Anda di halaman 1dari 44

1

Penularan Virus Hepatitis B 100 Kali Lebih Kuat Dibanding HIV/AIDS

(08/06/2009 - 06:24 WIB)

Jurnalnet.com (Jakarta): Penularan virus hepatitis B, ternyata 50100 kali lebih kuat
dibandingkan infeksi HIV/AIDS. Infeksi virus hepatitis B dapat menyebabkan kerusakan hati
yang berat hingga gagal hati dan kanker hati, bahkan penyebab kematian.

Di Indonesia, penyebaran penyakit hepatitis B sudah sangat mengerikan, terutama di daerah


Indonesia timur. Berdasarkan data Himpunan Peneliti Hati Indonesia, Indonesia merupakan
negara tertinggi penderita hepatitis B di dunia.

Dari 400 juta orang penderita hepatitis B di seluruh dunia, sebanyak 12 juta orang bermukim di
Indonesia. Kebanyakan mereka berada di daerah Indonesia timur, karena buruknya sanitasi dan
rendahnya pemahaman mengenai kesehatan.

Menurut dr Indra SM Manullang SpPD dari Siloam Hospitals Lippo Cikarang, penyakit hepatitis
B disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B (HBV). Pasien dinyatakan terjangkit virus ini
ditandai dengan pemeriksaan HBsAg positif.

Perjalanan penyakit hepatitis B ada dua fase, yaitu: Hepatitis B virus akut, di mana penderita
mengalami penyakit ini terjadi kurang dari 6 bulan dan dapat menjadi kronik/menahun jika
penyakit tersebut dialami lebih dari enam bulan (HBsAg +).

Hepatitis B merupakan penyakit menular karena virus tersebut dapat berpindah dari satu
inang/host (manusia) ke inang/host lain melalui media penularan tertentu. Penularan virus
hepatitis B, 50100 kali lebih kuat dibanding infeksi HIV. Infeksi virus hepatitis B dapat
menyebabkan kerusakan hati yang berat hingga gagal hati dan kanker hati, bahkan penyebab
kematian.

Diketahui pada penderita dengan hepatitis B kronik (HBK) adalah penyebab utama kematian
peringkat ke-10 di seluruh dunia. Setiap tahun, di seluruh dunia terdapat sekitar 1,2 juta
manusia meninggal akibat penyakit hati kronik yang berkaitan dengan HBV, ungkap Indra.

Cara penularan virus hepatitis B dapat melalui sejumlah faktor. Pertama, Perinatal, yaitu dari ibu
ke bayi melalui paparan pada saat persalinan dan dapat pula secara vertikal dari ibu melalui
sirkulasi darah melalui ariari ibu (Transplacenta). Kedua, hubungan seksual.

Ketiga, penggunaan jarum suntik bekas atau yang tercemar. Keempat, penggunaan bersama alat
alat pribadi (yang tercemar), seperti pisau cukur, sikat gigi atau gunting kuku. Kelima,
mendapatkan transfusi atau kontak darah dengan penderita hepatitis B.

Infeksi virus hepatitis B merupakan masalah kesehatan global yang serius, dengan 2 miliar orang
pernah terinfeksi dan 350 juta menderita infeksi virus hepatitis B kronik (1 dari 3 orang memiliki
2

bukti pernah terpapar infeksi HBV sebelumnya). Penyakit ini termasuk 10 penyebab kematian
terbesar di dunia dengan 500.000 sampai 1,2 juta kematian per tahun akibat hepatitis kronik,
sirosis dan kanker hati.

Indonesia termasuk populasi yang endemik dengan prevalensi hepatitis B yang tinggi (lebih dari
8% total populasi). Di setiap daerah bervariasi mulai 2,5% hingga 26%, terbesar di daerah
Indonesia Timur, seperti Mataram (21%) dan Kupang (26%).

Bagaimana cara mengobati penyakit hepatitis B? Menurut Indra, sesuai dengan penyebab infeksi
hepatitis B, yaitu virus hepatitis B, maka pengobatan menggunakan antiviral hepatitis B.

Antiviral hepatitis B terdapat dua bentuk. Pertama, Immunomodulator (injeksi), yakni antivirus
hepatitis B yang bekerja merangsang atau memacu aktifitas sistim imun tubuh dalam menekan
virus hepatitis B, seperti: interferon, interferon , interferon 2a/b. Kedua, golongan analog
nukleosid (oral antiviral), bekerja menghambat perkembangan/pertumbuhan atau proses replikasi
materi genetik (DNA) virus, seperti Lamivudine, Adefovir dipivoxil, Telbivudine, ataupun
Entecavir.

Sementara itu, pencegahan terhadap penyakit virus hepatitis B dapat dilakukan dengan cara
vaksinasi. Selain itu menghindari halhal yang berhubungan dengan media penularan penyakit,
seperti berganti-ganti pasangan dan memakai narkoba.***(pdpersi)
Print

Program Pengembangan Imunisasi dan Produk Vaksin Hepatitis B di Indonesia (M Holy


Herawati, SKM)
Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 124, 1999

Ditulis oleh : Maria Holly Herawati, SKM, Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

PENDAHULUAN

Hepatitis B merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius, 78% dari


para pengidap ini bermukim di Asia Timur Jauh dan Asia Tenggara(1).

Para pengidap hepatitis B di Asia Tenggara yang mendapat infeksi sewaktu


bayi dan anak-anak, cenderung berkembang menjadi pengidap hepatitis B
kronik dan selanjutnya mempunyai risiko menjadi sirosis hati dan kanker hati. World Health
Assembly pada tahun 1992 menghimbau negara-negara dengan tingkat prevalensi HbsAg > 6%
(termasuk Indonesia) untuk menyertakan vaksinasi hepatitis B dalam program imunisasi nasional
3

paling lambat pada tahun 1995, dan pada tahun 1997 diharapkan semua bayi di seluruh dunia bisa
terjangkau oleh vaksinasi Hepatitis B. Pada tahun 1987 kelompok Tehnical Advisory Group On
Viral Hepatitis dan Global Advisory Group EPI menganjurkan agar vaksinasi hepatitis B
diintegrasikan dengan program imunisasi yang lain.

Indonesia telah melaksanakan program Imunisasi Hepatitis B sejak tahun 1987 di Lombok dan
kebijaksanaan ini diterus-kan ke beherapa propinsi lain, yaitu tahun 1991 dimulai secara bertahap
di empat propinsi, tahun 1992 diperluas menjadi sepuluh propinsi, dan pada tahun 1997 untuk
dua puluh tujuh propinsi harus sudah melaksanakan vaksinasi hepatitis B.

Bila program vaksinasi berhasil, diharapkan pada tahun 2015 (satu generasi kemudian) hepatitis
B bisa diberantas dan bukan merupakan persoalan kesehatan masyarakat lagi.

UNIDO-WHO-UNICEF menganjurkan, untuk negara dengan jumlah penduduk lebih dari 50 juta
supaya memproduksi sendiri vaksin yang diperlukan. Indonesia dengan penduduk lebih dari 180
juta dan prevalensi HBsAg antara 8-20% harus mempersiapkan diri untuk memproduksi sendiri
vaksin hepatitis B.

INFEKSI VIRUS HEPATITIS B DAN AKIBATNYA

Apabila bayi terkena infeksi misalnya sewaktu persalinan karena ibunya menderita hepatitis B
maka lebih dari 90% akan menjadi hepatitis kronik. Apabila yang terkena anak-anak yang lebih
besar maka keadaan kronisitas menurun hanya menjadi 20-30% saja. Sedang jika orang dewasa
yang terkena maka keadaan kronik hanya terjadi pada 4-50% saja(4).

Karena itu prioritas program vaksinasi hepatitis B adalah bayi serta anak-anak.

ANALISIS FAKTOR BIAYA-MANFAAT


4

Untuk menyukseskan integrasi imunisasi hepatitis B ke dalam program imunisasi di Indonesia,


perlu dipertimbangkan kombinasi faktor biaya dan pertimbangan epidemiologis. Beberapa studi
telah dilakukan untuk meneliti dengan pasti analisa faktor biaya bila dibandingkan dengan
efektivitas program.

Manfaat program imunisasi yaitu (4) :

1. Bila imunisasi dilaksanakan sedini mungkin yaitu pada saat bayi baru lahir. (dosis pertama saat
lahir) :

Target populasi : 5.000.000 (bayi lahir pertahun).


Jumlah pengidap kronik usia 10 tahun : 10% x target populasi = 10% x 5.000.000 =
500.000.
Kematian pada pengidap kronik karena Kanker Hati Primer (KHP) : 25% x 500.000 =
125.000.
Efikasi vaksin (VE) : 0,95. Cakupan vaksin (VC) : 0,80.

Analisa biaya :
Biaya imunisasi untuk seorang bayi : US $ 5.25.
Biaya keseluruhan : 5,25 x 5.000.000+ US $ 26.250.000,00

Pengidap kronik yang dapat dicegah : 0,95 x 0,80 x 500.000 = 380.000.


Biaya perpengidap yang tercegah : 26.250.000 : 380.000 = US $ 69.08.
Kematian akibat Hepatitis B yang dapat dicegah : 0,95 x 0,80 x 125.000 = 95.000.
Biaya perkematian yang tercegah : 26.250.000 : 95.000 = US $ 276

2. Bila imunisasi dilaksanakan beberapa saat kemudian. (dosis pertama tidak pada saat lahir) :

Persentase pengidap kronik akibat transmisi perinatal : 65%.

Analisis biaya :
Jumlah pengidap kronik yang tercegah : 0,95 x 0,80 x 65% x 500.000 = 247.000.
Biaya perpengidap yang tercegah : 26.250.000 : 247.000 = US $ 100,2.

Jumlah kematian akibat hepatitis B/KHP yang tercegah: 0,95 x 0,80 x 65% x 125.000 =
5

61.750.
Biaya perkematian yang tercegah : 26.250.000 : 61.750 = US $ 404.48.

Dari gambaran di atas tampak bahwa seandainya penerapan imunisasi bayi tidak sesegera
mungkin setelah melahirkan, maka biaya pencegahan perkasus akan lebih tinggi, begitu pula per
angka kematian dan angka pengidap, karena adanya kesempatan terpapar baik secara vertikal
maupun horisontal. Oleh karena itu maka program imunisasi pemerintah memprioritaskan
vaksinasi hepatitis B pada bayi yang baru lahir dengan mengintegrasikannya ke dalam program
imunisasi yang telah ada.

INTEGRASI VAKSINASI HEPATITIS DENGAN PROGRAM IMUNISASI LAIN

Jadual I, Jadual imunisasi uji coba


Kontak Antigen Umur
I Hb1 1 minggu setelah lahir
II Hb2 , OPV1, DPT1 6 minggu
III BCG, OPV2, DPT2 10 minggu
IV Hb3, OPV3, DPT3 14 minggu
V Campak 36 minggu

Jadual II, Jadual imunisasi bayi yang dilahirkan di rumah sakit

Kontak Antigen Umur


I Hb1, BCG 0 bulan
II Hb2 , OPV1, DPT1 2 bulan
III OPV2, DPT2 3 bulan
IV OPV3, DPT3 4 bulan
V Hb3 / Campak 7 bulan
VI Campak 9 bulan

Menurut sifat epidemiologisnya, maka dosis pertama vaksinasi hepatitis B sebaiknya diberikan
segera setelah kelahiran. Namun atas pertimbangan teknis, kepraktisan, efisiensi program,
pelayanan imunisasi hepatitis B diintegrasikan pemberiannya dengan vaksin lain atau antigen lain
sesuai dengan jadual II dan III.

Jadual III, Jadual imunisasi bayi di posyandu / puskesmas


6

Kontak Antigen Umur


I BCG, OPV1, DPT1 2 bulan
II Hb1, OPV2, DPT2 3 bulan
III Hb2, OPV3, DPT3 4 bulan
IV Hb3, Campak 9 bulan

biasanya baru dibawa ke puskesmas atau posyandu pada usia 2-3 bulan, bahkan lebih tua lagi.
Melihat jadual di atas, maka bayi-bayi ini tidak akan terlindung dari penularan hepatitis secara
vertikal yang diperkirakan 25% akan menyebabkan carrier pada anak-anak; di samping itu
mereka juga tidak akan terlindung dari penularan secara horizontal selama 2-3 bulan pertama usia
mereka atau lebih tua lagi, hal ini merupakan kelemahan jadual di atas (3).

KEMUNGKINAN PRODUKSI DAN PILIHAN TEKNOLOGI

Vaksin hepatitis B, baik vaksin asal plasma maupun vaksin rekayasa genetika, secara teknis dapat
dibuat di Indonesia; yang terpenting adalah memilih jenis teknologi yang optimal dan paling
menguntungkan bagi Indonesia, terutama dalam pertimbangan jangka panjang.

Satu kendala lain yang perlu diwaspadai adalah besarnya biaya investasi yang diperlukan untuk
produksi vaksin hepatitis B terutama dengan teknologi rekayasa genetika, sementara di lain pihak
harga vaksin di pasaran diperkirakan akan terus bergerak turun, sehingga akan sangat
mempengaruhi perhitungan kelayakan proyek.

PASAR VAKSINASI HEPATITIS B DI INDONESIA

Pasar vaksin hepatitis B di Indonesia diyakini akan terus meningkat dan berkembang karena
dukungan berbagai faktor :

1. Masuknya vaksinasi hepatitis B dalam program imunisasi nasional.


7

2. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya imunisasi hepatitis B.


