Anda di halaman 1dari 13

NTERVENSI KESEHATAN REPRODUKSI

Kelompok 7

Aasuhan kebidanan ibu hamil dengan positif HIV

Disusun Oleh:

Ratih Komalasari

Syifa Fauziah Gunawan

Badrurifha Novianti

Tita Lusi meirita

Yulia Nur Fauzi


A. PELAYANAN ANC

Pelayanan ANC terpadu merupakan suatu program yang menjembatani pertem


uan antara ibu hamil dengan petugas kesehatan, sehingga pelayanan ini seharusnya da
pat dilaksanakan secara berkualitas dan sesuai dengan standar. Buku pedoman ANC v
ersi revisi merupakan buku pedoman pelayanan ANC terpadu tahun 2021 edisi ke-3, d
isampaikan bahwa ANC dilaksanakan minimal 6 kali, dimana pada ANC kunjungan p
ertama di dokter akan melakukan skrining dan menangani faktor risiko kehamilan. Se
dangkan pada kunjungan kelima di trimester 3 kehamilan, dokter melaksanakan skrini
ng faktor risiko persalinan.

Pelayanan antenatal terintegrasi merupakan integrasi pelayanan antenatal rutin


dengan beberapa program lain yang sasarannya pada ibu hamil, sesuai prioritas Depar
temen Kesehatan, yang diperlukan guna meningkatkan kualitas pelayanan antenatal. P
rogram-program yang di integrasikan dalam pelayanan antenatal terintegrasi meliputi :

1. Maternal Neonatal Tetanus Elimination (MNTE)


2. Antisipasi Defisiensi Gizi dalam Kehamilan (Andika)
3. Pencegahan dan Pengobatan IMS/ISR dalam Kehamilan (PIDK)
4. Eliminasi Sifilis Kongenital (ESK) dan Frambusia 30 e
5. Pencegahan dan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi (PMTCT)
6. Pencegahan Malaria dalam Kehamilan (PMDK)
7. Penatalaksanaan TB dalam Kehamilan (TB-ANC) dan Kusta
8. Pencegahan Kecacingan dalam Kehamilan (PKDK)
9. Penanggulangan Gangguan Intelegensia pada Kehamilan (PAGIN). (Depk
es RI, 2009)

Perawatan antenatal terfokus memiliki makna memberikan focus perhatiannya


pada penilaina ibu hamil dan Tindakan yang diperlukan dalam membuat keputusan se
rta memberikan pelayanan dasar pada setiap ibu hamil (WHO 2011). Pendekatan dala
m pelayanan antenatal kepada ibu hami lebih menekankan kulaitas aripada kuantitas.
Pendekata resiko pada ibu hamil Tenaga kesehatan akan diarahkan lebih waspada han
ya kepada ibu hamil beesiko tinggi yang mungkin tidak akan menimbulkan komplikas
i selama kehamilan sedangka ibu hamil resiko rendah mungkin tidak mendapatkan per
hatian atau mungkin tidak akan siap untuk mengenali tanda-tanda komplikasi (WHO,
2011)
B. HIV
Pada tahun 2001, United Nations General Assembly Special Session untuk HIV/AIDS
berkomitmen untuk menurunkan 50% proporsi infeksi HIV pada bayi dan anak pada tahun 20
10. Program tersebut termasuk intervensi yang berfokus pada pencegahan primer infeksi HIV
pada wanita dan pasangannya, pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada wanita i
nfeksi HIV, pencegahan transmisi dari ibu ke anak, pengobatan, perawatan serta bantuan bagi
wanita yang hidup dengan HIV/AIDS, anak dan keluarga mereka. Oleh karena itu, untuk me
mberantas transmisi vertical HIV yang terus meningkat diperlukan penatalaksanaan yang tepa
t pada ibu dan bayi selama masa antepartum, intrapartum dan postpartum. Secara epidemiolo
gi, salah satu kelompok masyarakat yang beresiko terkena penyakit HIV/AIDS adalah ibu ha
mil dan bayi (Kementrian Kesehatan RI, 2016). 4 Kementerian Kesehatan Republik Indonesi
a tahun 2016 menyatakan dari 43.624 ibu hamil yang menjalani tes HIV, sebanyak 1.329 (3,0
1%) ibu hamil dinyatakan positif HIV.
1. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sebuah retrovirus yang menginfeksi se
l sistem kekebalan manusia terutama CD4+T cell dan macrophage, komponen vital dari siste
m-sistem kekebalan tubuh dan menghancurkan atau merusak fungsi mereka. Infeksi dari HIV
menyebabkan pengurangan cepat dari sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan kekuranga
n imun. AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah Sindrom penyakit kerusakan
sistem kekebalan tubuh, bukan penyakit bawaan tetapi didapat dari hasil penularan yang dise
babkan oleh HIV (Widoyono, 2011).
2. Tanda dan Gejala
Gejala-gejala klinis HIV dan AIDS (Widoyono, 2011):
a. Masa inkubasi 6 bulan-5 tahun
b. Window period selama 6-8 minggu, adalah waktu saat tubuh sudah terinfeksi HIV tetapi
belum terdeteksi oleh pemeriksaan laboratorium.
c. Seseorang dengan HIV dapat bertahan sampai dengan 5 tahun. Jika tidak diobati, maka p
enyakit ini akan bermanifestasi sebagai AIDS.
Gejala orang yang terinfeksi HIV menjadi AIDS bisa dilihat dari 2 gejala yaitu gejala
mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi) :

