Anda di halaman 1dari 26

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA
1.1. PENGERTIAN DIABETES MELITUS
Diabetes Mellitus (DM) merupakan keadaan hiperglikemi kronik yang disertai
berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai
komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah. Diabetes Mellitus
klinis adalah suatu sindroma gangguan metabolisme dengan hiperglikemia yang tidak
semestinya sebagai akibat suatu defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya
efektifitas biologis dari insulin atau keduanya.
DM merupakan sekelompok kelainan yang ditandai oleh peningkatan kadar
glukosa darah (hiperglikemi). Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah
tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dalam makanan yang dikonsumsi.
Insulin, yaitu suatu hormon yang diproduksi pankreas, mengendalikan kadar glukosa
dalam darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya.
Pada diabetes, kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat
menurun, atau pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin. Keadaan
ini dapat menimbulkan hiperglikemia yang dapat mengakibatkan komplikasi
metabolik akut seperti dibetes ketoasidosis dan sindrom hiperglikemia hiperosmolar
nonketotik (HHNK). Hiperglikemia jangka panjang dapat mengakibatkan komplikasi
mikrovaskular yang kronis (penyakit ginjal dan mata) dan komplikasi neuropati
(penyakit pada saraf). DM juga meningkatkan insiden penyakit makrovaskuler yang
mencakup insiden infark miokard, stroke dan penyakit vaskuler perifer.
Diabetes mellitus merupakan masalah endokrin yang paling sering dihadapi
ahli anestesi dalam melakukan pekerjaannya. Sebanyak 5 % orang dewasa di Barat
mengidap diabetes mellitus, lebih dari 50 % penderita diabetes mellitus suatu saat
mengalami tindakan pembedahan dalam hidupnya dan 75 % merupakan usia lanjut di
atas 50 tahun. Sedangkan di Indonesia angka prevalensi penderita diabetes mellitus
adalah 1,5 % dan diperkirakan 25 % penderita diabetes mellitus akan mengalami
pembiusan dan pembedahan. Karena faktor penyulit inilah mereka lebih banyak
memerlukan pembedahan dari pada orang lain.
Penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas pada diabetes mellitus adalah
karena penyulit kronis, hal tersebut terjadi karena hiperglikemia yang tak terkontrol
dalam jangka waktu lama, berupa mikro dan makroangiopati. Penyulit kronis tersebut
1

berhubungan dengan disfungsi organ seperti penyakit arteri koroner, penyakit


pembuluh darah otak, hipertensi, insufisiensi ginjal, neuropati autonomik diabetik,
gangguan persendian jaringan kolagen (keterbatasan ekstensi leher, penyembuhan
luka yang buruk), gastroparesis, dan produksi granulosit yang inadekuat. Oleh karena
itu perhatian utama ahli anestesi harus tertuju pada evaluasi preoperatif dan
penanganan penyakit-penyakit tersebut untuk menjamin kondisi preoperatif yang
optimal.
1.2. KLASIFIKASI
American Diabetes Association (ADA) dalam standards of Medical Care in
Diabetes (2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe yaitu:
1. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh adanya
destruksi sel pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi insulin.
2. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan
sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin.
3. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa
faktor lain seperti kelainan genetik pada fungsi sel pankreas, kelainan
genetik pada aktivitas insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis), dan
akibat penggunaan obat atau bahan kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS
dan terapi setelah transplantasi organ).
4. Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau dialami
selama masa kehamilan.
1.3. PATOFISIOLOGI
Terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu:
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan
reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan
reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam
sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel,
dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan
glukosa oleh jaringan.

Tabel diunduh dari http://ifan050285.wordpress.com/2010/03/15/diabetes-mellitus/


Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam
darah harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi
glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan
kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat.
Namun jika sel-sel tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin
maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II.

Gambar. Anatomi Pankreas


Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes
tipe II, namun terdapat jumlah insulin yang adekuat untuk mencegah pemecahan
lemak dan produksi badan keton. Oleh karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi
pada diabetes tipe II. Meskipun demikan, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat
menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik
hiperosmoler nonketotik.
Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat dan progresif, maka
diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi, gejalanya sering bersifat ringan dan
dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang tidak
sembuh-sembuh, infeksi dan pandangan yang kabur Diabetes Melitus (DM)
merupakan suatu kelainan yang heterogenik dengan karakter utama hiperglikemia
kronis. Meskipun pola pewarisannya belum jelas, faktor genetik dikatakan memiliki
peran yang kuat dalam munculnya DM ini. Faktor genetik ini akan berinteraksi
dengan faktor lingkungan seperti gaya hidup, diet, rendahnya aktivitas fisik, obesitas
dan tingginya kadar asam lemak bebas. Pada DM terjadi defek sekresi insulin,
resistensi insulin di perifer dan gangguan regulasi produksi glukosa oleh hepar.

Gambar. Pembentukan insulin normal dan penurunannya


Penyakit diabetes membuat gangguan/komplikasi melalui kerusakan pada
pembuluh darah di seluruh tubuh, disebut angiopati diabetik. Penyakit ini berjalan
kronis dan terbagi dua yaitu gangguan pada pembuluh darah besar (makrovaskular)
disebut makroangiopati, dan pada pembuluh darah halus (mikrovaskular) disebut
mikroangiopati. Bila yang terkena pembuluh darah di otak timbul stroke, bila pada
mata terjadi kebutaan, pada jantung penyakit jantung koroner yang dapat berakibat
serangan jantung/infark jantung, pada ginjal menjadi penyakit ginjal kronik sampai
gagal ginjal tahap akhir sehingga harus cuci darah atau transplantasi. Bila pada kaki
timbul luka yang sukar sembuh sampai menjadi busuk (gangren). Selain itu bila saraf
yang terkena timbul neuropati diabetik, sehingga ada bagian yang tidak berasa apaapa/mati rasa, sekalipun tertusuk jarum /paku atau terkena benda panas.
Kelainan tungkai bawah karena diabetes disebabkan adanya gangguan
pembuluh darah, gangguan saraf, dan adanya infeksi. Pada gangguan pembuluh darah,
kaki bisa terasa sakit, jika diraba terasa dingin, jika ada luka sukar sembuh karena
aliran darah ke bagian tersebut sudah berkurang. Pemeriksaan nadi pada kaki sukar
diraba, kulit tampak pucat atau kebiru-biruan, kemudian pada akhirnya dapat menjadi
gangren/jaringan busuk, kemudian terinfeksi dan kuman tumbuh subur, hal ini akan
membahayakan pasien karena infeksi bisa menjalar ke seluruh tubuh (sepsis). Bila

terjadi gangguan saraf, disebut neuropati diabetik dapat timbul

gangguan rasa

sensorik, kurang berasa sampai mati rasa.


