adalah
ketika konsentrasi virus di dalam darah tinggi, tetapi tidak ada peradangan sel hati
yang bermakna. Hal ini disebabkan karena VHB berada dalam fase replikatif, dengan
titer HBsAg yang sangat tinggi, HBeAg positif, anti-HBe negatif, titer DNA VHB tinggi
dan konsentrasi ALT yang relatlif normal. Pada fase ini, biasanya jarang trerjadi
serokonversi secara HbeAg secara spontan, dan terapi untuk menginduksi
serokonversi HBeAg tersebut biasanya tidak efektif. Pada sekitar 30% individu
dengan persistensi VHB akibat terjadinya replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi
proses nekroinflamasi yang dapat dilihat dari kenaikan konsentrasi ALT. Pada
keadaan ini pasien rnulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB. Fase ini disebut
fase imunoaktif. Pada fase ini terjadi penghancuran virus dan menimbulkan
pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Selain itu, juga terjadi serokonversi
HbeAg baik secara spontan ataupun karena efek terapi. Kemudian, sekitar 70%
individu dapat menghilangkan partikel VHB, tanpa adanya kerusakan sel hati, hal ini
disebabkan karena titer HbsAg rendah dengan HBeAg yang menjadi negatif dan
anti-HBe yang menjadi positif secara spontan, serta konsentrasi ALT yang normal.
Inilah yang dinamakan fase non replikatif.
Pada beberapa pasien dalam fase non replikatif, ketika terjadi serokonversi
HbeAg positif menjadi anti Hbe yang positif, namun seseorang justru jatuh ke dalam
sirosis. Hal ini disebabkan karena terjadinya fibrosis setelah nekrosis yang berulang,
yang terjadi sebelum terjadinya serokonversi. Dalam fase residual, replikasi VHB
sudah mencapai titik minimal dan dari penelitian menunjukkan bahwa angka harapan
hidup pada pasien yang anti-HBe positif lebih tinggi dibandingkan pasien HBeAg
positif.
Komponen Skor
Nekrosis periportal dengan atau tanpa bridging necrosis 0-10
Regenerasi intralobular dan nekrosis fokal 0-4
Inflamasi portal 0-4
Dengan demikian skor HAI yang mungkin adalah 0-18. Pada 2 dapat dilihat
hubungan antara skor indeks aktivitas histologik dengan derajat hepatitis kronik.
Tabel 2. Hubungan Antara Skor HAI dengan Derajat Hepatits Kronik dengan
Menyingkirkan Fibrosis
HAI
Diagnosis
1-3
Minimal
4-8
Ringan
9-12
Sedang
13-18
Berat
Intensitas nekrosis (grade) dan progresi struktural penyakit hati (stage) yang
dinyatakan dalam bentuk kuantitatif yang lebih sederhana dan lebih sering dipakai
berdasarkan skor.
Grade Patologi
1 Tidak ada peradangan portal atau peradangan portal minimal
2 Peradangan portal tanpa nekrosis atau Peradangan lobular tanpa nekrosis
3 Limiting plate necrosis ringan (Interface Hepatitis Ringan) dengan atau
nekrosis lobular yang bersifat fokal
4 Limiting plate necrosis sedang atau Interface Hepatitis Sedang dan atau
nekrosis fokal berat (Confluens necrosis)
5 Limiting plate necrosis berat (Interface Hepatitis berat) dan atau bridging
necrosis
II. Fibrosis
Stage Patologi
1 Tidak ada Fibrosis
2 Fibrosis terbatas pada zona portal yang melebar
3 Pembentukan septa periportal atau septa portal-portal dengan arsitektur
yang masih utuh
4 Distorsi arsitektur (Fibrosis septa bridging) tanpa sirosis yang jelas
5 Kemungkinan sirosis atau pasti sirosis
2.5 Diagnosis
Untuk mendiagnosis VHB tidak mungkin hanya atas dasar klinis, dibutuhkan
pemeriksaan laboratorium untuk membedakan hepatitis B dari virus hepatitis
lainnya dan dapat digunakan untuk membedakan infeksi akut dan kronis. WHO
merekomendasikan bahwa semua donor darah harus diuji untuk memastikan
keamanan darah dan menghindari penularan kecelakaan pada orang yang
menerima produk darah.