Gejala mayor :
a. Berat badan menurun lebih dari 10 % dalam 1 bulan.
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan.
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan.
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis.
e. Demensia/HIV ensafalopati.

Gejala minor :

a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan.

b. Dermatitis generalisata.

c. Adanya herpes zostermulti segmental dan herpes zoster berulang.

d. Kandidias orofaringiel.

e. Herpes simpleks kronis progresif.

f. Limfadenopati generalisata.

g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.

h. Retinitis virus sitomegalo.

(Noviana, 2016).

3. Menyiapkan persalinan dan kesediaan menghadapi komplikasi

Untuk menyiapkan persalinan kita juga bisa memberikan asuhan sedini mungkin
untuk pencegahan komplikasi :

a. Tatalaksana pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi

Strategi untuk mencegah penularan vertikal dari ibu hamil ke janin yang
dikandungnya (masa antenatal) adalah dengan memberikan antiretroviral (ARV) dan
memperbaiki faktor risiko. Usaha ini memerlukan kerja sama antara dokter ahli HIV dari
kelompok kerja HIV/AIDS yang merawat ibu pada saat sebelum hamil dan dokter kebidanan
yang merawatnya pada saat hamil. Tujuan perawatan saat kehamilan adalah untuk
mempertahan kesehatan dan status nutrisi ibu, serta mengobati ibu agar jumlah viral load
tetap rendah sampai pada tingkat yang tidak dapat dideteksi (Setiawan, 2009).

Anggota tim sebaiknya terdiri dari seorang pembina untuk ibu terinfeksi HIV, dokter
kebidanan, pekerja sosial, keluarga atau teman, dokter anak, dan perawat. Dengan kerja sama
yang baik maka faktor risiko yang terjadi dapat dihindari sehingga penularan perinatal
berkurang (Setiawan, 2009).
Tatalaksana untuk mengurangi penularan vertikal dari ibu hamil dengan HIV ke

bayi pada masa antenatal (hamil) adalah sebagai berikut (Setiawan, 2009). :

