Anda di halaman 1dari 8

1.

Patofisiologi Penyakit Diabetes Melitus

DM tipe 1 (insulin dependent diabetes mellitus) merupakan 10% dari semua kasus
diabetes. Umumnya terjadi pada masa kanak-kanak atau dewasa muda dan biasanya muncul
dari kerusakan sel pankreas yang dimediasi sistem imun, sehingga terjadi defisiensi insulin
absolut. Faktor yang memunculkan respon autoimun tidak diketahui, tapi prosesnya
dimediasi oleh makrofag dan limfosit T dengan autoantibodi yang tersirkulasi ke berbagai
antigen sel . Pada saat individu didiagnosis DM tipe 1, terdeteksi adanya antibodi terhadap
sel islet langerhans (contohnya islet cell cytoplasmic antibodies (ICCA), islet cell surface
antibodies (ICSA), Antibodies to glutamic acid decarboxylase (GAD), ICSA ditemukan juga
pada pasien DM tipe 2). Sebab munculnya antibodi sel islet langerhans tersebut tidak
diketahui namun jelas terjadi kegagalan sistem imun dalam mengenali sel pankreatis sebagai
bagian dari individu tersebut. Proses terjadinya kerusakan sel beta pankreas yaitu:

a. Periode preklinik panjang yang ditandai dengan adanya penanda imun kertika sel
pankreas hancur.
b. Hiperglisemia terjadi ketika 80-90% sel hancur.
c. Terdapat tahap remisi sementara (Honeymoon Period).
d. Onset penyakit DM tipe 1 yang berkaitan dengan komplikasi dan kematian, merupakan
tahap akhir kerusakan sel beta pankreas (Dipiro, 2011; Ozougwu, et al., 2013).

Gambar 1. Skema kerusakan sel beta pankreas (Dipiro, 2011).


Gambar 2. Patogenesis DM Tipe 1 (Ozougwu, et al., 2013).

Adanya gangguan sekresi insulin juga menyebabkan ketidaknormalan pada fungsi sel
pankreas yaitu berlebihnya sekresi glucagon. Normalnya, hiperglikemia akan memicu
berkurangnya sekresi glucagon namun pada pasien DM tipe 1 sekresi glucagon tidak
berkurang. Meningkatnya kadar glucagon ini dapat memperparah gangguan metabolisme
akibat defisiensi insulin. Defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya produksi glukosa di
hati (melalui proses glukoneogenesis menggunakan glikogen) dan berkurangnya
metabolisme glukosa di jaringan perifer menyebabkan meningkatnya kadar glukosa di
plasma. Ketika kapasitas ginjal untuk menyerap glukosa menurun, glukosuria dapat terjadi.
Glukosa merupakan zat diuresis dan adanya glukosa pada urin juga disertai meningkatnya
eksresi air dan elektrolit sehingga muncul polidipsia, Selain itu ketidakseimbangan kalori
yang dihasilkan oleh glukosuria dan katabolisme jaringan memicu meningkatnya nafsu
makan dan asupan makanan yang disebut polifagia (Ozougwu, et al., 2013).
Insulin membantu lipoprotein lipase yang bekerja menyimpan trigliserida di jaringan
adipose. Pada DM tipe 1, terjadi hipertrigliseridamia, asam lemak bebas meningkat sehingga
asam lemak bebas dimetabolisme untuk menyediakan energi bagi tubuh. Asam lemak bebas
ini dimetabolisme di mitokondria, dioksidasi menjadi asetil co A yang dimetabolisme
melalui siklus TCA menjadi badan keton. Badan keton ini digunakan untuk energy bagi
otak, jantung, dan otot rangka. Badan keton berlebih yang tidak dapat ditanggung tubuh
dapat menyebabkan ketoasidosis. Efek defisiensi insulin pada protein yaitu meningkatnya
katabolisme protein sehingga kadar asam amino di plasma meningkat. Asam amino
glukogenik berperan sebagai precursor bagi glikoneogenesis di hati dan ginjal yang akan
menyebabkan hiperglikemia pada pasien DM tipe 1 (Ozougwu, et al., 2013).

