Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pendidikan Pancasila dalam NKRI, terutama meliputi PKn bagi pendidikan dasar
dan menengah; dan Pendidikan Pancasila bagi PT. Semuanya bertujuan membina
kesadaran dan kebanggaan nasional SDM warga negara, sebagai subyek penegak budaya
dan moral politik NKRI sekaligus sebagai bhayangkari integritas NKRI sebagai sistem
kenegaraan Pancasila.
Thema ini diklarifikasi dalam pendekatan filosofis-ideologis dan konstitusional,
berdasarkan asas imperatif. Artinya, setiap bangsa dan negara secara mutlak
melaksanakan visi-misi nilai filsafat negara (dasar negara, dan atau ideologi negara)
sebagai fungsi bangsa dan negaranya. Maknanya, demi integritas bangsa dan negaranya
maka mendidik kader bangsa semua warga negaranya untuk menegakkan sistem nilai
kebangsaan dan kenegaraannya; seperti: sistem kapitalisme-liberalisme, zionisme,
marxisme-komunisme, theokratisme, sosialisme wajarlah untuk membudayakannya.
Berdasarkan asas normatif filosofis-ideologis dan konstitusional sebagai
diamanatkan dalam UUD Proklamasi seutuhnya, dan demi integritas wawasan nasional
dan SDM Indonesia yang adil dan beradab (bermartabat) maka ditetapkanlah program
Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi.

PENDIDIKAN PANCASILA DI PERGURUAN TINGGI


(Pendekatan Filosofis Ideologis dan Konstitusional)
I.

INTEGRITAS NILAI FILSAFAT DAN IDEOLOGI PANCASILA


Bangsa Indonesia sepanjang sejarahnya dijiwai nilai-nilai budaya dan moral
Pancasila sebagai diakui dalam amanat Bung Karno dalam Pidato di PBB September
1960: berbicara tentang nilai dasar negara Pancasila, sesungguhnya kita berbicara
tentang nilai-nilai warisan budaya dan filsafat hidup bangsa Indonesia sepanjang 2000
tahun berselang.
Berdasarkan kepercayaan dan cita-cita bangsa Indonesia, maka diakui nilai
filsafat Pancasila mengandung multi - fungsi dalam kehidupan bangsa, negara dan
budaya Indonesia.
Kedudukan dan fungsi nilai dasar Pancasila, dapat dilukiskan sebagai berikut:
7. Sistem Nasional
6. Sistem Filsafat Pancasila, filsafat dan budaya
Indonesia: asas dan moral politik NKRI.
5. Ideologi Negara, ideologi nasional.
4. Dasar Negara (Proklamasi, Pembukaan UUD
45): asas kerokhanian bangsa, jiwa UUD 45;
Nilai Dasar
Grundnorm, basic norm, sumber dari segala
Filsafat Pancasila
sumber hukum.
3. Jiwa dan kepribadian bangsa; jatidiri nasional
(Volkgeist) Indonesia.
2. Pandangan hidup bangsa (Weltanschauung).
1. Warisan sosio-budaya bangsa.
Sesungguhnya nilai dasar filsafat Pancasila demikian, telah terjabar secara
filosofis-ideologis dan konstitusional di dalam UUD Proklamasi (pra-amandemen) dan
teruji dalam dinamika perjuangan bangsa dan sosial politik 1945 1998 (1945 1949;
1949 1950; 1950 1959 dan 1959 1998). Reformasi 1998 sampai sekarang, mulai
amandemen I IV: 1999 2002 cukup mengandung distorsi dan kontroversial secara
fundamental (filosofis-ideologis dan konstitusional) sehingga praktek kepemimpinan dan
pengelolaan nasional cukup memprihatinkan.
Berdasarkan analisis normatif filosofis-ideologis dan konstitusional demikian,
integritas nasional dan NKRI juga akan memprihatinkan. Karena, berbagai jabaran di
dalam amandemen UUD 45 belum sesuai dengan amanat filosofis-ideologis filsafat
Pancasila secara intrinsik. Terbukti, berbagai penyimpangan dalam tatanan dan praktek
pengelolaan negara cukup memprihatinkan, terutama dalam fenomena praktek:
demokrasi liberal dan ekonomi liberal.
Demi cita-cita nasional yang diamanatkan para pahlawan dan pejuang nasional,
khususnya the founding fathers dan PPKI maka semua komponen bangsa sekarang 10
tahun reformasi berkewajiban untuk merenung (refleksi) dan mawas diri untuk
melaksanakan evaluasi dan audit nasional apakah kita sudah sungguh-sungguh
menegakkan integritas NKRI berdasarkan Pancasila UUD 45 sebagai sistem
kenegaraan Pancasila dan sistem ideologi nasional.

Kita semua bukan hanya melaksanakan visi-misi reformasi; melainkan secara


moral nasional kita juga berkewajiban menunaikan amanat dan visi-misi Proklamasi,
sebagaimana terkandung seutuhnya dalam UUD Proklamasi.
A.

Integritas Sistem Kenegaraan Pancasila UUD Proklamasi


Dalam analisis kajian normatif-filosofis-ideologis dan kritis atas UUD 45
(amandemen) dan dampaknya dalam hukum ketatanegaraan RI, dapat diuraikan landasan
pemikiran berikut:
1. Baik menurut teori umum hukum ketatanegaraan dari Nawiasky, maupun Hans
Kelsen dan Notonagoro diakui kedudukan dan fungsi kaidah negara yang
fundamental yang bersifat tetap; sekaligus sebagai norma tertinggi, sumber dari
segala sumber hukum dalam negara. Karenanya, kaidah ini tidak dapat diubah, oleh
siapapun dan lembaga apapun, karena kaidah ini ditetapkan hanya sekali oleh pendiri
Negara. Sebagai kaidah negara yang fundamental, sekaligus sebagai asas kerokhanian
negara dan jiwa konstitusi, nilai-nilai dimaksud bersifat imperatif (mengikat,
memaksa). Artinya, semua warga negara, organisasi infrastruktur dan suprastruktur
dalam negara imperatif untuk melaksanakan dan membudayakannya.
Sebaliknya, tiada seorangpun warga negara, maupun organisasi di dalam negara yang
dapat menyimpang dan atau melanggar asas normatif ini; apalagi merubahnya.
2. Dengan mengakui kedudukan dan fungsi kaidah negara yang fundamental, dan bagi
negara Proklamasi 17 Agustus 1945 ialah berwujud: Pembukaan UUD Proklamasi
1945. Maknanya, PPKI sebagai pendiri negara mengakui dan mengamanatkan bahwa
atas nama bangsa Indonesia kita menegakkan sistem kenegaraan Pancasila UUD 45.
Asas demikian terpancar dalam nilai-niai fundamental yang terkandung di dalam
Pembukaan UUD 45 sebagai kaidah filosofis-ideologis Pancasila seutuhnya.
Karenanya dengan jalan apapun, oleh lembaga apapun tidak dapat diubah. Karena
Pembukaan ditetapkan hanya 1 X oleh pendiri negara yang memiliki legalitas dan
otoritas pertama dan tertinggi (sebagai penyusun yang mengesahkan UUD negara dan
lembaga-lembaga negara). Artinya, mengubah Pembukaan dan atau dasar negara
berarti mengubah negara; berarti pula mengubah atau membubarkan negara
Proklamasi (membentuk negara baru; mengkhianati negara Proklamasi 17 Agustus
1945). Siapapun dan organisasi apapun yang tidak mengamalkan dasar negara
Pancasila beserta jabarannya di dalam UUD negara bermakna pula tidak loyal dan
tidak membela dasar negara Pancasila, maka sikap dan tindakan demikian dapat
dianggap sebagai makar (tidak menerima ideologi negara dan UUD negara). Jadi,
mereka dapat dianggap melakukan separatisme ideologi dan atau mengkhianati
negara.
3. Penghayatan kita diperjelas oleh amanat pendiri negara di dalam Penjelasan UUD 45;
terutama melalui uraian: keempat pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 45 (sebagai
asas kerokhanian negara terutama:

4. Pokok pikiran yang keempat yang terkandung dalam "pembukaan" ialah negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemnusiaan yang adil dan
beradab.
Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang
mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk
memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh citacita moral rakyat yang luhur.
III. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung
dalam pembukaan dalam pasal-pasalnya.
Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini
mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar
negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum
yang tidak tertulis.
Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam
pasal-pasalnya."
Jadi, kedudukan Pembukaan UUD 45 berfungsi sebagai perwujudan dasar negara
Pancasila; karenanya memiliki legalitas supremasi dan integritas filosofis-ideologis
secara konstitusional (terjabar dalam Batang Tubuh dan Penjelasan UUD 45).
Sistem kenegaraan RI secara formal adalah kelembagaan nasional yang bertujuan
menegakkan asas normatif filosofis-ideologis sebagai kaidah fundamental dan asas
kerokhanian negara di dalam kelembagaan negara bangsa dengan membudayakannya.
B. Keunggulan Indonesia
Kita bangsa Indonesia wajib bersyukur dan bangga atas berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa bahwa bangsa dan NKRI diberkati dengan berbagai keunggulan potensial,
terutama:
1. Keunggulan natural (alamiah): nusantara Indonesia amat luas (15 juta km 2, 3 juta km2
daratan + 12 juta km2 lautan, dalam gugusan 17.584 pulau); amat subur dan nyaman
iklimnya; amat kaya sumber daya alam (SDA); amat strategis posisi geopolitiknya:
sebagai negara bahari (maritim, kelautan) di silang benua dan samudera sebagai
transpolitik-ekonomi dan kultural postmodernisme dan masa depan.
2. Keunggulan kuantitas-kualitas manusia (SDM) sebagai rakyat dan bangsa;
merupakan asset primer nasional: 235 juta dengan karakteristika dan jatidiri yang
diwarisinya sebagai bangsa pejuang silahkan dievaluasi bagaimana identitas dan
kondisi kita sekarang dalam era reformasi.
3. Keunggulan sosiokultural dengan puncak nilai filsafat hidup bangsa (terkenal sebagai
filsafat Pancasila) yang merupakan jatidiri nasional, jiwa bangsa, asas kerokhanian
negara dan sumber cita nasional sekaligus identitas dan integritas nasional.
4. Keunggulan historis; bahwa bangsa Indonesia memiliki sejarah keemasan: kejayaan
negara Sriwijaya (abad VII - XI); dan kejayaan negara Majapahit (abad XIII - XVI)
dengan wilayah kekuasaan kedaulatan geopolitik melebihi NKRI sekarang (dari
Taiwan sampai Madagaskar)

5. Keunggulan sistem kenegaraan Pancasila sebagai negara Proklamasi 17 Agustus


1945; terjabar dalam asas konstitusional UUD 45:
a. NKRI sebagai negara berkedaulatan rakyat (demokrasi);
b. NKRI sebagai negara hukum (Rechtsstaat);
c. NKRI sebagai negara bangsa (nation state);
d. NKRI sebagai negara berasas kekeluargaan (paham persatuan, wawasan nasional
dan wawasan nusantara);
e. NKRI menegakkan sistem kenegaraan berdasarkan UUD Proklamasi yang
memancarkan asas konstitusionalisme melalui tatanan kelembagaan dan
kepemimpinan nasional dengan identitas Indonesia, dengan asas budaya dan asas
moral filsafat Pancasila yang memancarkan identitas martabatnya sebagai sistem
filsafat theisme-religious. Asas demikian memancarkan keunggulan sistem filsafat
Pancasila (sebagai bagian dari sistem filsafat Timur) dalam menghadapi tantangan
dan godaan masa depan: neo-liberalisme, neo-imperialisme dalam
pascamodernisme yang mengoda dan melanda bangsa-bangsa modern abad XXI.
Keunggulan potensial demikian sinergis dan berpuncak dalam kepribadian SDM
Indonesia sebagai penegak kemerdekaan dan kedaulatan NKRI yang memancarkan
budaya dan moral Pancasila dalam mewujudkan cita-cita nasional. Potensi nasional dan
keunggulan NKRI akan ditentukan oleh kuantitas-kualitas SDM yang memadai + UUD
Negara yang mantap terpercaya bukan kontroversial sebagaimana UUD 45 amandem.
Melalui pendidikan nasional kita membina SDM unggul-kompetitif-terpercaya sebagai
subyek penegak dan bhayangkari sistem kenegaraan Pancasila UUD Proklamasi!
II.

SISTEM FILSAFAT DAN SISTEM KENEGARAAN


Setiap bangsa dan negara menegakkan sistem kenegaraannya berdasarkan sistem
filsafat dan atau ideologi nasionalnya; nilai fundamental ini menjiwai, melandasi dan
memandu tatanan dan fungsi kebangsaan, kenegaraan dan kebudayaan, yang secara
umum diakui sebagai Weltanschauung!
Sistem filsafat terutama mengajarkan bagaimana kedudukan, potensi dan martabat
kepribadian manusia di dalam alam; khususnya dalam masyarakat dan negara.
Karenanya, ajaran ini melahirkan teori hak asasi manusia (HAM) dan teori kekuasaan
(kedulatan) dalam negara; termasuk sistem ketatanegaraan dan sistem negara hukum.
Jadi, sistem kedaulatan maupun sistem negara hukum adalah ajaran filsafat yang
bertujuan menjamin HAM dalam budaya dan peradaban, istimewa dalam sistem
kenegaraan.
A.

Ajaran Sistem Filsafat tentang Kedudukan dan Martabat Manusia


Sejarah HAM membuktikan bahwa sepanjang peradaban senantiasa dalam
tantangan: Mesir purbakala, Cina, Yunani. . . sampai kolonialisme-imperialisme di Asia
dan Afrika baru runtuh pertengahan abad XX.
Nilai demokrasi sebagai suatu teori kedaulatan, atau sistem politik (kenegaraan)
diakui sebagai teori yang unggul, karena mengakui kedudukan, hak asasi, peran (fungsi),
bahkan juga martabat (pribadi, individu) manusia di dalam masyarakat, negara dan
hukum.

Secara universal diakui kedudukan dan martabat manusia sebagai dinyatakan,


antara lain: . . . these values be democratically shared in a world-wide order, resting on
respect for human dignity as a supervalue . . . (Bodenheimer 1962: 143). Sebagaimana
juga Kant menyatakan: . . .that humanity should always be respected as an end it self
(Mc Coubrey & White 1996: 84)
Pemikiran mendasar tentang jatidiri bangsa, peranannya dalam memberikan
identitas sistem kenegaraan dan sistem hukum, dikemukakan juga oleh Carl von Savigny
(1779 - 1861) dengan teorinya yang amat terkenal sebagai Volkgeist ---yang dapat
disamakan sebagai jiwa bangsa dan atau jatidiri nasional---. Demikian pula di Perancis
dengan "teori 'raison d' etat' (reason of state) yang menentukan eksistensi suatu bangsa
dan negara (the rise of souvereign, independent, and nationa state)". (Bodenheimer 1962:
71-72)
Demikianlah budaya dan peradaban modern mengakui dan menjamin kedudukan
manusia dalam konsepsi HAM sehingga ditegakkan sebagai negara demokrasi,
sebagaimana tersirat dalam pernyataan: . . . fundamental rights and freedom as highest
value as legal. (Bodenheimer 1962: 149) sebagaimana juga diakui oleh Murphy &
Coleman: . . . respect to central human values . . . (1996: 22; 37).
Berdasarkan berbagai pandangan filosofis di atas, wajarlah kita bangga dengan
filsafat Pancasila yang mengakui asas keseimbangan HAM dan KAM, sekaligus
mengakui kepribadian manusia sebagai subyek budaya, subyek hukum dan subyek moral.
Secara normatif filosofis ideologis, negara RI berdasarkan Pancasila UUD 45
mengakui kedudukan dan martabat manusia sebagai asas HAM berdasarkan Pancasila
yang menegakkan asas keseimbangan hak asasi manusia (HAM) dan kewajiban asasi
manusia (KAM) dalam integritas nasional dan universal.
Sebagai integritas nasional bersumber dari sila III, ditegakkan dalam asas
Persatuan Indonesia (= wawasan nasional) dan dijabarkan secara konstitusional sebagai
negara kesatuan (NKRI dan wawasan nusantara). Bandingkan dengan fundamental
values dalam negara USA sebagai terumus dalam CCE 1994: 24-25; 53-55, terutama:
"Declaration of independence, Human Rights, E Pluribus Unum, the American political
system, market economy and federalism."
NKRI berdasarkan Pancasila - UUD 45 memiliki integritas-kualitas keunggulan
normatif filosofis-ideologis dan konstitusional: asas theisme-religious dan UUD
Proklamasi menjamin integritas budaya dan moral politik yang bermartabat.
B.