3. Pertambahan jumlah penduduk maupun peningkatan ekonominya.
4. Meningkatnya persentase penduduk dengan petanda serologis negatif, sebagai hasil
dimulai imunisasi hepatitis B itu sendiri.
5. Semakin murahnya vaksin maupun biaya skrining.
6. Dukungan pemerintah.

FAKTOR-FAKTOR YANG PERLU DIPERTIMBANGKAN

Berbagai faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum memproduksi Vaksin Hepatitis B di


Indonesia ;

1. Produsen, Sangat diperlukan produsen dengan personil yang cukup ahli dan berpengalaman.

2. Teknologi, Teknologi rekayasa genetika masih dalam lindungan paten, sedangkan teknologi
plasma sudah tidak dilindungi.

3. Bahan baku.

Apabila teknologi asal plasma yang dipilih, maka secara teoritis Indonesia dengan jumlah
penduduk 180 juta dan tingkat prevalensi HbsAg yang sedang sampai tinggi memiliki sumber
plasma yang cukup banyak. Tetapi dari data survei di PMI Pusat hanya 20% darah pengidap
HBsAg saat ini yang bisa dimanfaatkan karena belum tersedianya dionor darah yang tetap dan
memenuhi syarat. Hal ini tidak terlepas dari perlunya pengertian masyarakat dan pemerintah
bahwa bukan darah transfusi yang diperlukan tetapi darah yang sudah ada penyakit-nya; di
samping itu faktor teknik pengambilan yang belum menggunakan metode plasmaphercsis. Semua
di atas merupa-kan faktor hambatan apabila memilih teknologi asal plasma.

4. Dana

Proyek alih teknologi vaksin hepatitis B ini membutuhkan dana yang besar, perkiraan total
kebutuhan dana investasi dari pengadaan vaksin untuk rekayasa genetika diperkirakan USD 35
juta, sebagian besar untuk biaya alih teknologi; sedangkan untuk plasma sekitar USD 5 juta
tergantung pada kapasitas dan persyaratan produksi(4).
8

5. Konsekuensi ekonomis

Komitmen pemerintah untuk memasukkan hepatitis dalam program imunisasi nasional dan
membeli vaksin hepatitis B hanya dari industri dalam negeri pada tingkat harga yang layak,
merupakan kondisi yang secara ekonomis dapat dipertanggung-jawabkan.

STRATEGI

Garis besar strategi yang perlu diambil dalam pengadaan vaksin hepatitis B, dikaitkan dengan
sasaran jangka pendek dan jangka panjang.

1. Jangka Pendek

a). Vaksinasi hepatitis B dimasukkan dalam program nasional.

b). Perlu sesegera mungkin mencari peluang penyediaan dan memiliki sarana produksi vaksin,
hal ini dapat diwujudkan dengan kerjasama dengan berbagai pihak.

c). Pilihan teknologi yang jelas antara nilai ekonomis proyek, teknik dan kemampuan pendanaan.

2. Jangka Panjang.

a). Dari segi strategi harus mampu memproduksi vaksin dengan pilihan teknologi yang tepat dan
ekonomis.

b). Vaksin yang dihasilkan harus efektif, aman, dengan harga yang layak dan jumlah yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan program imunisasi.

c). Produk tersebut harus mampu dipasarkan pula ke sektor swasta dalam waktu dekat, dengan
harga bersaing, sehingga mendapat porsi pasar yang kuat di sektor non program.

KESIMPULAN
9

1. Imunisasi hepatitis B sebaiknya diberikan sedini mungkin.


2. Pemilihan teknologi produksi harus dikaji dengan cermat, terutama aspek risiko finansial
jangka panjang, aspek teknologi, disamping aspek teknis dan non teknis yang lain.

KEPUSTAKAAN

1. Sulaiman Ali. Integrasi imunisasi Hepatitis B ke dalam program pengem-bangan


Imunisasi. Simposium sehari program pengembangan imunisasi hepatitis B di Indonesia;
Dirjen P2M PLP DEPKES RI dan PAEI. Jakarta, 6 Februari 1993.
2. Darodjatun. Prospek masa depan vaksin Hepatitis B. Simposium sehari program
pengembangan imunisasi Hepatitis B di Indonesia: Dirjen P2M PLP DEPKES RI dan
PAEI. Jakarta, 6 Februari 1993. Gandung Hartono. Program pengembangan imunisasi
Hepatitis B di Indonesia. Simposium sehari program pengembangan imunisasi hepatitis B
di Indonesia : Dirjen P2M PLP DEPKES RI dan PAEI. Jakarta, b Februari 1993.

3. Hudoyo Hupudio. Epidemiologi Hepatitis B di Indonesia dan aspek kesehatan


masyarakatnya. Simposium sehari program imunisasi hepatitis B di Indonesia : Dirjen
P2M PLP DEPKES RI dan PAEI. Jakarta, 6 Februari 1993.

Written by Satuan Tugas Imunisasi Dewasa PAPDI 2008 Monday, 28 September 2009 14:00

Cakupan imunisasi dewasa

Meski manfaat imunisasi dewasa nyata namun cakupan imunisasi dewasa di negara maju
sekalipun masih rendah. Cakupan Hepatitis B berkisar antara 1% sampai 60% (rata-rata 10%).
Antibodi terhadap tetanus yang adekuat hanya ditemukan pada 40% orang dewasa. Rendahnya
cakupan ini disebabkan oleh kepedulian petugas kesehatan yang belum optimal, kurangnya
pemahaman mengenai manfaat, pedoman yang beraneka ragam dan rumit, layanan yang belum
merata dan kurangnya dukungan pembiayaan. Namun demikian dengan pemahaman yang baik
mengenai manfaat imunisasi dewasa ini, negara berkembang misalnya Kuba mampu
menyelenggarakan imunisasi dewasa yang cakupannya cukup tinggi. PAPDI perlu mendorong
agar kegiatan imunisasi dewasa yang dimulai oleh profesi dan masyarakat dapat menjadi
program pemerintah.

LEMBAR FAKTA HEPATITIS oleh KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


Hasil pemeriksaan biomedis menunjukkan prevalensi HBsAg sebesar 9,7% pada pria
dan 9,3% pada wanita, dengan angka tertinggi pada kelompok usia 45-49 tahun sebesar 11,9%.
Sementara itu, prevalensi penduduk yang pernah terinfeksi virus hepatitis B ditunjukkan dengan
angka Anti-HBc sebesar 34%, dan cenderung meningkat dengan bertambahnya usia.
10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hepatitis B
Menurut Ketua Divisi Hepatologi FKUI-RSCM Ali Sulaiman pada seminar
Waspada Hepatitis B dalam Rangka Menuju Indonesia Bebas Hepatitis B
mendefinisikan hepatitis B adalah penyakit infeksi pada hati (hepar/liver) yang
berpotensi fatal yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB) dan merupakan salah
satu penyakit yang sering ditemui dan menular. Penularannya sangat cepat, 100 kali
lebih cepat dari HIV/AIDS. 11
Hanya sedikit dari mereka yang terinfeksi hepatitis B (HBV) akut yang
menunjukkan gejala.12 Tanda-tanda terinfeksi VHB jangka pendek (Hepatitis B Akut)
adalah kelelahan dan sindroma flu like, nafsu makan turun, panas, pusing, mual,
muntah, sakit perut, diare, kulit dan mata, kuku dan seluruh tubuh berwarna kuning,
kencing berwarna cokelat tua, tinja berwarna pucat.11 Pada saat badan kuning,
biasanya diikuti oleh pembesaran hati yang diikuti oleh rasa sakit bila ditekan di
bagian perut kanan atas.13 Sedangkan terinfeksi hepatitis B jangka panjang (Hepatitis
B Kronis) adalah sama dengan yang akut disertai sakit otot dan persendian, serta
lemas. Tahapannya adalah fibrosis, yaitu penumpukan serta akumulasi dari jaringan
hati yang rusak. Kemudian pada tahap sirosis, yaitu kerusakan lanjut dari jaringan
hati yang ditandai dengan permukaan hati yang berbenjol-benjol dan terbentuk
jaringan ikat. Pada akhirnya berlanjut ke tahap kanker hati. Jangka waktu perjalanan
penyakit adalah dari 30-50 tahun.11
Universitas Sumatera Utara
Sulitnya mendeteksi gejala menjadikan penyakit ini masih menjadi penyebab
kematian nomor 10 di dunia. Diperkirakan akibat infeksi hepatitis B mengakibatkan
500 ribu hingga 1,2 juta kematian per tahun akibat hepatitis kronik yang berlanjut
menjadi sirosis hati atau kanker hati.15
2.1.1 Identifikasi Hepatitis B
Virus hepatitis B dapat menimbulkan problema pasca akut bahkan 10%
persen dari infeksi virus hepatitis B akan menjadi kronik dan 20 % penderita hepatitis
kronik ini dalam waktu 25 tahun sejak tertular akan mengalami cirroshis hepatis dan
carsinoma hepatoselluler (hepatoma). Risiko berkembang menjadi infeksi kronis
HBV terjadi sekitar 90 % pada bayi yang terinfeksi pada waktu proses kelahiran, 0-50
% pada anak-anak yang terinfeksi pada usia 1-5 tahun dan sekitar 1%-10% pada
anak-anak usia yang lebih tua dan dewasa. Diperkirakan 15%-25% orang dengan
infeksi HBV kronis akan meninggal lebih awal dengan cirrhosis atau carcinoma
hepatosellular dan HBV mungkin sebagai akibat sampai 80% dari semua kasus
carcinoma hepatosellular di dunia.13,14
Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya antigen dan atau antibodi spesifik
11

pada serum. Ada tiga bentuk sistem antigen-antibodi yang sangat bermanfaat secara
klinis yang ditemukan pada infeksi hepatitis B yaitu12 :
1) Antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) dan antibodi terhadap HbsAg (anti-
HBs).
2) Antigen core hepatitis B (HBcAg) dan antibodi terhadap HBcAg (anti-HBc)
3) Antigen e hepatitis B (HBeAg) dan antibodi terhadap HBeAg (anti-HBe)
Universitas Sumatera Utara
HBsAg muncul dalam serum selama infeksi akut dan tetap ditemukan selama
infeksi kronis. Ditemukannya HBsAg dalam darah menunjukkan bahwa orang
tersebut potensial untuk menularkan. Ditemukannya HBeAg artinya orang tersebut
sangat menular.12
2.1.2 Masa Inkubasi
Masa inkubasi biasanya berlangsung 45-180 hari, rata-rata 60-90 hari. Paling
sedikit diperlukan waktu selama 2 minggu untuk bisa menentukan HBsAg dalam
darah, dan jarang sekali sampai 6-9 bulan. Perbedaan masa inkubasi tersebut
dikaitkan dengan berbagai faktor antara lain jumlah virus dalam inoculum, cara-cara
penularan, dan faktor pejamu.12
2.1.3 Kelompok Risiko Tinggi
Dari data-data laporan penelitian HBV, maka dikenal kelompok risiko tinggi
yang mudah tertular, yaitu3 :
1. Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif, apalagi disertai HBeAg positif,
maka sudah pasti akan tertulari.
2. Lingkungan penderita/pengidap dengan HBsAg positif terutama anggota
keluarga/mereka yang serumah yang selalu berhubungan langsung.
3. Tenaga medis, paramedis, petugas laboratorium, yang selalu kontak langsung
dengan para penderita HBV
4. Calon penderita bedah, gigi, penerima tranfusi, pasien dialisa.
5. Mereka yang hidup di daerah endemis HBV dengan prevalensi tinggi, misalnya di
Indonesia khususnya : Lombok, Bali, Kalimantan Barat, dan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Distribusi Penyakit HBV (Hepatitis B Virus)
WHO memperkirakan lebih dari 2 milyar orang terinfeksi oleh HBV
(termasuk 350 juta dengan infeksi kronis). Setiap tahun sekitar 1 juta orang
meninggal akibat infeksi HBV dan lebih dari 4 juta kasus klinis terjadi. Di negara di
mana HBV endemis tinggi (prevalensi HBsAg berkisar di atas 8 %), infeksi biasanya
terjadi pada semua golongan umur, meskipun angka infeksi kronis tinggi terutama
disebabkan karena terjadi penularan selama kehamilan dan pada masa bayi dan anakanak.
Di negara-negara dengan endemisitas yang rendah (prevalensi HBsAg kurang
dari 2 %), sebagian besar infeksi terjadi pada dewasa muda, khususnya di antara
orang yang diketahui kelompok risiko. Namun, walaupun di negara dengan
endemisitas HBV rendah, proporsi infeksi kronis yang tinggi mungkin didapat selama
masa anak-anak oleh karena perkembangan menjadi infeksi kronis sangat tergantung
dengan umur.12
Di Indonesia kejadian hepatitis B satu diantara 12-14 orang, yang berlanjut
menjadi hepatitis kronik, cirroshis hepatis dan hepatoma. Satu atau dua kasus
meninggal akibat hepatoma. Menurut Sulaiman (1994) dalam Aguslina (2004),
berdasarkan pemeriksaan HBsAg pada kelompok donor darah di Indonesia prevalensi
12

