Anda di halaman 1dari 29

PRESENTASI KASUS

Oleh :

Supervisor :

Diajukan :

Learning Objective :
1. Mempunyai kemampuan melakukan pemeriksaan psikiatri
2. Mampu menegakkan diagnosis dan merencanakan tindakan terapeutik secara komprehensif
3. Mempertahankan sikap terhadap teori yang berhubungan dengan diagnosis pemeriksaan

I. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. HW

Umur

: 28 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Pendidikan

: SLTA tidak lulus

Pekerjaan

: Tidak bekerja

Agama

: Islam

Suku/bangsa

: Jawa/Indonesia

Status perkawinan : Menikah


Alamat

: Sosrowijayan, Jogjakarta

II. RIWAYAT PSIKIATRI


Diperoleh dari:
a. Autoanamnesis tanggal 3 dan 6 Juni.
b. Alloanamnesis dari:
- Ibu Suryati (48 tahun), ibu kandung pasien, pada tanggal 7 Juni 2013.
- Suwati (32 tahun), pasangan hidup (tinggal serumah), pada tanggal 6 Juni 2013.
A. Alasan Utama
Merasa tidak berguna dan sulit menghentikan ketergantungan terhadap napza
B. Riwayat Gangguan Sekarang
Sejak kurang lebih 14 tahun yang lalu (saat pasien duduk di kelas 2 Sekolah
Menengah Pertama (SMP)), pasien melakukan penyalahgunaan napza. Awalnya pasien
merokok, kemudian mengkonsumsi alkohol, dan beberapa obat-obatan seperti, lexotan,
dextromethorphan, inex, dan shabu-shabu. Awalnya pasien mencoba-coba karena
ajakan teman-temannya. Sejak saat itu pasien menjadi lebih tertutup terhadap
keluarganya. Pasien menjadi emosional dan mudah tersinggung. Pasien juga sering
memakai uang iuran sekolah untuk membeli napza.
Pada saat pasien kelas 2 Sekolah Menengah Teknologi (STM) (kurang lebih 11
tahun yang lalu), pasien tidak mau melanjutkan sekolah. Dua tahun kemudian pasien
merantau ke Jakarta. Hidup di kampung preman sebagai informan polisi. Hampir tiap
hari mabuk-mabukan, dan mendatangi tempat hiburan malam. Bahkan pasien pernah
melakukan usaha pembunuhan terhadap orang lain ketika dalam kondisi mabuk.

Kurang lebih lima tahun yang lalu pasien pernah menjalani rehabilitasi di Rumah
Sakit Palembang, tetapi tidak rutin. Obat yang diperoleh adalah: Meprosetil, Neriphros,
Haloperidol, dan Triheksifenidil.
Kurang lebih sejak dua tahun yang lalu pasien merantau ke Jogja. Tinggal di kamar
kost di daerah dekat lokalisasi prostitusi. Pasien bekerja sebagai tukang pijat laki-laki
dan masih rutin menggunakan napza. Zat yang palin sering digunakan adalah shabu dan
alkohol.
Kurang lebih satu setengah tahun yang lalu (Februari 2012) pasien mengalami
perubahan perilaku, berupa sulit tidur, marah tanpa sebab yang jelas, bicara melantur,
kadang-kadang tertawa sendiri, mendengar suara-suara mengancam, dan curiga pada
orang lain. Setelah satu minggu terdapat gejala tersebut, pasien dibawa ke Rumah Sakit
Dr. Sardjito. Pasien opname selama satu minggu, pulang paksa dengan alasan orang
tuanya jauh. Selanjutnya, pasien kontrol tidak rutin di poliklinik psikiatri. Kurang lebih
dua bulan setelah opname, pasien gejala-gejala tersebut sudah tidak didapatkan. Namun
pasien kadang-kadang masih mengkonsumsi napza.
Sejak kurang lebih delapan bulan yang lalu (November 2012), pasien mengeluh
sulit tidur, gelisah, nyeri tengkuk, sedih, putus asa dan merasa bersalah. Pasien merasa
dirinya sangat hina. Pasien selalu berpikir bahwa dosa-dosa yang dilakukan tidak dapat
diampuni terutama penganiayaan yang dilakukan pada masa lalu. Pasien juga sedih jika
teringat kegagalan rumah tangganya. Pasien sering merasa cemburu jika melihat
pacarnya melayani laki-laki lain, kadang sampai marah-marah. Seringkali kemarahan
dilampiaskan dengan minum alkohol atau memakai shabu. Sehingga hal itu menambah
rasa sedih yang dirasakan. Beberapa kali pasien datang berobat ke poliklinik psikiatri
RSUP Dr. Sardjito tetapi belum membaik, bahkan dorongan untuk memakai napza
(alkohol atau shabu) semakin meningkat. Dalam sebulan terakhir, hampir tiap hari
pasien mengkonsumsi shabu dan alkohol, sehingga pasien kontrol kembali ke poliklinik
psikiatri.
C. Riwayat Gangguan Sebelumnya
1. Riwayat Psikiatrik:
Tanggal 1 6 Maret 2012 : opname di Bangsal