a. Konseling dan Tes Antibodi HIV terhadap Ibu

Petugas yang melakukan perawatan antenatal di puskesmas maupun di tempat


perawatan antenatal lain sebaiknya mulai mengadakan pengamatan tentang kemungkinan
adanya ibu hamil yang berisiko untuk menularkan penyakit HIV kepada bayinya. Anamnesis
yang dapat dilakukan antara lain dengan menanyakan apakah ibu pemakai obat
terlarang,perokok, mengadakan hubungan seks bebas, dan lain-lainnya. Bila ditemukan kasus
tersebut di atas, harus dilakukan tindakan lebih lanjut. Risiko penularan HIV secara vertikal
dapat berkurang sampai 1-2% dengan melakukan tata laksana yang baik pada ibu dan anak.
Semua usaha yang akan dilakukan sangat tergantung pada temuan pertama dari ibu-ibu yang
berisiko. Oleh karena itu, semua ibu usia subur yang akan hamil sebaiknya diberi konseling
HIV untuk mengetahui risiko, dan kalau bisa, sebaiknya semua ibu hamil disarankan untuk
melakukan tes HIV-1 sebagai bagian dari perawatan antenatal, tanpa memperhatikan faktor
risiko dan prevalensi HIV-1 di masyarakat. Akan tetapi, ibu hamil sering menolak untuk
dilakukan tes HIV, karena peraturan yang memaksa ibu hamil untuk dites HIV belum ada.
Cukup banyak ibu hamil sudah terinfeksi HIV-1 pada saat masa pancaroba dan dewasa muda
yang justru pada masa ini mereka tidak terjangkau oleh sistem pelayanan kesehatan. Pada hal
pada masa-masa ini banyak terjadi penularan melalui hubungan seks bebas, dan juga banyak
sebagai pengguna obat terlarang. Kepada mereka harus diberi konseling dan disarankan untuk
dilakukan tes infeksi HIV-1. Kemudian, jika ditemukan ada ibu hamil yang terinfeksi HIV
dan sebagai pengguna obat terlarang, maka harus dimasukkan ke dalam program pengobatan
atau program detoksifikasi. Ibu yang sudah diketahui terinfeksi HIV sebelum hamil, perlu
dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui jumlah virus di dalam plasma, jumlah sel T CD4+,
dan genotipe virus. Juga perlu diketahui, apakah ibu tersebut sudah mendapat anti retrovirus
(ARV) atau belum. Data tersebut kemudian dapat digunakan sebagai bahan informasi kepada
ibu tentang risiko penularan terhadap pasangan seks, bayi, serta cara pencegahannya.
Selanjutnya, ibu harus diberi penjelasan tentang faktor risiko yang dapat mempertinggi
penularan infeksi HIV-1 dari ibu ke bayi.
b. Pencatatan dan pemantauan ibu hamil

Banyak ibu terinfeksi HIV hamil tanpa rencana. Ibu hamil sangat jarang melakukan

perawatan prenatal. Di samping itu, ibu-ibu ini sering terlambat untuk melakukan perawatan
prenatal. Kelompok ibu-ibu ini juga sangat jarang melakukan konseling dan tes HIV pada
waktu prenatal, sehingga mereka tidak dapat dicatat dan dipantau dengan baik. Catatan medis
yang lengkap sangat perlu untuk ibu hamil terinfeksi HIV termasuk catatan tentang kebiasaan
yang meningkatkan risiko dan keadaan sosial yang lain, pemeriksaan fisik yang lengkap,
serta pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui status virologi dan imunologi. Pada saat
penderita datang pertama kali harus dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan ini
akan digunakan sebagai data dasar untuk bahan banding dalam melihat perkembangan
penyakit selanjutnya. Pemeriksaan tersebut adalah darah lengkap, urinalisis, tes fungsi ginjal
dan hati, amylase, lipase, gula darah puasa, VDRL, gambaran serologis hepatitis B dan C,
subset sel T, dan jumlah salinan RNA HIV.

c. Pengobatan dan profilaksis antiretrovirus pada ibu terinfeksi HIV

Untuk mencegah penularan vertikal dari ibu ke bayi, maka ibu hamil terinfeksi HIV

harus mendapat pengobatan atau profilaksis antiretrovirus (ARV). Tujuan pemberian ARV
pada ibu hamil, di samping untuk mengobati ibu, juga untuk mengurangi risiko penularan
perinatal kepada janin atau neonatus. Ternyata ibu dengan jumlah virus sedikit di dalam
plasma (<1000 salinan RNA/ml), akan menularkan HIV ke bayi hanya22%, sedangkan ibu
dengan jumlah muatan virus banyak menularkan infeksi HIV pada bayi sebanyak 60%.
Jumlah virus dalam plasma ibu masih merupakan faktor prediktor.

