Anda di halaman 1dari 12

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tungsten Trioksida


Wolfram adalah suatu unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki
lambang W dan nomor atom 74. Nama unsur ini diambil dari bahasa latin
wolframium dan sering juga disebut tungsten. Dalam bentuk mentahnya, tungsten
berwarna kelabu dan bersifat rapuh. Dari semua bentuk murninya, tungsten
mempunyai titik lebur yang paling tinggi (3,422 OC; 6,192 OF), memilliki tekanan uap
air paling rendah dan pada temperatur di atas 1,650 OC memiliki daya rentang yang
kuat. Tungsten mempunyai koefisien termal ekpansi yang paling rendah dari semua
logam murni lainnya. Campuran logam tungsten dengan baja dapat meningkatkan
sifat kekerasannya. Pada suhu rendah, tungsten bersifat reaktif dan larut di dalam air.
Sedangkan pada suhu tinggi, tungsten tidak larut dalam air dan berbentuk butiran-
butiran kasar (Anonim, 2008).
Bentuk bijih tungsten direaksikan dengan alkali untuk memproduksi WO 3.
Reaksi dengan karbon atau gas hidrogen mereduksi WO3 menjadi logam murni.
Reaksi yang terjadi adalah sbb :

Gambar 2.1 Bijih Tungsten

5
6

Bentuk murni tungsten digunakan terutama pada perangkat elektronik.


Senyawa dan aloy-nya digunakan secara luas untuk banyak hal, yang paling dikenal
adalah sebagai filamen bola lampu, tabung sinar-x, dan superaloy. Karena mamiliki
warna kuning yang kuat, maka WO3 juga digunakan sebagai pigmen pada keramik
dan cat (Adam, 1998).
Tungsten (VI) oksida, yang dikenal juga sebagai tungsten trioksida, WO3
merupakan senyawa kimia yang mengandung unsur oksigen dan unsur logam transisi
yaitu tungsten.

W6+  + 3O2- WO3 


Formula molekul : WO3
Massa molar : 231, 84 g/mol
Warna : kuning
Densitas : 7, 16 g/cm3
Titik leleh : 1473 oC
Titik lebur : 1700 oC

Tungsten trioksida dapat diperoleh dari senyawa scheelite atau wolframit


dengan mereaksikannya dengan HCl untuk menghasilkan senyawa asam tungstit,
yang terdekomposisi menjadi WO3 dan air pada temperatur tinggi.

CaWO4 + 2HCl CaCl2 + H2WO4


H2WO4 + panas H2O + WO3

Sintesis WO3 juga dapat dilakukan dengan proses kalsinasi amonium paratungstate
(APT) dibawah kondisi oksidasi. Reaksinya adalah :
7

(NH4)10[H2W12O42].4H2O → 12WO3 + 10NH3 + 11H2O

Tungsten trioksida mempunyai beberapa bentuk polimorf tetapi yang banyak


diteliti adalah bentuk monoklin sebagai semikonduktor yang mempunyai sifat
fotokatalitik dan stabil pada suhu kamar. Tungsten trioksida murni mempunyai band
gap 2,6 eV. Sebagai oksida logam, tungsten trioksida menunjukkan sifat yang stabil
dan memiliki efek fotokorosi yang baik. Ia sering digunakan sebagai fotokatalitik
dalam pengolahan limbah air.
Struktur kristal WO3 terdiri dari bentuk unit oktahedron WO6 dengan warna
yang bermacam-macam. Ketika sebuah atom, seperti hidrogen atau ion logam masuk
ke dalam struktur WO3, maka susunan material ini (MxWO3, M= H, Ca, Na, Ba....)
disebut dengan bronze tungsten (perunggu tungsten). Karakteristik dari warna
MxWO3, yang dihasilkan bergantung pada derajat reduksi dari W +6. Struktur kristal
dari tungsten trioksida bergantung pada temperatur. Pada kondisi suhu yang berbeda,
struktur kristalnya juga berbeda. Struktur tetragonal pada temperatur 740OC,
ortokombik pada tempertur 330OC hingga 740OC, monoklinik pada temperatur 17OC
hingga 330OC dan triklinik pada temperatur -50 OC hingga 17OC. Struktur kristal
dapat di lihat dengan menggunakan sinar X-ray (Anonim, 2008).