Selain itu gangguan motorik, timbul kelemahan otot, otot mengecil, kram otot,
mudah lelah. Kaki yang tidak berasa akan berbahaya karena bila menginjak benda
tajam tidak akan dirasa padahal telah timbul luka, ditambah dengan mudahnya terjadi
infeksi. Jika sudah gangren, kaki harus dipotong di atas bagian yang membusuk
tersebut. Gangren diabetik merupakan dampak jangka lama arteriosclerosis dan
emboli trombus kecil. Angiopati diabetik hampir selalu juga mengakibatkan neuropati
perifer. Neuropati diabetik ini berupa gangguan motorik, sensorik dan autonom yang
masing-masing memegang peranan pada terjadinya luka kaki.

Paralisis otot kaki menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan di sendi


kaki, perubahan cara berjalan, dan akan menimbulkan titik tekan baru pada telapak
kaki sehingga terjadi kalus pada tempat itu. Gangguan sensorik menyebabkan mati
rasa setempat dan hilangnya perlindungan terhadap trauma sehingga penderita
6

mengalami cedera tanpa disadari. Akibatnya, kalus dapat berubah menjadi ulkus yang
bila disertai dengan infeksi berkembang menjadi selulitis dan berakhir dengan
gangren.
Gangguan saraf autonom mengakibatkan hilangnya sekresi kulit sehingga kulit
kering dan mudah mengalami luka yang sukar sembuh. Infeksi dan luka ini sukar
sembuh dan mudah mengalami nekrosis akibat dari tiga faktor. Faktor pertama adalah
angiopati arteriol yang menyebabkan perfusi jaringan kaki kurang baik sehingga
mekanisme radang jadi tidak efektif. Faktor kedua adalah lingkungan gula darah yang
subur untuk perkembangan bakteri patogen. Faktor ketiga terbukanya pintas arterivena di subkutis, aliran nutrien akan memintas tempat infeksi di kulit.
1.4. DIAGNOSIS
Diagnosis klinis DM umumnya akan akan dipikirkan bila ada keluhan khas
DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah,
kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae
pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaaan glukosa darah sewaktu 200
mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM karena
lebih mudah diterima oleh pasien serta murah. Untuk kelompok tanpa keluhan khas
DM , hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, baik kadar
glukosa darah puasa 126 mg/dl. Kadar glukosa darah sewaktu mg/dl pada hari
yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa
darah pasca pembebanan 200mg/dl. Namun TTGO dalam prakteknya sangat jarang
dilakukan.

Tabel Kriteria diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006


GAMBARAN KLINIS
Gangren diabetik di sebut juga gangren panas. Karena walaupun nekrosis,
daerah akral tampak merah dan terasa hangat akibat peradangan. Biasanya pulsasi
arteri di bagian distal masih tetap teraba.Pada iskhemik ringan, akan terlihat gejala
klaudikasio intermiten sewaktu berjalan atau apabila di bagian distal dari kelainan
vaskuler tersebut luka maka proses penyembuhannya berlangsung lama.
Proses angiopati menyebabkan sumbatan arteri yang berlangsung secara
kronik hingga menimbulkan gejala klinik yang menurut Fontaine di bagi menjadi
stadium sebagai berikut;

Asimtomatis atau gejala tidak khas dengan hanya berupa kesemutan ringan.

Klaudikadio intermiten (Jarak tempuh jadi lebih pendek).

Nyeri saat istirahat.

Manifestasi kerusakan jaringan karena anoksia. Secara praktis gambaran

klinik kaki diabetik dapat digolongkan sebagai berikut :


0

Kaki neuropati
Pada keadaan ini terjadi kerusakan saraf somatik, baik sensoris maupun motorik

serta saraf otonom, tetapi sirkulasi masih utuh. Neuropati menghambat impul
rangsangan dan memutus jaringan komunikasi dalam tubuh. Neuropati sensoris
memberikan gejala berupa keluhan kaki kesemutan dan kurang rasa terutama di
daerah ujung kaki. Neuropati motorik ditandai dengan kelemahan otot, atropi otot,
mudah lelah, deformitas ibu jari dan sulit mengatur keseimbangan tubuh. Pada kaki

neuropati kaki masih teraba hangat, denyut nadi teraba, reflek fisiologi menurun dan
kulit jadi kering. Bila terjadi luka, sembuhnya lama.
1

Kaki iskhemia
Ditandai dengan berkurangnya suplai darah. Namun pada keadaan ini sudah ada

kelainan neuropati pada berbagai stadium. Pasien mengeluh nyeri tungkai bila berdiri,
berjalan atau saat melaksanakan aktivitas fisik lain. Kesakitan juga dapat terjadi pada
arkus pedis saat istirahat atau malam hari. Pada pemeriksaan terlihat perobahan
warna kulit jadi pucat, tipis dan berkilat atau warna kebiruan. Kaki teraba dingin dan
nadi poplitea atau tibialis posterior sulit di raba. Dapat ditemukan ulkus akibat
tekanan lokal. Ulkusnya sukar sembuh dan akhirnya menjadi ganggren.
Berdasarkan berat ringannya lesi, kelainan kaki diabetik menurut Wagner di bagi
atas 6 derajat, yaitu:
- Derajat 0
Kulit utuh tapi kelainan bentuk kaki
akibat neuropati.

