TINJAUAN PUSTAKA
1.1. PENGERTIAN DIABETES MELITUS
Diabetes Mellitus (DM) merupakan keadaan hiperglikemi kronik yang disertai
berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai
komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah. Diabetes Mellitus
klinis adalah suatu sindroma gangguan metabolisme dengan hiperglikemia yang tidak
semestinya sebagai akibat suatu defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya
efektifitas biologis dari insulin atau keduanya.
DM merupakan sekelompok kelainan yang ditandai oleh peningkatan kadar
glukosa darah (hiperglikemi). Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah
tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dalam makanan yang dikonsumsi.
Insulin, yaitu suatu hormon yang diproduksi pankreas, mengendalikan kadar glukosa
dalam darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya.
Pada diabetes, kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat
menurun, atau pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin. Keadaan
ini dapat menimbulkan hiperglikemia yang dapat mengakibatkan komplikasi
metabolik akut seperti dibetes ketoasidosis dan sindrom hiperglikemia hiperosmolar
nonketotik (HHNK). Hiperglikemia jangka panjang dapat mengakibatkan komplikasi
mikrovaskular yang kronis (penyakit ginjal dan mata) dan komplikasi neuropati
(penyakit pada saraf). DM juga meningkatkan insiden penyakit makrovaskuler yang
mencakup insiden infark miokard, stroke dan penyakit vaskuler perifer.
Diabetes mellitus merupakan masalah endokrin yang paling sering dihadapi
ahli anestesi dalam melakukan pekerjaannya. Sebanyak 5 % orang dewasa di Barat
mengidap diabetes mellitus, lebih dari 50 % penderita diabetes mellitus suatu saat
mengalami tindakan pembedahan dalam hidupnya dan 75 % merupakan usia lanjut di
atas 50 tahun. Sedangkan di Indonesia angka prevalensi penderita diabetes mellitus
adalah 1,5 % dan diperkirakan 25 % penderita diabetes mellitus akan mengalami
pembiusan dan pembedahan. Karena faktor penyulit inilah mereka lebih banyak
memerlukan pembedahan dari pada orang lain.
Penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas pada diabetes mellitus adalah
karena penyulit kronis, hal tersebut terjadi karena hiperglikemia yang tak terkontrol
dalam jangka waktu lama, berupa mikro dan makroangiopati. Penyulit kronis tersebut
1
gangguan rasa
mengalami cedera tanpa disadari. Akibatnya, kalus dapat berubah menjadi ulkus yang
bila disertai dengan infeksi berkembang menjadi selulitis dan berakhir dengan
gangren.
Gangguan saraf autonom mengakibatkan hilangnya sekresi kulit sehingga kulit
kering dan mudah mengalami luka yang sukar sembuh. Infeksi dan luka ini sukar
sembuh dan mudah mengalami nekrosis akibat dari tiga faktor. Faktor pertama adalah
angiopati arteriol yang menyebabkan perfusi jaringan kaki kurang baik sehingga
mekanisme radang jadi tidak efektif. Faktor kedua adalah lingkungan gula darah yang
subur untuk perkembangan bakteri patogen. Faktor ketiga terbukanya pintas arterivena di subkutis, aliran nutrien akan memintas tempat infeksi di kulit.
1.4. DIAGNOSIS
Diagnosis klinis DM umumnya akan akan dipikirkan bila ada keluhan khas
DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah,
kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae
pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaaan glukosa darah sewaktu 200
mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM karena
lebih mudah diterima oleh pasien serta murah. Untuk kelompok tanpa keluhan khas
DM , hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, baik kadar
glukosa darah puasa 126 mg/dl. Kadar glukosa darah sewaktu mg/dl pada hari
yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa
darah pasca pembebanan 200mg/dl. Namun TTGO dalam prakteknya sangat jarang
dilakukan.
Asimtomatis atau gejala tidak khas dengan hanya berupa kesemutan ringan.
Kaki neuropati
Pada keadaan ini terjadi kerusakan saraf somatik, baik sensoris maupun motorik
serta saraf otonom, tetapi sirkulasi masih utuh. Neuropati menghambat impul
rangsangan dan memutus jaringan komunikasi dalam tubuh. Neuropati sensoris
memberikan gejala berupa keluhan kaki kesemutan dan kurang rasa terutama di
daerah ujung kaki. Neuropati motorik ditandai dengan kelemahan otot, atropi otot,
mudah lelah, deformitas ibu jari dan sulit mengatur keseimbangan tubuh. Pada kaki
neuropati kaki masih teraba hangat, denyut nadi teraba, reflek fisiologi menurun dan
kulit jadi kering. Bila terjadi luka, sembuhnya lama.