Gangguan glukosa dan defisiensi insulin ini kemudian juga akan menurunkan
ekspresi jumlah gen jaringan target yang diperlukan untuk menormalkan insulin contohnya
seperti glukokinase di hati dan transporter glukosa GLUT 4 di jaringan adiposa (Ozougwu,
et al., 2013).
Gambar 3. Patogenesis DM Tipe 2 (Ozougwu, et al., 2013)

DM tipe 2 merupakan 90% dari semua kasus DM dan memiliki hubungan terhadap
genetik yang lebih besar dibandingkan dengan DM tipe 1 dan biasanya ditandai dengan
resistensi terhadap insulin dan defisiensi insulin yang relatif seperti pada Gambar 3.
Penyebab resistensi insulin dapat dilihat pada gambar 4. Resistensi insulin manifestasinya
berupa peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa
hepatik, dan penurunan asupan glukosa ke otot rangka (Dipiro, 2011; Ozougwu, et al.,
2013).
Gambar 4. Penyebab Resistensi Insulin (Ozougwu, et al., 2013).

Disfungsi sel terjadi secara progresif dan memperburuk kontrol atas glukosa darah
dengan berjalannya waktu. Faktor risiko nomor satu DM tipe 2 yaitu obesitas dan
penumpukan lemak visceral, penyebab penumpukan lemak visceral dapat dilihat pada
Gambar 5. DM tipe 2 terjadi ketika gaya hidup diabetogenik (asupan kalori berlebih, kurang
latihan fisik, dan kegemukan) yang memperburuk genotip tertentu, asupan lemak yang
meningkat namun tidak dibarengi dengan asupan karbohidrat atau serat dapat sebabkan
hiperinsulinemia. DM tipe 2 juga dapat disebabkan oleh faktor stress akibat penuaan. Selain
itu, pada DM tipe 2 juga terdapat kecenderungan genetic yang menyebabkan pankreas
menghasilkan insulin yang rusak atau menyebabkan reseptor insulin atau second messengers
gagal untuk merespon insulin secara memadai. Kecenderungan genetik juga dapat berkaitan
dengan obesitas dan stimulasi reseptor insulin yang diperlama. Hal ini dapat menyebabkan
berkurangnya jumlah reseptor insulin pada badan sel. Pada DM tipe 2 mungkin juga
diproduksi autoantibody insulin yang berikatan dengan reseptor insulin sehingga
menghambat akses insulin ke reseptor. Selain itu DM tipe 2 dapat disebabkan kekurangan
hormone leptin akibat kekurangan gen yang memproduksi hormone leptin atau terdapat
disfungsi pada gennya. Tanpa gen leptin, individu akan gagal merespon sensasi kenyang
sehingga akan cenderung mengalami obesitas dan menurun sensitivitas insulinnya. Walau
obesitas adalah faktor risiko utama namun DM tipe 2 juga dapat dialami pada individu yang
kurus atau memiliki berat badan normal. (Corwin, 2008; Dipiro, 2011).
Gambar 5. Penyebab Penumpukan Lemak Viseral (Ozougwu, et al., 2013).

Pada pasien DM tipe 2, insulin masih disekresikan namun terdapat penundaan waktu
sekresi dan adanya penurunan jumlah insulin total yang dilepaskan. Hal ini semakin parah
semakin tua usia seseorang. Jaringan lemak dan otot menunjukkan resistensi terhadap
insulin yang tersirkulasi sehingga carrier glukosa (transporter GLUT4) tidak terdapat pada
sel secara memadai dan glukosa tidak dapat digunakan oleh sel. Ketika sel mulai kehilangan
energy, hati akan memulai proses glukoneogenesis yang lama kelamaan akan meningkatkan
kadar glukosa darah, pemecahan trigliserida, protein, dan glikogen sebagai sumber energy
sehingga kadarnya akan meningkat dalam darah (Corwin, 2008).

Sebab diabetes yang tidak umum (1-2% dari semua kasus) termasuk kelainan
endokrin (seperti akromegali, sindrom Cushing), gestational diabetes mellitus (GDM),
penyakit pada pankreas (seperti, pankreatitis), dan obat-obatan (seperti, glukokortikoid,
pentamidine, niasin, dan -interferon) (Dipiro, 2011).