Ajaran Sistem Filsafat Pancasila dan Sistem Kenegaraan RI


Filsafat Pancasila cukup memberikan kedudukan yang tinggi dan mulia atas
kedudukan dan martabat manusia (sila I dan II); karenanya ajaran HAM berdasarkan
Pancasila mengutamakan asas normatif theisme-religious:
1. bahwa HAM adalah karunia dan anugerah Maha Pencipta (sila I dan II); sekaligus
amanat untuk dinikmati dan disyukuri oleh umat manusia.
2. bahwa menegakkan HAM senantiasa berdasarkan asas keseimbangan dengan
kewajiban asasi manusia (KAM). Artinya, HAM akan tegak hanya berkat (umat)
manusia menunaikan KAM sebagai amanat Maha Pencipta.
3. kewajiban asasi manusia (KAM) berdasarkan filsafat Pancasila, ialah:
a. manusia wajib mengakui sumber (HAM: life, liberty, property) adalah Tuhan
Maha Pencipta (sila I).

b. manusia wajib mengakui dan menerima kedaulatan Maha Pencipta atas semesta,
termasuk atas nasib dan takdir manusia; dan
c. manusia wajib berterima kasih dan berkhidmat kepada Maha Pencipta, atas
anugerah dan amanat yang dipercayakan kepada (kepribadian) manusia.
Tegaknya ajaran HAM ditentukan oleh tegaknya asas keseimbangan HAM dan KAM;
sekaligus sebagai derajat (kualitas) moral dan martabat manusia.
Sebagai manusia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita juga bersyukur atas
potensi jasmani-rokhani, dan martabat unggul, agung dan mulia manusia berkat anugerah
kerokhaniannya ---sebagai terpancar dari akal-budinuraninya--- sebagai subyek budaya
(termasuk subyek hukum) dan subyek moral. (M. Noor Syam 2007: 147-160)
Berdasarkan ajaran suatu sistem filsafat, maka wawasan manusia (termasuk
wawasan nasional) atas martabat manusia, menetapkan bagaimana sistem kenegaraan
ditegakkan; sebagaimana bangsa Indonesia menetapkan NKRI sebagai negara
berkedaulatan rakyat dan negara hukum. Kedua asas fundamental ini memancarkan
identitas dan keunggulan sistem kenegaraan RI berdasarkan Pancasila UUD 45.
Ajaran luhur filsafat Pancasila memancarkan identitas theisme-religious
sebagai keunggulan sistem filsafat Pancasila dan filsafat Timur umumnya --- karena
sesuai dengan potensi martabat dan integritas kepribadian manusia---.
(Cermati keunggulan dan integritas NKRI sebagai diuraikan dalam I. B dan II. B).
III. SISTEM KENEGARAAN PANCASILA, AMANAT KONSTITUSIONAL UUD
45 (UUD Proklamasi) DAN PEMBUDAYAANNYA
Sesungguhnya secara filosofis-ideologis-konstitusional bangsa Indonesia
menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan dalam tatanan negara Proklamasi, sebagai
NKRI berdasarkan Pancasila-UUD 45, dengan asas dan identitas fundamental, adalah
fungsional sebagai asas kerokhanian-normatif-filosofis-ideologis dalam UUD 45.
Artinya, dasar negara Pancasila (filsafat Pancasila) ditegakkan dan dikembangkan
sebagai sistem ideologi negara (ideologi nasional). Secara kelembagaan negara,
ditegakkan sebagai sistem kenegaraan (in casu: sistem kenegaraan Pancasila; analog
dengan: sistem negara kapitalisme-liberalisme; dan sosialisme, atau marxismekomunisme).
Demi integritas sistem kenegaraan Pancasila sebagai diamanatkan UUD
Proklamasi 45, maka secara imperatif (mutlak, mengikat dan memaksa) Pemerintah
bersama semua komponen bangsa berkewajiban untuk menegakkan dan
membudayakannya; dalam makna menegakkan: N-Sistem Nasional.
A.

Filsafat Pancasila Sebagai Sistem Ideologi Nasional


Bahwa sesungguhnya UUD Negara adalah jabaran dari filsafat negara Pancasila
sebagai ideologi nasional (Weltanschauung); asas kerokhanian negara dan jatidiri
bangsa. Karenanya menjadi asas normatif-filosofis-ideologis-konstitusional bangsa;
menjiwai dan melandasi cita budaya dan moral politik nasional, terjabar secara
konstitusional:
1. Negara berkedaulatan rakyat (= negara demokrasi: sila IV).
2. Negara kesatuan, negara bangsa (nation state, wawasan nasional dan wawasan
nusantara: sila III), ditegakkan sebagai NKRI.

3.
4.

5.

Negara berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat): asas supremasi hukum demi


keadilan dan keadilan sosial: oleh semua untuk semua (sila I-II-IV-V); sebagai
negara hukum Pancasila.
Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan
yang adil dan beradab (sila I-II) sebagai asas moral kebangsaan kenegaraan RI;
ditegakkan sebagai budaya dan moral manusia warga negara dan politik kenegaraan
RI.
Negara berdasarkan asas kekeluargaan (paham persatuan: negara melindungai
seluruh tumpah darah Indonesia, dan seluruh rakyat Indonesia. Negara mengatasi
paham golongan dan paham perseorangan: sila III-IV-V); ditegakkan dalam sistem
ekonomi Pancasila (M Noor Syam, 2000: XV, 3).

Semua asas filosofis-ideologis demikian terjabar dalam UUD Proklamasi;


karenanya kewajiban semua lembaga negara dan kepemimpinan nasional untuk
melaksanakan amanat konstitusional dimaksud; terutama NKRI dengan identitas sebagai
negara demokratis dan negara hukum menegakkan HAM dengan asas dan praktek
budaya dan moral politik yang dijiwai moral filsafat Pancasila ---yang beridentitas
theisme-religious---. Amanat konstitusional ini secara kenegaraan terutama menegakkan
moral Ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab; dalam NKRI sebagai negara
hukum (Rechtsstaat) demi supremasi hukum dan keadilan serta keadilan sosial (oleh
semua, untuk semua!).
Sistem kenegaraan RI secara formal adalah kelembagaan nasional yang bertujuan
mewujudkan asas normatif filosofis-ideologis (in casu dasar negara Pancasila) sebagai
kaidah fundamental dan asas kerokhanian negara di dalam kelembagaan negara
bangsa (nation state).
Perwujudan Sistem NKRI Berdasarkan Pancasila - UUD 45

TAP
U

MPR
D

45

P A N C A S I L A
(MNS, 1985)
skema 1
Asas normatif fundamental ini bersumber dari sistem filsafat Pancasila yang
memancarkan identitas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religious.
(Bandingkan dengan berbagai sistem filsafat yang melandasi sistem kenegaraan dari:
negara komunisme, negara liberalisme-kapitalisme; negara sosialisme, zionisme maupun
fascisme). Jadi, bangsa dan NKRI secara normatif memiliki integritas dan kualitas
keunggulan sistem kenegaraan; karenanya kita optimis dapat menjadi bangsa dan negara
jaya (MNS, 2000: 45)
B. Sistem Kenegaraan Pancasila Tegak dalam N-Sistem Nasional

Menegakkan filsafat Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional, secara
kebangsaan dan kenegaraan berwujud sistem kenegaraan Pancasila. Sebab, setiap
sistem kenegaraan dilandasi sistem filsafat dan atau sistem ideologi.
Kesadaran dan kebanggaan nasional suatu bangsa terpancar dalam asas
kebangsaan (nasionalisme); sebagai wujud kesadaran jatidiri bangsa (jatidiri nasional,
identitas nasional) yang ditegakkan dalam semua bidang kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sistem kenegaraan demikian berwujud dikembangkannya dan ditegakkannya
berbagai sistem nasional sebagai pengamalan dan pembudayaan dasar negara dan
ideologi negara.
Pengembangan dan pembudayaan sistem nasional ini sebagai wujud kesadaran
nasional dan wawasan nasional; sekaligus sebagai fungsi dari asas imperatif
konstitusional sistem ideologi nasional. Sebaliknya, tidak dikembangkan dan
dibudayakannya N-sistem nasional adalah fenomena degradasi nasional yang bermuara:
disintegrasi nasional; dan keruntuhan sistem kenegaraannya.
Secara formal-struktural-kenegaraan asas normatif filosofis-ideologis Pancasila
dikembangkan (dijabarkan) dalam tatanan kenegaraan sebagai terlukis dalam skema
berikut.
N-SISTEM NASIONAL
SISTEM HUKUM NASIONAL
SISTEM POLITIK

