Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI FARMASI

PENENTUAN POTENSI ANTIBIOTIK


Rabu, 6 Mai 2015
Kelompok XIV
Rabu, Pukul 13.30 16.30 WIB

Nama

NPM

Abdurahman Ridho

260110130120Pembahasan,
Alat-Bahan, Prosedur,
Teori Dasar, Daftar
Pustaka
260110130121Data Pengamatan,
Perhitungan, Tujuan,
Prinsip, Pembahasan
Simpulan, Editor

Mega Hijriawati

Pembagian Tugas

LABORATORIUM MIKROBIOLOGI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2015
Nilai
TTD

(Shintya)

(Benedictus)

PENENTU POTENSI ANTIMIKROBA


I. Tujuan
Menentukan besarnya potensi sampel antibiotika dipasaran terhadap
antibiotika standar
II. Prinsip
1. Pengenceran Antibiotika
Memperoleh konsentrasi

yang

lebih

kecil

dengan

cara

menambahkan pelarutnya.

= Konsentrasi awal
= Volume awal

= Konsentrasi campuran
= Volume pencampuran
(Tjay, 2002).

2. Potensi Antibiotika
Kekuatan suatu antibiotikadalam menghambat atau membunuh
pertumbuhan mikroba. Satuannya dalam IUmg (iu=international unit)atau
g/mg (DepKes RI, 1995).
3. Zona Hambat
Diameter zona hambatan pertumbuhan bakteri menunjukan
sensitifitas bakteri terhadap zat anti bakteri. Selanjutnya dikatakan bahwa
semakin tebar diameter zona tambatan yang terbentuk bakteri tersebut
semakin sansitif (Pelczar, 1998).
4. Teknik Aseptis
Teknik aseptis adalah usaha mempertahankan objek agar bebas dari
mikroorganisme (Rakhmawati dan Anna, 2013).
5. Metode Lempeng
Metode penentuan angka lempeng total digunakan untuk
menentukan jumlah total mikroorganisma aerob dan anaerob (psikrofilik,
mesofilik dan termofilik) (Zaenab, 2004).

III.

Teori Dasar
Zat antibiotika adalah zat-zat yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang
memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman. Turunan
zat tersebut yang dibuat secara semisintetik, termasuk dalam kelompok ini,
begitu pula senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri lazimnya disebut
antibiotika (Tjay, 2002).
Antimikroba adalah obat yang digunakan untuk memberantas infeksi
mikroba pada tubuh manusia. Sedangkan yang disebut dengan antibiotika
adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme (khususnya
dihasilkan oleh fungi) atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh
atau menghambat perkembangan bakteri dan organisme lain (Munaf, 1994).
Antibiotika yang akan digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab
infeksi pada manusia, harus mememiliki sifat toksisitas selektif setinggi
mungkin. Artinya, antibiotika tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk
mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk manusia. Antibiotika adalah obat
yang sangat ampuh dan sangat bermanfaat jika digunakan secara benar.
Namun,

jika

digunakan

tidak

semestinya

antibiotika

justru

akan

mendatangkan berbagai efek yang buruk. Yang harus selalu diingat,


antibiotika hanya ampuh dan efektif membunuh bakteri tetapi tidak dapat
membunuh virus. Karena itu, penyakit yang dapat diobati dengan antibiotika
adalah penyakit-penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri (Pelczar,
1998).
Kemampuan suatu terapi antimikrobial sangat bergantung kepada obat,
pejamu, dan agen penginfeksi. Namun dalam keadaan klinik hal ini sangat
sulit untuk diprediksi mengingat kompleksnya interaksi yang terjadi di antara
ketiganya. Namun pemilihan obat yang sesuai dengan dosis yang sepadan
sangat berperan dalam menentukan keberhasilan terapi dan menghindari
timbulnya resistansi agen penginfeksi (Pelczar, 1998).
Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab infeksi pada
manusia, ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin.
Artinya, obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba namun
tidak menyebabkan toksik untuk tubuh manusia itu sendiri. Berdasarkan sifat
toksisitas selektif, ada antimikroba yang bersifat menghambat pertumbuhan

mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik; dan ada yang bersifat


membunuh mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakterisid. Berdasarkan
mekanisme kerjanya, antimikroba dibagi dalam lima kelompok, yaitu:
mengganggu metabolisme sel mikroba, menghambat sintesis dinding sel
mikroba, mengganggu permeabilitas membran sel mikroba, menghambat
sintesis protein sel mikroba, dan menghambat sintesis atau merusak asam
nukleat sel mikroba. Penggunaan terapeutik antimikroba di klinik bertujuan
membasmi mikroba penyebab infeksi. Penyakit infeksi dengan gejala klinik
ringan, tidak perlu segera mendapatkan antimikroba. Menunda pemberian
antimikroba malah memberikan kesempatan terangsangnya mekanisme
kekebalan tubuh. Faktor faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba
itu sendiri adalah pH lingkungan,komponen komponen perbenihan, stabilitas
obat, banyaknya bakteri atau jenis bakteri yang menginfeksi tubuh, aktivitas
metabolisme dari mikroorganisme (Setiabudy dan Gan, 2007).
Antibiotika adalah obat yang melawan infeksi yang disebabkan oleh
bakteri. Pada tahun 1927, Alexander Fleming menemukan antibiotika pertama
yaitu penisilin. Setelah penggunaan antibiotika pertama di tahun 1940-an,
mereka mengubah perawatan medis dan secara dramatis mengurangi penyakit
dan kematian dari penyakit menular. Istilah "antibiotik" awalnya dikenal
sebagai senyawa alami yang dihasilkan oleh jamur atau mikroorganisme lain
yang membunuh bakteri penyebab penyakit pada manusia atau hewan.
Beberapa antibiotika merupakan senyawa sintetis (tidak dihasilkan oleh
mikroorganisme) yang juga dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan
bakteri. Secara teknis, istilah "agen antibakteri" mengacu pada kedua
senyawa alami dan sintetis, akan tetapi banyak orang menggunakan kata
"antibiotika" untuk merujuk kepada keduanya. Meskipun antibiotika memiliki
banyak manfaat, tetapi penggunaannya telah berkontribusi tehadap terjadinya
resistensi (Katzung, 2007).
Secara garis besar antibiotik dibagi menjadi dua jenis yaitu yang
membunuh kuman (bakterisid) dan yang hanya menghambat pertumbuhan
kuman (bakteriostatik). Antibiotik yang termasuk golongan bakterisid antara
lain penisilin, sefalosporin, aminoglikosida (dosis besar), kotrimoksazol,

rifampisin, isoniazid dan lain-lain. Sedangkan antibiotik yang memiliki sifat


bakteriostatik, dimana penggunaanya tergantung status imunologi pasien,
antara lain sulfonamida, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, trimetropim,
linkomisin, klindamisin, asam paraaminosalisilat, dan lain-lain (Utami, 2012).
Berdasarkan struktur kimianya, terdapat beberapa golongan antibiotik
yaitu: Antibiotik Golongan Beta-Laktam, antibiotik golongan aminoglikosida,
Antibiotik golongan tetrasiklin, antibiotik golongan makrolida, antibiotik
golongan linkomisin, antibiotik golongan kuinolon, antibiotik golongan
kloramfenikol (Katzung, 2007).
Bacillus subtilis termasuk bakteri gram positif, katalase positif yang umum
ditemukan

ditanah.

Bacilus

subtilis

mempunyai

kemampuan

untuk

membentuk endospora yang protektif yang memberi kemampuan bakteri


tersebut mentolerir keadaan yang ekstrim. Tidak seperti species lain seperti
sejarah, Bacillus subtilis diklasifikasikan sebagai obligat anaerob. Metode
sumur difusi (difusi agar) didasarkan pada kemampuan senyawa-senyawa
antibakteri yang diuji untuk menghasilkan jari-jari zona penghambatan di
sekeliling sumur uji terhadap bakteri yang digunakan sebagai peguji (Fibra,
2008).
Rifampisin adalah obat antibiotik bakterisida dari kelompok rifamycin.
Obat ini terbuat dari senyawa semisintetik yang berasal dari Amycolatopsis
rifamycinica.