Derajat I
Ulkus superfisial terbatas pada kulit

Derajat II
Ulkus dalam menembus tendon /
Tulang.
Derajat III
Ulkus dengan atau tanpa
Osteomielitis.
Derajat IV
Gangren jari kaki atau bagian distal
kaki dengan / tanpa selulitis.
Derajat V
Gangren seluruh kaki atau bagian
tungkai bawah.
Berdasarkan pembagian di atas, maka tindakan pengobatan atau pembedahan dapat
di tentukan sebagai berikut :
Derajat 0
Perawatan lokal secara khusus
9

tidak ada.
Derajat I IV
Pengelolaan medik dan tindakan
bedah minor.
Derajat V
Tindakan bedah minor, bila gagal
Di lanjutkan dengan tindakan bedah
mayor.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dengan penentuan derajat lesinya.
Osteomielitis dapat di lihat dengan foto metatarsal, sedangkan dengan arteriografi
dapat di lihat dengan jelas lokasi serta kolateral dari sistim arteri yang diperlukan
untuk menentukan jenis operasi dan prognosis yang biasanya berbeda untuk setiap
penderita.
PENATALAKSANAAN KAKI DIABETIK
Banyak penelitian yang dipublikasikan pada 25 tahun terakhir berkesimpulan
bahwa cara pengelolaan kaki diabetik adalah pendekatan multi disipliner secara tim.
Pengelolaan ini terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya tukak tersebut.
0

Upaya pencegahan
Prioritas utama adalah mencegah kelainan kaki akibat Diabetes Melitus. Sesuai

dengan patogenesis terjadinya kaki diabetik maka pengelolaannya harus dimulai


dengan pencegahan primer yaitu mencegah terjadinya ulkus. Dengan diketahui faktorfaktor penyebabnya maka dapat dilakukan pencegahan dengan pengendalian diabetes
yang baik dan benar, perbaikan status gizi, pembersihan kaki setiap hari.
Pengobatan kaki diabetik meliputi pengendalian gula darah, penanganan kelainan
kaki, neuropati diabetik, sirkulasi darah dan atasi infeksi serta rehabilitasi.
Pengendalian gula darah harus disertai upaya perbaikan keadaan umum penderita
dengan nutrisi yang memadai.
Untuk memperbaiki neuropati diabetik kita dapat memilih untuk memakai secara
bersama obat yang melancarakan aliran darah dan yang memperbaiki metabolisme.
Dalam memperbaiki aliran darah kita harus perbaiki struktur vaskuler yang telah
mengalami kerusakan.
Sebagai mana yang telah kita ketahui peran endotel, trombosit, dislipidemia
menjadi penyebab utama terjadinya angiopati. Jadi selain pengendalian gula darah,
yang mutlak harus di lakukan adalah pemberian anti agregasi dan vasodilator perifer.
10

Pemberian obat anti agregasi diharapkan dapat memperbaiki vaskularisasi jaringan


atau organ yang terserang. Ada beberapa pilihan obat yang dapat di pakai, yaitu
asetosal, pentoksifilin dan cilostazol.
Anti biotik diberikan bila ada infeksi. Oleh karena itu bila ditemukan adanya
infeksi sebaiknya lakukan kultur.

Tidak jarang penderita datang dengan sepsis

sehingga pemberian anti biotik tidak perlu menunggu hasil kultur. Pada keadaan ini
pilihan anti biotiknya adalah yang punya spektrum luas atau kombinasi dengan
golongan kloksasilin untuk terapi vaskulitis dan golongan yang aktif terhadap kuman
anaerob seperti metronidazol dan klindamisin.
Untuk ulkus dan ganggren dapat dilakukan bedah minor seperti insisi dan
pengaliran abses serta debrideman dan nekrotomi dengan tujuan mengeluarkan semua
jaringan nekrosis untuk eliminasi infeksi, hingga mempercepat penyembuhan luka.
Sebelumnya perlu diketahui batas yang tegas antara jaringan sehat dan jaringan
nekrotik hingga nekrotomi atau amputasi dapat di rencanakan dengan seksama. Pada
keadaan peradangan yang tidak dapat di atasi di sertai dengan penyebaran yang sangat
cepat, amputasi harus dipertimbangkan dengan segera. Bila di tunda tidak jarang
mengakibatkan septisemia.
Perhatian khusus terhadap deteksi dini kelainan kaki risiko tinggi. Kaki yang berisiko
tinggi antara lain:
1. Kulit kaku yang kering, bersisik, dan retak-retak serta kaku
2. Bulu-bulu rambut kaki yang menipis
3. Kelainan bentuk dan warna kuku (kuku yang menebal, rapuh (ingrowing
nail)
4. Kalus (mata ikan) terutama di telapak
5. Perubahan bentuk jari-jari dan telapak kaki dan tulang-tulang kaki yang
menonjol
6. Bekas luka atau riwayat amputasi jari-jari
7. Kaki baal, semutan, atau tidak terasa nyeri
8. Kaki yang terasa dingin

11

Sumber: Perkeni 2011

Sumber: Perkeni 2011


1.5. EFEK PEMBEDAHAN DAN ANESTESI PADA METABOLISME
PENDERITA DIABETES MELITUS
Diabetes mellitus menggambarkan adanya pengaturan abnormal dan gula
darah karena salah satu sebab yaitu adanya kekurangan insulin retetif atau absolut
atau karena resistensi insulin. Kadar gula darah tergantung dari produksi dan
penggunaan gula darah tubuh. Selama pembedahan atau sakit/stres terjadi respon
12

katabolik dimana terjadi peningkatan sekresi katekolamin, glukagon, kortisol, tetapi di