Hepatitis B berkisar antara 2,50-36,17%. Selain itu di Indonesia infeksi virus hepatitis
B terjadi pada bayi dan anak, diperkirakan 25-45 % pengidap adalah karena infeksi
perinatal.14 Dan menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara (USU) Prof. dr. Lukman Hakim Zain, SpPD, KGEH, memperkirakan saat ini
sekitar 11,6 juta penduduk Indonesia terinfeksi VHB.13
Universitas Sumatera Utara
Menurut Prof.dr.Siti Nurdjanah, MKes, SpPD-KGEH dalam pidato
pengukuhan guru besar Fakultas Kedokteran UGM, Senin 5 November 2007
mengatakan bahwa Indonesia memiliki endemisitas sedang sampai tinggi dan
hepatitis B menempati urutan ke-3 Asia.15
2.1.5 Cara Penularan HBV
Penyakit HBV dapat mudah ditularkan kepada semua orang dan semua
kelompok umur secara menyusup. Dengan percikan sedikit darah yang mengandung
virus hepatitis B sudah dapat menularkan penyakit. Pada umumnya penularan dari
HBV adalah parenteral. Semula penularan HBV diasosiasikan dengan tranfusi darah
atau produk darah, melalui jarum suntik. Tetapi setelah ditemukan bentuk dari HBV
makin banyak laporan yang ditemukan cara penularan lainnya. Hal ini disebabkan
karena HBV dapat ditemukan dalam setiap cairan yang dikeluarkan dari tubuh
penderita, misalnya melalui : darah, air liur, air seni, keringat, air mani, air susu ibu,
cairan vagina, air mata, dan lain-lain. Oleh karena itu dikenal cara penularan perkutan
dan non perkutan di samping itu juga dikenal penularan horizontal dan vertikal.3
1. Penularan horizontal
Cara penularan horizontal yang dikenal ialah : tranfusi darah yang
terkontaminasi oleh HBV, mereka yang sering mendapat hemodialisa. Selain itu
HBV dapat masuk ke dalam tubuh kita melalui luka atau lecet pada kulit dan
selaput lendir misalnya tertusuk jarum (penularan parenteral) atau luka benda
tajam, menindik telinga, pembuatan tatoo, pengobatan tusuk jarum (akupuntur),
penggunaan alat cukur bersama, kebiasaan menyuntik diri sendiri, menggunakan
jarum suntik yang kotor/kurang steril.3 Penggunaan alat-alat kedokteran dan
Universitas Sumatera Utara
perawatan gigi yang sterilisasinya kurang sempurna/kurang memenuhi syarat
akan dapat menularkan HBV. Di daerah endemis berat diduga nyamuk, kutu
busuk, parasit, dan lain-lain dapat juga menularkan HBV, walaupun belum ada
laporan. Cara penularan tersebut disebut penularan perkutan. Sedangkan cara
penularan non-kutan diantaranya ialah melalui semen, cairan vagina, yaitu kontak
seksual (baik homoseks maupun heteroseks) dengan pengidap/penderita HVB,
atau melalui saliva yang bercium-ciuman dengan penderita/pengidap, dapat juga
dengan jalan tukar pakai sikat gigi, dan lainnya. Hal ini dimungkinkan disebabkan
karena selaput lendir tubuh yang melapisinya terjadi diskontinuitas, sehingga
virus hepatitis B mudah menembusnya.3
2. Penularan vertikal
Penularan secara vertikal dapat diartikan sebagai penularan infeksi dari
seorang ibu pengidap/penderita HBV kepada bayinya sebelum persalinan, pada
saat persalinan dan beberapa saat setelah persalinan. Apabila seorang ibu
menderita HBV akut pada perinatal yaitu pada trisemester ketiga kehamilan,
maka bayi yang baru dilahirkan akan tertulari.3
2.1.6 Vaksinasi Hepatitis B
13

Menurut WHO bahwa pemberian vaksin hepatitis B tidak akan


menyembuhkan pembawa kuman (carier) yang kronis, tetapi diyakini 95 % efektif
mencegah berkembangnya penyakit menjadi carier.14
Dengan ditemukannya vaksin hepatitis B, maka program pencegahan infeksi
terhadap HBV dapat dilaksanakan dengan lebih efektif. Vaksinasi dengan HBV dapat
diberikan dengan 3 cara, yaitu3 :
Universitas Sumatera Utara
Imunisasi pasif, dengan menggunakan vaksin Hepatitis B Immunoglobulin
(HBIG) yang mempunyai daya lindung pendek.
Imunisasi aktif, dengan menggunakan vaksin hepatitis B yang mempunyai daya
lindung lebih lama.
Imunisasi gabungan antara pasif dan aktif, yaitu pemberian HBIG, kemudian
dilanjutkan dengan vaksin hepatitis B.
2.2 Siklus Penularan Hepatitis B pada Petugas Kesehatan
Sumber : Wisnuwardani S.D 1994, up-date ilmu penyakit infeksi 1994
Penyebaran infeksi virus hepatitis B dan virus AIDS yang dapat terjadi dari
penderita ke tenaga kesehatan yang sehat (dokter bedah, perawat, dan petugas
kebersihan) pemaparannya terjadi melalui darah atau cairan tubuh dari orang yang
terinfeksi. Misalnya jarum suntik bekas penderita tersebut secara tidak sengaja
tertusuk pada kulit yang sehat.2
Tubuh
manusia
Darah,
Sekret vagina,
air mani, dsb
Pejamu
(tenaga
kesehatan)
Tusukan jarum,
Kulit lecet/luka,
Terpotong,
Percikan pada membaran
mukosa
Universitas Sumatera Utara
2.3 Menurunkan Risiko Penularan di Tempat Kerja
Menurunkan risiko penularan di tempat kerja dapat dilakukan dengan 16 :
Memahami dan selalu menerapkan kewaspadaan universal setiap saat kepada
semua pasien, di semua tempat pelayanan atau ruang perawatan tanpa
memandang status infeksi pasiennya.
Menghindari tranfusi, suntikan, jahitan, dan tindakan invasif lain yang tidak perlu.
Mengupayakan ketersediaan sarana agar dapat selalu menerapkan pengendalian
infeksi secara standar, meskipun dalam keterbatasan sumber daya.
Mematuhi kebijakan dan pedoman yang sesuai tentang penggunaan bahan dan
alat secara baik dan benar, pedoman pendidikan dan pelatihan serta supervisi.
Menilai dan menekan risiko melalui pengawasan yang teratur di sarana pelayanan
kesehatan.
2.4 Pencegahan dan Penanganan Infeksi pada Petugas Perawatan Kesehatan
Pada tahun 1991 dan 1994 Occupational Safety and Health Administration
14

(OSHA) memberikan mandat untuk perlindungan penyakit pada Petugas Perawatan


Kesehatan (PPK) menggunakan pedoman Center for Disease Control and Prevention
(CDC). OSHA mengharuskan bahwa PPK mempunyai akses ke pengendalian
enginering, pengendalian praktik kerja, dan imunisasi virus hepatitis B. OSHA juga
mengharuskan bahwa PPK yang terpajan dengan darah atau cairan yang mengandung
darah untuk diperiksa adanya infeksi yang ditularkan melalui darah, mendapat
intervensi medik sesuai indikasi, dan mendapat konseling kemungkinan implikasi
dari pajanan tersebut.17
Universitas Sumatera Utara
2.4.1 Pengendalian Praktik Kerja
Pengendalian praktik kerja merupakan tanggung jawab majikan untuk
menyediakan dan melaksanakan pengendalian. Tujuan dari pengendalian praktik
kerja adalah untuk melindungi pekerja dari pajanan terhadap infeksi dan penyakit.
Pengendalian praktik kerja harus mengetangahkan isu seperti mencuci tangan,
dekontaminasi, desinfeksi, dan sterilisasi, jadwal membersihkan lingkungan kerja,
penanganan benda tajam, pembuangan limbah biomedik, penggunaan pengendalian
enginering dan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai.17
2.4.2 Pengendalian Enginering
Penggunaan pengendalian enginering seperti menempatkan tempat
pembuangan jarum yang mudah dijangkau dan pengendalian praktik kerja seperti
larangan menutup jarum kembali, dan penanganan jarum secara manual
menghasilkan pengurangan cedera akibat tertusuk jarum, tetapi tidak
menghilangkannya.17
Jarum merupakan alat yang diperlukan untuk menembus kulit pasien
(misalnya digunakan untuk memulai infus intravena (IV) atau memberikan suntikan
secara langsung). Namun, alat-alat telah dikembangkan untuk menghilangkan
pemajanan jarum ketika penetrasi kulit tidak diperlukan (contoh konektor IV yang
tidak berjarum). Alat-alat lain memungkinkan untuk melindungi tangan PPK dari
jarum yang diperlukan (misalnya alat-alat dengan self sheating atau jarum dengan
retractable dan alat-alat dengan jarum yang masuk ke dalam tutup pelindung).17
Pada standard patogen yang ditularkan melalui darah, OSHA menekankan
pengendalian enginering dan pengendalian praktik kerja sebagai lini pertahanan
Universitas Sumatera Utara
pertama terhadap cedera-cedera benda tajam yang terkontaminasi dan menyatakan
bahwa alat pelindung diri harus digunakan bila pajanan akibat kerja tetap ada setelah
melakukan pengendalian ini.17
2.4.3 Imunitas Pekerja Perawatan Kesehatan
Pada tahun 1991 OSHA menguatkan rekomendasi CDC dengan
mengharuskan majikan memberikan vaksin HBV dalam 10 hari dari masa pekerjaan
yang tidak dibayar pada PPK yang mempunyai pekerjaan yang berhubungan dengan
darah atau bahan-bahan yang kemungkinan terinfeksi lainnya.17
Sesuai dengan peraturan nasional dan protokol imunisasi yang relevan,
pengusaha harus menyediakan satu seri vaksinasi hepatitis B bagi semua pekerja
sektor kesehatan yang mungkin terpajan terhadap darah dan cairan tubuh. Pengusaha
harus menjaga agar mereka secara teratur mendapat informasi dari kemajuan dalam
pengembangan dan ketersediaan vaksin baru.18
2.4.4 Menangani Pajanan Signifikan Petugas Perawatan Kesehatan
15

Meskipun jumlah pajanan kerja dapat dikurangi secara signifikan melalui


penggunan kewaspadaan universal, pengendalian praktik kerja, dan pengendalian
enginering, kemungkinan pajanan PPK terhadap patogen yang ditularkan melalui
darah tidak dapat dieliminasi secara menyeluruh selama perdarahan pasien ditangani
dengan jarum serta benda-benda tajam digunakan dalam memberikan perawatan.
Infeksi dengan patogen yang ditularkan melalui darah telah dicatat sebagai akibat dari
pajanan perkutaneus (tertusuk jarum/tergores) dan mukokutaneus (percikan/aerosol).
17
Universitas Sumatera Utara
2.4.5 Pertolongan Pertama
Segera setelah pemajanan tempat yang terkena harus digosok dengan kuat
dengan larutan desinfektan seperti povidine iodine 10 %. Membran mukosa yang
terkontaminasi harus diirigasi selama 10 menit dengan saline normal atau air keran
yang mengalir. Segera setelah menerima pertolongan pertama, PPK yang terpajan
harus melaporkan pajanan tersebut ke penyelia atau ke pelayanan kedokteran kerja.17
2.4.6 Tindak Lanjut Setelah Pajanan
Menurut peraturan OSHA (1991), majikan harus mengatur evaluasi medik
setelah pajanan dan tindak lanjut tanpa biaya kepada pegawai. Tindak lanjut dapat
berupa pemeriksaan serologis dasar terhadap HBV dan HIV jika PPK mengizinkan,
konseling, dan pengobatan.17
2.5 Standard Patogen yang Ditularkan Melalui Darah dari OSHA
Tinjauan tentang Bloodborne Phatogen Standard (Standard Patogen Darah)
OSHA 1991 meliputi17 :
1. Cakupan dan Aplikasi
Standard tentang paparan okupasi terhadap patogen yang ditularkan melalui darah
berlaku untuk semua pekerja dengan pekerjaan yang terpapar dengan darah atau
bahan-bahan lain yang secara potensial infeksius/OPIM (Other Potentially
Infectious Material).
2. Rencan Pengendalian Paparan
Setiap majikan yang mempunyai pekerja yang mungkin cukup beralasan untuk
terpapar dengan patogen yang ditularakan melalui darah harus mempunyai
rencana pengendalian paparan tertulis yang didisain untuk menghilangkan atau
Universitas Sumatera Utara
meminimalkan paparan pekerja. Rencana tersebut harus berisi (1) determinasi
paparan yang didokumentasikan, (2) jadwal dan metode untuk
mengimplementasikan rencana pengendalian paparan, (3) prosedur untuk
mengevaluasi insiden paparan.
3. Metode Komplians
Terdiri dari kewaspadaan universal, pengendalian engineering, pengendalian
praktik kerja, alat pelindung diri, orientasi dan pelatihan, label dan tanda,
pengaturan limbah, kebersihan tempat kerja, vaksinasi hepatitis B, rencana pasca
paparan.
2.6 Kewaspadaan di Rumah Sakit
2.6.1 Kewaspadaan Standard/Kewaspadaan Baku
Kewaspadaan Standard/Kewasapadaan Baku mempersatukan keutamaan dari
Universal Precaution (UP) dan Body Substance Isolation (BSI).17 Karena sebagian
besar orang yang terinfeksi virus lewat darah seperti HIV dan VHB yang tidak
16