Gambar 2.2 Struktur Kristal Monoklin WO3

2.2 Sensor Gas


8

Sensor secara istilah ilmu pengetahuan diartikan sebagai alat yang mampu
mengubah besaran fisik ataupun kimia menjadi besaran elektronik. Sensor
sebenarnya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu sensor fisika dan sensor kimia
berdasarkan besaran kondisi alam yang akan dideteksinya. Sensor fisika berarti alat
yang mampu mendeteksi kondisi besaran fisika, seperti tekanan, gaya, tinggi
permukaan air, kecepatan angin, dan temperatur. Sementara sensor kimia merupakan
alat yang mampu mengubah fenomena kimia, seperti komposisi gas dalam suatu
udara, kadar keasaman, susunan zat suatu bahan makanan, dan perubahan
konduktivitas (Adrian, 1998).
Secara umum model sensor gas atau sensor kimia meliputi bagian penerima
yang memiliki sensitifitas terhadap zat yang akan dideteksi yang dikenal dengan
hidung sensor (sensitive layer/nose parts/chemical interface). Bagian berikutnya
adalah transducer, yaitu bagian yang mampu mengubah hasil deteksi tersebut menjadi
sinyal elektrik. Bagian penerima berfungsi menyeleksi dan mengubah sifat kimia
yang dideteksinya menjadi energi yang bisa diukur oleh bagian transducer.
Sedangkan bagian transducer berfungsi mengubah energi yang membawa sifat-sifat
kimia tersebut menjadi sinyal elektrik.
Kemampuan material oksida sebagai sensor gas memerlukan perhatian khusus
pada karakteristik kristal yang dapat dianalisa melalui SEM (Scanning Electron
Microscope). Melalui pengamatan SEM, kristal dapat dilihat sebagai kumpulan
butiran (grains). Grain ini bisa besar ataupun kecil ukurannya. Kristalinitas material
oksida bisa tinggi apabila grainnya besar, begitu pula sebaliknya. Grain ini dalam
pertumbuhannya terhenti oleh pertumbuhan grain yang lain. Batas antar butir dalam
material tersebut disebut dengan batas butir (grain boundary). Batas butir terjadi
karena adanya pertumbuhan butir kristal. Apabila butir kristal tumbuh kemudian
bertemu dengan butiran kristal lain yang berbeda orientasi kristalnya maka terjadilah
batas butir. Pada gas sensor material, batas butir inilah yang mengambil peranan.
Chemisorbed oksigen terjadi pada batas butir ini, dikarenakan energi permukaan pada
9

batas butir lebih tinggi daripada butir/kristal. Oksigen lebih mudah terdifusi dan
terabsorb ke daerah batas butir (Anonim, 2007).
Selain itu ada satu sisi lain yang sama pentingnya pada gas sensor. Yaitu
charge neutrality dari material oksida yang berikatan kovalen. Dikarenakan material
oksida berikatan kovalen ataupun ionik, sedangkan ikatan kovalen dan ionik itu
sendiri merupakan ikatan yang melibatkan kation (ion bermuatan positif) dan anion
(ion bermuatan negatif), maka kestabilan material oksida ditentukan oleh kenetralan
muatan (charge neutrality). Kelebihan unsur bisa terjadi selama pemrosesan material,
begitupun kekurangan unsur. Dikarenakan material oksida itu harus netral, maka
kelebihan dan kekurangan ini harus dikompensasikan. Kompensasinya berupa
munculnya elektron bebas atau hole. Elektron dan hole merupakan faktor utama
penyebab konduktivitas sebuah material. Berkaitan dengan konduktivitas, ada
kalanya mekanisme doping diperlukan. Doping ialah menambahkan sejumlah kecil
material agar sifat konduktivitas material meningkat (Anonim, 2007).
Pengaruh panjang plat dan ketebalan sampel dapat mempengaruhi besarnya
konduktivitas. Sehingga dapat dirumuskan :

Dimana σ = konduktivitas (S/cm)


A = diameter dari plat (cm)
I = arus yang mengalir (A)
d = tebal sampel (cm)
V = tegangan (Volt)
(Wu,Chun-Guey and Lin,Wuh-Leng, 2000)
10