sana juga terjadi penurunan sekresi insulin. Jadi pembedahan menyebabkan
hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah, peningkatan glukoneogenesis,
katabolisme protein. Respon tersebut dipacu tidak hanya oleh nyeri tetapi juga oleh
sekresi, peptida seperti interleukin I dan berbagai hormon termasuk growth hormon
dan prolaktin. Efek pembiusan pada respon tersebut sangat bervariasi. Analgesia
epidural tinggi dapat menghambat respon katabolik terhadap pembedahan dengan
cara blokade aferen dan saraf otonom. Teknik narkotik dosis tinggi (fentanyl 50 mcg/
kgBB) sebagian dapat mencegah respon stres, sedangkan anestesia umum mempunyai
efek menghambat yang lebih kecil, meskipun dengan pemberian konsentrasi tinggi.
1.6. FAKTOR RESIKO PEMBEDAHAN DAN ANESTESI PADA PENDERITA
DIBETES MELITUS
Proses pembedahan merupakan stres fisik tersendiri yang ditandai proses
katabolisme, peningkatan metabolisme, peningkatan pemecahan protein dan lemak,
balans nitrogen negatif, starvasi, dan intoleransi glukosa. Derajat perubahan metabolik
sangat terkait dengan prosedur pembedahannya, lama pembedahan, dan komplikasi
yang terjadi. Terjadi juga peningkatan sekresi hormon-hormon katekolamin, ACTH,
kortisol, hormon pertumbuhan ( GH ), dan glukagon selama operasi sebagai akibat
kekacauan metabolisme. Respon stres terhadap pembedahan berupa peningkatan
kadar gula darah pada penderita non diabetes adalah akibat sekresi dari hormon
katabolik dan terdapatnya defisiensi insulin relatif. Defisiensi relative terjadi akibat
kombinasi penurunan sekresi insulin dan resistensi insulin. Resistensi insulin terjadi
akibat meningkatnya sekresi hormon anti insulin ( kortisol, growth hormon, epinefrin,
dan katekolamin ) serta tejadinya perubahan pada paska reseptor insulin yang
mengakibatkan penurunan transport glukosa transmembran. Jenis anastesi juga
mempunyai pengaruh metabolik pada penderita diabetes.
Anastesi ekstradural dan spinal mempunyai pengaruh yang lebih ringan
dibandingkan general. Obat- obat anastesi seperti eter, chloroform, dan cyclopropane
dapat meningkatkan kadar gula darah, mobilisasi asam lemak, inhibisi sekresi insulin,
dan peningkatan sekresi katekolamin dan ACTH. Semua efek metabolik pembedahan
di atas akan memperberat kondisi pada penderita diabetes. Adanya katabolisme dapat
menyebabkan pelepasan asam lemak, ketogenesis, hiperglikemia, dan bahkan dapat
menyebabkan ketoasidosis. Oleh karena itu tujuan utama dari pengelolaan selama
13

pembedahan adalah mencegah terjadinya dekompensasi metabolisme bersamaan


mencegah terjadinya hipoglikemia sehingga tercapai kontrol diabetik yang baik
selama pembedahan.
Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien diabetes mempunyai
mortalitas dan morbiditas pasca bedah lebih tinggi dibandingkan pasien normal.
Masalah yang dapat muncul adalah infeksi, sepsis dan komplikasi dari
arteriosklerosis. Suatu penelitian menunjukkan 11 % pasien diabetes mengalami
komplikasi miokardiak pada pasca bedah terutama infeksi pneumonia. Komplikasi
jantung terjadi pada 7% dari pasien diabetes, mortalitas pasca bedah 4%, terutama
pada pasien yang sebelumnya menderita penyakit jantung.
Penelitian menunjukkan bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat
meningkatkan mortalitas sampai 10 kali, yang disebabkan oleh:
1. Sepsis
2. Neuropati autonomik
3. Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh
darah perifer)
4. Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar Hipotensi dapat terjadi
pada 50% pasien diabetes mellitus dengan neuropati autonomik.
Insidensi neuropati autonomik bervariasi tergantung dari lamanya mengidap
penyakit Pirart mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun setelah diagnosis dan sebesar
50 % untuk mereka dengan diagnosis yang ditegakkan lebih dari 25 tahun
sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4 % pasiennya mengalami variasi laju jantung tak
normal. Umumnya disfungsi autonomik meningkat dengan bertambahnya umur dan
lamanya sakit Ada hubungan antara tes refleks kardiavaskuler yang memburuk dan
kontrol gula darah. Beberapa pasien diabetes dengan neuropati autonomik dapat
meninggal mendadak. Kemungkinan ini terjadi karena respon abnormal terhadap
hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun belum ada penjelasan yang pasti.
Pasien dengan neuropati autonomik mengandung risiko tinggi.
Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal. Kondisi tersebut
dengan mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan
pada kliren kreatinin. Dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes dapat
melindungi fungsi ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi sekali akan timbul
jika glomerular filtration rate (GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau
hipertensi timbul tiba-tiba, harus difikirkan kemungkinan adanya suatu penyakit
14

berupa stenosis arteria renalis yang aterosklerotik. Aktifitas plasma renin adalah
normal atau berkurang. Hipoaldosteronisme yang hiporeninemik dengan hiperkalemia
dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia sedang adalah suatu keadaan biasa pada
nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan peranan penting dalam
meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut
dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu. Penderita dengan kontrol
gula yang ketat dimana kadar gula dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit
akan pulih.
Maka Faktor Resiko pada Penderita diabetes melitus :
1. Infeksi & sepsis : fungsi leukosit terganggu, dan bila gula darah < 250 mg/dl fungsi
leukosit pulih
2. Neuropatik otonom
-

Hipotensi ortostatis (Penurunan TD > 30 mmHg pada perubanhan posisi tegak


berdiri)

Hipotensi berat setelah pemberian anestesi

Penurunan respon Heart Rate terhadap atropin dan propanolol

Respon abnormal hipoksia yang dapat menyebabkan pasien meninggal


mendadak - Hipotermia intra operatif

Nyeri berkurang pada pasien dengan Myocard iskemik (Sailent Myocard


Iscemic)

Nerogenic Bladder yang dapat menyebabkan retensi urin

Gastroparesis menyebabkan resiko aspirasi, cegah dengan pemberian


metroclopamid untuk mempercepat pengosongan lambung.

