Anda di halaman 1dari 12

CLINICAL SCIENCE SESSION

Oleh :
Agus Junaidi Kantika Prinandita Defri Aryu Dinata Marhendra Satria Utama C1104.0004 C1104.0201 1301-1206-0014 1301-1206-4001

Preseptor :
Rudi Wicaksono dr.,Sp.PD

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FKUP/RSHS Bandung 2006

1.1 Pendahuluan Definisi dari infeksi virus hepatitis B kronik adalah adanya persistensi Virus Hepatitis B (VHB) lebih dari 6 bulan. Infeksi kronik virus hepatitis B merupakan masalah yang serius, karena selain penyebarannya yang sangat luas, infeksi virus ini juga menyebabkan banyak gejala sisa. Sekitar 75% dari 300 juta penduduk yang memiliki HBsAg positif di seluruh dunia berdomisili di Asia, sebagian besar pasien mendapat infeksi virus hepatitis B pada masa perinatal. Kebanyakan pasien ini tidak mengalami keluhan ataupun gejala sampai akhirnya terjadi penyakit hati kronik. 1.2 Patogenesis Persistensi Virus Hepatitis B Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah, partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Virus hepatitis B merangsang respon imun tubuh, yang pertama kali dirangsang adalah respon imun tubuh nonspesifik (innate immune response). Proses eliminasi pada saat ini terjadi dengan adanya natural killer cell (NK cell) dan natural killer cell T (NK-T cell). Proses eradikasi virus hepatitis B lebih lanjut dilakukan oleh respon imun spesifik yaitu dengan mengaktifasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktifasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak sel limfosit T dengan kompleks peptida VHB-MHC klas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding antigen presenting cell (APC) dibantu dengan rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan komplek peptida VHB-MHC klas II pada dinding APC. Sel T CD8+ akan mengeliminasi virus yang ada di dalam sel hati yang terinfeksi. Proses eliminasi dapat terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang akan menyebabkan peningkatan ALT atau dengan mekanisme sitolitik. Disamping itu, eliminasi virus intrasel dapat juga terjadi tanpa merusak sel hati yang terinfeksi yaitu melalui aktivitas interferon gamma dan Tissue Necrotic Factor alfa (TNF-) yang dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme nonsitolitik).

Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyababkan produksi antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc dan anti-HBe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi partikel virus hepatitis B bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel, dengan demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien, maka infeksi virus hepatitis B dapat diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien, maka terjadi infeksi virus hepatitis B yang menetap. Proses eliminasi virus yang tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor viral maupun faktor pejamu. Faktor viral : 1. Terjadi imunotoleransi terhadap virus hepatitis B 2. Terjadi hambatan terhadap CTL yang berfungsi untuk melakukan lisis terhadap sel-sel yang terinfeksi. 3. Terjadi mutan virus hepatitis B yang tidak memproduksi HBsAg 4. Integrasi genom virus hepatitis B dengan genom sel hati Faktor pejamu : 1. Faktor genetik 2. Kurangnya produksi interferon 3. Adanya antibodi terhadap antigen nukleokapsid 4. Kelainan fungsi limfosit 5. Respon antiidiotipe 6. Faktor kelamin dan hormonal 1.3 Perjalanan Penyakit Hati Sembilan puluh persen individu yang mendapat infeksi sejak lahir akan ttap HBsAg positif sepanjang hidupnya dan menderita Hepatitis B Kronik, seangkan hanya 5% individu dewasa yang mendapat infeksi akan mengalami persistenci infeksi. Persistenci VHB menimbulkan kelainan yang berbeda pada