Diabetes gestasional yaitu diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya
tidak menderita DM. Pada diabetes tipe ini, kurang lebih 50% wanita setelah proses
persalinan tetap mengalami diabetes atau apabila sembuh maka risiko untuk terkena DM tipe
2 lebih tinggi dari pada normal dalam jangka waktu kurang lebih lima tahun. Penyebab
diabetes gestasional yaitu meningkatnya kebutuhan energy selama kehamilan dan secara
bertahap terjadi peningkatan hormone pertumbuhan dan hormone estrogen. Hormon
pertumbuhan dan estrogen memicu pelepasan insulin dan mungkin menyebabkan
oversekresi insulin karena adanya penurunan keresponsifan sel. Hormon pertumbuhan juga
memilik efek anti-insulin, contohnya menstimulasi glikogenolisis dan penguraian jaringan
lemak. Adiponektin, sebuah protein plasma turunan jaringan lemak, berperan dalam
mengatur konsentrasi insulin dan resistensinya, menurunnya kadar adiponektin berpengaruh
terhadap gangguan metabolisme glukosa dan hiperglikemia. Diabetes gestasional dapat
berakibat buruk bagi kehamilan dengan meningkatkan risiko kecacatan janin, berat badan
bayi besar, sehingga menyebabkan masalah pada proses persalinan. Diabetes gestasional
secara rutin harus di periksa pada pemeriksaan medis prenatal. Diabetes gestasional harus
diobati dengan pemberian hormon insulin dan pengaturan makanan. Sebelum terkena
diabetes gestasional, sebaiknya gula darah dan berat badan wanita sebelum kehamilan
terkontrol (Corwin, 2008).

Kelainan glukosa puasa dan kelainan toleransi glukosa adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan pasien dengan level glukosa plasma lebih tinggi dari normal tapi
tidak didiagnosa DM. Kelainan ini adalah faktor resiko untuk berkembangnya DM dan
penyakit kardiovaskular dan dihubungkan dengan sindrome resistensi insulin. Komplikasi
mikrovaskular termasuk retinopati, neuropati, dan nefropati. Komplikasi makrovaskular
termasuk penyakit jantung koroner, stroke, dan penyakit vaskular perifer (Dipiro, 2011).

2. Manifestasi Klinik Penyakit Diabetes Melitus

Gambar 6. Karakteristik Klinik Pasien DM Tipe 1 dan 2 (Ozougwu, et al., 2013).

Pada DM Tipe 1 dan 2:

Poliuria (meningkatnya volum urin, karena air mengikuti glukosa yang masuk ke dalam
urin)
Polidipsia (meningkatnya rasa haus, karena banyaknya kehilangan air melalui urin yang
memicu dehidrasi ekstraselular)
Polifagia (meningkatnya rasa lapar, karena katabolisme kronik lemak dan protein)
Kelelahan dan lemas (karena adanya katabolisme protein otot dan ketidakmampuan sel
untuk menggunakan glukosa sebagai energy, buruknya aliran darah pada diabetes yang
sudah lama memicu kelelahan)
Pada DM tipe 1 juga ditemui:

Rasa mual dan muntah yang parah


Penurunan berat badan
Individu dengan DM tipe 1 umumnya kurus dan rentan terkena diabetic ketoacidosis
(DKA) jika insulin tidak diberikan atau di bawah kondisi stress parah dimana terjadi
ekskresi berlebih hormon yang kerjanya berlawanan dengan insulin (glucagon). Sekitar
20-40% pasien akan mengalami DKA setelah beberapa hari mengalami poliuria,
polidipsia, polifagia, dan berat turun.
Pada DM tipe 2 juga ditemui:

Pasien DM tipe 2 seringkali asimtomatik (tanpa gejala), namun penurunan berat badan
yang signifikan jarang terjadi, lebih sering terjadi pada pasien obesitas dan overweight
Nocturia
Meningkatnya laju infeksi karena meningkatnya konsentrasi glukosa dalam sekresi
mucus, buruknya fungsi imun, dan menurunnya aliran darah.
Perubahan fungsi penglihatan akibat adanya ketidakseimbangan cairan atau terjadi
kerusakan retina pada kasus yang lebih parah.
Parestesia atau abnormalitas dalam sensasi.
Terkena vaginal candidiasis akibat meningkatnya kadar glukosa pada secret vagina dan
urin serta akibat lemahnya fungsi imun.
Kerusakan otot akibat protein otot dipecah untuk memenuhi kebutuhan energy tubuh.
(Dipiro, 2011; Corwin, 2008).

Anda mungkin juga menyukai