Keringat berkurang

Impotensi

3. Gangguan ginjal
-

Mikroalbuminuria proteinuria

Gangguan GFR Kreatinin menigkat

Penurunan GFR menyebabkan hipertensi ringan

Stenosis arteri renalis (sklerotik) menyebabkan hipertensi berat / hipertensi


tiba-tiba

Gagal Ginjal

4. Diuresis hipoosmolar, pasien mudah terjadi dehidrasi

15

5. Stift Join Sindrome, timbul kekakuan sendi atlantooccipitalis yang dapat


menyebabkan kesulitan melakukan tindakan intubasi.
1.7. PENILAIAN PRABEDAH
Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian fungsi utama organ jantung,
ginjal, dan susunan syaraf pusat, tak kalah penting dibandingkan penilaian status
metabolik pasien. Untuk itu diperlukan penilaian laboratorium dasar yang mencakup
gula darah puasa, elektrolit, ureum, kreatinin, dan EKG. Komplikasi kardiovaskuler
(penyakit arteri koroner, gagal ginjal kongestif, hipertensi) hendaknya diatasi dahulu
karena berkaitan dengan meningkatnya mortalitas pada pasien diabetes mellitus.
Pasien dengan hipertensi mempunyai insidensi neuropati autonomik hingga 50 %,
sedangkan pasien tanpa hipertensi mempunyai insiden hanya 10%. Karenanya
disfungsi autonomik harus dicari secara rutin pada peralatan pra bedah.
PHYSICAL STATUS
Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan pra bedah, selanjutnya dapat dibuat
penilaian status fisis. ASA mengklasifikasikan pasien kedalam beberapa tingkatan
pasien berdasarkan kondisi pasien :
-

ASA I : Pasien normal, sehat fisik dan mental

ASA II : pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan
fungsi

ASA III: pasien dengan penyakit sedang hingga berat dan mengalami
keterbatasan fungsi

ASA IV : pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam nyawa.

ASA V : penderita yang diperkirakan tidak akan selamat dalam 24 jam,


dengan atau tanpa operasi.

ASA VI : penedrita mati batang otak yang organ-organya dapat digunakan


untuk donor.

E : Bila operasi yang dilakukan darurat (emergency) maka penggolongan ASA


diikuti huruf E ( e.g I E atau II E )

1.8. ANESTESI PADA PENDERITA DIABETES MELITUS


Tindakan operasi, khususnya dengan anestesi umum merupakan faktor stres
pemicu terjadinya penyulit akut diabetes, oleh karena itu setiap operasi elektif pada
penyandang diabetes harus dipersiapkan seoptimal mungkin (sasaran kadar glukosa
16

darah puasa <150 mg/dL, PERKENI 2002). Persiapan operasi elektif maupun nonelektif dapat dilihat pada pedoman terapi insulin di rumah sakit.
Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan perubahan di
dalam metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum jelas.
Obat-obat

induksi

dapat

mempengaruhi

homeostatis

glukosa

perioperatif.

Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan memproduksi kortisol
jika digunakan dengan dosis tinggi selama pembedahan. Obat-obat golongan ini akan
menurunkan stimulasi simpatis, tetapi merangsang sekresi growth hormone dan akan
menyebabkan penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini minimal
jika midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat
diberikan secara kontinyu melalui infus intravena pada pasien di ICU.
Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan
keseimbangan hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan metabolik.
Teknik ini secara efektil menghambat seluruh sistem saraf impatis dan sumbu
hipotalamik-pituitari, kemungkinan melalui efek langsung pada hipotalamus dan
pucat yang lebih tinggi. Peniadaan respon hormonal katabolik terhadap pembedahan
akan meniadakan hiperglikemia yang terjadi pada pasien normal dan mungkin
bermanfaat pada pasien diabetes.
Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, mencegah efek insulin untuk
transport glukosa menyeberang membran sel dan secara tak langsung melalui
peningkatan aktifitas simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut
Greene penggunaan halotan pada pasien cukup memuaskan karena kurang
pengaruhnya terhadap peningkatan hormon ; pertumbuhan, peningkatan kadar gula
atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro halotan dapat menghambat pelepasan
insulin dalam merespon hiperglikemia, tetapi tidak sama pengaruhnya terhadap level
insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran dan isofluran tak nyata pengaruhnya
terhadap kadar gula darah.
Pengaruh propofol pada sekresi insulin tidak diketahui. Pasien-pasien diabetik
menunjukkan penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid dari sirkulasi.
Meskipun hal tidak relevan selama anestesia singkat jika propofol digunakan untuk
pemeliharaan atau hanya sebagai obat induksi. Keadaan ini dapat terlihat pada pasienpasien yang mendapat propofol untuk sedasi jangka panjang di ICU. Obat-obat
anestesi intra vena yang biasa diberikan mempunyai efek yang tidak berarti terhadap

17

kadar gula darah kecuali ketamin yang menunjukkan peningkatan kadar gula akibat
efek simpatomimetiknya.
Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau
subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan
pada pasien yang menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai
suatu komplikasi penderita, teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan
tanpa menimbulkan komplikasi. Epidural anestesia lebih efektif dibandingkan dengan
anestesia umum dalam mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan
kortisol yang disebabkan tindakan operasi.
1.9. TEKNIK ANESTESIA PADA PENDERITA DM
Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural, spiangnik dan
blokade regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi
insulin residual. Peningkatan sirkulasi glukosa perioperatif, konsentrasi epinefrin dan
kortisol yang dijumpai pada pasien non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan
dengan anestesia umum dihambat oleh anestesia epidural. Infus phentolamine
perioperatif, suatu penghambat kompetitif reseptor adrenergik, menurunkan respon
gula darah terhadap pembedahan dengan menghilangkan penekanan sekresi insulin
secara parstal.
Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi dengan
anestesia umum memberikan banyak keuntungan pada pasien diabetes yang dilakukan
pembedahan dalam hal mortalitas dan komplikasi mayor. Anestesia regional dapat
memberikan risiko yang lebih besar pada pasien diabetes dengan neuropati
autonomik. Hipotensi yang dalam dapat terjadi dengan akibat gangguan pada pasien
dengan penyakit arteri koronaria, serebrovaskular dan retinovaskular. Risiko infeksi
dan gangguan vaskular dapat meningkat dengan penggunaan teknik regsonal pada
pasien diabetes. Abses epidural lebih sering terjadi pada anestesia spinal dan epidural.
Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang timbul setelah anestesia epidural dapat
dlkacaukan dengan komplikasi anestesia dan blok regional. Kombinasi anestesi lokal
dengan epinefrin dapat menyebabkan risiko yang lebih besar terjadinya cedera saraf
iskemik dan atau edema pada penderita diabetes mellitus.