Rifampisin

dosis

600

mg/hari

pada

manusia

dapat

menyebabkan efek samping terhadap ginjal berupa insufiensi ginjal, gagal


ginjal akut, dan pengeluaran urin yang berwarna oranye-kemerahan.
Rifampisin digunakan dalam pengobatan penyakit akibat sejumlah bakteri.
Rifampisin dapat digunakan sebagai monoterapi selama beberapa hari untuk
profilaksis terhadap meningitis (Indah, 2013).
Uji sentifitas suatu zat antibakteri termasuk antibiotika merupakan suatu
metode untuk menentukan tingkat kerentanan bakteri terhadap zat antibakteri
dan untuk mengetahui senyawa murni yang memiliki aktivitas antibakteri. Uji
sensitivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode difusi dan metode
pengenceran (dilusi). Disc diffusion test atau uji difusi cakram dilakukan
dengan mengukur diameter zona bening (clear zone) yang merupakan

petunjuk adanya respon penghambatan pertumbuhan bakteri oleh suatu


senyawa antibakteri dalam ekstrak. Sedangkan metode dilusi atau
pengenceran adalah senyawa antibakteri diencerkan hingga diperoleh
beberapa

macam

konsentrasi,

kemudian

masing-masing

konsentrasi

ditambahkan suspensi bakteri uji dalam media cair (Irianto, 2006).


IV.Alat dan Bahan
IV.1

Alat
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Beaker Glass
Cawan Petri
Erlenmeyer
Inkubator
Jangka Sorong
Kapas
Koran
Korek Api

9. Labu Ukur
10. Mikropipet
11. Perforator
12. Pipet Volume
13. Rak Tabung
14. Spirtus
15. Tabung Reaksi

4.2 Bahan
1. Aquadest Steril
2. Desinfektan
3. Nutrient Agar

4. Larutan
Rimpafisin
5. Suspensi

Bacillus subtilis

5.2 Gambar Alat


1. Beaker glass

6.
2. Cawan Petri

11.
6. Kapas
12.

7.
3. Erlenmeyer
7. Koran
13.

8.
4. Inkubator

9.
10.
5. Jangka sorong

Antibiotika

14.
15.
16.
17.

Bakteri

18.
19.
8. Korek api
20.

11. Perforator

23.
12. Pipet volum
24.

9. Labu ukur

13. Spirtus
21.
10. Mikro pipet

22.

25.
14. Tabung reaksi
26.

27.

28.

V. Prosedur
29.

Suspensi bakteri dalam Nutrien broth yang berumur 18-24 jam

disiapkan, perbenihan nutrien agar disiapkan dengan cara dilarutkan sejumlah


tertentu nutrien agar dalam aquadest kemudian disterilkan dalam otoklaf
selama 15 menit. Sediaan uji dimasukkan ke dalam labu ukur, dilarutkan
dengan sedikit pelarut kemudian ditambahkan air suling seril sampai tanda
batas. Jika sediaan uji berbentuk padat gerus dahulu dalam mortir, sebelum
dimasukkan dalam labu ukur. Larutan sampel dan larutan baku direncanakan
hingga didapat variasi tiga seri dosis yang diinginkan. Larutan inokulum
dibuat dengan cara suspensi biakan bakteri dimasukkan ke dalam nutrien agar
yang telah berisi suspensi bakteri. Dalam keadaan masih cair, nutrien agar
yang telah mengandung suspensi bakteri tersebut dimasukkan ke dalam
cawan petri secara aseptis sebanyak 20 ml, kemudian dibiarkan sampai
membeku. Permukaan dasar cawan dibagi menjadi 6 area sama besar.
Masing-masing area tersebut diberi label sesuai variasi seri dosis yang
digunakan. Enam cetakan reservoir (lubang) pada masing-masing cawan petri
dibuat pada masing-masing cawan petri dengan menggunakan perforator
secara aseptis. Reservior dibuat dengan cara membuang agar yang ada dalam
cetakan reservior dengan menggunakan spatel. Hasil buangan dimasukkan ke
dalam larutan desinfektan yang telah disediakan. Larutan sampel dan baku
dimasukkan pada masing-masing reservior sesuai dosis yang ditentukan
dengan menggunakan mikropipet secara aseptis. Kemudian diinkubasi dalam
inkubator pada suju 370C selama 18-24 jam. Diameter daerah bening diukur
dan menggunakan jangka sorong dan dicatat kemudian dihitung potensi
antibiotik.
30.
31.