individu yang berbeda, tergantung dari kadar partikel VHB dan respons imun tubuh. Interaksi antara VHB dengan respons imun tubuh terhadap VHB sangat besar perannya dalam menentukan derajat keparahan hepatitis. Makin besar respons imun tubuh terhadap virus, makin besar pula kerusakan jaringan hati, sebaliknya bila tubuh toleran terhadap virus tersebut maka tidak terjadi kerusakan hati. Ada 3 fase pentng dalam perjalanan penyakit hepatitis b kronik yaitu fase imunotoleransi, fase imunoaktif atau fase imuno clearance, dan fase non replikatif atau fase residual. Pada masa anak-anak atau pada masa dewasa muda, system imun tubuh toleran terhadap VHB sehingga kadar virus dalam darah dapat sedemikian tingginnya tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Dalam keadaan itu VHB ada dalam fasereplikatif dengan titerHBsAg yang sangat tinggi, HBeAg positif, anti HBe negative, titer DNA VHB tinggi dan kadar ALT yang relative normal.. fase ini disebut fase imuno toleransi. Pada fase imunotoleransi sangat jarang terjadi serokonversi HBeAg secara spontan, dan terapi untuk menginduksi serokonversi HBeAg tersebut biasanya tidak efektif. Pada sekitar 30% individu persistensi VHB akibat terjadinya replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi proses nekroiinflamasi yang tampak dari kenaikan kadar ALT. pada keadaan ini pasien mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB. Fase ini disebut fase imunoaktif atau immune clearance. Pada fase ini tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Pada fase imunoaktif serokonversi HBeAg baik secara spontan maupun karena terapi lebih sering terjadi. Sisanya, sekitar 70% dari individu tersebutakhirnya dapat menghilangkan sebahagian besar partikel VHB tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Pada keadaan ini, titer HBsAg rendah dengan HBeAg yang menjadi negative dan anti HBe yang menjadi positifsecara spontan, serta kadar ALT yang normal, yang menandai terjadinya fase nonreplikatif atu fase residual. Sekitar 20-30% pasien Hepatitis B Kronik dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi dan menyebabkan kekambuhan. Pada sebahagian pasien dalam fase residual, pada waktu terjadi serokonversi HbeAg positif menjadi anti-HBe justru sudah terjadi sirosis. Hal ini

disebabkan karena terjadinya fibrosis setelah nekrosis yang terjadi pada kekambuhan yang berulang-ulang sebelum terjadinya serokonversi tersebut. Dalam fase residual, replikasi VHB sudah mencapai titik minimal dan penelitian menunjukkan bahwa angka harapan hidup pada pasien yang anti-HBe positiflebih tinggi dibandingkan pasien HBeAg positif. Penelitian menunjukkan bahwa setelah infeksi hepatitis B menjadi tenang justru resiko untuk terjadinya karsinoma hepatoceluler mungkin meningkant. Sebagai contoh, onata melaporkan dari 500 pasien karsinoma hepatoseluler, 53 orang (11%) menunjukkan HBsAg yang positif. Dari jumlah ini, 46 orang (87%) anti-HBe positif dan 30% HBeAg positif. Diduga integrasi genom VHB ke dalam genom sel hati merupakan proses yang penting dalam karsinigenesis. Karena itu terapi anti viral harus diberikan selama mungkin untuk mencegah sirosis tapi disamping itu juga sedini mungkin untuk mencegah integrasi genom VHB dalam genom sel hati yang dapat berkembang menjadi Karsinoma Hepatoseluler. 1.4 Gambaran klinis pada hepatitis-B kronis Gambaran klinis Hepatitis B kronik sangat bervariasi. Pada banyak kasus tidak didapatkan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hati hasilnya masih dalam batas normal. Pada sebagian pasien juga didapatkan hepatomegali atau bahkan splenomegali atau tanda-tanda penyakit kronis lainnya, misalnya: 1. Eritema palmaris 2. Spider naevi 3. kenaikan ALT pada pemeriksaan LAB 4. Kadar bilurubin yang cenderung normal 5. Kadar albumin yang juga masih tetap normal kecuali pada kasus-kasus yang sudah parah Secara sederhana manifestasi klinis hepatitis B Kronik dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu: 1. Hepatitis B Kronik yang masih aktif (Hepatitis B Kronik Aktif).

HbsAG positif dengan DNA VHB lebih dari 10 5 kopi/km didapatkan kenaikan ALT yang menetap atau intermittent. Pada pasien sering didapatkan tanda-tanda penyakit hati kronik. Pada biopsi hati didapatkan gambaran peradangan yang aktif. Menurut status HbeAg pasien dikelompokkan menjadi hepatitis B kronik HbeAg positif dan hepatitis B Kronik HbeAg negatif. 2. Carrier VHB Inaktif (Inactive HBV carrier state). Pada kelompik ini HBsAg positif dengan titer DNA VHB yang rendah yaitu kurang dari 105 kopi/ml. Pasien menunjukkan kadar ALT normal dan tidak didaptkan keluhan. Pada kelainan histologic terdapat kelainan jaringan yang minimal. Seiring sulitnya membedakan Hepatitis B kronik Hbe Negative dengan pasien jarang carrier VHB inaktif karena pemeriksaan DNA kuantitative masih dilakukan secara rutin. Dengan demikian perlu dilakukan

pemeriksaan ALT berulang kali untuk waktu yang cukup lama. Pemeriksaan biopsi untuk pasien Hepatitis B Kronik sangat penting terutama untuk pasien dengan HbeAg positif dengan kadar ALT 2x nilai normal tertinggi atau lebih. Biopsi hati diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti dan untuk meramalkan prognosis serta kemungkinan keberhasilan terapi (respons histologik). Pasien Hepatitits B Kronik dengan peradangan hati yang aktif mempunyai resiko tinggi untuk megalami progressi, tetapi gambaran histologik yang aktif juga dapat meramalkan respons yang baik terhadap terapi immunomodulator atau anti viral. 1.5 Gambaran Histopatologik Hepatitis B Kronik Pada segitiga portal terdapat infiltrasi sel radang terutama limfosit dan sel plasma, dapat terjadi fibrosis yang makin meningkat sesuai dengan derajat