18

1.10. KONTROL METABOLIK PERIOPERATIF


Tujuan pokok adalah :
1. Mengoreksi kelainan asam basa, cairan dan elektrolit sebelum pembedahan.
2. Memberikan kecukupan karbohidrat untuk mencegah metabolisme katabolik
dan ketoasidosis.
3. Menentukan kebutuhan insulin untuk mencegah hiperglikemia.
Pembedahan pada penderita DM tipe II tidak meningkatkan risiko, sehingga
hanya membutuhkan sedikit perubahan terapi yang sudah ada sebelumnya. Untuk
bedah yang relatif kecil, jangan diberikan obat anti diabetes oral kerja pendek pada
hari operasi, dan obat kerja lama 2 hari sebelum pembedahan. Untuk bedah besar,
dosis kecil insulin mungkin dibutuhkan untuk mengontrol kadar gula darah dan
glikosuria Indikasi pemberian insulin pada penderita DM tipe II dengan kondisi di
bawah ini:
1. Gula darah puasa > 180 mg/dl
2. Hemoglobin glikosilasi 8-10 g%
3. Lama pembedahan lebih 2 jam
Untuk pasien-pasien yang kronis, dengan kontrol metabolik yang buruk, mungkin
perlu dirawat di rumah sakit selama 2 sampai 3 hari untuk penyesuaian , dosis insulin.
Untuk bedah minor cukup dengan pemberian insulin subkutan. Pada pagi hari
sebelum pembedahan, pasien diberikan 1/3 sampai 2/3 dosis insulin normal secara
subkutan, bersamaan dengan pemberian cairan dextrose 5% 100 cc/jam/70 kgBB. Dua
pertiga dosis insulin normal diberikan jika kadar glukosa darah puasa lebih dari 250
mg/dl setengah dosis insulin normal untuk kadar glukosa antara 120 sampai 250
mg/dl, dan sepertiga dosis insulin normal untuk kadar glukosa di bawah 120 mg/dl.
Pasien dengan kadar glukosa darah rendah, atau normal tetap membutuhkan sejumlah
kecil insulin untuk mengimbangi peningkatan efek katabolik stres pembedahan,
penurunan metabolisme protein, dan mencegah lipolisis. Tanpa insulin, DM tipe I
berisiko tinggi untuk mengalami ketosis dengan pembedahan.
Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM yang paling
sering digunakan adalah pasien menerima sebagian -biasanya setengah dari dosis total
insulin pagi hari dalam bentuk insulin kerja sedang:

19

Tabel diunduh dari http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/diabetes-mellitus/feeds


Untuk mengurangi risiko hipoglikemia, insulin diberikan setelah akses
intravena dipasang dan kadar gula darah pagi hari diperiksa. Sebagai contoh, pasien
yang normalnya mendapat 20 unit NPH dan 10 unit regular insulin (RI) tiap pagi dan
kadar gula darahnya 150 mg/dl akan mendapat 15 unit NPH s.c. atau i.m. sebelum
pembedahan bersama-sama dengan infus cairan dextrose 5% (1,5 ml/kg/jam).
Dextrose tambahan dapat diberikan apabila pasien mengalami hipoglikemia (<100
mg/dl). Sebaliknya, hiperglikemia intra operatif (>250 mg/dl) diobati dengan RI
intravena berdasarkan sliding scale. Satu unit RI yang diberikan kepada orang dewasa
akan menurunkan glukosa plasma sebanyak 65 sampai 30 mg/dl. Harus diingat bahwa
dosis ini adalah suatu perkiraan dan tidak bisa dipakai pada pasien dalam keadaan
katabolik (sepsis, hipertermi).
Metode lainnya adalah dengan memberikan insulin kerja pendek dalam infus
secara kontinyu. Keuntungan teknik ini adalah kontrol pemberian insulin akan lebih
tepat dibandingkan dengan pemberian NPH insulin s.c atau i.m. Dan 10 sampai 15
unit RI dapat ditambahkan 1 liter cairan dekstose 5% dengan kecepatan infus 1 - 1,5
ml/kg/jam (1 unit/jam/70 kg). Pemberian infus dextrose 5% (1 ml/kg/jam) dan insulin
(50 unit RI dalam 250 ml NaCl 0,9%) melalui jalur intravena yang terpisah akan lebih
fleksibel. Apabila terjadi fluktuasi gula darah, infus RI dapat disesuaikan berdasarkan
rumus dibawah ini (Rumus Roizen):
20

Pada pemakaian steroid, obesitas, terapi insulin dalam jumlah tinggi dan
infeksi diperlukan penambahan 30 mEq KCl untuk tiap 1 L dextrose karena insulin
menyebabkan pergeseran kalium intraselular. Pada pasien yang menjalani
pembedahan besar diperlukan perencanaan yang seksama. Teknik yang dianjurkan
oleh Hins adalah sebagai berikut:
Glukosa 5-10 gr/jam ekuivalen dengan 100 - 200 cc dextrose 5% perjam
diberikan intra vena. Kalium dapat ditambahkan tetapi hati-hati pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Infus lain diberikan lewat kanul yang sama sebagai berikut:
1. Campur 50 cc RI kedalam 500cc 0,9%Nacl.
2. Infuskan dengan larutan 0,5-1cc/jam (5-10 cc/jam dengan pompa infus).
3. Ukur kadar gula darah tiap jam dan sesuaikan dengan kebutuhan insulin seperti di
bawah ini :

Tabel diunduh dari http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/diabetes-mellitus/feeds


Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat.
Hal penting yang harus diingat dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien
diabetes adalah menetapkan sasaran yang jelas kemudian pemantauan kadar gula
darah untuk menyesuaikan terapi sesuai sasaran. Regimen lain untuk pemberian infus
21

glukosa insulin dan kalium (GIK) dikenal dengan regimen Alberti. Pemberiannya
dapat terpisah atau bersama-sama. Berikut ini salah satu teknik GIK. Pagi hari
diberikan dosis intemiten insulin, kemudian 500 cc dextrose 5% ditambah 10 KCl
diberikan dengan kecepatan 2 cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan
mencampurkan 50 unit RI ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2
unit/cc larutan. Sebelum pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula
darah kemudian cek gula darah tiap 2-3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan
hasil pengukuran di bawah ini:
Kadar gula Infus insulin < 150 mg/dl 5 cc/jam (1 unit/jam)
150 - 250 mg/dl 10 cc/jam (2 unit/jam)
250 - 300 mg/dl 15 cc/jam (3 unit/jam)
300 - 400 mg/dl 20 cc/jam (4 unit/jam)
Diabetes adalah salah satu penyebab paling umum dari stadium akhir gagal
ginjal. Periksa urea, kreatinin dan elektrolit. Khusus memeriksa kalium terutama
dalam pandangan dari kebutuhan yang mungkin untuk suksametonium sebagai akibat
dari gastroparesis. Jika tidak tersedia, proteinuria ini mungkin mengindikasikan
kerusakan ginjal. Pastikan hidrasi yang cukup untuk mengurangi disfungsi ginjal
pasca operasi. Pasien dengan diabetes memiliki faktor risiko bedah khusus untuk
kesehatan yaitu mereka, faktor risiko kardiovaskular yang mungkin atau tidak
mungkin sebelumnya telah didiagnosa. Pasien dengan diabetes mungkin memiliki
silent ischemia, manifestasi atipikal dari iskemia koroner, atau kardiomiopati
mendasarinya.
Banyak pasien dengan diabetes tipe 2 memiliki hipertensi, yang dapat
mempersulit manajemen perioperatif. Faktor-faktor risiko yang umum bedah pada
populasi ini termasuk obesitas, penyakit ginjal kronis, dan disfungsi otonom tidak
terdiagnosis, yang dapat mengganggu stabilitas hemodinamik pada periode
perioperatif. Selain itu, pasien dengan lama pengurangan diabetes pengalaman dalam
fungsi paru (misalnya, volume ekspirasi paksa, arus puncak ekspirasi, dan kapasitas
difusi untuk karbon monoksida) terkait dengan durasi penyakit dan cedera pembuluh
darah, yang dapat mempersulit 2 menyapih dari dukungan ventilasi.
Karakteristik prosedur dan anestesi
Kedua operasi dan anestesi dapat menyebabkan peningkatan kadar hormon
stress (epinefrin, kortisol, hormon pertumbuhan) dan sitokin inflamasi (interleukin-6
22

dan tumor necrosis factor-alpha), mengakibatkan resistensi insulin dan gangguan


sekresi insulin (bahkan di antara pasien yang hadir dengan sekresi insulin yang
memadai). Ini pada gilirannya memberikan kontribusi lipolisis dan katabolisme
protein, menyebabkan hiperglikemia dan, jika pasien yang sangat kekurangan insulin,
ketoasidosis. Faktor lain yang sangat mempengaruhi resistensi insulin dan sekresi
termasuk operasi bypass jantung, sepsis, kebutuhan nutrisi parenteral total, dan terapi
steroid.
Karakteristik dari prosedur bedah, termasuk jenis operasi serta urgensinya,
Durasi dan waktu (pagi vs di kemudian hari), yang penting dalam perencanaan
pengelolaan glikemik perioperatif. Misalnya, prosedur, pendek kecil mungkin
memerlukan pengamatan saja, sedangkan prosedur yang lebih luas menjamin
pemantauan berkala dan manajemen glikemik aktif dengan infus insulin.
Jenis anestesi juga harus dipertimbangkan. Dibandingkan dengan anestesi
epidural, anestesi umum dikaitkan dengan stimulasi yang lebih besar dari sistem saraf
simpatik dan kadar katekolamin meningkat, sehingga lebih jelas.
1.11. PERAWATAN PASCA BEDAH
Infus glukosa dan insulin harus tetap diteruskan sampai kondisi metabolik
pasien stabil dan pasien sudah boleh makan. Infus glukosa dan insulin dihentikan
hanya setelah pemberian subkutan insulin kerja pendek. Setelah pembedahan besar,
infus glukosa dan insulin harus diteruskan sampai pasien dapat makan makanan padat.
Pada pasien-pasien ini, kegunaan dari suntikan subkutan insulin kerja pendek sebelum
makan dan insulin kerja sedang pada waktu tidur dianjurkan selama 24-48 jam
pertama setelah infus glukosa dan insulin dihentikan dan sebelum regimen insulin
pasien dilanjutkan.
Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya hipoglikemia atau hiperglikemia
pasien pasca bedah terutama bila terdapat keterlambatan bangun atau penurunan
kesadaran. Harus dipantau kadar gula darah pasca bedah. Pemeriksaan EKG
postoperatif serial dianjurkan pada pasien DM usia lanjut, penderita DM tipe I, dan
penderita dengan penyakit jantung Infark miokard postoperatif mungkin tanpa gejala
dan mempunyai mortalitas yang tinggi. Jika ada perubahan status mental, hipotensi
yang tak dapat dijelaskan atau disritmia, maka perlu diwaspadai kemungkinan
terjadinya infark miokard.

23

1.12. DEBRIDEMENT DAN AMPUTASI GANGRENE


a. Definisi
Kaki diabetes gangrene merupakan salah satu komplikasi dari penyakit
vascular akibat penyakit diabetes.
b. Ruang lingkup
Diagnosis diabetes tidak sukar untuk ditegakkan. Sebaiknya dibiasakan
mencari tanda-tanda kelainan vaskuler pada pasien diabetes, seperti
mengecilnya atau menghilangnya pulsasi perifer. Osteomyelitis tulang
metatarsal atau tulang-tulang kaki yang lain akan terlihat pada pemeriksaan
radiologik. Pemeriksaan Doppler -Ultrasound akan menjelaskan kelainan
hemodinamik

dan

vaskularisasi

setempat,

sedangkan

arteriografi

menggambarkan secara rinci lokasi, kelainan dan kolateral dari sistem arteri,
yang diperlukan untuk menentukan jenis operasi dan prognosisnya biasanya
berbeda untuk setiap pasien diabetik.
c. Indikasi operasi
Tindakan bedah akut diperlukan pada ulkus dengan infeksi berat yang disertai
selulitis luas, limfangitis, nekrosis jaringan dan nanah. Debridemen dan
drainase darah yang terinfeksi sebaiknya dilakukan di kamar operasi dan
secepat mungkin. Debridemen harus tetap dilaksanakan biarpun keadaan
vascular masih belum optimal.
d. Kontra indikasi operasi:
Adanya penyakit dasar yang masih aktif dalam hal ini adalah diabetes militus
yang tidak terkontrol merupakan kontraindikasi dilakukannya operasi
amputasi. Kemudian adanya infeksi yang masih aktif pada kaki gangrene
tersebut.
e. Diagnosis Banding gangrene diabetikum adalah :
Gangrene karena sebab yang lain
f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk kasus oklusi arteri dan gangren diantaranya
pemeriksaan

laboratorium,

dopler

Ultrasound

blood

flow

director,

Arteriografi, magnetic Resonance Agiography.

