Filtrat yang dihasilkan adalah larutan H2WO4 yang transparan dan tidak
berwarna. Larutan H2WO4 ditambahkan HCl untuk mempercepat terjadinya proses
pembentukan koloid. Filtrat H2WO4 mengalami kesetimbangan ionisasi di dalam air.
Reaksi kesetimbangan ionisasi yang terjadi adalah sebagai berikut :
Ketika larutan ditambahkan dengan HCl, maka pada sistem akan mengalami
penambahan H+ sehingga posisi kesetimbangan akan bergeser ke arah kiri. Hal ini
menyebabkan terbentuknya H2WO4 yang tidak larut di dalam air semakin bertambah.
Karena semakin bertambahnya jumlah H2WO4 dalam larutan, maka larutan menjadi
jenuh sehingga terbentuk endapan H2WO4 yang tampak putih keruh. Larutan H2WO4
kemudian didiamkan selama ± 24 jam sampai stabil membentuk sol H 2WO4. Koloid
sol H2WO4 merupakan bentuk sol dengan fase terdispersinya adalah molekul H 2WO4
21
22
PEG
H2WO4.
2H2O
Triton X-100
23
HO OH
W
W
HO W OH
-H2O O O
HO OH W O
Pemanasan 800C W O
HO OH W
O O
HO W OH W
W
HO OH
SOL GEL
akan menguap sehingga terjadi tegangan yang besar diantara jaringan sol-gel karena
terjadi penyusutan pori-pori dan menyebabkan sol-gel kadang mudah retak.
(a) (b)
(c) (d)
26
Gambar 4.3 Kalsinasi Bahan Sensor WO3 pada 100 oC (a), 200 oC (b),
300 oC (c) dan 400 oC (d)
6
R (kΩ)
4
2
0
0 50 100 150 200 250
o
T ( C)
(a)
10
8
R (kΩ)
6
4
2
0
0 50 100 150 200 250
o
T ( C)
(b)
28
10
8
R (kΩ)
6
4
2
0
0 50 100 150 200 250
o
T ( C)
(c)
Gambar 4.4 Resistansi awal plat WO3 dengan jarak elektroda 0,3 cm pada plat ukuran 1x1
cm (a), plat ukuran 1x2 cm (b) dan plat ukuran 1x3 cm (c)
Pada gambar 4.5 diatas, terlihat bahwa kestabilan nilai resistansi tidak dapat
diperoleh dengan jarak elektroda 0,3 cm, karena jarak elektroda terlalu dekat
sehingga adanya perubahan kecil dari luar dapat memberikan pengaruh besar
terhadap sinyal yang dihasilkan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya noise yang besar
seiring dengan kenaikan temperatur. Pada jarak elektroda 0,3 cm ini dilakukan pada
masing-masing plat dan didapatkan hasil yang sama yaitu tidak didapatkan kestabilan
nilai resistansi walaupun besaran sinyal dari nilai resistansi yang dihasilkan berbeda.
Untuk pengukuran nilai resistansi dengan jarak elektroda 0,6 cm pada masing-
masing plat dapat dilihat pada gambar 4.5.
6
R (kΩ)
4
2
0
0 50 100 150 200 250
o
T ( C)
29
(a)
10
8
R (kΩ)
6
4
2
0
0 50 100 150 200 250
o
T ( C)
(b)
8
6
R (kΩ)
4
2
0
0 50 100 150 200 250
o
T ( C)
(c)
Gambar 4.5 Resistansi awal dengan jarak elektroda 0,6 cm pada plat ukuran 1x1 cm (a), plat
ukuran 1x2 cm (b) dan plat ukuran 1x3 cm (c)
Dari gambar 4.5 diatas terlihat hasil pengukuran dengan jarak elektroda 0,6
cm pada masing-masing plat WO3 memiliki penurunan nilai resistansi yang berbeda
seiring dengan kenaikan temperatur. Masing-masing plat mengalami penurunan nilai
resistansi dan stabil pada kisaran temperatur tertentu dengan noise yang kecil.
30
Keadaan ini yang nantinya digunakan untuk menginjeksikan sampel alkohol pada
proses uji respon bahan sensor WO3 terhadap gas alkohol.
6
R (MΩ)
4
2
0
0 50 100 150 200 250
o
T ( C)
(a)
6
R (MΩ)
4
2
0
0 50 100 150 200 250
o
T ( C)
(b)
6
R (MΩ)
4
2
0
0 50 100 150 200 250
o
T ( C)
(c)
31
Gambar 4.6 Resistansi awal dengan jarak elektroda 1,0 cm pada plat ukuran 1x1 cm (a), plat
ukuran 1x2 cm (b) dan plat ukuran 1x3 cm (c)
Dari gambar 4.6 menunjukkan bahwa pada proses optimasi dengan jarak
elektroda 1,0 cm tidak diperoleh adanya penurunan sinyal resistansi pada setiap
kenaikan temperatur. Hal ini disebabkan karena jarak antar elektroda terlalu jauh
sehingga perubahan resistansi tidak dapat terbaca. Pengukuran nilai resistansi dengan
jarak elektroda 1,0 cm ini dilakukan pada masing-masing plat bahan sensor WO3 dan
diperoleh hasil yang sama yaitu sinyal konstan berada pada 5,13 MΩ.