menunjukkan gejala, kewaspadaan baku tersebut ditujukan untuk melindungi setiap


orang (pasien, klien, dan petugas kesehatan) apakah mereka terinfeksi atau tidak.4
Kewaspadaan baku berlaku untuk darah, duh tubuh/semua cairan tubuh, sekresi dan
ekskresi (kecuali keringat), luka pada kulit, dan selaput lendir, kulit dan membran
mukosa yang tidak utuh.4,17 Penerapan ini adalah untuk mengurangi risiko penularan
mikroorganisme yang berasal dari sumber infeksi yang diketahui atau yang tidak
diketahui (misalnya si pasien, benda yang terkontaminasi, jarum suntik bekas pakai,
dan semprit) di dalam sistem pelayanan kesehatan.4
Universitas Sumatera Utara
Menurut le Claire dkk (1987) yang dikutip Tietjen (2004), setelah bertahuntahun,
indikasi penggunaan praktik isolasi tertentu (misalnya sarung tangan tertentu
lebih efektif dari pada baju pelindung dalam pencegahan kontminasi silang) telah
dapat diatasi melalui penelitian. Betapapun juga ketidakmampuan petugas
administrasi dan klinik di negara miskin untuk menyediakan perlengkapan pelindung,
khususnya ketersedian sarung tangan baru, masih menjadi kendala. Sebagai
tambahan, tantangan untuk menyediakan air bersih dan untuk mencapai standard
yang dapat diterima seperti proses penggunaan instrumen medis dan pembuangan
sampah masih menjadi persoalan di banyak negara.4
2.6.1.1 Komponen Utama Kewaspadaan Sandard/Kewaspadaan Baku
Penggunaan pembatas fisik, mekanik, atau kimiawi antara mikroorganisme
dan individu, misalnya ketika pemeriksaan kehamilan, pasien rawat inap merupakan
alat yang sangat efektif untuk mencegah penularan infeksi.4
Komponen utama kewaspadaan standard diantaranya adalah cuci tangan;
sarung tangan; masker, pelindung mata, penutup wajah; gaun; peralatan perawatan
pasien; linen; instrumen tajam; resusitasi pasien; penempatan pasien.
2.6.2 Kewaspadaan Berdasar Penularan
Kewaspadaan ini dimaksudkan hanya untuk pasien yang diketahui atau sangat
dicurigai telah terinfeksi atau terkolonisasi oleh patogen yang ditularkan lewat4 :
Udara (tuberkolosis, cacar air, campak)
Percikan (flu, gondongan, rubella)
Universitas Sumatera Utara
Kontak (hepatitis A atau E, dan patogen enterik, herpes simplex, infeksi kulit
atau mata)
Dalam keadaan di mana ada pertanyaan adanya proses infeksi pada pasien
tanpa diketahui diagnosisnya, pelaksanaan kewaspadaan berdasarkan penularan,
secara empirik harus dipertimbangkan sampai diagnosis definitif dibuat.
2.7 Mencuci Tangan dan Penggunaan Sarung Tangan
Dengan munculnya epidemi AIDS pada akhir tahun 1980-an, berbagai upaya
untuk mencegah transmisi HIV dan virus lainnya yang terkait dengan darah dari
pasien ke staf telah memberi dampak atas seluruh aspek pencegahan infeksi, tetapi
yang paling dramatis adalah pada kesehatan dan kebersihan tangan, dan praktik
penggunaan sarung tangan.4
Tujuan mencuci tangan adalah menghilangkan kotoran dan debu secara
mekanis dari permukaaan kulit, menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada
kuku, tangan, lengan dan mencegah penyebaran ke area tidak terkontaminasi, seperti
pasien, tenaga perawatan kesehatan, dan peralatan.4,17
Untuk mendorong cuci tangan, pengelola program harus melakukan segala
17

upaya menyediakan sabun dan suplai air bersih terus menerus, baik dari kran atau
ember dan lap pribadi.4
2.7.1 Indikasi Mencuci Tangan
Menurut Larson (1995) yang dikutip Tietjen (2004), indikasi kesehatan dan
kebersihan tangan sudah dipahami dengan baik, tetapi pedoman praktik terbaik dalam
hal ini terus berkembang. Misalnya, pilihan sabun biasa atau antiseptik atau
penggunaan penggosok tangan berbasis alkohol bergantung pada besarnya risiko
Universitas Sumatera Utara
kontak dengan pasien (misalnya tindakan medis rutin versus pembedahan) atau
tersedianya bahan. 4
Diantara indikasi untuk mencuci tangan adalah4,17 :
1. Sebelum dan setelah kontak dengan pasien atau melakukan prosedur seperti
mengganti balutan, menggunakan tempat sputum, sekresi, ekskresi dan drainase,
atau darah.
2. Sebelum dan setelah memegang peralatan yang digunakan pasien contohnya,
kateter IV (Intra Vena), kateter urin, kantung drainase urin, dan peralatan
pernapasan.
3. Sebelum dan setelah mengambil spesimen
4. Sebelum memakai sarung tangan bedah steril atau DDT sebelum pembedahan,
atau sarung tangan pemeriksaan untuk tindakan rutin
5. Sesudah melepas sarung tangan.
Menurut CDC (1989) yang dikutip Tietjen, kedua tangan harus dicuci dengan
sabun dan air bersih (atau menggunakan penggosok antiseptik) sesudah melepas
sarung tangan karena kemungkinan sarung tangan berlubang atau robek, sehingga
bakteri dapat dengan mudah berkembang biak di lingkungan yang hangat dan basah
di dalam sarung tangan.4
2.7.2 Faktor Penghambat Petugas Tidak Mencuci Tangan
Kurangnya waktu
Terbatasnya akses atas air mengalir dan wastapel
Tindakan cuci tangan yang acapkali dilakukan mengiritasi kedua tangan
Universitas Sumatera Utara
Keyakinan bahwa memakai sarung tangan memberikan perlindungan menyeluruh
keraguan berkenaan efektivitas cuci tangan untuk mencegah infeksi
Persepsi bahwa teman sejawat dan penyelia tidak melakukan tindakan cuci tangan
seperti yang dianjurkan.
Selain itu, petugas kesehatan secara salah meyakini bahwa mereka mencuci kedua
tangan lebih sering dari yang mereka lakukan sebenarnya.4
2.7.3 Penggunaan Sarung Tangan
Sampai sekitar 15 tahun lalu, petugas kesehatan menggunakan sarung tangan
untuk tiga alasan, yaitu4 :
1. Mengurangi risiko petugas terkena infeksi bakterial dari pasien
2. Mencegah penularan flora kulit petugas kepada pasien
3. Mengurangi kontaminasi tangan petugas kesehatan dengan mikroorganisme yang
dapat berpindah dari satu pasien ke pasien lain.
Selanjutnya, sarung tangan terutama dipakai hanya oleh petugas yang
merawat pasien yang menderita infeksi patogen tertentu atau yang terpapar dengan
pasien yang berisiko tinggi hepatitis B. Dewasa ini sarung tangan sekali pakai dan
18

sarung tangan bedah menjadi perlengkapan pelindung yang paling banyak dipakai.4
Menurut Tenosis dkk (2001) yang dikutip Tietjen, walaupun sarung tangan
telah berulang kali terbukti sangat efektif mencegah kontaminasi pada tangan petugas
kesehatan, sarung tangan tidak dapat menggantikan perlunya cuci tangan. Sarung
tangan lateks kualitas terbaik pun mungkin mempunyai kerusakan kecil yang tidak
Universitas Sumatera Utara
tampak.4 Selain itu, sarung tangan menurut Bagg dkk (2001) juga dapat robek
sehingga tangan dapat terkontaminasi sewaktu melepaskan sarung tangan.4
Tergantung situasi, sarung tangan pemeriksaan atau sarung tangan rumah
tangga harus dipakai bilamana4 :
Akan terjadi kontak tangan pemeriksa dengan darah atau duh tubuh lainnya,
selaput lendir, atau kulit yang terluka
Akan melakukan tindakan medik invasif (misalnya pemasangan alat-alat
vaskular seperti intravena perifer)
Akan membersihkan sampah terkontaminasi atau memegang permukaan yang
terkontaminasi.
2.8 Keselamatan Mempergunakan Jarum Suntik dan Semprit
(1) Mempergunakan tiap-tiap jarum dan semprit hanya sekali pakai.4
(2) Jangan melepas jarum dari semprit setelah digunakan.
(3) Jangan menyumbat, membengkokkan, atau mematahkan jarum sebelum dibuang.
(4) Buanglah jarum dan semprit di wadah anti bocor.
Apabila jarum dan semprit sekali pakai tidak tersedia dan perlu memasang
kembali penutup jarum, maka gunakan metode penutupan satu tangan 4 :
Pertama, tempatkan penutup jarum pada permukaan rata dan kokoh, kemudian
angkat tangan anda.
Kemudian dengan satu tangan memegang semprit, gunakan jarum untuk
menyekop tutup tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Dengan penutup di ujung jarum, putar semprit tegak lurus sehingga jarum dan
semprit mengarah ke atas.
Akhirnya, dengan sumbat yang sekarang ini menutup ujung jarum
sepenuhnya, peganglah semprit ke arah atas dengan pangkal dekat pusat (di
mana jarum itu bersatu dengan semprit dengan satu tangan, dan gunakan
tangan lainnya untuk menyegel tutup itu dengan baik).4
2.9 Pemrosesan Alat
Menurut Nystrom (1981) yang dikutip Tietjen (2004), dekontaminasi adalah
langkah pertama dalam memroses instrumen bedah/tindakan, sarung tangan dan
peralatan lainnya yang kotor (terkontaminasi), terutama jika akan dibersihkan dengan
tangan. Umpamanya merendam barang-barang yang terkontaminasi dalam larutan
klorin 0,5 % atau disinfektan lainnya yang tersedia dengan cepat dapat membunuh
HBV dan HIV. Dengan demikian, menjadikan instrumen lebih aman ditangani
sewaktu pembersihan. Setelah instrumen dan barang-barang lain didekontaminasi,
kemudian perlu dibersihkan, dan akhirnya dapat disterilisasi atau didisinfeksi tingkat
tinggi. Proses yang dipilih untuk pemrosesan akhir bergantung pada apakah
instrumen ini akan bersinggungan dengan selaput lendir yang utuh atau kulit yang
terkelupas atau jaringan di bawah kulit yang biasanya steril.4
2.10 Pelatihan Kerja
19

Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali,


meningkatkan, dan mengembangkan keterampilan dan keahlian kerja guna
meningkatkan kemampuan, produktivitas dan kesejahteraan tenaga kerja.19
Universitas Sumatera Utara
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996
tentang Tenaga Kesehatan pasal 13 disebutkan bahwa pelatihan di bidang kesehatan
wajib memenuhi persyaratan tersedianya20:
a. Calon peserta pelatihan
b. Tenaga kepelatihan
c. Kurikulum
d. Sumber dana yang tetap untuk menjamin kelangsungan penyelenggaraan
pelatihan
e. Sarana dan prasarana.
Kemudian pada pasal 9 disebutkan bahwa20 :
(1) Pelatihan di bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan keterampilan
atau penguasaan pengetahuan di bidang teknis kesehatan.
(2) Pelatihan di bidang kesehatan dapat dilakukan secara berjenjang sesuai
dengan jenis tenaga kesehatan yang bersangkutan.
Selanjutnya pada pasal 10 disebutkan bahwa20 :
(1) Setiap tenaga kesehatan memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti
pelatihan di bidang kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya.
(2) Penyelenggara dan/atau pimpinan sarana kesehatan bertanggung jawab atas
pemberian kesempatan kepada tenaga kesehatan yang ditempatkan
Sesuai standard patogen yang ditularkan melalui darah dari OSHA pelatihan
awal dan tahunan yang berhubungan dengan standard harus tersedia untuk setiap
pekerja yang secara potensial terpapar selama jam-jam kerja, dan biaya tidak
Universitas Sumatera Utara
dibebankan pada pekerja (pelatihan tahunan harus dilakukan dalam 12 bulan dari
pelatihan awal). Catatan harus tetap dipertahankan untuk sesi-sesi pelatihan.17
2.11 Determinan Perilaku
Perilaku adalah hasil atau resultan antara stimulus (faktor eksternal) dengan
respon (faktor internal) dalam subjek atau orang yang berperilaku tersebut. Dengan
perkataan lain, perilaku seseorang atau subjek dipengaruhi atau ditentukan oleh
faktor-faktor baik dari dalam maupun dari luar subjek. Faktor yang menentukan atau
membentuk perilaku ini disebut determinan.21 Menurut Green yang dikutip
Notoadmodjo (2003), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yakni21 :
1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor)
Yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku
seseorang. Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat
terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaaan masyarakat terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat
pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.
2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factor)
Yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau
tindakan. Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas
kesehatan bagi masyarakat. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau
memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut
20

juga faktor-faktor pendukung. Misalnya Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit,


tempat pembuangan air, tempat pembuangan sampah, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factor)
Adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku.
Kadang-kadang meskipun orang mengetahui untuk berperilaku sehat, tetapi tidak
melakukannya. Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh
masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk
petugas kesehatan. Termasuk juga di sini undang-undang, peraturan-peraturan
baik dari pusat maupun dari pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.
2.11.1 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.21
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden.21
Indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan
atau kesadaran terhadap kesehatan dapat dikelompokkan menjadi21 :
a) Pengetahuan tentang sakit dan penyakit meliputi :
1. Penyebab penyakit
2. Gejala atau tanda-tanda penyakit
3. Bagaimana cara pengobatan, atau kemana mencari pengobatan
4. Bagaimana cara penularannya
5. Bagaimana cara pencegahannya termasuk imunisasi, dan sebagainya
Universitas Sumatera Utara
b) Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat, meliputi :
1. Jenis-jenis makanan yang bergizi
2. Manfaat makanan yang bergizi bagi kesehatan
3. Pentingnya olah raga bagi kesehatan
4. Penyakit-penyakit atau bahaya-bahaya merokok, minum-minuman keras, dan
sebagainya.
5. Pentingnya istirahat cukup, relaksasi, rekreasi, dan sebagainya bagi kesehatan
c) Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan
1. Manfaat air bersih
2. Cara-cara pembuangan limbah yang sehat, termasuk pembuangan kotoran
yang sehat, dan sampah.
3. Manfaat pencahayaan dan penerangan rumah yang sehat.
4. Akibat polusi (polusi air, udara, dan tanah) bagi kesehatan, dan sebagainya.
2.11.2 Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat,
tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap
secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional
terhadap stimulus sosial.21
21

Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial, menyatakan bahwa sikap itu
merupakan kesiapan atau kesediaaan untuk bertindak, dan bukan merupakan
pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas,
Universitas Sumatera Utara
akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih
merupakan suatu rekasi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka. Sikap merupakan
kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu
pengahayatan terhadap objek.21
Menurut WHO yang dikutip Notoadmodjo (2003), sikap menggambarkan
suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari
pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang
mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain. Sikap positif terhadap nilai-nilai
kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata. Hal ini disebabakan
beberapa alasan, antara lain21 :
1. Sikap akan terwujud dalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu.
2. Sikap akan diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan yang mengacu kepada
pengalaman orang lain.
3. Sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasarkan pada banyak atau
sedikitnya pengalaman seseorang.
4. Nilai (value), di dalam suatu masyarakat apapun selalu berlaku nilai-nilai yang
menjadi pegangan setiap orang dalam menyelenggarakan hidup bermasyarakat.
Dalam bagian lain Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3
komponen pokok.21
1. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional dan evaluasi terhadap suatu objek.
3. Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave).
Universitas Sumatera Utara
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total
attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan
emosi memegang peranan penting.21
Indikator untuk tingkat sikap kesehatan sejalan dengan tingkat pengetahuan
kesehatan seperti21 :
a) Sikap terhadap sakit dan penyakit
Adalah bagaimana penilaian atau pendapat seseorang terhadap gejala atau tandatanda
penyakit, penyebab penyakit, cara penularan penyakit, cara pencegahan
penyakit, dan sebagainya.
b) Sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat
Adalah penilaian atau pendapat seseorang terhadap cara-cara memelihara dan
cara-cara (berperilaku) hidup sehat. Dengan perkataan lain pendapat atau
penilaian terhadap makanan, minuman, olahraga, relaksasi (istirahat) atau istirahat
cukup, dan sebagainya bagi kesehatannya.
c) Sikap terhadap kesehatan lingkungan
Adalah pendapat atau penilaian seseorang terhadap lingkungan dan pengaruhnya
terhadap kesehatan.
2.12 Perawat
Menurut PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) perawat adalah
seorang yang telah menempuh serta lulus pendidikan formal dalam bidang
22

keperawatan yang program pendidikanya telah disahkan oleh Pemerintah Republik


Indonesia.22
Universitas Sumatera Utara
Perawat adalah tenaga profesional di bidang perawatan kesehatan yang
terlibat dalam kegiatan perawatan. Perawat bertanggung jawab untuk perawatan,
perlindungan, dan pemulihan orang yang luka atau pasien penderita penyakit akut
atau kronis, pemeliharaan kesehatan orang sehat, dan penanganan keadaan darurat
yang mengancam nyawa dalam berbagai jenis perawatan kesehatan. Perawat juga
dapat terlibat dalam riset medis dan perawatan serta menjalankan beragam fungsi
non-klinis yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi perawatan kesehatan.22
2.12.1 Fungsi Perawat
Dalam praktik keperawatan fungsi perawat terdiri dari tiga fungsi yaitu fungsi
independen, interdependen, dan dependen.23
1. Fungsi independen
Dalam fungsi ini tindakan perawat tidak memerlukan perintah dokter. Tindakan
perawat bersifat mandiri, berdasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan. Contoh
tindakan perawat dalam menjalankan fungsi independen adalah :
1. Pengkajian seluruh sejarah kesehatan pasien/keluarga dan menguji secara fisik
untuk menentukan status kesehatan.
2. Mengidentifikasi tindakan keperawatan yang mungkin dilakukan untuk
memelihara atau memperbaiki kesehatan.
3. Membantu pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari, mendorong pasien
untuk berperilaku wajar.
2. Fungsi interdependen
Tindakan perawat berdasar pada kerjasama dengan tim perawatan atau tim
kesehatan. Fungsi ini tampak ketika perawat bersama tenaga kesehatan lain
Universitas Sumatera Utara
berkolaborasi mengupayakan kesembuhan pasien. Mereka biasanya tergabung
dalam sebuah tim yang dipimpin oleh seorang dokter.
3. Fungsi dependen
Dalam fungsi ini perawat bertindak membantu dokter dalam memberikan
pelayanan medik. Perawat membantu dokter memberikan pelayanan pengobatan
dan tindakan khusus yang menjadi wewenang dokter dan seharusnya dilakukan
dokter, seperti pemasangan infus, pemberian obat, melakukan suntikan.
2.12.2 Pelayanan Perawatan
Pelayanan perawatan memegang peranan penting dalam menentukan
keberhasilan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Pelayanan keperawatan adalah
berupa bantuan yang diberikan kepada individu yang sedang sakit untuk dapat
memenuhi kebutuhannya sebagai makhluk hidup dan beradaptasi terhadap stres
dengan menggunakan potensi yang tersedia pada individu itu sendiri.24
Lingkup pelayanan keperawatan adalah pemberian terhadap pemenuhan
kebutuhan dasar manusia secara bio-psiko-sosio-spritual yang mencakup 13
komponen, yaitu24 :
1. Memenuhi kebutuhan oksigen
2. Memenuhi kebutuhan nutrisi dan keseimbangn cairan/elektrolit
3. Memenuhi kebutuhan eliminasi
4. Memenuhi kebutuhan keamanan
23

5. Memenuhi kebutuhan kebersihan dan kenyamanan


6. Memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur
7. Memenuhi kebutuhan gerak dan kegiatan jasmani
Universitas Sumatera Utara
8. Memenuhi kebutuhan spritual
9. Memenuhi kebutuhan komunikasi
10. Memenuhi kebutuhan emosional
11. Mencegah dan mengatasi reaksi fisiologi tubuh
12. Memenuhi kebutuhan pengobatan dan proses penyembuhan
13. Memenuhi kebutuhan penyuluhan dan rehabilitasi
Pelayanan medis/perawatan dilakukan di unit rawat jalan, unit gawat darurat,
unit rawat inap, unit perawatan intensif, unit bedah, kamar bersalin. Pelayanan ini
akan prima bila sarana disiapkan sedemikian rupa hingga membuat suasana kerja
yang nyaman dan memungkinkan kelancaran kerja.24
2.12.3 Merawat di Bangsal Penyakit Dalam
Pasien-pasien di bangsal penyakit dalam jarang menjalani operasi, walaupun
kadang-kadang demikian, yang setelah pemeriksaan dilakukan, tindakan bedah
ditetapkan. Perawatan medis tidak hanya menyangkut pemberian obat untuk
menyembuhkan penyakit, akan tetapi pasien mungkin harus menjalani berbagai jenis
tes dan kajian, yang beberapa dari ini akan mengikutsertakan perawat dalam
pengumpulan spesimen atau sediaan pasien. Pengkajian sederhana mencakup
spesimen darah, air kemih (pertengahan buang air kecil atau pengumpulan urin 24
jam), sputum, atau tinja (untuk darah samar atau penaksiran lemak).25
Ikhtisar ciri-ciri bangsal penyakit dalam25 :
1. Penderita sering sakit kronik dan oleh karena itu tidak sembuh dari penyakit
mereka.
2. Mereka jarang menjalani operasi.
Universitas Sumatera Utara
3. Sebagian besar penderita kurang persiapan untuk masuk rumah sakit karena
mereka masuk dalam keadaan darurat.
4. Mereka sedang sakit atau sangat sakit ketika masuk.
5. Perawatan mencakup memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan
spritual penderita.
6. Penderita lazimnya berumur pertengahan atau tua.
2.13 Rumah Sakit
Menurut American Hospital Association (1974), rumah sakit adalah suatu
organisasi yang melalui tenaga medis profesional yang terorganisir serta sarana
kedokteran yang permanen menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan
keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang
diderita oleh pasien. Sedangkan Association of Hospital Care (1987) dalam Azwar
(1996) menyatakan bahwa rumah sakit adalah pusat di mana pelayanan kesehatan
masyarakat, pendidikan serta penelitian kedokteran diselenggarakan.26
Fungsi rumah sakit adalah menyelenggarakan pelayanan spesialistik/medik
sekunder dan pelayanan subspesialistik/medik tersier. Oleh karena itu, produk utama
(core product) rumah sakit adalah pelayanan medik.27
Rumah sakit sebagai suatu institusi pelayanan kesehatan juga melakukan
upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, promotif, preventif, kuratif, dan
24

rehabilitatif.27
Pengembangan rumah sakit menjadi suatu organisasi yang sehat melalui
pemberian penyuluhan kesehatan kepada pasien, karyawan rumah sakit, dan
masyarakat, telah menghasilkan reorientasi rumah sakit menjadi rumah sakit
Universitas Sumatera Utara
promotor kesehatan (Health Promoting Hospital). Salah satu alasan mengapa rumah
sakit dianggap perlu melaksanakan penyuluhan atau promosi kesehatan karena rumah
sakit sebagai suatu organisasi yang memiliki relatif banyak karyawan dan sebagai
pusat sumber daya untuk wilayahnya, maka rumah sakit mempunyai tanggung jawab
moral untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan karyawannya.27
2.13.1 Jenis Rumah Sakit
Ditinjau dari kemampuan yang dimiliki, Rumah Sakit di Indonesia dibedakan
atas lima macam yakni26 :
1. Rumah Sakit Kelas A
Rumah sakit kelas A adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan
kedokteran spesialis dan subspesialis luas. Oleh pemerintah, rumah sakit kelas A
ini telah ditetapkan sebagai tempat pelayanan rujukan tertinggi (top referral
hospital) atau disebut pula sebagai Rumah Sakit Pusat.
2. Rumah Sakit Kelas B
Rumah Sakit Kelas B adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan
dokter spesialis luas dan subspesialis terbatas. Direncanakan rumah sakit kelas B
didirikan di setiap ibukota Propinsi (provincial hospital) yang menampung
pelayanan rujukan dari rumah sakit Kabupaten. Rumah Sakit pendidikan yang
tidak termasuk kelas A juga diklasifikasikan sebagai Rumah Sakit kelas B.
3. Rumah Sakit Kelas C
Rumah sakit kelas C adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan
kedokteran spesialis terbatas. Pada saat ini ada empat macam pelayanan spesialis
ini yang disediakan yakni pelayanan penyakit dalam, pelayanan bedah, pelayanan
Universitas Sumatera Utara
kesehatan anak, serta pelayanan kebidanan dan kandungan. Direncanakan rumah
sakit kelas C ini akan didirikan di setiap ibu kota Kabupaten (regency hospital)
yang manampung pelayanan rujukan dari Puskesmas.
4. Rumah Sakit kelas D
Rumah Sakit kelas D adalah rumah sakit yang bersifat transisi karena pada satu
saat akan ditingkatkan menjadi rumah sakit kelas C. Pada saat ini kemampuan
rumah sakit kelas D hanyalah memberikan pelayanan kedokteran umum dan
kedokteran gigi. Sama halnya dengan Rumah Sakit kelas C, Rumah Sakit kelas D
ini juga menampung pelayanan rujukan yang berasal dari Puskesmas.
5. Rumah Sakit kelas E
Rumah sakit kelas E adalah rumah sakit khusus (special hospital) yang
menyelenggarakan hanya satu pelayanan kedokteran saja. Pada saat ini banyak
rumah sakit kelas E yang telah ditemukan. Misalnya rumah sakit jiwa, rumah
sakit kusta, rumah sakit paru, rumah sakit kanker, rumah sakit jantung, rumah
sakit ibu dan anak, dan lain sebagainya yang seperti ini.
2.13.2 Kegiatan di Rumah Sakit
Menurut depkes RI (1992) yang dikutip oleh Nurasiah (2007) kegiatan rumah
sakit terdiri dari10 :
25

1. Rawat jalan, seperti poliklinik, kesejahteraan ibu dan anak, keluarga berencana,
pemeriksaan periodik (general check-up), gigi.
2. Rawat inap, seperti rawat inap interne, anak, mata, bedah, kebidanan, paru,
jantung, kulit, kelamin, telinga hidung dan tenggorokan, neurologi, mulut, gigi,
rawat intensif, dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
3. Unit gawat darurat.
4. Pelayanan medik, seperti ruang operasi, dan ruang bersalin.
5. Pelayanan penunjang non-medik, yakni ruang cuci, dapur, administrasi.
6. Pendidikan dan latihan.
2.13.3 Potensi Bahaya di Rumah Sakit
Menurut Depkes RI (1992) yang dikutip oleh Nurasiah, sebagai sarana
pelaksana kesehatan untuk umum, salah satu faktor yang menjadi penyebab potensi
bahaya Penyakit Akibat Kerja (PAK) di rumah sakit yaitu faktor biologi. Sebagai
pelaksanaan kesehatan untuk umum, rumah sakit merupakan tempat berkumpulnya
orang sakit maupun orang sehat. Berbagai jenis penyakit terdapat di rumah sakit,
salah satunya adalah penyakit infeksi yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus,
parasit, jamur, infeksi ini dapat menular dari satu orang ke orang lain termasuk
kepada petugas kesehatan dan karyawan yang bekerja di rumah sakit. Di samping itu
berbagai peralatan yang berasal dari penderita seperti darah, sputum, feces, dan
peralatan medis yang tercemar oleh mikroorganisme, sanitasi lingkungan rumah sakit
yang kurang memenuhi syarat, dan limbah rumah sakit dapat pula menjadi sumber
penularan penyakit. Untuk menghindari terjadinya penularan tersebut, perlu
dilakukan upaya pencegahan.10
Universitas Sumatera Utara
2.14 Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :
2.15 Hipotesis Penelitian
Ho diterima : Tidak ada pengaruh pengetahuan perawat terhadap
pencegahan risiko tertular Hepatitis B.
Ho ditolak : Ada pengaruh pengetahuan perawat terhadap pencegahan
risiko tertular Hepatitis B.
H1
Faktor Pemudah
(Predisposing Factor)
- Pengetahuan
- Sikap
Pencegahan
Risiko
Tertular
Hepatitis B
Faktor Pemungkin
(Enabling Factor)
- Ketersediaan Fasilitas dan APD
- Pelatihan
Faktor Penguat
(Reinforcing Factor)
26