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2012) dalam Pedoman Nasional Pencegahan

Penularan HIV dari Ibu ke Anak , tujuan pemberian ARV adalah sebagai berikut:

a) Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat.

b) Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV.

c) Memperbaiki kualitas hidup ODHA.

d) Memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh.

e) Menekan replikasi virus secara maksimal.


Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV adalah dengan memulai pengobatan

dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua obat yang dipakai harus dimulai pada saat yang
bersamaan pada pasien baru. Terapi kombinasi ARV harus menggunakan dosis dan
jadwalyang tepat. Obat ARV harus diminum terus menerus secara teratur untuk menghindari
timbulnya resistensi. Diperlukan peran serta aktif pasien dan pendamping/keluarga dalam
terapi ARV. Di samping ARV, timbulnya infeksi oportunistik harus mendapatkan perhatian
dan tatalaksana yang sesuai (Kemenkes RI, 2012)

Indikasi pemberian antiretrovirus pada wanita hamil sama dengan pada wanita tidak

hamil. Untuk wanita hamil yang sudah mendapat pengobatan antiretrovirus, keputusan untuk
mengganti obat adalah sama dengan wanita tidak hamil. Rejimen kemoprofilaksis ZDV
diberikan tunggal atau bersama dengan antiretrovirus lain, mulai diberikan pada usia
kehamilan 14 minggu dan jangan ditunda. Karena dengan menunda maka efektivitasnya akan
menurun. Hal ini harus didiskusikan dan ditawarkan kepada seluruh ibu hamil yang terinfeksi
agar risiko penularan HIV perinatal berkurang (Setiawan, 2009).

CDC and Prevention USA menyarankan untuk memberikan pengobatan dan profilaksis
antiretrovirus kepada ibu pada saat intrapartum sebagai berikut (Setiawan, 2009) :

1) Pemberian ZDV intravena disarankan untuk seluruh ibu hamil terinfeksi HIV, tanpa
memandang jenis antivirus yang diberikan pada saat antepartum; ini bertujuan
mengurangi penularan HIV perinatal.

2) Untuk ibu yang mendapat pengobatan antivirus antepartum yang mengandung obat
stavudine (d4T), maka obat ini distop selama pemberian ZDV intravena pada saat
persalinan.

3) Pada mereka yang mendapat antiretrovirus kombinasi, pengobatannya harus diteruskan


selama persalinan dan sebelum dilakukan bedah saesar sesuai jadwal dengan tepat.

4) Mereka yang mendapat terapi kombinasi dengan dosis yang sudah ditentukan termasuk
ZDV, maka pada saat persalinan harus diberi ZDV intravena, sementara komponen
antiretrovirus yang lain terus diberikan secara oral.

5) Untuk ibu yang sudah mendapat antiretrovirus tetapi pada saat menjelang persalinan
ternyata jumlah penurunan virus kurang optimal (misal >1000 salinan/mL) maka
disarankan untuk dilakukan bedah saesar. Tidak disarankan untuk menambahkan NVP
dosis tunggal pada saat intrapartum atau kepada neonatus yang dilahirkan.

6) Ibu dengan status HIV yang tidak jelas yang datang pada saat akan melahirkan, harus
dilakukan pemeriksaan tes cepat terhadap antibodi HIV, dan pemberian ZDV intravena
harus dimulai jika hasil test positif (tanpa menunggu hasil tes konfirmasi) tes konfirmasi
dilakukan sesudah melahirkan, dan bayi harus mulai diberi ZDV. Jika hasil tes positif,
maka disarankan untuk memberikan ZDV kepada neonatus selama 6 minggu, dan jika
hasil tes negatif, maka pemberian ZDV pada neonatus distop.