VI.

Data Perhitungan
1. Konsentrasi Rifampisin dalam labu ukur
32.
33.
34.
35.
2. Dosis Rifampisin
-

Dosis Tinggi

Dosis Menengah =

= 100 mg /100 mL
= 100000 g / 100 mL
= 1000 g/mL
= 1000 g/ 1000 L
= 50 g / 50 L

- Dosis Rendah
=
3. Pengenceran konsentrasi untuk larutan baku
a. Dosis Tinggi = 50g/mL
36. 1000 g/mL x 0,5 mL = 50 g/mL x V2
37.
38.

V2
= 10 mL
Aquadest yang ditambahkan = 0,9 mL

b. Dosis Menengah = 25g/mL


1000 g/mL x 5 mL = 25 g/mL x V2
39.
40.
V2
= 10 mL
Aquadest yang ditambahkan = 5 mL
41.
c. Dosis Rendah = 1,25g/mL
1000 g/mL x 0,5 mL = 50 g/mL x V2
42.
43.
V2
= 10 mL
44. Aquadest yang ditambahkan = 0,9 mL
4. Pengenceran konsentrasi untuk larutan standar
a. Dosis Tinggi = 50g/mL
45.
1000 g/mL x 0,5 mL = 50 g/mL x V2
46.
V2
= 10 mL
47. Aquadest yang ditambahkan = 0,9 mL

VII.

48.
49.
50.
b. Dosis Menengah = 25g/mL
1000 g/mL x 5 mL
= 25 g/mL x V
51.
52.
V2
= 10 mL
53.
Aquadest yang ditambahkan = 5 mL
c. Dosis Rendah = 1,25g/mL
54.
1000 g/mL x 0,5 mL = 50 g/mL x V2
55.
V2
= 10 mL
56. Aquadest yang ditambahkan = 0,9 mL
57.
Data Pengamatan

1. Larutan Baku
59. Bak
58.

61. Bak
60.

Ting

C
78.
C
91.
C

67.

68.

79.

80.

81.

92.

93.

94.

69.

82.

95.

Ren

gah

66.

64.

Ten

gi
65.

63. Bak
62.

dah

70.

71.

72.

83.

84.

85.

96.

97.

98.

73.

74.

75.

76.

77.

86.

87.

88.

89.

90.

99.

100.

101.

102.

103.

1,6

1,4

1,5

1,5

2. Larutan Standar
105. Sta
104.

107. Sta
106.

ndar

C
124.
C
137.
C

Ren

gah

dah

112.

113.

114.

115.

116.

117.

118.

119.

120.

121.

122.

123.

1,8

1,8

1,8

1,8

1,5

1,5

1,5

1,5

1,4

1,4

1,4

1,4

125.

126.

127.

128.

129.

130.

131.

132.

133.

134.

135.

136.

1,9

1,8

1,8

1,83

1,8

1,7

1,7

1,73

1,5

1,5

1,4

1,53

138.

139.

140.

141.

142.

143.

144.

145.

146.

147.

148.

149.

1,9

1,9

1,9

1,9

1,8

1,8

1,8

1,8

1,5

1,4

1,5

1,53

3. Data Perhitungan
151. Larutan
150.
C

110.

ndar

Ten

gi
111.

108.

ndar

Ting

109. Sta

Baku

152. Larutan

(mm)

Sampel

(mm)

154.

155.

156.

157.

158.

159.

161.

162.

163.

164.

165.

166.

167.

168.

169.

170.

171.

172.

173.

174.

175.

176.

177.

178.

179.

180.

181.

182.

183.

184.

185.

186.

187.

188.

189.

190.

191.

192.

193.

194.

160.
I

195.
196.

Perhitungan Potensi
Log dosis
= log (dosis tinggi/dosis tengah)
197.

= log (50 g/ml /25 g/ml)


198.

= log 2

199.

200.
201.

Jadi, potensi Rifampisin sampel terhadap baku adalah 112,2 %


202.

VIII.