Jiwa RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta. Diagnosis: Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penyalahgunaan

Napza Multipel (F19). Terapi: ECT 2x, Haloperidol 2 x 5 mg, Amitriptilin 2 x 25


mg, Chlorpromazine 1 x 100 mg.
2. Riwayat Penggunaan Napza Psikoaktif :
Pasien mengkonsumsi rokok, alkohol, lexotan, dextromethorphan, shabu, inex
sejak usia 14 tahun (SMP kelas 2). Dalam beberapa bulan terakhir, pasien hanya
mengkonsumsi rokok, alkohol dan shabu.
3. Riwayat Penyakit Dahulu (Medis)
a. Tidak didapatkan riwayat Diabetes Melitus
b. Tidak didapatkan riwayat Tekanan Darah Tinggi (Hipertensi)
c. Tidak ada riwayat kejang atau penyakit infeksi lainnya.
d. Tidak ada riwayat trauma kepala
4. Riwayat kepribadian sebelumnya :
Sejak kecil, pasien dianggap anak yang nakal. Sering berperilaku usil,
seperti mencubit teman sebayanya. Pasien cenderung tertutup dan emosional.
D. Riwayat Kehidupan Pribadi
1. Riwayat Prenatal dan Perinatal
Pasien merupakan anak yang dikehendaki, dilahirkan pada saat ibu berusia 20
tahun. Lahir dalam usia kehamilan 8 bulan, lahir spontan dengan pertolongan dokter
di rumah sakit, berat badan lahir 1800 gr, langsung menangis. Bayi dalam keadaan
sehat.
2. Riwayat Masa Kanak Awal (usia 0-3 tahun)
Riwayat tumbuh kembang dalam batas normal. Pasien diasuh oleh kedua orang
tua. Selisih usia dengan kakak kurang lebih tiga tahun. Air susu ibu diberikan selama
kurang lebih dua tahun. Orang tua pasien sangat menyayangi dan memperhatikan
pasien. Ayah cenderung protektif.
3. Riwayat Masa Kanak Pertengahan (usia 3-11 tahun)
Pada saat pasien berusia sekitar lima tahun, pernah melakukan pencabulan
terhadap teman sebayanya dan ketahuan orang tuanya. Pasien langsung dimarahi dan
dipukuli oleh orang tuanya. Akibat perbuatannya tersebut, orang tua pasien pindah
rumah ke kampung lain karena malu. Prestasi di sekolah cukup, tidak pernah tinggal
kelas. Pasien dianggap sebagai anak nakal, suka menjahili teman-temannya,
sehingga pasien sering dimarahi orang tuanya.