- Kebijakan Rumah Sakit


Karakteristik perawat
- Umur
- Jenis Kelamin
- Pendidikan
- Masa Kerja
Universitas Sumatera Utara
Ho diterima : Tidak ada pengaruh sikap perawat terhadap pencegahan risiko
tertular Hepatitis B.
Ho ditolak : Ada pengaruh sikap perawat terhadap pencegahan risiko
tertular Hepatitis B.
Ho diterima : Tidak ada pengaruh pelatihan terhadap pencegahan risiko
tertular Hepatitis B.
Ho ditolak : Ada pengaruh pelatihan terhadap pencegahan risiko tertular
Hepatitis B.
Ho diterima : Tidak ada pengaruh ketersediaan fasilitas dan APD terhadap
pencegahan risiko tertular Hepatitis B.
Ho ditolak : Ada pengaruh ketersediaan fasilitas dan APD terhadap
pencegahan risiko tertular Hepatitis B.
Ho diterima : Tidak ada pengaruh kebijakan rumah sakit terhadap
pencegahan risiko tertular hepatitis B.
Ho ditolak : Ada pengaruh kebijakan rumah sakit terhadap pencegahan
risiko tertular hepatitis B.
H2
H3
H4
H5
Universitas Sumatera Utara

http://eprints.undip.ac.id/5256/1/Subur_Hadi_M.pdf
FAKTOR-FAKTOR RISIKO YANG
BERPENGARUH TERHADAP
VAKSINASI HEPATITIS B-1
PADA BAYI UMUR 7 HARI
(Studi kasus di Kabupaten Demak dan
Temanggung)
Subur Hadi Marhaento
Prof.Dr.dr.Suharyo Hadisaputro.SpPD(K)
Prof.Dr.dr. Hariyono Suyitno.SpA(K)
Risk Factors Affecting Hepatitis B-1
Vaccination on Babies Aged 7 days
(Case Studie in Demak and
Temanggung Regency)
Abstract
Background. Hepatitis B is an infectious
27

disease affecting liver caused by hepatitis B


Virus (HBV). It may develop chronically and
cause liver cirrhosis, become hepatocellular
carcinoma as terminal stage. It is estimated that
more than 11 million Indonesians are infected
by this virus. Hepatitis B vaccination is the
most most effective strategy to reduce the
diseases incidence, it should be given 3 doses
with the first dose of hepatitis B-1 at the age of
7 days. In Central-Java, hepatitis B-1
vaccination rate is still lower (34.5%) than the
target (90%). Many factors affected the
vaccination rate such as : factors of mother,
health workers, and environment.
Objectives. To know the rates of factors of
mothers, health workers, and environment on
hepatitis B-1 vaccination on babies aged 7
days.
Method. Case-control design was used in this
study, consisted of 160 babies as cases and
160 babies as controls. The cases population
was taken from babies having their vaccination
at the age of > 7 days, and the controls were
babies vaccinated with hepatitis B-1 at the age
of 7 days. The research location has been
done in district of Demak and Temanggung,
Central Java in the year 2004.
Result. Risk factors of mother which affecting
vaccination hepatitis B-1 at the age 7 days
were : low education (OR = 3,32; 95% CI =
0,52 20,12), working mother (OR = 2,74;
95% CI = 1,27 5,89), mothers lack of
knowledge (OR = 4,35; 95% CI = 2,21 8,57),
ANC < 4 times (OR = 2,56; 95% CI = 1,09
6,03). Risk factors of health workers were
midwives in another village (OR = 1,60; 95%
CI = 1,02 2,51), midwives were not trained
using uniject HB (OR = 9,13; 95% CI = 1,20
69,45), labor helper was not a health worker
(OR = 2,99; 95% CI = 1,55 5,77), no
neonatal visit (OR = 12,49; 95% CI = 5,62
27,77). Risk factors of environment were birth
place, not qualified health requirement (OR =
2,11; 95% CI = 1,28 3,47), low educated
husbands (OR = 7,40; 95% CI = 1,06 51,64),
high hepatitis B-1 vaccination cost (OR = 1,90;
95% CI = 1,12 3,24), not informed about
hepatitis B-1 application at the age 7 days
(OR = 9,97; 95% CI = 5,05 19,69), and social
cultural believes about hepatitis B-1 was not
favourable (OR = 5,54; 95% CI = 1,65
28

18,66). Factors which not affecting the rate was


no local government instruction for hepatitis B-
1 vaccination (OR = 1,29; 95% CI = 0,29
5,77)
Conclusion. Risk factors were proved to
influence hepatitis B-1 vaccination on babies
aged 7 days. Influencing factor from mother
was mothers working status. From the health
workers factor were midwives in the village
were not trained to use Uniject HB, no neonatal
visit, labour helper was not a health worker.
The affecting environmental factors were no
information about the application of hepatitis
B-1 at the age 7 days, social cultural believes
about hepatitis B-1 was not favourable, uniject
vaccines were not available in the midwives
stock.
Suggestion. Hepatitis B-1 at the age of 7
days should be given along with the neonatal
visit (KN-1), Posyandu service for mothers
who are working should be open at afternoon
hours, it is necessity training for midwives
about vaccination using Uniject HB,
dessimination of information about the
importance of hepatitis B-1 vaccination at the
age of 7 days should be given to the
community, the labour of babies should be
done by the health personnals (midwives),
planning ot the provision of Uniject HB
vaccine kept by the midwives should be based
on cohort data of pregnant mothers.
Keywords : Risk factors of hepatitis B-1
vaccination on babies aged 7 days,
case control study, factor of mother, health
worker, and environment
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
2
A. Latar belakang
Penyakit hepatitis B merupakan
penyakit infeksi pada hati yang disebabkan
oleh virus hepatitis B (VHB), dapat
berkembang menjadi kronis sehingga
terjadi pengerasan hati (liver cirrhosis)
yang selanjutnya dapat berkembang
menjadi kanker hati (carcinoma
hepatacelluler). Pada saat ini diperkirakan
350 juta orang pengidap VHB (carrier) di
dunia, 78% dari pengidap penyakit ini
29

bermukim di Asia Tenggara termasuk


Indonesia
Di Indonesia diperkirakan terdapat
lebih dari 11 juta pengidap hepatitis B.
Menurut CDC Atlanta diperkirakan 1-2
juta penderita hepatitis B di dunia
meninggal setiap tahun karena kanker hati .
Secara khusus atau spesifik belum
ada obat yang dapat mencegah atau
memperbaiki dengan cepat proses nekrosis
sel hati, upaya yang terbaik dalam
pemberantasan penyakit hepatitis B adalah
pencegahan dengan imunisasi terhadap
semua bayi yang baru lahir sedini mungkin
( umur 7 hari) setelah kelahirannya.
Hasil uji coba di Pulau Lombok
(NTB) dengan memberikan vaksinasi
hepatitis B kontak pertama pada bayi umur
7 hari terbukti dapat menurunkan
prevalensi hepatitis B dari 6,2 % menjadi
1,4 %.
Di Jawa Tengah (2003) hasil
vaksinasi hepatitis B-1 pada bayi umur 7
hari masih sangat rendah (34,52%) belum
mencapai target Propinsi maupun Nasional
yaitu 90%.
Untuk mengetahui faktor yang
berpengaruh terhadap vaksinasi hepatitis
B-1 pada bayi umur 7 hari, diadakan
penelitian pada bulan Oktober sampai
Desember 2004, untuk bayi yang lahir di
Kabupaten Demak dan Temanggung pada
tahun 2003 dan pada saat pengamatan
sudah divaksinasi hepatitis B-1.
B. Tujuan
Untuk mengetahui faktor risiko yang
berpengaruh terhadap vaksinasi hepatitis
B-1 pada bayi umur 7 hari setelah
kelahiran yang meliputi:
1. Faktor ibu yaitu pendidikan ibu,
pekerjaan ibu, pengetahuan ibu dan
frekuensi ANC (Antenatal Care)
2. Faktor tenaga kesehatan yaitu
keberadaan bidan di desa, pelatihan
petugas kesehatan, penolong persalinan
dan kunjungan neonatal.
30

3. Faktor lingkungan yaitu tempat


melahirkan, pendidikan suami,
kebijakan Pemerintah Daerah,
ketersediaan vaksin uniject HB, kontak
dengan media informasi dan sosial
budaya masyarakat.
C. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat
sebagai:
1. Pertimbangan dalam kebijakan upaya
meningkatkan cakupan vaksinasi
hepatitis B-1 pada bayi umur 7 hari.
2. Peningkatan peran serta masyarakat
secara aktif dalam memvaksinasi kan
bayinya pada umur 7 hari.
D. Desain penelitian
Jenis penelitian ini adalah studi
observasional dengan rancangan kasus
kontrol, dimana kasusnya adalah bayi yang
divaksinasi hepatitis B-1 pada umur > 7
hari, sedang kontrol pada umur 7 hari.
E. Populasi
1. Populasi sasaran
Populasi sasaran dalam penelitian ini
adalah ibu yang mempunyai bayi umur
12 bulan yang lahir pada tahun 2003 di
Jawa Tengah.
2. Populasi studi
Populasi studi dalam penelitian ini
adalah di Kabupaten Demak dengan hasil
vaksinasi hepatitis B-1 7 hari terendah
(25,16%) dan Kabupaten Temanggung
tertinggi (78,96%) di Jawa Tengah
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
3
F. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah
bayi yang divaksinasi hepatitis B-1 umur
7 hari sebagai kontrol dan umur > 7 hari
sebagai kasus, besar sampel 160 sebagai
kasus, 160 kontrol dan 15 bidan di desa
sebagai kasus, 13 kontrol.
G. Pengumpulan dan Analisis Data
1. Data primer diperoleh dari wawancara
dengan ibu bayi.
2. Data sekunder dari catatan imunisasi
31

Desa, Puskesmas, Dinas Kesehatan


Kabupaten dan Propinsi
3. Analisis data menggunakan SPSS- 10
dengan tahap univariat, bivariat dan
multivariate
H. Hasil penelitian dan pembahasan
Lokasi dan jumlah sampel penelitian di
Puskesmas Gajah, Demak II di Kabupaten
Demak dan Puskesmas Pare, Tepusan di
Kabupaten Temanggung seperti pada tabel
1 dan 2 berikut :
Tabel 1
Lokasi dan jumlah sampel bayi
Puskesmas Jumlah sampel (n)
Kasus Kontrol Kasus % Kontrol %
Gajah Demak II 121 75,6 117 73,1
Tepusan Pare 39 24,4 43 26,9
Jumlah 160 100 160 100
Tabel 2
Lokasi dan jumlah sampel bidan di desa
Puskesmas Jumlah sampel (n)
Kasus Kontrol Kasus % Kontrol %
Gajah Demak II 9 60 7 53,8
Tepusan Pare 6 40 6 46,2
Jumlah 15 100 13 100
Kelompok umur responden ibu bayi
terbanyak adalah 21-30 tahun baik pada
kasus (60%), kontrol (59,4%). Sebagian
besar pendidikan responden setingkat SD
pada kasus (48,8%), kontrol SLTP
(56,86%). Status ibu bekerja sebagian
besar tidak bekerja baik pada kasus
(73,75%), kontrol (87,51%).
Kelompok umur responden bidan di
desa terbanyak adalah 21-30 tahun pada
kasus (66,7%), 31- 40 tahun pada kontrol
(61,5%). Status kepegawaian responden
PNS pada kasus (53,3%), kontrol Pegawai
Tak Tetap / PTT (76,9%).
Hasil analisis bivariat semua faktor
risiko ibu, tenaga kesehatan dan
lingkungan berpengaruh terhadap vaksinasi
hepatitis B-1 pada bayi umur 7 hari.
Hasil analisis bivariat pada tabel 3 berikut:
Tabel 3
Hasil analisis Bivariat
No Variabel OR p
1 Pendidikan ibu
1. Rendah
2. Menengah
32

3. Tinggi (referensi)
3,23
0,94
1
0,187
0,947
2 Status pekerjaan ibu
1.Bekerja
2.Tidak bekerja
2,49 0,002
3 Pengetahuan ibu
1.Kurang
2.Cukup
3.Baik (referensi)
4,35
1,73
1
0,001
0,034
4 Frekuensi ANC
1.< 4 kali
2. 4 kali
2,56 0,027
5 Keberadaan bidan di desa
1.Desa lain
2.Satu Desa
1,60 0,040
6 Pelatihan tenaga kesehatan
1.Tidak
2.Ya
11,0 0,006
7 Penolong persalinan
1. Non nakes
2. Nakes
3,13 0,001
8 Kunjunan neonatal
1. Tidak
2. Ya
9,49 0,001
9 Tempat melahirkan
1. Non sarkes
2. Sarkes
2,11 0,003
10 Pendidikan suami
1. Rendah
2.Menengah
3. Tinggi (referensi)
4,52
1,46
1
0,004
0,495
11 Kebijakan Pemda setempat
1. Tidak ada
2. Ada
1,29 0,743
33