2.3 WO3 Sebagai Sensor Gas


Sensor gas dengan menggunakan WO3 sebagai material yang akan
berinteraksi dengan gas di lingkungan diharapkan akan memberikan sensitifitas yang
baik dan stabil pada kondisi lingkungan. Polaritas ionik dan sifat kelistrikan dalam
kristal tungsten trioksida dapat diestimasikan secara teoritis. Polaritas oksigen pada
tungsten lebih besar daripada polaritas oksigen pada logam lain. Sumbangan polaritas
oksigen terhadap kristal WO3 sebesar 87%. Korelasi antara polaritas ion W 6+ dalam
bentuk bebas dan polaritas dalam tungsten trioksida tidak berbeda nyata. Hal ini
dikarenakan adanya kerusakan struktur yang terjadi pada kristal tungsten non
stokiometrik. Oleh karena itulah yang menyebabkan kereaktifan dari WO3.
Tungsten trioksida (WO3) sebagai sensor dapat digunakan sebagai bahan
sensor untuk gas yang mudah teroksidasi dengan kemampuan mendeteksinya dalam
skala ppb. WO3 ini merupakan sensor logam oksida (metal oxide) yang sudah banyak
digunakan sebagai sensor dalam bentuk serbuk maupun dalam bentuk permukaan
film semikonduktor. Dengan adanya gas yang terdeteksi maka konduktivitas listrik
pada permukaan sensor ini akan berubah, perubahan konduktivitas dari sensor ini
sebanding dengan konsentrasi gas.
Sebuah data representatif menunjukan bahwa sensor yang berbahan dasar
semikonduktor ini akan memperlihatkan respon linier. Data yang mendukung
penyelidikan dari Wang et al., dimana sensitivitas dari WO3 pada suhu 5000C
menunjukkan respon linier sebagai fungsi konsentrasi gas, (peneliti menggunakan
NO2). Untuk sensor dengan tipe seperti ini, kurva voltage output versus konsentrasi,
karakteristik respon sensor menunjukkan korelasi linier antara konsentrasi gas dan
tegangan output. Respon dari sensor bergantung pada konsentrasi gas. Selain dari
pada itu, gas yang berbeda mengunjukkan selektivitas yang berbeda pada respon
sensor. Bahan sensor WO3 ini dapat digunakan untuk mendeteksi beberapa macam
gas seperti NO2, CH4, NH3, H2S, CO dan CO2 (Khadayate, 2007).
11

2.4 Mekanisme Kerja Sensor Gas


Dalam lingkungan yang memiliki kadar oksigen, spesies oksigen lingkungan
berdifusi ke material oksida. Terdifusinya oksigen ke dalam material oksida
dikarenakan adanya perbedaan konsentrasi kadar oksigen. Oksigen terdifusi ke
permukaan batas butir. Jadi semakin banyak batas butirnya, maka semakin besar
probabilitas oksigen terdifusi dan terikat di dalam material oksida. Artinya, di dalam
gas sensor, dibutuhkan butiran kristal yang kecil-kecil. Ketika oksigen diserap pada
permukaan kristal, oksigen akan bermuatan negatif. Hal ini disebabkan karena
permukaan kristal mendonorkan elektron pada oksigen yang terdapat pada lapisan
luar, sehingga oksigen akan bermuatan negatif dan muatan positif akan terbentuk
pada permukaan luar kristal (Moseley et al. 1991).

Gambar 2.3 Mekanisme Kerja Sensor Gas

Terjadinya pergeseran elektron ini akan menyebabkan WO3 mengalami proses


reduksi dari W+6 menjadi W+5 sehingga terjadi perubahan konduktivitas.
Konduktivitas ini dapat diukur dengan menggunakan multimeter dan pengukuran
secara two-probe conductivity.
12

2.5 Metode Sol Gel


Metode sol gel lebih dulu ditemukan pada tahun 1800 dan secara ekstensif
dipelajari sejak awal tahun 1930. Metode sol-gel merupakan teknik kimia yang
digunakan untuk membuat suatu material dari suatu larutan kimia atau partikel
suspensi koloid untuk menghasilkan suatu bentuk gelatin dari sol yang mengandung
fasa cair yaitu gel. Gel (dari bahasa Latin gelu artinya membeku, dingin, es atau
gelatus artinya membeku) adalah campuran koloidal antara dua zat berbeda fase yaitu
padat dan cair. Penampilan gel seperti zat padat yang lunak dan kenyal (seperti jelly),
namun pada rentang suhu tertentu dapat berperilaku seperti fluida (mengalir).
Berdasarkan berat, kebanyakan gel seharusnya tergolong zat cair, namun mereka juga
memiliki sifat seperti benda padat. Prekursor yang digunakan dalam sintesis koloid
ini adalah elemen logam yang reaktif di dalam air untuk membentuk suatu ligan.
Yang banyak digunakan adalah logam alkoksida dan logam klorida, yang mengalami
hidrolisis dan reaksi polykondensasi untuk membentuk suatu koloid, suatu sistem
yang terdiri atas partikel butiran padat (ukuran berkisar antara 1 nm hingga 1 μm)
yang kemudian didispersi oleh suatu pelarut (Anonim, 2008).