SISTEM EKONOMI

N E G A R A H U K U M
FILSAFAT HUKUM
FILSAFAT NEGARA
SOSIO-BUDAYA & FILSAFAT HIDUP
NUSANTARA (ALH-SDA) & BANGSA (SDM) INDONESIA
*) =

N = sejumlah sistem nasional, terutama:


1. Sistem filsafat Pancasila
2. Sistem ideologi Pancasila
3. Sistem Pendidikan Nasional (berdasarkan) Pancasila
4. Sistem hukum (berdasarkan) Pancasila
5. Sistem ekonomi Pancasila
6. Sistem politik Pancasila (= demokrasi Pancasila)
7. Sistem budaya Pancasila
8. Sistem Hankamnas, Hankamrata
(MNS, 1988)
skema 2

Secara fundamental: normatif-filosofis-ideologis dan konstitusional skema di


atas melukiskan asas normatif: praktek budaya dan moral politik bangsa negara
sebagaimana tersurat dan tersirat dalam UUD Proklamasi (UUD 45). Pengamalan

amanat dimaksud terjabar dalam UUD 45, dan dikembangkan di dalam Tap MPR No.
XVII/MPR/1998 serta dilengkapi dengan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang
HAM.
IV. PROGRAM MENDASAR PENDIDIKAN PANCASILA DI PT
Sebagai amanat nilai dasar negara dan UUD negara, maka sistem pendidikan
nasional berkewajiban (imperatif) melaksanakan visi-misi pembudayaan nilai dasar
negara Pancasila, baik sebagai dasar negara maupun sebagai ideologi negara (ideologi
nasional). Visi-misi demikian tersurat dan tersirat dalam UUD Proklamasi seutuhnya.
Untuk pelaksanaannya secara melembaga, sebagai kurikulum dasar (core
curriculum, kurikulum inti) semua jenjang dan jenis pendidikan melaksanakan dengan
berpedoman kepada ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Inilah visi-misi
Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi khususnya, dan pendidikan kewarganegaraan
(PKn) untuk semua tingkat dan jenis pendidikan umumnya.
Memorandum
Dengan berpedoman kepada pasal-pasal UUD Proklamasi ini, dapat dikembangkan
tujuan, isi dan program pembinaan SDM unggul-kompetitif-terpercaya sebagai subyek
dalam NKRI. Mereka wajib dikembangkan sesuai kaidah fundamental Pancasila dan
UUD Proklamasi; terutama
1. Pembudayaan dasar negara Pancasila, khususnya sila I (Pasal 29) sebagai landasan
moral watak dan kepribadian SDM Indonesia;
2. Dalam bidang HAM mulai nilai sila I II IV dan V, dan jabarannya dalam UUD
(Pasal 28, 34) perlu pembudayaan dan pengamalan yang nyata.
3. Khusus kondisi sosial ekonomi, karena cukup menyimpang dari nilai dasar Pancasila
dan UUD (terutama sila V dan Pasal 33, 34) maka realitas aktual berupa ekonomi
liberal dan penguasaan berbagai sumber daya alam yang vital dan potensial oleh
investor, maka pendidikan kita kepada generasi penerus menjadi sekedar propaganda
dan kebohongan publik (yang mungkin ditertawakan mereka).
Peraturan Perundangan yang melandasi dan Kelembagaan pelaksana pendidikan nasional
wajib dan sungguh-sungguh dijiwai moral Pancasila, dilandasi dan dipandu UUD
Proklamasi. Karenanya, ketentuan-ketentuan di bawah ini mutlak (imperatif) untuk
ditinjau (direvisi, dicabut) demi kebenaran dan keadilan yang diamanatkan dasar negara
Pancasila dan UUD Proklamasi:
1. Cermati dan hayati: RUU BHP sebagai peningkatan dari PP No. 61 tahun 1999
tentang PTN sebagai BHMN (sungguh bertentangan dengan Pasal 31 dan 33 UUD
Proklamasi);
2. Peraturan Presiden No. 76 dan 77 tahun 2007 tentang PMDN dan PMA yang Tertutup
dan Terbuka (terutama: hayati items: 71 75) yang membahayakan jatidiri dan
integritas kepribadian generasi muda bangsa!
3. Senantiasa mewaspadai gerakan separatisme-ideologi, kanan: (neoliberalisme,
ekstrim kanan) dan ekstrim kiri (neo-PKI, KGB dan semua komponennya).
A. Landasan Pelaksanaan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi
Meskipun UU No. 20 tahun 2003 tidak mengandung kurikulum yang khusus
adanya program Pendidikan Pancasila, namun tetap diakui bahwa nilai Pancasila sebagai

dasar negara dan ideologi negara menjadi core curriculum (kurikulum dasar, kurikulum
inti), sebagai nilai dasar (nilai fundamental, core values) Indonesia.
Program pendidikan Pancasila di PT bahkan menjadi prioritas mendesak, supaya
para kader ilmuan, termasuk kader kepemimpinan dalam NKRI memiliki wawasan
nasional yang memadai demi tegaknya budaya dan moral politik nasional dari sistem
kenegaraan Pancasila.
Analisis: fenomena era reformasi, hampir semua komponen bangsa terlanda
praktek budaya dan moral politik liberalisme dan neoliberalisme; bahkan juga hanya
memuja kebebasan (baca: liberalisme) atas nama: demokrasi dan HAM. Akibatnya,
kondisi nasional makin mengalami konflik horisontal dan degradasi nasional; bahkan
juga bangkitnya neo-PKI (komunis gaya baru/KGB) dengan berbagai ormas mereka
(PRD, Papernas, dan sebagainya).
1. Program perkuliahan berpedoman kepada GBPP Pendidikan Pancasila yang
ditetapkan SK Dirjen Dikti No. 43/Dikti/Kep/2006, 2 Juni 2006 tentang Ramburambu Kelompok MKPK (Mata Kuliah Pembinaan Kepribadian) di PT.
2. Pengembangan SAP yang ada dapat disesuaikan dengan kondisi bangsa negara RI
sebagai kelanjutan reformasi dan tantangan globalisasi-liberalisasi-postmodernisme
dan kebangkitan neo-PKI (KGB).
3. Supaya para dosen mewajibkan mahasiswa untuk menulis:
a. Makalah (dengan alternatif topik: berbagai bidang sosial politik, ekonomi,
hukum, HAM maupun demokrasi; seperti: ekonomi Pancasila, ekonomi
kerakyatan, demokrasi Pancasila; dan sebagainya antara 2-3 halaman diketik
kwarto).
b. Ringkasan dari kepustakaan wajib dalam 3 4 halaman kwarto (print out).
c. Khusus bidang hukum, topik makalah, misal: NKRI Negara Hukum; Menegakkan
Supremasi Hukum berdasarkan Pancasila UUD 45; Menegakkan dan Menjamin
HAM dalam Negara Hukum RI; Piagam PBB tentang HAM Universal dalam
Tantangan Dunia Modern; Multi Partai dan Kebebasan (Demokrasi) Pancasila.
d. Pembudayaan dan Pelestarian Ideologi Pancasila dalam Era Liberalisasi;
Globalisasi dan Pascamodernisme Menggoda dan Melanda Negara Bangsa
(Nation State) dalam Fenomena abad XXI sebagai dimaksud ad. 2. di atas.
B. Program dan GBPP Pendidikan Pancasila di PTN-PTS
Program dimaksud secara mendasar dan komprehensif dapat dibahas melalui
thema dan sub-thema dalam GBPP yang dikembangkan dosen dan team dosen, terutama
meliputi:
1. Nusantara, sosio budaya dan sejarah nasional sebagai geopolitik dan geostrategis.
2. Filsafat hidup dan filsafat negara Pancasila (pokok-pokok ajarannya)
3. Kedudukan dan fungsi Pembukaan UUD 45 dan hubungannya dengan Batang Tubuh
dan Penjelasan.
4. Negara RI sebagai negara berkedaulatan rakyat (demokrasi, yakni demokrasi
Pancasila; asas dan tata kerja kelembagaannya).
5. Kedudukan dan fungsi kelembagaan berdasarkan UUD 45 (pra dan pasca
amandemen).