keparahan penyakit. Sel radang dapat masuk ke dalam lobulus sehingga terjadi erosi limiting plate, sel-sel hati dapat mengalami degenerasi baluning dan dapat terjadi badan asidofil (asidofilic bodies). Pada pasien Hepatitis B kronik jarang didapatkan gambaran kolestasis. Untuk menilai gambaran histoptologik Hepatits Bkronik dibagi mejadi 3 kelompok yaitu : 1. Hepatitis Kronik persisten adalah infiltrasi sel-sel mononuklir pada daerah portal dengan sedikit fibrosis, limiting plate masih utuh, tidak ada pecemal necrosis. Gambaran ini sering didapatkan pada carrier asimtomatik. 2. Hepatitis B kronik Aktif adalah adanya infiltrat radang yang menonjol, yang terutama terdiri dari limfosit dan sel plasma yang terdapat di daerah portal. Infiltrat peradangan ini masuk sampai kedalam lobulus hati dan menimbulkan erosi limiting plate dan disertai piecemal necrosis. Gambaran ini sering tampak pada carrier yang sakit (simptomatik). 3. Hepatitis Kronik Lobuler sering dinamakan Hepatitis akut tetapi timbul lebih dari 3 bulan. Didapatkan gambaran peradangan dan necrosis intralobuler, tidak terdapat piecemal necrosis dan bridging necrosis. Klasifikasi di atas telah dipakai berpuluh-puluh tahun oleh para ahli di seluruh dunia tetapi ternyata kemudian tidak bisa dipertahankan lagi karena terlalu kasar dan hasilnya sering overlapping. Salah astu klasifikasi histologik untuk menilai aktivitas peradangan yang terkenal adalah Histological Activity Index (HAI), yang ditemukan oleh Knodell pada tahun 1981, yang dapt dilihat pada tabel I. Tabel 1. Indeks Aktivitas histologik (HAI), kecuali fibrosis Komponen Nekrosis periportal dengan atau tanpa bridging necrosis Regenerasi intralobuler dan nekrosis fokal Inflamasi portal

skor 0-10 0-4 0-4

Dengan demikian skor HAI yang mungkin adalah 0-18. pada 2 dapat dilihat hubungan antara skor indeks aktivitas histologik dengan derajat hepatitis kronik Tabel 2. Hubungan antara skor HAI dengan derajat hepatits

kronik dengan menyingkirkan fibrosis HAI 1-3 4-8 9-12 13-18

Diagnosis Minimal Ringan Sedang Berat

Belakangan dibuat suatu pembagian baru berdasarkan skor yang menunjukkan intensitas necrosis (grade) dan progresi struktural penyakit hati (stage) yang dinyatakan dalam bentuk kuantitatif yang lebih sederhana dan lebih sering dipakai. Berikut ini rincian dari sistem skor tersebut : 1. Aktivitas Peradangan Portal dan Lobular Grade 0 1 2 3 4 Patologi Tidak ada peradangan portal atau peradangan portal minimal Peradangan portal tanpa nekrosis atau peradangan lobular tanpa nekrosis Limiting plate necrosis ringan (interface Hepatitis ringan) Limiting plate necrosis sedang atau interface Hepatitis sedang dan atau nekrosis fokal berat (confluent necrosis) Limiting plate necrosis berat (interface hepatitis berat) dan atau bridging necrosis

2. Fibrosis Stage Patologi 0 Tidak ada fibrosis 1 Fibrosis terbatas pada zona portal yang melebar 2 Pembentukan septa periportal atau septa portal-portal dengan arsitektur 3 4 yang masih utuh Distorsi arsitektur (fibrosis septa bridging)tanpa sirosis yang jelas Kemungkinan sirosis atau pasti sirosis

1.6 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan Hepatitis B Kronik adalah untuk mencegah atau menghentikan progresi jejas hati (liver injury) dengan cara menekan replikasi virus atau menghilangkan infeksi. Dikenal dua kelompok terapi untuk Hepatitis B Kronik: 1. Kelompok Imunomodulasi a. b. c. 2. a. b. Interferon Timosin Alfa 1 Vaksinasi terapi Lamivudin Adevofir Dipivoksil