24

1. 12. 1. Tehnik Operasi (Tehnik perawatan konservatif)


Tindakan bedah akut diperlukan pada ulkus dengan infeksi berat yang disertai
selulitis luas, limfangitis, nekrosis jaringan dan nanah. Debridemen dan drainase
daerah yang terinfeksi sebaiknya dilakukan di kamar operasi dan dilakukan secepat
mungkin. Biasanya diperlukan beberapa insisi untuk mencapai drainase yang adekuat.
Debridemen harus tetap dilakukan biarpun keadaan vascular masih belum optimal.
Baru setelah jelas batas antara jaringan sehat dan jaringan mati, kita melakukan
nekrotomi, membuang semua jaringan mati termasuk amputasi jari, bila diperlukan.
Tapi selalu diingat untuk mempertahankan jaringan sehat sebanyak mungkin. Hasil
akhir pengelolaan kaki diabetes ini ditentukan oleh lokasi ulkus, luasnya infeksi,
kontrol gula darah dan cukup atau tidaknya sirkulasi vaskuler.
Lingkungan yang lembab disekitar ulkus akan merangsang penyembuhan.
Kelembaban ( kompres ) ini dipertahankan dengan mengganti kain kasa pembalut 3
4 kali sehari. Cairan yang dipakai sebaiknya cairan isotonik, dan hanya bila
korengnya sangat kotor, penuh nanah jaringan mati dicoba dengan merendam kaki
tersebut dengan larutan betadine. Ulkus yang mulai membaik dilakukan nekrotomi
dan bila sudah terlihat jaringan granulasi dapat dilakukan skin graft. Bila terjadi
peradangan yang tidak dapat diatasi dan ada tanda-anda penyebaran yang sangat
cepat, maka amputasi harus dipertimbangkan dengan segera dan jangan ditunggu
sampai terlambat.
Biasanya dalam waktu 24 48 jam sudah terlihat jelas perjalanan penyakit
tersebut. Pertahanan badan daerah sendi tumit lebih kurang terhadap peradangan dan
akan terlihat penyebaran yang cepat yang dapat mengakibatkan septikemi. Seringkali
amputasi harus dikerjakan setinggi paha untuk menghentikan peradangan berlanjut
yang kadang kadang bersifat life saving. Tindakan amputasi dapat dilakukan
setinggi above knee, below knee, syme amputation, transmetatarsal. Tindakan
debridement berupa eksisi atau nekrotomi.
1. 12. 2. Komplikasi operasi
Komplikasi operasi meliputi Residen lmb ischemia merupakan komplikasi
yang jarang namun jika terkena akan mengakibatkan angka mortalitas yang tinggi.
Trauma dari residal limb dapat disebabkan oleh karena cara jalan yang belum biasa
sehingga kemungkinan pasien dapat terjatuh mengakibatkan fraktur terutama pada
residual limb. Hematoma Tromboembolisme dapat terjadi karena amputasi
25

merupakan faktor risiko untuk terjadinya Deep Vein. Trombosis hal ini disebabkan
oleh karena mobilisasi yang terlalu lama pasca operasi, penyakit dasar yang tidak
diobati dan meligasi vena pada saat operasi bisa mengakibatkan stagnasi dan aliran
darah.
1. 12. 3. Perawatan Pasca Bedah
Perawatan pasca bedah meliputi : Residual limb ischemia merupakan
komplikasi yang jarang namun jika terkena akan mengakibatkan angka mortalitas
yang tinggi.
1. 12. 4. Perawatan Pasta Bedah
Setelah operasi, pada luka bekas operasi cliberikan kasa steril setengah basah
oleh NaCl dan dilepas setelah 3-5 hari, biasanya dilakukan di dalam ruang operasi.
Dilakukan pemasangan drain dan jaringan nekrotik yang tersisa dapat dilakukan
nekrotomi. Karena pasien pasien ini pada dasarnya masih mempunyai masalah pada
dirinya-neuropathy dan ischemia-maka pasien ini beresiko untuk mengalami
kerusakan jarrigan yang lebih parch. Penyakit dasar dari pasien harus diobati pula.
infeksi dapat diatasi dengan pemberian antibiotik sesuai dengan tingkat resistensinya.
1. 12. 5. Follow-Up
Follow up pasien pasca amputasi adalah melakukan rehabilitasi (fisioterapi,
konseling) dan pemasangan prostese. Pada pasien yang muda biasanya dilakukan
terapi yang lebih agresif sehingga mempercepat kesembuhan dan dapat bekerja seperti
dahulu kala meskipun dengan menggunakan alat bantu. Pada orang dengan lebih tua
biasanya memerlukan waktu rehabilitasi yang lebih lama oleh karena resiko terkena
infeksi sangat besar yang diakibatkan oleh menurunnya daya penyembuhan luka.
Pada waktu follow up juga harus diperhatikan keadaan tertentu yang mengakinbatkan
pasien menjadi terhambat dalam melakukan rehabilitasi, keadaan keadaan seperti
adanya penyakit jantung, diabetes melitus harus menjadi perhatian.
Jika pasien menghendaki dapat dipasang prostese sehingga fungsi tubuh
pasien dapat mendekati normal dan menambah rasa percaya diri. Pasien sebelum
meninggalkan rumah sakit hendaknya diberi pengarahan mengenai jadwal follow up,
cara merawat bekas amputasi terutama dalam hal kebersihan.

26

Anda mungkin juga menyukai