Pembahasan
203.Pada praktikum kali ini dilakukan penentuan potensi antibiotika
dengan tujuan untuk mengetahui besarnya potensi sampel terhadap
antibiotika. Suatu antibiotik akan menghambat pertumbuhan atau
membunuh bakteri pada konsentrasi tertentu. Dalam percobaan kali ini,
pengujian dilakukan dengan metode penetapan dengan lempeng silinder,
yaitu metode yang menggunakan perforator untuk membuat lubang pada
media agar yang berisi biakan bakteri pada cawan petri. Pada lubang
tersebut akan diisikan larutan antibiotik rifampisin yang akan diujikan
sesuai dengan konsentrasi tertentu.
204.Potensi yang dapat ditentukan dengan mengukur zona bening pada
media agar yang dihasilkan dari penghambatan oleh antibiotik. Bakteri
yang digunakan dalam pengujian harus merupakan biakan murni. Biakan
murni adalah bakteri yang diambil dari alam secara langsung kemudian
dibiakan, bukan dari bakteri yang diisolasi dari laboratorium klinis seperti
dari sampel darah, feses, atau urin.
205.Antibiotik yang digunakan pada praktikum kali ini adalah
Rifampisin dan bakteri yang digunakan adalah Bacillus subtilis. Sebelum
memulai praktikum, dilakukan perencanaan pengenceran dan perhitungan
konsentrasi. Penentuan dosis dilakukan berdasarkan data di Farmakope
Indonesia. Pada Farmakope tertulis dosis yang digunakan dalam uji
potensi adalah sebesar 5,0 g/ml. . Pada pecobaan kali ini, dosis tinggi yang
digunakan adalah 50 g/mL, dosis tengah dengan konsentrasi 25 g/mL
dan dosis rendah dengan konsentrasi 12,5 g/mL dengan menggunakan
pelarut steril yaitu aquadest streril. Alasan penggunaan aquadest ini adalah
mendapatkan hasil yang akurat dan agar tidak terdapat mikroorganisme
yang dapat mengganggu hasil pada larutan antibiotika. Pengenceran
antibiotika dibuat dengan beragam variasi dosis atau konsentrasi.
Penggunaan beragam variasi ini adalah untuk mengetahui konsentrasi
terendah dari Rimpafisin agar dapat membunuh bakteri. Setelah itu
disiapkan inokulum yaitu dengan memasukkan 0,2 ml suspensi bakteri ke
dalam nutrien agar (setiap 20 ml). Pembuatan agar yang nantinya akan

dimasukkan ke dalam cawan petri harus diperhatikan untuk mendapatkan


tekstur agar yang baik sehingga ketika dilakukan pelubangan dengan
perforator, agar tidak rusak dan akan menghasilkan pola diameter yang
teratur. Setelah itu, inokulum diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu
37C.
206.Pembuatan inokulum yaitu dengan cara dicampurkannya 0,2 ml
suspensi bakteri ke dalam setiap 20 ml nutrien agar NB (Nutrient Broth)
yang dibuat. Hal penting yang diperhatikan adalah volume minimal media
NB dalam cawan petri adalah 20 ml. Inokulum yang digunakan pada
percobaan ini harus sedang dalam fase logaritmik. Karena apabila
inokulum telah memasuki 1 hari setelah dibuat, kemungkinan sudah
memasuki fase kematian ataupun fase stasioner. Hal tersebut dapat
mengurangi

kekuatan

hasil

potensi

yang

terukur

kerena

tanpa

antibiotikpun, bakteri yang mengalami fase stasioner maupun fase


kematian memang akan mati pada waktunya sehingga efek bakteriostatik
dari antibiotik Rimpafisin tidak tidak terlalu berpengaruh banyak
(Magfirah, 2015).
207.Setelah itu, Cawan petri yang sudah berisi media agar yang sudah
mengandung bakteri diberi garis yang membagi menjadi 6 bagian sama
besar. Setiap bagian tersebut diberi tanda baku tinggi, baku menengah,
baku rendah, sampel tinggi, sampel menengah, dan sampel rendah untuk
mempermudah pengamatan. Zona baku tinggi dan sampel tinggi
diletakkan bersebrangan, karena jika dua dosis tinggi diletakkan
berdampingan dikhawatirkan akan menyulitkan pengamatan karena zona
bening yang bersinggungan. Kemudian pada setiap bagian di cawan petri
dibuat lubang dengan perforator.
208.Yang perlu diperhatikan saat proses perforasi, cawan petri tidak
perlu dibuka terlalu lama karena hal tersebut dapat memberikan peluang
untuk kontaminasi. Untuk mencegah hal tersebut, saat perforasi harus
tetap aseptis dan perforator serta spatel yang digunakan harus difiksasi
terlebih dahulu. Fiksasi tidak perlu terlalu lama dan panas, karena apabila
terlalu panas dapat melelehkan agar dan menyulitkan proses perforasi.