6. Sistem NKRI sebagai nation state: wawasan nasional dan wawasan nusantara.
Waspada terhadap berbagai kelompok ekstrim (kiri dan kanan) yang mengancam
integritas nasional.
7. Negara RI sebagai negara hukum: asas-asas dan sifat negara hukum.
8. Teori-teori HAM; dan ajaran HAM berdasarkan filsafat Pancasila.
9. Ekonomi kerakyatan sebagai demokrasi ekonomi: pemberdayaan rakyat sebagai
subyek ekonomi (teori dan praktek ekonomi Pancasila).
10. Pembinaan dan pengembangan SDM berkualitas sebagai manusia Indonesia baru
memasuki abad XXI sebagai tantangan globalisasi-liberalisasi dan pascamodernisme:
neoliberalisme-neoimperialisme.
11. Tantangan kebangkitan ideologi marxisme-komunisme-atheisme
12. Asas Ketahanan Nasional (trigatra + pascagatra = astagatra); sebagai bagian dari
geostrategi politik NKRI.
13. Asas-asas Wawasan Nusantara; nation state, jiwa kekeluargaan dan kesadaran
nasional (nasionalisme Indonesia: sila III Pancasila).
14. SDM Pancasilais sebagai subyek penegak sistem kenegaraan Pancasila (unggulkompetitif-terpercaya), dan wujud Ketahanan Nasional yang aktual!
15. Kesadaran tanggungjawab bina alam lingkungan hidup dan sumber daya alam (ALH
+ SDA) lokal, nasional dan global.
Kami harapkan GBPP yang ada dilengkapi pula dengan pokok-pokok sbb:
Materi pokok program Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, terutama meliputi:
1. Mantapnya rumusan tujuan pendidikan; secara mendasar dan komprehensif, dan
dijabarkan dalam komponen-komponen kepribadian SDM sebagai penegak dan
bhayangkari sistem kenegaraan Pancasila.
2. Mantapnya thema dan sub-thema pembahasan (sebagai diusulkan berikut), sesuai
dengan scope kebangsaan dan kenegaraan dalam sistem kenegaraan Pancasila sebagai
bangsa negara modern, berbudaya dan beradab; dan
3. Mantapnya thema dan sub-thema pembahasan tentang kehidupan nasional dalam
antar hubungan internasional (global): mulai politik bebas aktif; organisasi
internasional: PBB dan semua komponennya: IMF, World Bank; termasuk GNB dan
APEC; serta organisasi regional (ASEAN, SEAMEO).
Demi ketahanan nasional mendesak dilaksanakannya pembudayaan dasar
negara Pancasila, yang dipercayakan kepada lintas kelembagaan negara (Mendiknas;
Mendagri; Menag; LIPI; Lemhannas; Wantannas; Meneg Pemuda dan Olah Raga
(Menpora); dan Meneg Komunikasi dan Informasi (yang melaksanakan sosialisasi,
pembudayaan) secara nasional; serta berbagai potensi dalam komponen-komponen
kelembagaan keagamaan: seperti tokoh-tokoh MUI, para ulama dan pemuka agama dari
berbagai agama)
Dalam kehidupan dunia modern yang makin dinamis, terutama adanya
globalisasi-liberalisasi dan postmodernisme, bangsa Indonesia senantiasa mampu tegak
dalam pergaulan internasional berdasarkan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia
demi kesejahteraan umat manusia.
Semoga bermanfaat.

Malang, 11 Maret 2008


Mohammad Noor Syam
(Lab. Pancasila Universitas Negeri Malang)
Disampaikan kepada:
Yth. Bapak Cecep Darmawan, via: cecepdarmawan@yahoo.com

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan k Hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan karuniaNya yang telah dilimpahkan kepada penulis selama menempuh pendidikan
dan dalam menyusun Makalah yang berjudul Nilai-nilai pancasila yang terkandung
dalam sila ke-4 dalam perguruan tinggi.
Makalah ini disusun untuk menyelesaikan tugas Pancasila
Dalam penyusunan Makalah ini, penulis telah mendapatkan banyak bantuan,
dorongan motivasi dan masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. selaku dosen pengampu dalam penyusunan Makalah ini


2. Orang tua dan keluarga tercinta yang telah banyak memotivasi dalam penyelasaian
Makalah ini.
3. Rekan-rekan seangkatan dan seperjuangan serta semua pihak yang telah memberikan
masukan dan dukungan dalam penyelesaian Makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun
demi kesempurnaan Makalah ini. Semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi
mahasiswa/I Jurusan Kesehatan Lingkungan Pontianak dalam meningkatkan pengetahuan
tentang pancasila di masyarakat.

Pontianak,

November 2009

Penulis

B AC AAN

Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII),
Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________________ 2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid
II), Jakarta, Penerbit ArgaWijaya Persada.
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &
Noble, Inc.
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and
Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition),
Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III,
Malang, Laboratorium Pancasila.
------------------ 2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan SosioKultural, Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium
Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen
Grundbegriffe, Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cetakan
ke-6.
UNO 1988: HUMAN RIGHTS, Universal Declaration of Human Rights, New York,
UNO

CATATAN
Untuk Dewan Redaksi kami serahkan naskah dengan judul tersebut, sebagai pemikiran
mendasar dan mendesak dalam era reformasi. Semoga dapat dimuat (bila mungkin utuh;
atau dijadikan bersambung: 1 2 penerbitan). Terima kasih.
Pola penulisan dalam Jurnal: dimulai Abstrak, dilengkapi kata kunci, bila diperlukan:

Abstrak
Pancasila dasar negara RI, adalah ideologi nasional, terjabar dalam UUD Proklamasi.
Kelembagaan dan kepemimpinan negara wajib menegakkan dan membudayakannya;
demikian pula bagi generasi penerus. Karenanya, negara (i.c. Pemerintah) wajib
mendidikkannya bagi generasi penerus. Hanya dengan demikian visi-misi nasional akan
terlaksana, dan integritas bangsa dalam NKRI berdasarkan Pancasila UUD Proklamasi
tegak lestari.
Kata kunci
Dasar negara Pancasila, ideologi negara, UUD Proklamasi; SDM warga negara; budaya
dan moral politik; moral SDM Indonesia.
Kategori : Pendidikan
Melihat Permasalahan TKI dari Sudut Pandang Pendidikan Pancasila
Pendahuluan
Permasalahan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) bukan merupakan hal baru bagi bangsa Indonesia. Yan
(2004) mengatakan bahwa sejak era 1970-an, permasalahan ini menduduki posisi teratas. Selama
35 tahun, permasalahan TKI tidak mengalami perkembangan yang berarti. Rumitnya permasalahan
ini melibatkan banyak faktor baik dalam (Indonesia) maupun luar negeri (Malaysia). Juni (2005)
mengidentifikasikan beberapa faktor penyebab masalah ini tidak kunjung selesai, antara lain dari
dalam negeri meliputi permasalahan di bidang ekonomi, pemerintahan dan sosial. Sedangkan
permasalahan dari luar negeri meliputi tingginya permintaan akan tenaga kerja dari Indonesia
(Sadli, 2005).
Melihat banyaknya faktor yang saling berhubungan dalam permasalahan TKI ini, maka sebaiknya
kita mulai merenungkan kembali akar permasalahan yang membuat TKI tidak dimanusiawikan
oleh bangsanya sendiri (pemerintah) dan juga kualitas dari TKI itu sendiri. Bandingkan dengan
kualitas TKF (Tenaga Kerja Filipina) yang di atas rata-rata serta kepedulian pemerintah terhadap TKF
yang memperlakukan mereka seperti diplomat (Samhadi, 2005).
Makalah yang kami tulis ini akan mengulas beberapa permasalahan di atas secara singkat
berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Tujuan akhir dari penulisan ini adalah untuk meninjau ulang sikap
kita selama ini terhadap TKI, serta penyampaian saran tertulis untuk perbaikan sikap kita dan demi
kesejahetraan kita semua yang ditinjau secara akademis.
Tinjauan Nilai-nilai Pancasila
Di dalam alinea 4 pembukaan UUD 1945 tertulis Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu
pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
. Kalimat ini memiliki tujuan khusus, yaitu untuk realisasi pembangunan bangsa Indonesia ke
dalam dengan membentuk negara hukum formal dalam hubungannya melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta membentuk negara hukum material yang hubungannya
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa (Kaelan, 1999).