1
Kaki iskhemia
Ditandai dengan berkurangnya suplai darah. Namun pada keadaan ini sudah ada
kelainan neuropati pada berbagai stadium. Pasien mengeluh nyeri tungkai bila berdiri,
berjalan atau saat melaksanakan aktivitas fisik lain. Kesakitan juga dapat terjadi pada
arkus pedis saat istirahat atau malam hari. Pada pemeriksaan terlihat perobahan
warna kulit jadi pucat, tipis dan berkilat atau warna kebiruan. Kaki teraba dingin dan
nadi poplitea atau tibialis posterior sulit di raba. Dapat ditemukan ulkus akibat
tekanan lokal. Ulkusnya sukar sembuh dan akhirnya menjadi ganggren.
Berdasarkan berat ringannya lesi, kelainan kaki diabetik menurut Wagner di bagi
atas 6 derajat, yaitu:
- Derajat 0
Kulit utuh tapi kelainan bentuk kaki
akibat neuropati.
Derajat I
Ulkus superfisial terbatas pada kulit
Derajat II
Ulkus dalam menembus tendon /
Tulang.
Derajat III
Ulkus dengan atau tanpa
Osteomielitis.
Derajat IV
Gangren jari kaki atau bagian distal
kaki dengan / tanpa selulitis.
Derajat V
Gangren seluruh kaki atau bagian
tungkai bawah.
Berdasarkan pembagian di atas, maka tindakan pengobatan atau pembedahan dapat
di tentukan sebagai berikut :
Derajat 0
Perawatan lokal secara khusus
9
tidak ada.
Derajat I IV
Pengelolaan medik dan tindakan
bedah minor.
Derajat V
Tindakan bedah minor, bila gagal
Di lanjutkan dengan tindakan bedah
mayor.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dengan penentuan derajat lesinya.
Osteomielitis dapat di lihat dengan foto metatarsal, sedangkan dengan arteriografi
dapat di lihat dengan jelas lokasi serta kolateral dari sistim arteri yang diperlukan
untuk menentukan jenis operasi dan prognosis yang biasanya berbeda untuk setiap
penderita.
PENATALAKSANAAN KAKI DIABETIK
Banyak penelitian yang dipublikasikan pada 25 tahun terakhir berkesimpulan
bahwa cara pengelolaan kaki diabetik adalah pendekatan multi disipliner secara tim.
Pengelolaan ini terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya tukak tersebut.
0
Upaya pencegahan
Prioritas utama adalah mencegah kelainan kaki akibat Diabetes Melitus. Sesuai
sehingga pemberian anti biotik tidak perlu menunggu hasil kultur. Pada keadaan ini
pilihan anti biotiknya adalah yang punya spektrum luas atau kombinasi dengan
golongan kloksasilin untuk terapi vaskulitis dan golongan yang aktif terhadap kuman
anaerob seperti metronidazol dan klindamisin.
Untuk ulkus dan ganggren dapat dilakukan bedah minor seperti insisi dan
pengaliran abses serta debrideman dan nekrotomi dengan tujuan mengeluarkan semua
jaringan nekrosis untuk eliminasi infeksi, hingga mempercepat penyembuhan luka.
Sebelumnya perlu diketahui batas yang tegas antara jaringan sehat dan jaringan
nekrotik hingga nekrotomi atau amputasi dapat di rencanakan dengan seksama. Pada
keadaan peradangan yang tidak dapat di atasi di sertai dengan penyebaran yang sangat
cepat, amputasi harus dipertimbangkan dengan segera. Bila di tunda tidak jarang
mengakibatkan septisemia.