Lubang diperforasi diusahakan harus memiliki bentuk lingkaran yang


baik, sama rata, dan tidak merusak bagian permukaan lainnya agar
antibiotik menghasilkan zona yang bulat untuk memudahkan perhitungan
diameter (Magfirah, 2015).
209.Setelah itu, Rifampisin dimasukkan dengan mikropipet ke dalam
lubang. Mikropipet adalah alat yang digunakan untuk mengambil cairan
dalam volume sangat secara akurat dan presisi. Mikropipet yang
digunakan tidak boleh terlalu panas tetapi harus tetap dekat api (aseptis).
Pada saat menggunakan antibiotika, tip yang digunakan tidak boleh
dipakai bersama dalam pengambilan larutan sampel dan baku, sehingga
satu tip digunakan untuk mengambil larutan sampel dan satu tip lainnya
untuk menggunakan larutan baku. Pengisian antibiotika ke lubang yang
telah dibuat dilakukan dengan menggunakan mikropipet harus dari
konsentrasi rendah ke konsentrasi yang lebih tinggi untuk mencegahnya
ketidakakuratan dan ketidakhomogenan karena mungkin saja ada sisa zat
yang tertinggal pada tip mikropipet. Kemudian, cawan patri diinkubasi
pada suhu 37C selama 18-24 jam. Pada saat inkubasi, cawan petri tidak
boleh dibalik karena antibiotika yang ada di dalamnya bisa bertumpahan
sehingga tidak terdifusi sempurna pada daerah sekitarnya. Percobaan ini
dibuat tiga kali (triplo) dengan masing-masing perlakuan yang sama.
210.Inkubasi adalah perlakuan yang diberikan pada suatu
mikroorganisme dimana suhu, kelembaban dan tekanannya diatur agar
dapat diamati tumbuh. Waktu inkubasi 18 jam karena merupakan waktu
optimal suatu bakteri untuk tumbuh (Hertati, 2012).
211.Suhu inkubasi pada praktikum ini di gunakan pada suhu yang
sesuai (tidak terlalu panas) karena setiap mikroba yang terdapat pada
media mempunya karakteristik suhu yang berbeda-beda untuk tetap hidup
dan berkembang biak. Suhu inkubasi di tentukan dari suhu optimum
pertumbuhan mikroba agar mikroba dapat tumbuh dengan baik. Apabila
suhu inkubasi di naikkan atau di turunkan akan mengganggu pertumbuhan
mikroba bahkan sampai menyebabkan kematian pada mikroba karena
lingkungan sudah tidak sesuai dengan karakteristik mikroba tersebut.

Seperti yang kita ketahui bahwa pertumbuhan mikroba sangat di pengaruhi


oleh suhu lingkungan (Fardiaz, 1992).
212.Berdasarkan hasil pengamatan pada antibiotik baku, Hasil dari
inkubasi adalah berupa zona bening yang berada mengelilingi daerah
reservoir, zona bening di cawan petri I, II, dan III masing-masing yakni
pada dosis tinggi sebesar 18,3 , 18,3 , dan 19,3 mm, dosis menengah
adalah 15,3 , 16,0 , dan 16,0 mm ,dan dosis rendah sebesar 14,0 , 15,0 ,
dan 15,0 mm. Pada antibiotik sampel diperoleh zona bening pada dosis
tinggi di cawan petri I, II, dan III masing-masing sebesar 18,0 , 18,3 , dan
19,0 mm, dosis menengah 15,0 , 17,3 , dan 18,0 mm dan pada dosis
rendah sebesar 14,0 , 15,3 , 15,3 mm. Diameter hambat dosis tinggi pada
antibiotik sampel maupun baku lebih besar daripada pada dosis rendah.
Hal ini berarti dosis tinggi dapat menghambat pertumbuhan bakteri.
213.Dari hasil pengukuran dan perhitungan yang didapat, potensi
larutan sampel rifampisin yang diuji adalah sebesar 112,2%. Potensi yang
diberikan menurut farmakope haruslah 95% - 105%, di luar itu berarti
antibiotik sampel tidak memenuhi syarat untuk dapat diedarkan di pasaran.
Karena hasil percobaan menunjukkan nilai potensi yang lebih tinggi dari
pada standar dalam farmakope, maka sampel uji tidak disarankan untuk
beredar dipasaran, walaupun dalam pengujian, sampel dapat memberikan
daya hambat pada bakteri Bacillus subtilis.
214.