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com


4
12 Ketersediaan Unijec HB
1. Penah habis
2. Tidak pernah
9,00 0,037
13 Biaya vaksinasi HB-1
1. Ya
2. Tidak
1,90 0,017
14 Informasi Vaksinasi HB-1
1. Tidak
2. Ya
10,57 0,001
15 Sosbud vaksinasi HB-1
1.Menghambat
2. Mendukung
3,69 0,008
Dari hasil analisis multivariate
ternyata ada tujuh variabel yang terbukti
berpengaruh terhadap vaksinasi hepatitis
B-1 pada bayi umur 7 hari yaitu :
1. Faktor ibu yang meliputi ibu status
bekerja.
Bahwa ibu yang hepatitis B-1
umur 7 hari dibanding ibu dengan
status tidak bekerja (OR=2,74; 95%
CI=1,27-5,89).
2. Faktor tenaga kesehatan yang meliputi:
a. Tenaga kesehatan tidak mendapat
pelatihan Uniject HB
Bidan di desa yang tidak
mendapat pelatihan vaksinasi hepatitis
B-1 dengan Uniject HB hepatitis B-1
pada bayi umur 7 hari sebesar 9,1
kali dibanding bidan di desa yang
sudah mendapat pelatihan Uniject HB
(OR=9,13 9% CI=1,20-69,45)
b. Penolong persalinan non tenaga
kesehatan
Ibu pada saat melahirkan bayinya
tidak ditolong oleh tenaga non
kesehatan mempunyai risiko bayinya
tidak di vaksinasi HB-1 umur 7 hari
sebesar 3 kali disbanding ibu yang saat
melahirkan ditolong oleh tenaga
kesehatan (OR=2,99 95% CI=1,55-
5,77)
c. Tidak ada kunjunan neonatal
34

Bayi yang tidak mendapat


kunjungan neonatal mempunyai risiko
tidak di vaksinasi HB-1 umur 7 hari
sebesar 12,5 kali dibanding bayi yang
mendapat kunjungan neonatal
(OR=12,49; 95% CI=5,62-27,77).
3. Faktor lingkungan yang meliputi
a. Pernah habis vaksin Uniject HB di
bidan di desa
Bidan di desa yang pernah
kehabisan vaksin Uniject HB
mempunyai risiko tidak memberikan
vaksinasi hepatitis B-1 pada bayi umur
7 hari sebesar 7,4 kali dibanding
bidan di desa yang tidak pernah
kehabisan vaksin Uniject HB
(OR=7,4095% CI=1,06-51,64)
b. Tidak mendapat informasi hepatitis B-1
umur 7 hari
Ibu yang tidak mendapat
informasi vaksinasi hepatitis B-1 umur
7 hari sebelum memvaksinasikan
bayinya mempunyai risiko sebesar 10
kali dibanding ibu yang sudah
mendapat informasi hepatitis B-1 7
hari (OR=9,97; 95% CI=5,05-19,69)
c. Sosial budaya vaksinasi hepatitis B-1
yang bersifat menghambat.
Ibu yang mempunyai sosial
budaya vaksinasi hepatitis B-1 pada
bayi yang bersifat menghambat
mempunyai risiko sebesar 5,5 kali di
banding ibu yang mempunyai sosial
budaya vaksinasi hepatitis B-1 yang
bersifat mendukung (OR=5,54; 95%
CI=1,65-18,66).
Tabel 4
Hasil Analisis Multivariat
( ibu bayi)
No Variabel OR p
1 Tidak ada kunjungan
neonatal 12,49 0,001
2 Tidak mendapat informasi
hepatitis B-1 umur 7 hari 9,97 0,001
3 Sosial budaya hepatitis B-1
yang bersifat menghambat 5,54 0,006
4 Penolong persalinan
35

non tenaga kesehatan 2,99 0,001


5 Status ibu bekerja 2,74 0,010
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
5
Tabel 5
Hasil Analisis Multivariat
( bian di desa )
No Variabel OR p
1 Tidak mendapat pelatihan
HB-1 dengan Uniject HB 9,13 0,033
2 Pernah habis vaksin
Uniject HB di bidan di desa 7,40 0,044
I. Simpulan
Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa faktor risiko yang
berpengaruh terhadap vaksinasi
hepatitis B-1 pada bayi umur 7 hari di
Jawa Tengah yang diwakili oleh
Kabupaten Demak dan Temanggung
adalah :
1. Faktor ibu yaitu ibu dengan status
bekerja.
2. Faktor tenaga kesehatan yaitu bidan di
desa tidak mendapat pelatihan uniject
HB, ibu saat melahirkan ditolong oleh
tenaga non kesehatan, bayi tidak
mendapat kunjungan neonatal .
3. Faktor lingkungan yaitu pernah habis
vaksin Uniject HB di bidan di desa, ibu
tidak mendapat informasi vaksinasi
hepatitis B-1 umur 7 hari sebelum
memvaksinasikan bayinya, ibu dengan
sosial budaya vaksinasi hepatitis B-1
yang bersifat menghambat.
J. Saran.
1. Vaksinasi hepatitis B-1 pada bayi umur
7 hari di berikan bersamaan pada
kunjungan neonatal (KN-1)
2. Pada masyarakat yang sebagian besar
ibu status bekerja, dilaksanakan
posyandu pada sore hari
3. Bidan di desa perlu dibekali dengan
pelatihan vaksinasi hepatitis B1
dengan Uniject HB
4. Ditingkatkan penyuluhan pada
masyarakat mengenai pentingnya
vaksinasi hepatitis B-1 pada bayi umur
36

7 hari dan himbauan saat melahirkan


ditolong oleh tenaga kesehatan (
dengan memasang poster yang sering
dikunjungi masyarakat/ tempat
strategis)
5. Permintaan kebutuhan vaksin Uniject
HB di bidan di desa berdasarkan
pendataan kohor ibu hamil.
DAFTAR PUSTAKA
Andre FE. Hepatitis B And Prehnancy, MRCOG,
California Pasific Medical Center (San
Francisco),www.womenchealth.
com.uk/hep.b-tm.8k..Sept.1998,
chapter 19;218-221
Ahmad.W.P. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian
Kedokteran Dan Kesehatan, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2003
Beasly R.P. Hepatitis B Immunization Strateis
Expended Programme on immunization,
WHO, Jenewa, 1988,2; 740-742
Beaglehole R. Bonita.R Kjellstrom T, Epidemiolgi
Penyakit Menular .dalam : DasardasarEpidemiologi
terjemahan), edisi I.
Yogyakarta. Gajah Mada Universitas
Press.1997.
Budiarto.E, Biostatistika, untuk Kedokteran dan
Kesehatan Masyarakat, Buku Kedokteran,
Jakarta, 2001
Budi, Setiawan, Respon Antibody Pada Bayi Baru
Lahir Yang Diimunisasi Hepatitis B
Rekombinan Uniject, Seminar, Jakarta,
2003, 171-179
Bhismamurti, Prinsip dan Metode Riset
Epidemiologi, Gadjah Mada University
Press, Yogjakarat, 2003
Cosant YE, Epidemiologi On Hepatitis B in : Virus
Hepatitis And Its Control. Qouted
Sulaiman A, Julitasari. Transmisi Virus
Hepatitis B Secara Vertikal dan Horizontal
Dalam Virus Hepatitis A sampai E di
Indonesia, Jakarta. 1997,129-176
Chatherine.U, Hepatitis B Recent Advances
Tubercolosis Treatment And Prevention,
California Pasific Medical Center (San
Francisco), 2000, www fcms
does.org/comference/10th, chapter;11: 417-
423
Central For Desease Control, Hepatitis B,
Epidemiologi and Prevention of vaccine,
Preventable Desease, CDC, Edition,
2000,317-38
Ditjen PPM & PL, Pedoman Penggunaan Uniject
Hepatitis B, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta, 2002
37

Ditjen PPM & PL, Petunjuk Teknis Pelaksanaan


Imunisasi Hepatitis B, Departemen
Kesehatan RI, Jakarta, 1997
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
6
Ditjen PPM & PL, Pedoman Operasional
Program Imunisasi, Departemen
Kesehatan RI, Jakarta, 2002
Ditjen PPM & PL, Pedoman Tatalaksana Medik
KIPI, Departemen Kesehatan RI, Jakarta,
2002
Ditjen Binkesmas, Pedoman PWS Kesehatan Ibu
dan Anak (PWS_KIA), Departemen
Kesehatan RI, Jakarta, 2002
Dinkes Prop. Jateng , Laporan Tahunan Program
Imunisasi tahun 2003.
Facyna, RM.Thomas, Pathogenesis and Treatment
Of Chranic Infection. In Arei J .Zukerman
ed.Viaral Hepatitis, Churchil Livingstone,
1993;185-205
Green,L.W, Health Education Planning a
diagnostic Approach, My Fell Publishing
Co,1 st .Ed.California ,1982
Gregg, Michael B, Field Epidemiology, New York,
Oxford University Press, 1996
Gordis L. Case Control and Crosss Sectional
Studies,In.Epidemiology, hiladelphia. WB
Saunders, 2000
Hariadi Wibisono, Program Imunisasi HB di
Indonesia, Seminar, Jakarta, 2003
Ibrahim,Hubungan Karateristik Ibu dengan Status
Imunisasi Campak di Sulawesi Selatan
Tahun 1999, Jakarta, FKM-UI.
Idwar, Faktor yang Berhubungan dengan Status
Imunisasi Hepatitis B-1 pada bayi umur 0-
11 bulan di Kab. Aceh Besar Propinsi
Aceh,FKM-UI,1999
I.G.N.Ranuh dkk, Buku Imunisasi di Indonesia,
Satgas Imunisasi, Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta, 2001
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Balai
Pustaka Jakarta, 1984
Mulyanto, Hepatitis B Seroprevalence among
Children in Mataram, Indonesia,
Following a Seven Year Mass
Immunization Program, Seminar, Jakarta
.2003
Mulyati, Evaluasi Serologi Pada Bayi Dengan
Imunisasi HB Lengkap, Seminar, Jakarta,
2003
Mudjahirin Thohir, Budi Pekerti Dalam
Kehidupan Keluarga-Keluarga Jawa,
Pasca Sastra Undip, Semarang , 2002
Mudjahirin Thohir, Pandangan Tradisional
Orang Jawa Terhadap Masalah Sehat dan
38

Sakit, Pasca Sastra, Undip.Semarang.2002


Notoatmojdjo,Soekidjo. Pengantar Pendidikan
Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan,
Yogyakarta : Andi Ofset, 1993
Notoatmojo, Soekidjo dan Solita Sarwono,
Pengantar Ilmu Perilaku Kesehatan, FKM,
UI. 1995
Noviyadi, Perilaku Kesehatan dalam Status
Imunisasi di Jakarta Timur, FKM-UI,1997
Rothman JK, Jenis-jenis Penelitian Epidemiologik,
dalam Epidemiologi Modern (terjemahan),
Yogyakarta, Universitas Gajah Mada
Press, 1995
Rahmadewi, Hubungan Beberapa faktor Perilaku
Kesehatan Ibu dengan Status Kelengkapan
Imunisasi Dasar Anak, Pasca UIDepok.
1996
Surya, Penularan Infeksi Virus Hepatitis B
Vertikal, Medika, Vol,19 No.11 November
1999
Sudarti, Perilaku Imunisasi dari Ibu Balita yang
Berkunjung ke Pelayanan Kesehatan
Swasta di DKI Jakarta, Jakarta, FKM-UI,
1999
Sugarto, Metode Pengambilan sampel bertahap
(Multistage sampling) dalam : Teknik
sampling, Jakarta, Gramedia, 2001
Suwandhi, Perkembangan Terbaru Virus Hepatitis
B. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol.47,
No.11, November, 1997: 573-579
Suandi, Pengaruh Penolong Persalinan Terhadap
Kontak Pertama Imunisasi di Kabupaten
Majalengka, Jakarta, FKM-UI,2001
Supriyadi, Hubungan Kunjungan Neonatal Dini
dengan Status Imunisasi di Kabupaten
Tasikmalaya , Depok, FKM UI,2003
Sastroasmoro,.S, Ismael.S Penelitian Kasus-
Kontrol, dalam : Dasar-daar Metodologi
Penelitian Klinis, Jakarta, Sagung seto,
2002
Sulaiman, Ali dan Julitasari, Virus Hepatitis A
Sampai E di Indonesia, Ikatan Dokter
Indonesia, Jakarta, 1995
Sulaiman, Ali dan Julitasari, Panduan Praktis
Hepatitis, Ikatan Dokter Indonesia,
Jakarta, 2000
Sulaiman Ali, Intergrasi Imunisasi Hepatitis B ke
Dalam Program Imunisasi, Simposium
Program Pengembangan Imunisasi
Hepatitis B di Indonesia, Jakarta, 1993
Susilastuti, F , Faktor Faktor Yang Berhubungan
Dengan Status Imunisasi Hepatitis B-1
pada bayi umur 0-11 bulan di Kab. Kediri
Jawa Timur, FKM-UI, 2001
Sudigdo S, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian
Klinis, Jakarta, 2002
39