2.5.1 Proses Sol gel


Proses sol gel terdiri dari 4 langkah yaitu :
a. Hidrolisis
b. Kondensasi
c. Pertumbuhan partikel
d. Pengelompokan partikel

Hidrolisis
Selama proses hidrolisis, penambahan air menyebabkan terjadinya proses
penggantian dari bentuk O-R menjadi bentuk O-H. Hidrolisis dapat dipercepat
dengan menambahkan suatu katalisator seperti HCl dan NH3. Hidrolisis berlanjut
13

sampai semua bentuk alkoksi digantikan oleh bentuk hidroksil. Proses hidrolisis
dipengaruhi oleh pH, konsentrasi reagen dan rasio molar dari air.
Reaksi :
M-O-R + H2O M-OH + R-OH 

Kondensasi
Kondensasi adalah perubahan wujud benda ke wujud yang lebih padat, seperti
gas (atau uap) menjadi cairan. Kondensasi terjadi ketika uap didinginkan menjadi
cairan, tetapi dapat juga terjadi bila sebuah uap dikompresi (yaitu, tekanan
ditingkatkan) menjadi cairan, atau mengalami kombinasi dari pendinginan dan
kompresi. Hasil akhir dari proses kondensasi adalah bentuk monomer, dimer, dan
tetramer siklik.
M-OH + HO-M M-O-M + H2O (water condensation)
M-O-R + HO-M M-O-M + R-OH (alcohol condensation)

Pertumbuhan dan pengelompokan partikel


Ketika ikatan antar partikel meningkat, molekul-molekul yang terbentuk akan
berkelompok di dalam larutan dan membentuk suatu jaringan berbentuk gel melalui
proses pengeringan. Kandungan alkohol dan air akan menyusut. Ukuran dari partikel-
partikel yang terbentuk akan terus berkembang, dan akan berhenti ketika ada
perbedaan kelarutan antara partikel yang besar dan partikel yang kecil. Partikel yang
besar terbentuk pada temperatur yang lebih tinggi (Mauritz, 1988).
14

Gambar 2.4 Metode Sol Gel

Pada umumnya proses Sol-Gel menggunakan pelarut yang sangat spesifik


tergantung dari bahan yang akan digunakan. Ethylene glycol adalah salah satu pelarut
organik yang digunakan untuk melarutkan bahan pada proses Sol-Gel. Ethylene
glycol merupakan pelarut polar, yang juga larut dalam asam cuka, aseton serta sedikit
larut dalam eter.

2.5.2 Keuntungan Teknik Sol Gel


a Dapat menghasilkan lapisan yang tebal untuk mencegah terjadinya korosi
b Dapat membuat lapisan tipis untuk terjadinya proses adesi pada substrat logam
dan lapisan permukaan.
c Menggunakan temperatur yang rendah
d Sederhana, ekonomis dan efektif untuk membentuk lapisan yang berkualitas
baik.
15

Banyak zat dapat membentuk gel apabila ditambah bahan pembentuk gel
(gelling agent) yang sesuai. Teknik ini umum digunakan dalam produksi berbagai
macam produk industri, dari makanan sampai cat serta perekat.`Aplikasi lain dari
proses sol gel ini antara lain adalah untuk pembuatan keramik atau material glass
dalam bentuk yang bervariasi, ultra-fine, film tipis, serat keramik, membran
anorganik mikroporos, keramik monolitik dan material aerogel (Duguet, 1994).

2.6 Polietilen Glikol


Polimer didefinisikan sebagai substansi yang terdiri dari molekul-molekul
yang menyertakan rangkaian satu atau lebih dari satu unit monomer. Polimer
cenderung memiliki kekentalan yang tinggi ketika berbentuk larutan. Polietylen
glycol merupakan senyawa polimer dari etylen glicol. PEG memiliki tingkat toksik
yang rendah, sehingga penggunaannya banyak di lingkungan. Produk yang
menggunakan PEG antara lain adalah pasta gigi, krim kulit obat-obatan dan lain
masih banyak lagi. PEG merupakan polimer yang fleksibel, larut dalam air dan dan
dapat digunakan pada lingkungan dengan tingkat osmosis yang tinggi. Oleh karena
sifat inilah banyak ilmuwan yang menggunakan PEG sebagai campuran bahan serta
banyak digunakan oleh garam untuk membentuk formasi kristal yang diinginkan.

Gambar 2.5 Gambar Struktur PEG


16

Table 2.1 Tabel Sifat Fisik PEG 10000


Sifat fisik PEG 10000
Fase pada 250C Putih padat
Berat molekul (g/mol) 8500-11500
Titik leleh 620C-650C

Kondisi lingkungan pada polimer biasanya meliputi pH, temperatur, medan


listrik, medan magnet, cahaya, pelarut, agen biokimia (enzim), tekanan, faktor ionik,
dan sebagainya. Respon yang diberikan polimer seperti PEG terhadap berubahnya
kondisi lingkungan dapat berupa dengan menjadi mengkerut, mengembung, melarut,
mengendap, membentuk misel ataupun membentuk transisi antara sol dan gel (sol-
gel) bergantung pada bentuk fisik ikatannya, bentuk fisik ini dapat dilihat secara
makroskopis (Sinly, 2008).

Anda mungkin juga menyukai