Kelompok terapi antiviral

Interferon (IFN) Alfa adalah kelompok protein intraseluler yang normal ada dalam tubuh dan diproduksi oleh berbagai macam sel. IFN Alfa diproduksi oleh limfosit B, IFN beta diproduksi oleh monosit fibroepitel, dan IFN gamma diproduksi oleh sel limfosit T. Khasiat IFN adalah sebagai antiviral, imunomodulator, anti proliferatif dan anti fibrotik. IFN tidak memiliki anti khasiat antiviral langsung tetapi merangsang terbentuknya berbagai macam protein efektor yang mempunyai khasiat antiviral. IFN adalah salah satu pilihan untuk pengobatan pasien Hepatitis B Kronik dengan HBeAg positif, dengan aktivitas penyakit ringan sampai sedang yang belum mengalami sirosis. Dosis IFN yang dianjurkan untuk Hepatitis B Kronik dengan HBeAg positif adalah 5-10 MU, 3 x seminggu selama 16-24 minggu. Tetapi terapi IFN untuk Hepatitis B Kronik HBeAg negatif sebaiknya diberikan sedikitnya selama 12 bulan. Kontra indikasi terapi IFN adalah sirosis dekompensata, depresi atau riwayat depresi diwaktu yang lalu, dan adanya penyakit jantung berat. Timosin Alfa 1 adalah suatu jenis sitotoksin yang dalam keadaan alami ada dalam ekstrak pinus. Dapat dipakai untuk terapi baik sebagai sediaan parenteral maupun oral. Timosin alfa 1 merangsang fungsi sel limfosit. Pemberian

Timosin alfa 1 pada pasien Hepatitis B Kronik dapat menurunkan replikasi VHB dan menurunkan kadar atau menghilangkan DNA VHB. Keunggulan obat ini adalah tidak adanya efek samping seperti IFN. Dengan kombinasi dengan IFN, obat ini meningkatkan efektivitas IFN. Vaksinasi Terapi, prinsip dasar vaksinasi terapi adalah fakta bahwa pengidap VHB tidak memberikan respon terhadap vaksin Hepatitis B konvensional yang mengandung HBsAg karena individu-individu tersebut mengalami imunotoleransi terhadap HBsAg. Dasar vaksinasi terapi untuk hepatitis B adalah penggunaan vaksin yang menyertakan epitop yang mampu merangsang sel T sititoksik yang bersifat Human Leucocyte Antigen (HLA)-restricted , diharapkan sel T sitotoksik tersebut mampu menghancurkan sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Lamivudin berkhasiat menghambat enzim reverse transcriptase yang berfungsi dalam transkripsi balik dari RNA menjadi DNA yang terjadi dalam replikasi VHB. Lamivudin menghambat produksi VHB baru dan mencegah terjadinya infeksi hepatosit sehat yang belum terinfeksi, tetapi tidak mempengaruhi sel-sel yang telah terinfeksi karena pada sel-sel yang telah terinfeksi DNA HBV ada dalam keadaan convalent closed circular (cccDNA). Lamivudin adalah analog nukleosid oral dengan aktifitas antiviral yang kuat. Diberikan dalam dosis 100 mg tiap hari, Lamivudin akan menurunkan kadar DNA HBV sebesar 95% atau lebih dalam waktu 1 minggu. Keuntungan utama dari Lamivudin adalah keamanan , toleransi pasien serta harganya yang relatif murah. Kerugiannya adalah seringnya timbulnya kekebalan Adefovir Dipivoksil adalah suatu nukleosid oral yang menghambat enzim reverse transcriptase. Mekanisme khasiat Adefovir hampir sama dengan Lamivudin.Pemakaian Adefovir dengan dosis 10-30 mg tiap hari selama 48 minggu menunjukkan perbaikan Knodell necroinflammatory score sedikitnya 2 poin. Juga terjadi penurunan kadar DNA HBV, penurunan kadar ALT serta serokonversi HBeAg. Adefovir baru dipakai pada kasus-kasus yang kebal terhadap Lamivudin. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg tiap hari. Salah satu hambatan

utama dalam pemakaian Adefovir adalah toksisitas pada ginjal yang sering dijumpai pada dosis 30 mg atau lebih. Keuntungan penggunaan Adefovir adalah adalah jarangnya terjadi kekebalan. Dengan demikian obat ini merupakan obat yang ideal untuk terapi Hepatitis B Kronik dengan penyakit hati yang parah.Kerugiannya adalah harga yang lebih mahal dan masih kurangnya data mengenai khasiat dan keamanan dalam jangka yang sangat panjang.

DAFTAR PUSTAKA Sudoyo, Aru W, Dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV Volume I. Chapter 99. Halaman 435-439. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakti dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Yamada. 2003. Textbook of Gastroenterolgy. Page 1323. William and Wilkins

Lange. 2003. Current and Treatment of gastroenterology. Page 769

Anda mungkin juga menyukai