Dari ketiga variasi pengukuran resistansi dengan jarak elektroda 0,3 cm, 0,6
cm dan 1,0 cm, dapat disimpulkan bahwa jarak elektroda optimum diperoleh pada
jarak 0,6 cm. Jarak elektroda optimum dengan panjang 0,6 cm ini selanjutnya
digunakan untuk proses pengukuran uji bahan sensor WO3 terhadap gas alkohol.
resistansi pada kisaran temperatur tertentu. Dari gambar 4.5, diperoleh temperatur
optimum berada pada range ± 150 oC sampai ± 200 oC. Sehingga proses pengujian
bahan sensor terhadap sampel alkohol dilakukan pada rentang daerah tersebut.
4.4.3 Optimasi Ukuran Plat sensor
Pada grafik 4.5, terlihat bahwa masing-masing plat WO3 memiliki perbedaan
suhu yang diperlukan untuk mencapai kestabilan resistansi. Untuk plat dengan ukuran
1x1, terjadi penurunan nilai resistansi yang sangat tajam pada kenaikan temperatur
140 oC dan stabil hingga pada temperatur 190 oC. Penurunan kurva yang tajam dapat
dipengaruhi oleh adanya jumlah elektron yang sedikit sehingga memungkinkan
eksitasi berlangsung dengan serentak. Sedangkan pada plat 1x2 cm, penurunan nilai
resistansi terjadi secara perlahan seiring dengan kenaikan temperatur dan stabil dari
temperatur 155 oC hingga 201 oC. Untuk plat 1x3 cm juga terjadi penurunan nilai
resistansi secara perlahan seiring dengan kenaikan temperatur namun noise yang
ditimbulkan lebih besar. Nilai resistansi pada plat 1x3 stabil pada temperatur 163 oC
hingga 201 oC.
Dari perbandingan kestabilan nilai resistansi pada masing-masing plat dapat
disimpulkan bahwa semakin panjang plat bahan sensor WO3, waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai kestabilan resistansi semakin lama.
1.2
1 0.000046 M
0.8 0.000091 M
R (kΩ)
0.6 0.000137 M
0.4 0.000183 M
0.2 0.000228 M
0
0 200 400 600 800 1000
t (detik)
(a)
4.2
0.000046 M
4
0.000091 M
R (kΩ)
3.8 0.000137 M
0.000183 M
3.6
0.000228 M
3.4
0 200 400 600 800 1000
t (detik)
(b)
34
4.8
0.000046 M
4.6
0.000091 M
R (kΩ)
4.4 0.000137 M
0.000183 M
4.2
0.000228 M
4
0 200 400 600 800 1000
t (detik)
(c)
Gambar 4.7 Resistansi plat terhadap gas alkohol, untuk plat 1x1 cm (a),
untuk plat 1x2 cm (b) dan untuk plat 1x3 cm (c)
Panjang plat optimum diperoleh pada plat dengan ukuran 1x2 cm, yang
ditunjukkan oleh gambar 4.7(b). Dari gambar 4.7(b) terlihat adanya puncak yang
dihasilkan tidak terlalu melebar, waktu responnya cepat dan nilai resistansinya
kembali stabil setelah gas alkohol telah habis menguap. Untuk gambar 4.7(a),
penurunan nilai resistansi kurang stabil karena setelah sampel diinjeksikan, kenaikan
nilai resistansi terus menurun dan tidak dapat kembali ke keadaan semula dan puncak
yang dihasilkan melebar. Sedangkan untuk gambar 4.7(c), penurunan nilai resistansi
juga sesuai dengan besarnya konsentrasi sampel alkohol yang diinjeksikan namun
pada saat nilai resistansinya naik, puncak menjadi agak melebar dan waktu yang
dibutuhkan lebih lama. Pelebaran puncak ini terjadi karena adanya akumulasi sampel
sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menguap. Hubungan antara
resistansi dan konsentrasi alkohol dapat dilihat dari gambar 4.8.
1
y = -2303.1x + 0.9055
0.8 2
R = 0.9972
R (kΩ)
0.6
0.4
0.2
0
0 0.00005 0.0001 0.00015 0.0002 0.00025
[Et]
(a)
36
3.9
y = -1776.5x + 3.9354
3.8 2
R = 0.9901
R (kΩ)
3.7
3.6
3.5
0 0.00005 0.0001 0.00015 0.0002 0.00025
[Et]
(b)
4.8
4.6 y = -2456x + 4.6725
R (kΩ)
2
R = 0.9898
4.4
4.2
4
0 0.00005 0.0001 0.00015 0.0002 0.00025
[Et]
(c)
37
Gambar 4.8. Hubungan antara resistansi dengan konsentrasi alkohol pada plat 1x1 cm (a),
plat 1x2 cm (b) dan plat 1x3 cm (c)