Perhatian khusus terhadap deteksi dini kelainan kaki risiko tinggi. Kaki yang berisiko
tinggi antara lain:
1. Kulit kaku yang kering, bersisik, dan retak-retak serta kaku
2. Bulu-bulu rambut kaki yang menipis
3. Kelainan bentuk dan warna kuku (kuku yang menebal, rapuh (ingrowing
nail)
4. Kalus (mata ikan) terutama di telapak
5. Perubahan bentuk jari-jari dan telapak kaki dan tulang-tulang kaki yang
menonjol
6. Bekas luka atau riwayat amputasi jari-jari
7. Kaki baal, semutan, atau tidak terasa nyeri
8. Kaki yang terasa dingin
11
berupa stenosis arteria renalis yang aterosklerotik. Aktifitas plasma renin adalah
normal atau berkurang. Hipoaldosteronisme yang hiporeninemik dengan hiperkalemia
dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia sedang adalah suatu keadaan biasa pada
nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan peranan penting dalam
meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut
dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu. Penderita dengan kontrol
gula yang ketat dimana kadar gula dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit
akan pulih.
Maka Faktor Resiko pada Penderita diabetes melitus :
1. Infeksi & sepsis : fungsi leukosit terganggu, dan bila gula darah < 250 mg/dl fungsi
leukosit pulih
2. Neuropatik otonom
-
Keringat berkurang
Impotensi
3. Gangguan ginjal
-
Mikroalbuminuria proteinuria
Gagal Ginjal
15
ASA II : pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan
fungsi
ASA III: pasien dengan penyakit sedang hingga berat dan mengalami
keterbatasan fungsi
darah puasa <150 mg/dL, PERKENI 2002). Persiapan operasi elektif maupun nonelektif dapat dilihat pada pedoman terapi insulin di rumah sakit.
Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan perubahan di
dalam metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum jelas.
Obat-obat
induksi
dapat
mempengaruhi
homeostatis
glukosa
perioperatif.
Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan memproduksi kortisol
jika digunakan dengan dosis tinggi selama pembedahan. Obat-obat golongan ini akan
menurunkan stimulasi simpatis, tetapi merangsang sekresi growth hormone dan akan
menyebabkan penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini minimal
jika midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat
diberikan secara kontinyu melalui infus intravena pada pasien di ICU.
Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan
keseimbangan hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan metabolik.
Teknik ini secara efektil menghambat seluruh sistem saraf impatis dan sumbu
hipotalamik-pituitari, kemungkinan melalui efek langsung pada hipotalamus dan
pucat yang lebih tinggi. Peniadaan respon hormonal katabolik terhadap pembedahan
akan meniadakan hiperglikemia yang terjadi pada pasien normal dan mungkin
bermanfaat pada pasien diabetes.
Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, mencegah efek insulin untuk
transport glukosa menyeberang membran sel dan secara tak langsung melalui
peningkatan aktifitas simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut
Greene penggunaan halotan pada pasien cukup memuaskan karena kurang
pengaruhnya terhadap peningkatan hormon ; pertumbuhan, peningkatan kadar gula
atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro halotan dapat menghambat pelepasan
insulin dalam merespon hiperglikemia, tetapi tidak sama pengaruhnya terhadap level
insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran dan isofluran tak nyata pengaruhnya
terhadap kadar gula darah.
Pengaruh propofol pada sekresi insulin tidak diketahui. Pasien-pasien diabetik
menunjukkan penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid dari sirkulasi.
Meskipun hal tidak relevan selama anestesia singkat jika propofol digunakan untuk
pemeliharaan atau hanya sebagai obat induksi. Keadaan ini dapat terlihat pada pasienpasien yang mendapat propofol untuk sedasi jangka panjang di ICU. Obat-obat
anestesi intra vena yang biasa diberikan mempunyai efek yang tidak berarti terhadap
17
kadar gula darah kecuali ketamin yang menunjukkan peningkatan kadar gula akibat
efek simpatomimetiknya.
Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau
subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan
pada pasien yang menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai
suatu komplikasi penderita, teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan
tanpa menimbulkan komplikasi. Epidural anestesia lebih efektif dibandingkan dengan
anestesia umum dalam mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan
kortisol yang disebabkan tindakan operasi.
1.9. TEKNIK ANESTESIA PADA PENDERITA DM
Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural, spiangnik dan
blokade regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi
insulin residual. Peningkatan sirkulasi glukosa perioperatif, konsentrasi epinefrin dan
kortisol yang dijumpai pada pasien non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan
dengan anestesia umum dihambat oleh anestesia epidural. Infus phentolamine
perioperatif, suatu penghambat kompetitif reseptor adrenergik, menurunkan respon
gula darah terhadap pembedahan dengan menghilangkan penekanan sekresi insulin
secara parstal.
Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi dengan
anestesia umum memberikan banyak keuntungan pada pasien diabetes yang dilakukan
pembedahan dalam hal mortalitas dan komplikasi mayor. Anestesia regional dapat
memberikan risiko yang lebih besar pada pasien diabetes dengan neuropati
autonomik. Hipotensi yang dalam dapat terjadi dengan akibat gangguan pada pasien
dengan penyakit arteri koronaria, serebrovaskular dan retinovaskular. Risiko infeksi
dan gangguan vaskular dapat meningkat dengan penggunaan teknik regsonal pada
pasien diabetes. Abses epidural lebih sering terjadi pada anestesia spinal dan epidural.
Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang timbul setelah anestesia epidural dapat
dlkacaukan dengan komplikasi anestesia dan blok regional. Kombinasi anestesi lokal
dengan epinefrin dapat menyebabkan risiko yang lebih besar terjadinya cedera saraf
iskemik dan atau edema pada penderita diabetes mellitus.
18
19
Pada pemakaian steroid, obesitas, terapi insulin dalam jumlah tinggi dan
infeksi diperlukan penambahan 30 mEq KCl untuk tiap 1 L dextrose karena insulin
menyebabkan pergeseran kalium intraselular. Pada pasien yang menjalani
pembedahan besar diperlukan perencanaan yang seksama. Teknik yang dianjurkan
oleh Hins adalah sebagai berikut:
Glukosa 5-10 gr/jam ekuivalen dengan 100 - 200 cc dextrose 5% perjam
diberikan intra vena. Kalium dapat ditambahkan tetapi hati-hati pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Infus lain diberikan lewat kanul yang sama sebagai berikut:
1. Campur 50 cc RI kedalam 500cc 0,9%Nacl.
2. Infuskan dengan larutan 0,5-1cc/jam (5-10 cc/jam dengan pompa infus).
3. Ukur kadar gula darah tiap jam dan sesuaikan dengan kebutuhan insulin seperti di
bawah ini :
glukosa insulin dan kalium (GIK) dikenal dengan regimen Alberti. Pemberiannya
dapat terpisah atau bersama-sama. Berikut ini salah satu teknik GIK. Pagi hari
diberikan dosis intemiten insulin, kemudian 500 cc dextrose 5% ditambah 10 KCl
diberikan dengan kecepatan 2 cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan
mencampurkan 50 unit RI ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2
unit/cc larutan. Sebelum pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula
darah kemudian cek gula darah tiap 2-3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan
hasil pengukuran di bawah ini:
Kadar gula Infus insulin < 150 mg/dl 5 cc/jam (1 unit/jam)
150 - 250 mg/dl 10 cc/jam (2 unit/jam)
250 - 300 mg/dl 15 cc/jam (3 unit/jam)
300 - 400 mg/dl 20 cc/jam (4 unit/jam)
Diabetes adalah salah satu penyebab paling umum dari stadium akhir gagal
ginjal. Periksa urea, kreatinin dan elektrolit. Khusus memeriksa kalium terutama
dalam pandangan dari kebutuhan yang mungkin untuk suksametonium sebagai akibat
dari gastroparesis. Jika tidak tersedia, proteinuria ini mungkin mengindikasikan
kerusakan ginjal. Pastikan hidrasi yang cukup untuk mengurangi disfungsi ginjal
pasca operasi. Pasien dengan diabetes memiliki faktor risiko bedah khusus untuk
kesehatan yaitu mereka, faktor risiko kardiovaskular yang mungkin atau tidak
mungkin sebelumnya telah didiagnosa. Pasien dengan diabetes mungkin memiliki
silent ischemia, manifestasi atipikal dari iskemia koroner, atau kardiomiopati
mendasarinya.
Banyak pasien dengan diabetes tipe 2 memiliki hipertensi, yang dapat
mempersulit manajemen perioperatif. Faktor-faktor risiko yang umum bedah pada
populasi ini termasuk obesitas, penyakit ginjal kronis, dan disfungsi otonom tidak
terdiagnosis, yang dapat mengganggu stabilitas hemodinamik pada periode
perioperatif. Selain itu, pasien dengan lama pengurangan diabetes pengalaman dalam
fungsi paru (misalnya, volume ekspirasi paksa, arus puncak ekspirasi, dan kapasitas
difusi untuk karbon monoksida) terkait dengan durasi penyakit dan cedera pembuluh
darah, yang dapat mempersulit 2 menyapih dari dukungan ventilasi.