7) Pada ibu terinfeksi HIV yang sedang melahirkan tetapi tidak mendapat pengobatan
antiretrovirus antepartum, disarankan pemberian ZDV intravena selama melahirkan
kepada bayinya selama 6 minggu. Beberapa ahli sering mengkombinasi obat ini dengan
NVP dosis tunggal yang diberi kepada ibu dan neonatus. Jika digunakan NVP dosis
tunggal (sendiri atau dikombinasi dengan ZDV), maka harus dipertimbangkan untuk
memberikan 3TC pada saat melahirkan dan kepada ibu diberikan ZDV/3TC selama 7
hari sesudah melahirkan untuk mengurangi terjadinya resistensi virus terhadap NVP pada
ibu.

Menurut Kementerian Kesehatan RI dalam Pedoman Nasional Pencegahan

Penularan HIV dari Ibu ke Anak (2012) ARV pada ibu hamil dengan HIV selain dapat

mengurangi resiko penularan HIV dari ibu ke anak adalah untuk mengoptimalkan

kondisi kesehatan ibu dengan cara menurunkan kadar HIV serendah mungkin. Pilihan

terapi yang direkomendasikan untuk ibu hamil dengan HIV adalah terapi menggunakan

kombinasi tiga obat (2 NRTI + 1 NNRTI). Seminimal mungkin hindari triple nuke (3

NRTI).

4. Persalianan bagi ibu hamil positif HIV

Dalam upaya mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke

bayi yang dikandungnya, maka perlu dilakukan antisipasi dengan memberikan pelayanan
persalinan yang aman bagi ibu hamil HIV positif.

Untuk terlaksananya persalinan yang aman perlu direkomendasikan kondisi-kondisi


berikut ini:

a. Ibu hamil HIV positif perlu mendapatkan konseling sehubungan dengan keputusannya
sendiri untuk melahirkan bayi secara operasi seksio caesaria ataupun persalinan normal.

b. Pelaksanaaan persalinan, baik secara operasi seksio caesaria maupun persalinan normal,
harus memperhatikan kondisi fisik dari ibu hamil HIV positif

c. Tindakan menolong persalinan ibu hamil HIV positif, baik secara operasi seksio caesaria
maupun persalinan secara normal, harus mengikuti standar kewaspadaan universal.

Tata Laksana Persalinan.