Kaelan, (1999) menyatakan bahwa dasar filsafat negara Indonesia bersumber dari hukum filosofis
(Pancasila) yang terdapat dalam anak kalimat alinea 4 pembukaan UUD 1945, yang berbunyi
..dengan berdasar kepada Tuhan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/ perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.. Pancasila mempunyai hakikat, sifat,
kedudukan dan fungsi sebagai pokok kaidah negara yang fundamental.
Dari pengertian di atas kita mengetahui bahwa Pancasila memiliki peran yang sangat penting bagi
bangsa Indonesia. Jika mengkaji lebih lanjut, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, maka jelas
bahwa Pancasila terdiri atas kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur yang merupakan wawasan yang
menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri. Pandangan hidup berfungsi sebagai kerangka aturan
untuk menata kehidupan individu maupun sosial dalam masyarakat serta hubungan dengan alam
sekitarnya. Dalam pengertian tersebut, maka proses perumusan pandangan hidup masyarakat
dituangkan dan dikembangkan menjadi pandangan hidup bangsa, dituangkan dan dilembagakan
menjadi pandangan hidup negara yang disebut sebagai ideologi bangsa dan pandangan hidup
negara disebut ideologi negara (Kaelan, 1999).
Dari penjelasan di atas kita bisa mengetahui hubungan antara pembukaan UUD 1945 dengan
Pancasila. Hubungan tersebut digolongkan menjadi dua, yaitu secara formal dan material. Secara
formal; Dengan dicantumkannya Pancasila secara formal dalam pembukaan UUD 1945, maka
Pancasila memperoleh kedudukan sebagai norma dasar hukum positif. Dengan demikian, tata
kehidupan bernegara tidak hanya betopang pada asas-asas sosial, ekonomi, politik, akan tetapi
dalam perpaduannya dengan keseluruhan asas yang melekat padanya, yaitu perpaduan asas
kultural, religius dan asas-asas kenegaraan yang unsurnya terdapat dalam pancasila.
Sedangkan secara material; Pancasila sebagai sumber tertib hukum di Indonesia yang meliputi
sumber nilai, sumber materi, sumber bentuk dan sifat yang merupakan pokok kaidah negara secara
fundamental.
Tinjauan Artikel
McClelland dalam Mukadis (2005) mengelompokkan kebutuhan sosial manusia sebagai individu
menjadi tiga, antara lain (1) Hasrat berprestasi (need for Achievement, nAch), (2) Hasrat berkuasa
(need for Power, nPow) dan (3) Hasrat berkelompok (need for Affiliation, nAff). Mukadis (2005)
menyatakan bahwa ketiga kebutuhan sosial itu merupakan salah satu faktor penyebab tidak
selesainya permasalahan TKI. Dari hasil personel audit yang dilakukan oleh sejumlah badan usaha
milik negara (BUMN) dan pegawai negeri sipil (PNS), ternyata ditemukan kecenderungan tingginya
nPow pada golongan III B ke atas. Sebaliknya pada golongan II D ke bawah, nAch memiliki
kecenderungan yang tinggi Mukadis (2005). Dari hasil penelitian tersebut, maka secara sederhana
kita bisa menyimpulkan bahwa ternyata kebanyakan para pemegang keputusan di negeri ini tidak
menunjukkan contoh yang bagus. Mereka cenderung untuk menunjukkan kekuasaannya bukan
pelayanannya kepada masyarakat (TKI). Bisa dikatakan mereka bersikapa acuh tak acuh terhadap
nasib jutaan TKI di luar negeri.
Apabila kita melihat kepedulian pemerintah Filipina kepada tenaga kerjanya sangat bertolak
belakang dengan Indonesia. Pemerintah Filipina mendukung secara aktif, dimana mereka ikut
terlibat sejak pengurusan penempatan kerja, advokasi, kesejahteraan, pengurusan kepulangan dan
lain sebagainya (Samhadi, 2005).
Hal ini sangat bertolak belakang dengan Filipina. Jika dibandingkan, Indonesia tidaklah jauh berbeda
dengan Filipina. Indonesia sama-sama merupakan negara berkembang di asia tenggara dengan
permasalahan ekonomi, ketenagakerjaan serta penduduk yang padat. Namun jika dilihat dari
kualitas SDM mereka, bisa dikatakan kita tertinggal jauh. Sebagai bukti, Filipina tidak lagi tergolong
sebagai negara korup di Asia. Jika dilihat dari parameter tingkat pendidikan serta kesehatan, Filipina
cukup unggul (Kompas, 2005).
Samhadi (2005) melaporkan bahwa kebanyakan dari TKF ini berpendidikan tinggi (Akademi,
Perguruan tinggi).
Penyebab permasalahan bukan hanya dari sisi pemerintahan saja, tetapi juga melibatkan TKI itu
sendiri. Jika dilihat dari segi sosial ekonomi, Mukadis (2005) menganalisa bahwa penyebab
banyaknya jumlah TKI antara lain kurangnya lapangan kerja karena pengaruh krisis ekonomi,
paradigma berpikir yang tidak kreatif, tidak ditanamkannya sikap berani (be a pigeon among the
peacock), kurangnya penghargaan dari bangsa sendiri, dipermalukan jika memiliki pendapat yang
berbeda. Diduga akar dari semua permasalahan di atas berasal dari cara pendidikan bangsa
Indonesia yang tidak benar.

Pembahasan
Berdasarkan identifikasi yang dilakukan oleh Juni (2005), beberapa faktor penyebab tidak selesainya
permasalahan TKI dari dalam negeri (Indonesia), antara lain permasalahan di bidang ekonomi,
pemerintahan dan sosial. Mengkaji permasalahan sosial dan ekonomi, maka salah satu sila yang
berbicara banyak tentang hal itu adalah sila ke lima Pancasila. Sila ke lima dalam penyusunanya
didasari, diliputi dan dijiwai oleh keempat sila yang lain (Kaelan, 1999). Dengan kata lain Sila
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah ber-Ketuhanan yang Maha Esa,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia dan berkerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat klebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (Notonagoro, 1975). Pemahaman
dari sila ke lima tersebut ternyata belum sepenuhnya bisa dijalankan oleh bangsa Indonesia
secara murni dan konsekuen. Hal tersebut bisa dilihat dari kasus TKI 31 Januari 2005. Pada kasus
tersebut, tergambar jelas rendahnya tingkat kesejahteraan umum serta kecerdasan bangsa
Indonesia yang bekerja di luar negeri. Bandingkan dengan Filipina yang memiliki tingkat SDM dan
kesejahteraan yang di atas rata-rata.
Kemudian muncul pertanyaan mengapa kita bisa kalah bersaing dengan Filipina. Kami melihat
banyak faktor yang cukup berperan dalam permasalahan ini, tetapi dalam pembahasan ini kami
akan membatasi pada sisi pemerintahan saja. Jika membahas tentang pemerintahan, maka menurut
kami teori kebutuhan McClelland dalam Mukadis (2005) mampu menjawabnya. Dari hasil penelitian
yang telah dilakukan (Mukadis, 2005), terlihat bahwa ternyata kebanyakan para pemegang
keputusan di negeri ini tidak menunjukkan contoh yang bagus. Mereka cenderungan minta untuk
dilayani (tingginya nPow) daripada untuk melayani. Bisa dikatakan mereka bersikapa acuh tak acuh
terhadap nasib jutaan TKI di luar negeri. Hal tersebut sangat bertolak belakang sikap pemerintah
Filipina yang mendukung tenaga kerja mereka secara aktif, sejak pengurusan penempatan kerja,
advokasi, kesejahteraan, pengurusan kepulangan dan lain sebagainya (Samhadi, 2005).
Perbandingan kinerja pemerintahan (birokrat) dari kedua negara sudah sangat jelas berbeda.
Birokrat Filipina sangat menonjolkan pelayanan mereka kepada masyarakat, sedangkan Indonesia
adaloah sebaliknya. Semangat pelayanan (nAch) birokrat kita diragukan.
Sampai disini kita bisa melihat, bahwa ternyata betapa jauh perbedaan kita dengan negara tetangga
kita (Filipina).
Apabila kita mau menilik kedalam, sikap para birokrat kita yang seperti itu sudah melanggar
konsensus bersama yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang merupakan dasar berdirinya
negara ini. Konsensus bersama itu merupakan pandangan hidup bangsa yang dibangun dari nilainilai luhur bangsa ini. Betapa egoisnya birokrat kita karena sudah menelantarkan ribuan WNI yang
berstatus TKI di luar negeri.
Di dalam alinea 4 pembukaan UUD 1945 tertulis Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu
pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
. Kalimat ini memiliki tujuan khusus, yaitu untuk realisasi pembangunan bangsa Indonesia ke
dalam dengan membentuk negara hukum formal dalam hubungannya melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta membentuk negara hukum material yang hubungannya
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa (Kaelan, 1999).
Para pengambil keputusan kita ternyata belum memahami sepenuhnya maksud serta tujuan dari
kalimat yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945. Seandainya mereka mau memahami serta
melaksanakannya, menurut pendapat kami permasalahan TKI yang telah ada sejak 1970-an tidaklah
akan berlarut-larut. Permasalahan dari oknum birokrat ini, berdasarkan hasil analisa kami adalah
paradigma mereka yang mati. Kematian paradigma ini banyak sekali penyebabnya, tetapi kami
melihatnya berdasarkan ulasan artikel yang ditulis Mukadis (2005).
Di dalam artikelnya Mukadis (2005) memaparkan adanya kesalahan cara berpikir dari kebanyakan
orang terdidik di negeri ini. Kesalahan berpikir itu antara lain paradigma berpikir yang tidak kreatif,
tidak ditanamkannya sikap berani (be a pigeon among the peacock), kurangnya penghargaan dari
bangsa sendiri, dipermalukan jika memiliki pendapat yang berbeda. Diduga akar dari semua
permasalahan di atas berasal dari cara pendidikan bangsa Indonesia yang tidak benar. Kita mau
mengakui atau tidak inilah sekarang yang kebanyakan kita temui di masyarakat. Permasalahan ini
merupakan induk dari semua permasalahan yang ada di negeri ini. Jika masalah inti tidak dapat
diselesaikan, maka masalah yang lain tidak akan selesai juga.
Ulasan kami di atas menyatakan bahwa pendidikan merupakan masalah penting yang harus
diselesaikan terlebih dahulu. Kami menyatakan pendidikan sangat penting dan merupakan hal yang
mendasar karena dari pendidikan cara pandang seseorang terhadap permasalahan yang terjadi di