Karakteristik prosedur dan anestesi
Kedua operasi dan anestesi dapat menyebabkan peningkatan kadar hormon
stress (epinefrin, kortisol, hormon pertumbuhan) dan sitokin inflamasi (interleukin-6
22
23
dan
vaskularisasi
setempat,
sedangkan
arteriografi
menggambarkan secara rinci lokasi, kelainan dan kolateral dari sistem arteri,
yang diperlukan untuk menentukan jenis operasi dan prognosisnya biasanya
berbeda untuk setiap pasien diabetik.
c. Indikasi operasi
Tindakan bedah akut diperlukan pada ulkus dengan infeksi berat yang disertai
selulitis luas, limfangitis, nekrosis jaringan dan nanah. Debridemen dan
drainase darah yang terinfeksi sebaiknya dilakukan di kamar operasi dan
secepat mungkin. Debridemen harus tetap dilaksanakan biarpun keadaan
vascular masih belum optimal.
d. Kontra indikasi operasi:
Adanya penyakit dasar yang masih aktif dalam hal ini adalah diabetes militus
yang tidak terkontrol merupakan kontraindikasi dilakukannya operasi
amputasi. Kemudian adanya infeksi yang masih aktif pada kaki gangrene
tersebut.
e. Diagnosis Banding gangrene diabetikum adalah :
Gangrene karena sebab yang lain
f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk kasus oklusi arteri dan gangren diantaranya
pemeriksaan
laboratorium,
dopler
Ultrasound
blood
flow
director,
24
merupakan faktor risiko untuk terjadinya Deep Vein. Trombosis hal ini disebabkan
oleh karena mobilisasi yang terlalu lama pasca operasi, penyakit dasar yang tidak
diobati dan meligasi vena pada saat operasi bisa mengakibatkan stagnasi dan aliran
darah.
1. 12. 3. Perawatan Pasca Bedah
Perawatan pasca bedah meliputi : Residual limb ischemia merupakan
komplikasi yang jarang namun jika terkena akan mengakibatkan angka mortalitas
yang tinggi.
1. 12. 4. Perawatan Pasta Bedah
Setelah operasi, pada luka bekas operasi cliberikan kasa steril setengah basah
oleh NaCl dan dilepas setelah 3-5 hari, biasanya dilakukan di dalam ruang operasi.
Dilakukan pemasangan drain dan jaringan nekrotik yang tersisa dapat dilakukan
nekrotomi. Karena pasien pasien ini pada dasarnya masih mempunyai masalah pada
dirinya-neuropathy dan ischemia-maka pasien ini beresiko untuk mengalami
kerusakan jarrigan yang lebih parch. Penyakit dasar dari pasien harus diobati pula.
infeksi dapat diatasi dengan pemberian antibiotik sesuai dengan tingkat resistensinya.
1. 12. 5. Follow-Up
Follow up pasien pasca amputasi adalah melakukan rehabilitasi (fisioterapi,
konseling) dan pemasangan prostese. Pada pasien yang muda biasanya dilakukan
terapi yang lebih agresif sehingga mempercepat kesembuhan dan dapat bekerja seperti
dahulu kala meskipun dengan menggunakan alat bantu. Pada orang dengan lebih tua
biasanya memerlukan waktu rehabilitasi yang lebih lama oleh karena resiko terkena
infeksi sangat besar yang diakibatkan oleh menurunnya daya penyembuhan luka.
Pada waktu follow up juga harus diperhatikan keadaan tertentu yang mengakinbatkan
pasien menjadi terhambat dalam melakukan rehabilitasi, keadaan keadaan seperti
adanya penyakit jantung, diabetes melitus harus menjadi perhatian.
Jika pasien menghendaki dapat dipasang prostese sehingga fungsi tubuh
pasien dapat mendekati normal dan menambah rasa percaya diri. Pasien sebelum
meninggalkan rumah sakit hendaknya diberi pengarahan mengenai jadwal follow up,
cara merawat bekas amputasi terutama dalam hal kebersihan.
26