a. Persalinan Sectio Caesar
Cara persalinan harus ditentukan sebelum umur kehamilan 38 minggu untuk memini
malkan terjadinya komplikasi persalinan. Sampel plasma viral load dan jumlah CD4 harus di
ambil pada saat persalinan. Pasien dengan HAART harus mendapatkan obatnya sebelum pers
alinan, jika diindikasikan, sesudah persalinan. Semua ibu hamil dengan HIV positif disaranka
n untuk melakukan persalinan dengan seksio sesaria. Infus ZDV diberikan secara intravena se
lama persalinan elektif seksio sesaria dengan dosis 2 mg/kg selama 1 jam, diikuti dengan 1 m
g/kg sepanjang proses kelahiran. Pada persalinan ini, infus ZDV dimulai 4 jam sebelumnya d
an dilanjutkan sampai tali pusar sudar terjepit. National Guidelines menyarankan pemberian a
ntibiotik peripartum pada saat persalinan untuk mencegah terjadinya infeksi.Ruangan operasi
juga harus dibuat senyaman mungkin untuk mencegah PROM sampai kepala dilahirkan melal
ui operasi insisi. Kelompok meta-analisis Internasional Perinatal HIV, menemukan bahwa res
iko transmisi vertikal meningkat 2% setiap penambahan 1 jam durasi PROM. Jika persalinan
sesaria dikerjakan setelah terjadi PROM, keuntungan operasi jelas tidak ada. Pada kasus ini, p
emilihan jalan lahir harus disesuaikan secara individu. Oleh karena itu, usahakan agar membr
an tetap intak selama mungkin.6,7 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ACOG pada t
ahun 2000, pasien HAART dengan viral load >1000 kopi/mL, harus konseling berkenaan den
gan keuntungan yang didapat dari persalinan dengan elektif seksio sesaria dalam menurunkan
resiko transmisi vertikal pada perinatal.
b. Persalinan pervaginama yang direncanakan hanya boleh dilakukan oleh wanita yang men
gkonsumsi HAART dengan viral load.
Tata Laksana Posnatal
Setelah melahirkan, ibu sebaiknya menghindari kontak langsung dengan bayi. Dosis t
erapi antibiotik profilaksis, ARV dan imunosuportif harus diperiksa kembali. Indikasi penggu
naan infus ZDV adalah kombinasi single dose NVP 200 mg dengan 3TC 150 mg tiap 12 jam,
dan dilanjutkan ZDV/3TC kurang lebih selama 7 hari pospartum untuk mencegah resistensi
NVP. Imunisasi MMR dan varicella zoster juga diindikasikan, jika jumlah limfosit CD4 diata
s 200 dan 400. Ibu disarankan untuk menggunakan kontrasepsi pada saat berhubungan seksua
l. Secara teori, ASI dapat membawa HIV dan dapat meningkatkan transmisi perinatal. Oleh k
arena itu, WHO tidak merekomendasikan pemberian ASI pada ibu dengan HIV positif, meski
pun mereka mendapatkan terapi ARV.Saran suportif mengenai susu formula pada bayi sangat
diperlukan untuk mencegah gizi buruk pada bayi. Menurut penelitian yang dilakukan di Erop
a, semua wanita dengan HIV positif direkomendasikan untuk mengkonsumsi kabergolin 1 mg
oral dalam 24 jam setelah melahirkan, untuk menekan laktasi.
Tata Laksana Neonatus
Semua bayi harus diterapi dengan ARV 50 kopi/mL, HAART tetap menjadi pilihan ut
ama.Pemberian antibiotik profilaksis, cotrimoxazole terhadap PCP wajib dilakukan. Tes IgA
dan IgM, kultur darah langsung dan deteksi antigen PCR merupakan serangkaian tes yang har
us dijalankan oleh bayi pada umur 1 hari, 6 minggu dan 12 minggu. Jika semua tes ini negatif
dan bayi tidak mendapat ASI, orang tua dapat menyatakan bahwa bayi mereka tidak terinfeks
i HIV. Konfirmasi HIV bisa dilakukan lagi saat bayi berumur 18 sampai 24 bulan. Bayi harus
dievaluasi dengan tes HCV RNA pada umur 2 dan 6 tahun atau HCV antibodi setelah umur 1
5 bulan.

5. Terapi Obat Antiretroviral (ARV) untuk Ibu Hamil

Terapi antiretroviral/ARV/HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) dalam ram


PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission – PPIA = Pencegahan ularan Ibu ke
Anak) adalah penggunaan obat antiretroviral jangka panjang (seumur p) untuk mengobati
perempuan hamil HIV positif dan mencegah penularan HIV ibu ke anak. Pemberian obat
antiretroviral dalam program PMTCT/PPIA ditujukan a keadaan seperti terpapar berikut ini :

Tabel 1Pemberian Antiretroviral Pada Ibu Hamil dengan Berbagai Situasi Klinis

NO SITUASI KLINIS REKOMENDASI PENGOBATAN PANDUAN IBU

1 ODHA dengan indikasi Terapi ARV dan AZT + 3TC + NVP atau

kemungkinan hamil atau sedang hamil TDF + 3TC(atau FTC) + NVP

Hindari EFV pada trimester pertama


AZT + 3TC + EFV* atau

TDF + 3TC (atau FTC) + EVF*

2 ODHA sedang menggunakan Terapi ARV Lanjutkan paduan (ganti dengan NVP

dan kemuadian hamil atau golongan PI jika sedang menggunakan

EFV pada trimester I)

Lanjutkan dengan ARV yang sama

selama dan sesudah persalinan

3 ODHA hamil dengan jumlah CD4 ARV mulai pada minggu ke 14

>350/mm3 atau dalam stadium klinis 1 kehamilan

Paduan sesuai dengan butir 1

4 ODHA hamil dengan jumlah CD4 ≤ Segera Mulai Terapi ARV

350/mm3 atau dalam stadium klinis 2, 3

atau 4

5 ODHA hamil dengan Tuberkulosis aktif OAT yang sesuai tetap diberikan

Paduan untuk ibu, bila pengobatan mulai

trimester II dan III :