Dari hal ini dapat dikatakan bahwa sampel memiliki potensi

yang lebih tinggi dari sediaan baku. Kesalahan dapat terjadi diantaranya
karena :
1. Pengenceran yang tidak tepat.
2. Perhitungan yang salah.
3. Prosedur kerja yang kurang aseptis.
215.

IX.

Simpulan
216. Besarnya potensi sampel antibiotika dapat ditentukan yaitu sebesar
112,2% terhadap antibiotika standar. Karena potensi menurut farmakope
haruslah 95% - 105%, berarti antibiotik sampel tidak memenuhi syarat untuk
dapat diedarkan di pasaran.
217.
218.

219. Daftar Pustaka


220.
221.

Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen

Kesehatan Republik Indonesia.


222.

Irianto, K. 2006. Mikrobiologi: Menguak Dunia Mikroorganisme Jilid 2.

Bandung: CV. Yrama Widya.


223. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama
: Jakarta.
224.

Fibra. 2008. Mikrobiologi Untuk Profesi Kesehatan. Jakarta: EGC.

225.

Hertati. 2012. Gambaran Hitologi Ginjal Tikus Putih Setelah Pemberian

Rifampisin.

Tersedia

online

di

http://ejournal.unsrat-.ac.id/index.php/ebiomedik/article/view/4368.pdf
[Diakses pada Mei 2015].
226.

Indah. 2013. Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan Telur Ayam

Kampung

terhadap

Jumlah

Escherichia

coli.

Tersedia

online

di

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=14688&val=974 [Diakses
9 Mei 2015].
227.

Katzung, B. G. 2007. Basic & Clinical Pharmacology, Tenth Edition.

United States: Lange Medical Publications.


228.

Magfirah. 2015. Uji Viabilitas Isolat Probiotik Asal Saluran Pencernaan

Itik Pedaging Anas domesticus yang Dienkapsulasi Dengan Metode Spray


Drying.

Tersedia

online

di

http://repository.unhas.ac.id/bitstream/-

handle/123456789/1291-4/MAGFIRAH%20JURNAL.pdf?sequence=1
[Diakses 9 Mei 2015].
229.

Munaf, S., Chaidir, J. 1994. Obat antimikroba. Farmakologi UNSRI.

Jakarta: EGC.
230.

Pelczar, M. J. Jr., R. G. Reid. 1998. Microbiology. New York: Mc Graw-

Hill Book Company.


231.

Rakhmawati,

Anna.

2013.

Teknik

aseptis.

Tersedia

Online

http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/anna-rakhmawatissimsi/ppm-2013-praktik-layanan-praktikum.pdf [Diakses pada 7 Mei 2015]

di

232.

Setiabudy, Rianto dan Sulistia Gan. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5.

Jakarta: Gaya Baru.Inc. London.


233.

Tjay, T.H., Rahardja, K. 2002. Obat-obat Penting : Khasiat, Penggunaan,

dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.


234.

Utami, Eka Rahayu. 2012. Antibiotika, Resistensi, Dan Rasionalitas

Terapi.

Tersedia

online

di

http://download.portalgaruda.org/article.php?

article=115570&val=5285 [Diakses pada tanggal 7 Mei 2015].


235.

Zaenab. 2004. Uji Antibakteri Siwak (Salvadora persica Linn.) terhadap

Streptococcus mutans (ATC31987) dan Bacteroides melaninogenicus. Makara,


Kesehatan, Vol. 8, No. 2, pg 37-40
236.

Anda mungkin juga menyukai