sekitarnya mulai terbentuk.Pola-pola berpikir, mengambil keputusan mulai terasah dan tertanam.
Maka bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika pendidikan awal sudah salah, tentunya dalam
perkembangan selanjutnya akan semakin bertambah parah. Dengan kata lain menyimpang dari
jalur yang seharusnya (melanggar konsensus).

Kesimpulan
Permasalahan yang kami temui dalam artikel menunjukkan bahwa sikap birokrat kita sudah
menyalahi konsensus bangsa (Pancasila). Ini semua disebabkan karena kesalahan cara berpikir yang
salah satu penyebabnya dari kesalahan pola pendidikan yang diterima sejak awal.
Saran
Untuk menyelesaikan semua permasalahan, langkah yang terbaik menurut kami adalah mengubah
cara
pendidikan kita. Dilakukan dengan reformating metode pendidikan yang dilakukan. Bukan hanya
memikirkan kuantitas tetapi juga kualitas anak didik yang didasarkan pada konsensus bersama
(Pancasila).
(Sumber : http://hendra-aquan.blog.friendster.com)

MARJINALISASI PANCASILA
DUTA MASYARAKAT | 11 AGUSTUS 2009

BACA JUGA
Muslim berpengaruh dunia
Islam itu merakyat
SBY jinakkan angket Century
Stop terorisme, stop perang Afghanistan
FB jadi ajang dukungan
Meski jadi cawawali

Pancasila adalah ideologi bangsa dan dasar negara Indonesia. Sayangnya, belakangan ini Pancasila hanya
dijadikan jargon dan slogan belaka.
Nilai-nilainya kerap dilupakan. Didasari fenomena ini, setiap hari Selasa dan Kamis, Harian Umum Duta
Masyarakat menyajikan artikel, opini, dan reportase seputar Pancasila. Ini sebagai ikhtiar membumikan
Pancasila sebagai landasan idiil bagi sistem pemerintahan dan landasan etis-moral kehidupan berbangsa,
bernegara, serta bermasyarakat.
-

PANCASILA yang sudah kita sepakati bersama menjadi dasar negara kini seakan telah ditelan bumi. Kini
Pancasila sudah tidak lagi menjadi bahan perbincangan baik dalam forum resmi, seperti seminar maupun
obrolan santai di warung kopi. Masyarakat lebih antusias membicarakan kerusuhan dalam pilkada, prokontra seputar pemberian gelar pahlawan kepada almarhum mantan Presiden Soeharto, acara-acara
televisi yang semakin kurang bermutu dan hal-hal lain yang kurang penting daripada membicarakan
bagaimana nasib Pancasila yang kini sudah mulai hilang dari perbincangan publik. Pancasila hanya
dijadikan bahan seremonial dalam pelaksanaan upacara.
Kondisi di atas diperparah lagi dengan gejala bahwa kini akademisi, pejabat sipil dan militer, serta politisi
hampir tidak pernah menjadikan Pancasila sebagai perspektif dalam mengomentari berbagai persoalan
yang dihadapi bangsa dan negara kita. Mereka lebih sering menggunakan perspektif teori-teori Barat yang
belum tentu sesuai dengan kondisi sosial budaya kita. Padahal nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila
Pancasila kalau kita kaji secara mendalam dapat menjadi inspirasi dalam penyelesaian persoalan yang kita
hadapi dewasa ini.
Implementasi Pancasila
Secara formalitas hampir semua rakyat Indonesia mengakui bahwa dasar negara kita adalah Pancasila.
Pertanyaan mendasar sekarang adalah apakah seluruh rakyat Indonesia, baik yang menjadi penguasa
maupun rakyat biasa sudah menerima sepenuhnya Pancasila dan berusaha mengimplementasikannya
dalam kehidupan sehari-hari? Kalau memperhatikan kondisi bangsa yang saat ini masih terpuruk dengan
berbagai krisis yang belum kunjung selesai, rasanya kita sebagai bangsa harus berani mengakui bahwa
nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya kita amalkan. Pancasila masih sebatas retorika dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Nilai ketuhanan belum sepenuhnya diimplementasikan karena kerukunan hidup beragama masih belum
sepenuhnya tercipta. Kasus Ambon dan Poso bisa menjadi suatu bukti. Nilai kemanusiaan yang adil dan
beradab masih belum terwujud sepenuhnya, karena masih banyak kekerasan kita saksikan. Nilai persatuan
Indonesia belum menjadi pilihan sikap seluruh bangsa Indonesia, karena masih ada saudara kita yang ingin
memisahkan diri dari NKRI. Nilai permusyawaratan perwakilan masih jauh dari harapan, karena masih
banyak saudara kita yang menyelesaikan suatu persoalan dengan cara-cara kekerasan (anarkis). Nilai
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia juga masih belum sepenuhnya terlaksana, karena angka
kemiskinan dan pengangguran masih cukup tinggi.
Kembali ke Pancasila
Solusi terbaik untuk mengatasi persoalan-persoalan kebangsaan di atas adalah dengan kembali ke nilainilai Pancasila. Pertanyaannya adalah bagaimana cara kembali ke Pancasila? Pertama, membumikan
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Membumikan Pancasila berarti
menjadikan nilai-nilai Pancasila menjadi nilai-nilai yang hidup dan diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu Pancasila yang sesungguhnya berada dalam tataran filsafat harus diturunkan ke
dalam hal-hal yang sifatnya implementatif.
Sebagai ilustrasi nilai sila kedua