AZT (TDF) + 3TC + EFV

6 Ibu hamil dalam masa persalinan dan Tawarkan tes dalam masa prsalinan, atau

tidak diketahui status HIV tes setelah persalinan

Jika hasil tes reaktif maka dapat diberikan

paduan pada butir 1

7 ODHA dating pada masa persalinan dan Paduan pada butir 1

belum mendapat terapi ARV

Keterangan:
*: Efavirenz tidak boleh diberikan pada ODHA hamil trimester pertama

6. Tata Laksana Komplikasi Obstetrik.


Wanita dengan HIV positif yang menjadi lemah mendadak pada masa kehamilannya,
harus segera dievaluasi oleh tim multidisiplin (dokter obstetrik, pediatrik dan penyakit dalam)
untuk mencegah kegagalan diagnostik. Komplikasi yang berhubungan dengan HIV sebaiknya
dianggap sebagai penyebab dari penyakit akut pada ibu hamil dengan status HIV tidak diketa
hui. Pada keadaan ini, tes diagnostik HIV harus segera dikerjakan. HAART dapat meningkat
kan resiko lahir prematur. Oleh sebab itu, pemilihan dan penggunaan terapi ARV yang tepat
berperan penting dalam hal ini. Wanita yang terancam lahir prematur baik dengan atau tanpa
PROM harus melakukan skrining infeksi, khususnya infeksi genital sebelum persalinan. Bayi
prematur 34 minggu, persalinan harus dipercepat. Augmentation dapat dipertimbangkan jika
viral load. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah bayi lahir prematur, premature rupture of
membran (PROM), berat bayi lahir rendah, anemia, restriksi pertumbuhan intrauterus, kemati
an perinatal dan endometritis pospartum.
DAFTAR PUSTAKA

1. Menkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019.
Published online 2019.

2. Department of HIV/AIDS, Department of Reproductive Health and Research. Antiret


roviral Drugs For Treating Pregnant Women and Preventing HIV Infection in Infants.
Dalam: Guidelines on Care, Treatment and Support for Women Living With HIV/AI
DS and Their Children in Resource-Constrained Settings. Geneva: WHO. 2004;

3. James DK, Steer PJ, Weiner CP, Gonik B. Human Immunodeficiency Virus. Dalam:
High Risk Pregnancy: Management Options. Edisi ke-1. London: W. B. Saunders Co
mpany Ltd, 1994; h. 498-502. 2. Gabbe SG, Nielbyl JR, Simpson JL. Maternal and P
erinatal Infection. Dalam: Obstetrics Normal and Problem Pregnancies. Edisi ke-4. P
hiladelphia: Churchill Livingstone, 2002; h.1320-25

4. Department of HIV/AIDS, Department of Reproductive Health and Research. Antiret


roviral Drugs For Treating Pregnant Women and Preventing HIV Infection in Infants.
Dalam: Guidelines on Care, Treatment and Support for Women Living With HIV/AI
DS and Their Children in Resource-Constrained Settings. Geneva: WHO. 2004;

5. Minkoff HL. Human Immunodeficiency Virus. Dalam: Creasy RK, Resnik R, Iams J
D, penyunting. Maternal-Fetal Medicine Principles and Practice. Edisi ke5. Philadelp
hia: Elsevier Saunders, 2004;

6. Zorilla CD, Tamayo-Agrait V. Pharmacologic and Non-Pharmacologic Options for T


he Management of HIV Infection During Pregnancy. HIV/AIDS Research and Palliat
ive Care in Review. 2009

7. Marino T. HIV in Pregnancy. Emedicine, 2010.

8. Coll O, Suy A, Hernandez S, Pisa S, Lonca M, Thorne C, Borrell A. Prenatal Diagno


sis in HIV-Infected Women: A New Screening Program For Chromosomal Anomalie
s. American Journal of Obstetricians and Gynecologists. 2006;

Anda mungkin juga menyukai