Pemeriksaan laboratorium berfokus pada deteksi antigen permukaan
hepatitis B (HBsAg). Penanda serologis tambahan infeksi VHB (HBeAg),
pengukuran level aminotransferase untuk menentukan peradangan hati, kuantifikasi
level VHB DNA, dan tahap fibrosis hati dengan tes non-invasif (NITs) seperti
sebagai aspartat aminotransferase to platelet rasio indeks (APRI) dan elastography
(FibroScan) atau FibroTest. (WHO, 2015)
Tabel 1. Interpretasi hasil uji serologis untuk infeksi VHB (CDC, 2015)
2.6 Tatalaksana
Tidak ada terapi spesifik untuk hepatitis akut, tatalaksana diberikan
suportif dengan asupan kalori yang cukup. Pemantauan ditujukan pada untuk
memastikan tidak terjadi kronisitas. Pasien dengan infeksi VHB kronis harus dirujuk
ke Rumah Sakit berfasilitas lengkap untuk manajemen infeksi VHB kronis. (Lok,
2009)
Untuk pencegahan diberikan vaksin hepatitis B sebelum paparan.
a. Imunoprofilaksis vaksin hepatitis B sebelum paparan.
Vaksinasi VHB diberikan secara intramuskular, diulang pada 1 dan 6 bulan
kemudian.
Indikasi pemberian:
1. Imunisasi universal untuk bayi baru lahir.
2. Vaksinasi untuk anak sampai umur 19 tahun (bila belum
divaksinasi)
3. Grup resiko tinggi: pasangan dan anggota keluarga yang kontak
dengan karier hepatitis B, pekerja kesehatan dan pekerja yang
terpapar darah, homoseksual dan biseksual pria, individu dengan banyak
pasangan seksual, resipien transfusi darah, pasien hemodialisis,
sesama narapidana, individu dengan penyakit hati yang telah ada.
Tabel 4. Algoritma rekomendasi who tentang penatalaksaaan infeksi kronis
Hepatitis B (WHO.2015)
Tabel 5. Antivirus yang aktif terhadap infeksi virus hepatitis B (WHO, 2015)
a) Interferon (IFN) alfa.
IFN adalah kelompok protein intracelular yang normal ada dalam tubuh
dan diproduksi oleh berbagai macam sel. Beberapa fungsi interferon adalah
sebagai antiviral, imunomodulator, anti ploriferatif dan antifibrotik. Interferon
tidak memiliki fungsi anti viral secara langsung namun merangsang
berbagai macam protein efektir yang mempunyai fungsi antiviral.
Fungsi IFN untuk hepatitis B terutama karena efek imunomodulator. Pada
pasien hepatitis B terjadi penurunan kadar IFN, sebagai akibatnya terjadi
gangguan penampilan molekul HLA kelas I pada membran hepatosit
yang sangat diperlukan agar sel T dapat mengeali sel-sel hepatosit yang
terinfeksi VHB.
IFN merupakan pilihan pada pasien Hepatitis B kronik nonsirotik
dengan HbeAg positif dengan aktifitas penyakit ringan sampai sedang.
Dose
Tabel 6. Rekomendasi obat untuk Hepatitis B kronik pada dewasa
(WHO,2016)
b) Timosin alfa 1.
Timosin adalah suatu jenis sitotoksin yang berfungsi merangsang
limfosit. Pemberian timosin pada pasien hepatitis B ktonik dapat
menurunkan replikasi VHB dan menurunkan kadar atau menghilangkan DNA
VHB. Keunggulan obat ini adalah tidak adanya efek samping seperti IFN.
Dengan kombinasi dengan IFN, obat ini meningkatkan efektifitas IFN.
c) Vaksinasi terapi.
Salah satu langkah maju dalam bidang vaksinansi hepattis B adalh
kemingkinanm menggunakan vaksin hepatitis B untuk pengobatan infeksi VHB.
Salah satu dasar prinsip vaksinansi terapi adalah penggunaan vaksin
yang menyertakan epitop yang mampu merangsang sel T sitotoksik yang
bersifat Human Leucocyte Antigen (HLA)- restricted, diharapkan sel T
sitotoksik tersebut mampu mengahcnurkan sel hati yang terinfeksi VHB.
d) Lamivudin.
Lamivudin menghambat enzim reverse transkriptase yang berfungsi
dalam transkripsi balik dari RNA menjadi DNA yang terjadi dalam
replikasi VHB. Lamivudin menghambat produksi VHB baru dan
mencegah terjadinya infeksi hepatosit sehat yang belum terinfeksi, tetapi tidak
mempngaruhi sel-sel yang telah terinfeksi.
Penggunaan lamivudin pada anak-anak dianjurkan 3 mg/kgBB tiap hari
selama 52 minggu.
e) Adefivir dipovoksil
Adefovir dipivoksil menghambat enzim reverse transkriptase.
Keuntungan penggunaan adefovir adalah jarang terjadinya kekebalan.
Dengan demikian obat ini merupakan obat yang ideal untuk terapi
hepatitis B kronik dengan penyakti hati yang parah. Kerugiannya adalah
ahrga yang mahal dan masih kurangnya data mengenai keamanan dalam
jangka yang sangat panjang. Jika diberikan setiap hari selama 48 minggu,
terbukti memeberikan hasil yang signifikan.