Pancasila harus diimplementasikan melalui penegakan hukum yang adil dan tegas. Contoh, aparat penegak
hukum (polisi, jaksa, dan hakim) harus tegas dan tanpa kompromi menindak para pelaku kejahatan,
termasuk koruptor. Jadi membumikan Pancasila salah satunya adalah dengan penegakan hukum secara
tegas. Tanpa penegakan hukum yang tegas, maka Pancasila hanya rangkaian kata-kata tanpa makna dan
nilai serta tidak mempunyai kekuatan apa-apa.
Kedua, internalisasi nilai-nilai Pancasila, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal (masyarakat).
Pada tataran pendidikan formal perlu revitalisasi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (dulu
Pendidikan Moral Pancasila) di sekolah. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan selama ini dianggap
oleh banyak kalangan gagal sebagai media penanaman nilai-nilai Pancasila. Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan hanya sekedar menyampaikan sejumlah pengetahuan (ranah kognitif) sedangkan ranah
afektif dan psikomotorik masih kurang diperhatikan. Ini berakibat pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan cenderung menjenuhkan siswa. Hal ini diperparah dengan adanya anomali antara nilai
positif di kelas tidak sesuai dengan apa yang terjadi dalam realitas sehari-hari. Sungguh dua realitas yang
sangat kontras dan kontradiktif.
Oleh karena itu pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan harus dikemas sedemikian rupa, sehingga
mampu menjadi alat penanaman nilai-nilai Pancasila bagi generasi muda.
Pada tataran masyarakat, internalisasi Pancasila gagal menjadikan masyarakat Pancasilais. Pola penataran
P4 yang dipakai sebagai pendekatan rezim Orde Baru juga gagal mengantarkan masyarakat Pancasilais.
Hal ini disebabkan Pancasila justru dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan. Ketika reformasi seperti saat
ini, Pancasila justru semakin jauh dari perbincangan, baik oleh masyarakat maupun para elit politik.
Pancasila seakan semakin menjauh dari keseharian kita.
Sungguh ironis sebagai bangsa pejuang yang dengan susah payah para pendiri negara (founding fathers)
menggali nilai-nilai Pancasila dari budaya bangsa, kini semakin pudar dan tersisih oleh hiruk pikuk reformasi
yang belum mampu menyelesaikan krisis multidimensional yang dialami bangsa dan negara Indonesia.
Oleh karena itu perlu dicari suatu model (pendekatan) internalisasi nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat
yang tepat dan dapat diterima, seperti melalui pendekatan agama dan budaya.
Ketiga, ketauladanan dari para pemimpin, baik pemimpin formal (pejabat negara) maupun informal (tokoh
masyarakat). Dengan ketauladanan yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, diharapkan masyarakat luas akan
mengikutinya. Hal ini disebabkan masyarakat kita masih kental dengan budaya paternalistik yang
cenderung mengikuti perilaku pemimpinnya. Sudah semestinya kita bangga kepada bangsa dan negara
Indonesia yang berideologikan Pancasila. Mari kita kembali ke jati diri bangsa (Pancasila) dalam
menyelesaikan setiap masalah kebangsaan yang kita hadapi.

http://dutamasyarakat.com/artikel-21762-marjinalisasi-pancasila.html
PANCASILA DAN FILSAFAT PENDIDIKAN
PANCASILA

Tuesday, 02 June 2009 18:38

Oleh: H. Oong Komar

Siswa umumnya memiliki sikap belajar bila akan ulangan dan ujian. Keseharian waktu mereka
setelah sekolah, habis untuk keluyuran. Keluhan pun muncul dari kebanyakan orang tua
mengenai kurangnya motivasi belajar anaknya. Bahkan, terdapat orang tua yang "meminta"
tugas

pekerjaan

rumah

kepada

guru

untuk

mengekang

keluyuran

anaknya.

Kebiasaan belajar bila akan ulangan dan ujian, sebenarnya siswa itu butuh motivasi bentuk
proximity goals. Yaitu, tujuan yang konkret, jelas, terukur, aplikatif, dan berwujud. Anjuran
belajar saja sering diacuhkan siswa karena dianggap tujuan belajar itu tidak konkret (abstrak).
Sedangkan ulangan, ujian, dan tugas dipandang siswa merupakan tujuan yang konkret dan
berwujud.
Bagaimana mengonkretkan tujuan agar siswa termotivasi belajar? Jawabannya tidak
sesederhana pertanyaan, tetapi sangat dalam dan menyangkut inti persoalan pendidikan.
Butuh penjabaran pertanyaan yang lebih luas, yaitu bagaimana merumuskan tujuan sekolah
yang sekonkret mungkin? Bagaimanakah rumusan tujuan SD, SMP, dan SMA yang konkret?
Contoh, apakah tujuan SMP itu untuk memperoleh kelulusan mata pelajaran Ujian Nasional?
Apakah tujuan SMP untuk dapat melanjutkan ke SMA yang bermutu ataukah sekadar bebas
dari

tuntutan

wajib

belajar

pendidikan

dasar

sembilan

tahun?

Selain itu, mengonkretkan rumusan tujuan sekolah sangat bergantung pada filsafat yang
dipilih oleh bangsa sebagai acuan pendidikannya. Bila bangsa Indonesia memilih acuan
Pancasila, maka Pancasila harus dipandang juga sebagai filsafat pendidikan bangsanya. Bila
kurikulum yang berlaku memilih acuan pragmatisme, filsafat pragmatis itulah yang
dielaborasi/dijabarkan

menjadi

tujuan-tujuan

sekolah.

Pancasila bagi bangsa Indonesia kiranya telah sepakat sebagai jati diri, kepribadian, falsafah
hidup, dan landasan hidup berbangsa dan bernegara. Pancasila selama ini terus menjadi
bahan ajar di setiap lembaga pendidikan. Dengan demikian, bahan ajar Pancasila diperoleh
warga

negara

dari

SD

sampai

perguruan

tinggi.

Seberapa jauh siswa memperoleh indikator konkret dari Pancasila? Paling tidak siswa
memahami kaitan bahan ajar di sekolah dengan Pancasila sebagai filsafat pendidikan bangsa
Indonesia. Yaitu bagaimana secara rasional bahwa mata pelajaran kewarga-negaraan,
pendidikan agama, IPA, IPS, kesenian, olah raga, muatan lokal, dan lain-lain, merupakan hasil
elaborasi dari pilihan acuan filsafat pendidikan Pancasila? Bahkan, bagaimana filsafat
pendidikan Pancasila dielaborasi menjadi jalur, jenis, jenjang, dan satuan pendidikan.

Bagaimana filsafat pendidikan dielaborasikan ke dalam jenjang pendidikan dasar, menengah,


dan

tinggi

(SD,

SMP,

SMA,

dan

perguruan

tinggi)?

Pancasila sebagai filsafat pendidikan bangsa harus menampakkan diri sebagai indikator
karakteristik mentalitas bangsa Indonesia. Rumusan mentalitas itu sebagai sosok acuan
bangsa, termasuk pendidikan sehingga dimensi karakteristik mentalitas itu menjadi tujuan
pendidikan. Tujuan pendidikan itulah yang dielaborasi menjadi tujuan institusional, tujuan
kurikuler,

dan

tujuan

instruksional.

Bagaimanapun, untuk menetapkan arah pendidikan, tidak akan lepas dari persoalan tujuan
hidup dan maknanya bagi individu dan masyarakat. Oleh karena itu, tujuan hidup masyarakat
melekat pada nilai-nilai masyarakat dan perubahannya. Kekonkretan tujuan hidup tergambar
dengan menjawab pertanyaan, bagaimana seharusnya anggota masyarakat hidup dalam
masyarakatnya?
Apa

karakteristik

manusia

yang

dicita-citakan

(manusia

ideal)

oleh

masyarakat?

Bagaimanakah gambaran kehidupan yang sempurna, baik di dunia maupun di akhirat kelak?
Jawabannya merupakan sumber acuan untuk penetapan arah tujuan hidup masyarakat. Tugas
para ahli pendidikan nasional bertindak untuk menyerap pengkristalan nilai yang terdapat
dalam masyarakat dan perubahannya. Nilai itu kemudian ditetapkan sebagai tujuan hidup.
Bagaimana tujuan hidup harus dicapai anggota masyarakat dalam perjalanan hidupnya
merupakan tindakan para ahli pendidikan nasional berikutnya untuk dielaborasikan ke dalam
tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan instruksional.
Pengelaborasian tujuan hidup menjadi tujuan pendidikan diperlukan kemampuan deduktif
filosofis.
Dengan demikian, kedudukan filsafat dan filsafat pendidikan sangat berperan sentral,
terutama

pada

penentuan

tujuan

pendidikan.

Yaitu

bagaimana

menjabarkan/mengelaborasikan filsafat hidup atau tujuan hidup menjadi tujuan pendidikan.


Kesesuaian antara filsafat hidup dan tujuan pendidikan dapat menentukan hasil pendidikan
yang

akan

dicapainya.

Jadi, Pancasila menjadi filsafat pendidikan Pancasila berkenaan dengan kepastian mekanisme
penyerapan kristalisasi nilai yang menjadi harapan masyarakat, kemudian dirumuskan
menjadi tujuan pendidikan sehingga arah dan landasan pendidikan nasional Indonesia yang
bersifat filosofis, yaitu filsafat pendidikan Pancasila. ***

Penulis: Dosen Pascasarjana UPI.


Sumber: Harian Pikiran Rakyat, Selasa 2 Juni 2009

http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/pendidikan/4236-pancasila-dan-filsafatpendidikan-pancasila.html

Anda mungkin juga menyukai