WHO, Integration of Hepatitis B Vaccine into the


Expaded Programme on Immunization
(EPI), 13 th Meeting., 14-18 Oktober 1990,
Egypt. 20-21
WHO,Unsafe Injection in the developing World an
Transmission of Bloodborne Pathogens : A
Review. Technet
Consultation.March.1998.openhagen,
Denmark, Bulletin of World Health
Organization, 1999, 77-89
WHO, Press Release, Qouted Sulaiman , Julitasari ,
Hepatitis B-1 ,Jakarta ,1998
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
7
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Indonesian
Page 1 of 2 February 2006
T. Apakah penyakit hepatitis B itu?
J. Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan
oleh virus, yang dapat ditularkan melalui darah
atau hubungan seksual atau dengan orang yang
terinfeksi dan dapat menyebabkan penyakit yang
parah (sirosis) atau kanker hati.
Beberapa orang dapat menderita penyakit
hepatitis B dan tidak menyadari bahwa mereka
terinfeksi. Orang-orang ini dapat menularkan
penyakit ini tanpa menyadarinya.
T. Bagaimana hepatitis B ditularkan?
J: Hepatitis B dapat ditularkan melalui:
Berbagi penggunaan peralatan injeksi
Pembuatan tato atau tindik badan dengan
menggunakan peralatan yang tidak steril
Luka karena jarum narkoba
Seks yang tidak aman
Dari ibu yang terinfeksi kepada bayinya pada
waktu melahirkan dan melalui air susu ibu
Dari anak ke anak, biasanya melalui kontak
bagian tubuh yang sakit atau luka yang terbuka.
T. Apakah anak saya sebaiknya divaksinasi?
J.National Health and Medical Research Council
(Dewan Penelitian Kesehatan dan Medis
Nasional) menganjurkan bahwa sebaiknya semua
anak antara umur 10 sampai 13 tahun menerima
vaksinasi hepatitis B kecuali jika mereka telah
menerima serangkaian vaksin.
T. Berapa dosis diperlukan untuk rangkaian
ini?
J. Vaksin hepatitis B (ramuan untuk orang
dewasa) akan diberikan dalam rangkaian 2 dosis
40

dengan dosis kedua diberikan empat sampai


enam bulan setelah yang pertama.
T. Apa saja komponen- komponen vaksin itu?
J. Vaksin ini mengandung protein hepatitis B,
aluminium hidroksida dan ragi.
T. Apa saja akibat sampingan vaksin hepatitis
B itu?
J. Akibat sampingan ringan dan termasuk rasa
nyeri di tempat injeksi (5%), demam ringan 2-3%),
pening, pusing, rasa sakit otot dan persendian.
T. Apakah anafilaksis itu?
J. Anafilaksis adalah reaksi alergi yang parah
yang bisa mengakibatkan ketidaksadaran dan
kematian jika tidak ditangani dengan cepat. Ini
jarang terjadi setelah vaksinasi. Para perawat
dilatih sepenuhnya dalam perawatan anafilaksis.
T. Berapa lama rangkaian vaksin ini bertahan
dan apakah dosis booster (penguat) perlu?
J. Rangkaian vaksin hepatitis B memberi
perlindungan yang bertahan lama dan dosis
booster tidak perlu.
T. Apakah anak saya dilindungi untuk melawan
hepatitis B jika dia hanya menerima satu dosis
vaksin hepatitis B?
J. Tidak. Kaum remaja memerlukan dua dosis
vaksin untuk dilindungi melawan penyakit hepatitis
B.
T. Apakah yang sebaiknya saya lakukan jika
saya tidak mempunyai catatan atau saya tidak
dapat mengingat apakah anak saya telah
menerima serangkaian injeksi hepatitis B?
J. Aman bagi anak Anda untuk menerima
serangkaian vaksin hepatitis B yang lain.
T. Anak saya telah menerima serangkaian tiga
dosis injeksi hepatitis B. Apakah dia perlu satu
dosis lagi?
J. Tidak. Satu rangkaian vaksin sudah cukup.
T. Anak saya telah menerima vaksin Hib.
Apakah ini akan melindungi anak saya untuk
melawan hepatitis B?
J. Tidak. Vaksin Hib melindungi untuk melawan
influenza Haemophilus tipe B dan oleh karena itu
tidak akan melindungi anak Anda untuk melawan
hepatitis B.
T. Apa yang dapat saya lakukan jika saya tidak
ingin anak saya divaksinasi di sekolah atau
anak saya tidak dapat memanfaatkan vaksin di
sekolah karena sakit/absen pada hari
kunjungan perawat?
J. Anda dapat membawa anak Anda ke Dokter
Umum (GP) setempat Anda untuk mendapatkan
tiga dosis rangkaian vaksin (ramuan untuk anak)
41

selama enam bulan.

Tanya Jawab (T&J) tentang Vaksinasi


Hepatitis B
Questions & Answers (Q&A) about Hepatitis B Vaccination
Indonesian
Page 2 of 2 February 2006
.
T. Apakah vaksinasi bersifat wajib untuk
kampanye ini?
J. Tidak. Para orang tua dapat memilih apakah
akan menandatangani Formulir Izin dan meminta
anak mereka untuk divaksinasi atau tidak. Hanya
anak-anak yang membawa Formulir Izin yang telah
diisi dan ditandatangani akan divaksinasi.
Namun demikian, semua orang tua/wali diminta
untuk membaca informasi yang diberikan dan
mengembalikan Formulir Izin, ditandatangani atau
tidak, ke sekolah sehingga kami dapat memastikan
bahwa semua orang tua/wali telah menerima
Parent Information Kit (Kit Informasi Orang Tua)
dan telah diberi kesempatan untuk berpartisipasi
dalam Program ini.
T. Apakah saya sebaiknya memberi anak saya
satu dosis parasetamol sebelum pergi ke
sekolah pada hari injeksi?
J. Tidak. Ini tidak perlu.
T. Bagaimana jika anak saya menderita asma
dan memakai kortison atau prednison melalui
pengisap?
J. Aman untuk melakukan vaksinasi anak-anak
dengan vaksin hepatitis B jika mereka
menggunakan pengisap untuk asma.
T. Apakah vaksin sebaiknya diberikan kepada
wanita muda yang sedang atau merasa dirinya
mungkin sedang hamil?
J. Tidak. Wanita muda, siapapun, yang sedang atau
merasa dirinya mungkin sedang hamil tidak boleh
divaksinasi.
T. Apakah ramuan obat homoeopatik
melindungi untuk melawan hepatitis B?
J. Tidak. Tidak ada bukti bahwa ramuan obat
homoeopatik dapat mencegah penyakit hepatitis B.
T. Apakah saya akan menerima catatan
vaksinasi yang telah diterima anak saya?
J. Anak Anda akan diberi catatan vaksinasi setelah
dosis pertama dan lagi setelah dosis kedua.
Penting bahwa Anda memberi tahu Dokter Umum
(GP) Anda bahwa vaksinasi ini telah diberikan,
karena berbagai universitas, kolese, tempat
kerja dan negara lain sering kali meminta
42

informasi ini.
Silakan simpan catatan ini di tempat yang aman
untuk rujukan di masa mendatang.
T. Di mana saya dapat memperoleh informasi
lebih lanjut tentang imunisasi?
J. Australian Immunisation Handbook (Buku
Petunjuk Imunisasi Australia) (edisi mutakhir)
memberi informasi yang rinci tentang imunisasi. Ini
dapat ditemukan di www.immunise.health.gov.au
T. Siapa yang dapat saya hubungi jika saya
ingin mendapatkan informasi lebih lanjut?
J. Hubungilah Public Health Unit (Unit Kesehatan
Umum) setempat Anda di:
Greater Southern
(02) 6124 9942 atau (02) 6021 4799
Kantor Queanbeyan Kantor Albury
Greater Western
(02) 6339 5601 atau (02) 6841 5569
Kantor Bathurst Kantor Dubbo
(08) 8080 1499
Kantor Broken Hill
Hunter & New England
(02) 4924 6477 atau (02) 6767 8630
Kantor Newcastle Kantor Tamworth
North Coast
(02) 6588 2750 atau (02) 6620 7500
Kantor Port Macquarie Kantor Lismore
Northern Sydney & Central Coast
(02) 9477 9400 atau (02) 4349 4845
Kantor Hornsby Kantor Gosford
South Eastern Sydney & Illawarra
(02) 9382 8333 atau (02) 4221 6700
Kantor Randwick Kantor Wollongong
Sydney South West
(02) 9828 5944 atau (02) 9515 9420
Kantor Liverpool Kantor Camperdown
Sydney West
(02) 9840 3603 atau (02) 4734 2022
Kantor Parramatta Kantor Penrith
Atau kunjungilah: www.health.nsw.gov.au
Indonesian
February 2006
Informasi tentang penyakit hepatitis B
Virus hepatitis B biasanya ditularkan melalui darah orang
yang terinfeksi atau dari ibu ke anak pada waktu
kelahiran. Virus ini juga dapat ditularkan melalui
hubungan seks yang tidak aman, injeksi penggunaan
obat, pembuatan tato atau tindik badan. Kira-kira 1 dari 4
orang penderita hepatitis B kronis akan menderita sakit
sirosis atau kanker hati.
Akibat sampingan vaksin hepatitis B
43

Akibat sampingan setelah vaksinasi hepatitis B mungkin


berlangsung beberapa hari dan ringan. Ini termasuk rasa
nyeri di tempat injeksi, demam ringan, pening, pusing,
rasa sakit otot dan persendian.
Akibat sampingan yang parah (seperti anafilaksis) sangat
jarang terjadi.
Apa yang harus dilakukan jika reaksi
memang muncul
Kain lembab dingin di tempat yang sakit dapat menolong
mengurangi rasa sakit dan kepekaan. Parasetamol dapat
diberikan untuk rasa sakit. Berikan cairan tambahan untuk
diminum.
Jika anak Anda menderita reaksi atau Anda cemas,
silakan hubungi Dokter setempat Anda.
Izin untuk Vaksinasi Hepatitis B
Dosis Pertama dari Rangkaian 2 Dosis
Consent for Hepatitis B Vaccination First Dose of 2 Dose Course
Orang Tua / Wali Yang Terhormat,
Tim perawat terdaftar yang terlatih khusus akan mengunjungi
sekolah anak Anda untuk menawarkan serangkaian vaksin hepatitis
B gratis.
Vaksin Hepatitis B dianjurkan untuk semua anak yang berumur
antara 10 sampai 13 tahun kecuali jika mereka telah menerima
serangkaian vaksin.
Para perawat akan memeriksa anak Anda pada hari klinik vaksinasi.
Anak-anak yang sedang menderita sakit akut dengan demam tidak
akan divaksinasi.
Jika Anda mempunyai pertanyaan tentang vaksinasi hepatitis B atau
tentang pengisian formulir ini silakan hubungi Public Health Unit
(Unit Kesehatan Umum) setempat Anda, (tercantum dalam Tanya
Jawab dalam Parent Information Kit atau Kit Informasi Orang Tua).
PETUNJUK:
Silakan isi semua bagian dari formulir ini dengan pena biru/hitam.
Fotocopy dari formulir ini tidak akan diterima.
Jika Anda ingin agar anak Anda divaksinasi, isilah SEMUA
bagian dari formulir ini dan kembalikanlah ke sekolah dalam satu
minggu.
Jika Anda TIDAK ingin agar anak Anda divaksinasi JANGAN
mengembalikan formulir ini.
Orang Tua/Wali dimohon mengisi
Nama Keluarga Anak
Nama Kecil Anak Tanggal Lahir / /
Nama Sekolah
Tahun/Tingkat/Kelas
Saya telah membaca dan memahami informasi yang diberikan berkenaan dengan
manfaat dan akibat-akibat sampingan yang mungkin terjadi dari vaksin hepatitis
B dan dengan ini saya memberi izin untuk anak saya, nama di atas, untuk
divaksinasi.
Saya menyatakan bahwa anak/perwalian saya:
44

a) Tidak pernah mengalami reaksi anafilaksis setelah menerima vaksin apapun


b) Tidak mempunyai kepekaan anafilaksis terhadap ragi atau komponenkomponen
vaksin hepatitis B apapun (tercantum dalam Tanya Jawab dalam
Parents Information Kit).
c) Tidak sedang hamil
Nama Orang Tua /Wali
Tanda Tangan Orang Tua
/Wali
Alamat Rumah
Daerah Kode Pos
Telepon Rumah Pekerjaan
Ponsel Tanggal / /
Hanya untuk kantor PERAWAT dimohon mengisi dan
menyimpan bagian ini
Tanda Tangan
STEMPEL
Nomor Kelompok
Tangan Kiri
Tangan Kanan
Orang Tua/Wali dimohon mengisi
Nama Keluarga Anak
Nama Kecil Anak
Nama Sekolah

Hanya untuk kantor


Tangan Kiri
Tangan Kanan
Nomor Kelompok Vaksin
Kesehatan NSW /Tanggal
Stempel
Tanda Tangan Perawat
PETUNJUK:
Silakan simpan Catatan Vaksinasi (Record of Vaccination) ini karena
mungkin Anda diwajibkan memberikan informasi ini di kemudian hari.
Silakan memberi tahu GP (Dokter Umum) Anda tanggal vaksinasi ini
diberikan agar catatan kesehatan anak Anda sesuai keadaan
mutakhir.
Formulir Izin Vaksinasi Hepatitis B
Hepatitis B Vaccination Consent Form
Catatan Vaksinasi Hepatitis B
Hepatitis B Record of Vaccination

Anda mungkin juga menyukai