Pasien mulai masuk sekolah pada usia enam tahun, dan berhenti pada usia 17
tahun (kelas 2 STM) karena nakal. Sejak Sekolah Dasar (SD), pasien berpindahpindah sekolah karena mengikuti orang tuanya. Berdasarkan keterangan ibunya,
pasien seringkali mendapat perlakuan buruk orang-orang di lingkungannya yang
baru. Pasien juga pernah mengeluh mempunyai guru yang sangat galak, dan sering
memukul kepala pasien.
Ayah pasien termasuk orang tua yang sangat melindungi pasien (protektif),
sering menasehati anak-anaknya dengan aturan-aturan yang detail.
4. Riwayat Masa Kanak Akhir dan Remaja
Prestasi dalam olah raga cukup baik, terutama olah raga basket dan tenis meja.
Sejak masuk SMP pasien tinggal di kost karena sekolah jauh dari rumah orang tua.
Pasien mulai merokok dan minum alkohol sejak duduk di kelas 2 SMP karena ikutikutan teman-temannya. Pasien juga mengenal seks sejak usia SMP, dan melakukan
seks bebas sejak usia SMA.
5. Riwayat Masa Dewasa
a. Riwayat pendidikan
Pasien menamatkan Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD) di kampung
dekat rumah orang tua. Pasien berpindah-pindah sekolah karena mengikuti orang tua.
Setelah lulus, pasien melanjutkan ke SMP, di kota yang cukup jauh dari rumah
orang tua. Prestasi sekolah cukup. Sejak SMP pasien tinggal di rumah kost.
Setelah lulus SMP, pasien melanjutkan ke Sekolah Teknologi Menengah (STM).
Pasien hanya menyelesaikan sampai kelas 2, karena nakal sehingga pasien tidak
mau melanjutkan sekolah. Pasien sering tidak membayarkan uang Sumbangan
Pembangunan Pendidikan (SPP), sehingga pasien sering bermasalah dengan orang
tua dan gurunya.
b. Riwayat Pekerjaan
Sesudah berhenti sekolah pasien membantu orang tua sebagai penyadap karet.
Tetapi pasien tidak puas dengan pekerjaannya tersebut. Sehingga, pada tahun 2004,
pasien merantau ke Jakarta. Pasien tinggal di kampung preman. Pasien
dimanfaatkan sebagai informan polisi untuk penyalahgunaan narkoba. Pasien
mendapatkan penghasilan dari pekerjaan tersebut. Pasien juga bekerja sebagai
pekerja seks komersial.

Pada tahun 2011 pasien merantau ke Jogjakarta. Pasien mulai mencoba untuk
berdagang asesoris di Malioboro, namun tidak sampai satu tahun, barang dagangan
dijual karena pasien sakit akibat kebiasaannya memakai napza.
c. Riwayat Perkawinan
Pasien menikah pada saat usia 23 tahun, dengan wanita yang dikenalnya di
diskotik. Istri mempunyai seorang anak sebelum menikah dengan pasien.
Sejak kurang lebih 3 tahun yang lalu, pasien berpisah dengan istrinya, tetapi
belum resmi bercerai sampai saat ini. Istri pasien bekerja ke luar negeri dan menjalin
hubungan dengan laki-laki lain.
Saat ini pasien menjalin hubungan dengan wanita yang berprofesi sebagai
pekerja seks komersial (PSK). Mereka tinggal bersama di rumah kost di daerah
lokalisasi prostitusi di Jogjakarta.
d. Riwayat Agama
Pasien dibesarkan dalam keluarga beragama Islam. Pendidikan agama diperoleh
dari orang tua dan di sekolahnya. Nilai-nilai agama ditanamkan cukup kuat oleh
orang tuanya. Namun pasien tidak taat menjalankan aktivitas keagamaan.
e. Riwayat Psikoseksual
Pada saat pasien berusia lima tahun, pasien pernah melakukan hubungan
seksual dengan teman perempuan sebayanya, saat sedang bermain di rumah pasien.
Pasien tidak tahu maksud dari perilakunya tersebut.
Pada saat berusia sekitar 14 tahun, pasien mengaku pernah menonton orang
sedang melakukan hubungan seksual, dan sejak saat itu sering melakukan onani.
Pada saat duduk di kelas 2 SMA, pasien melakukan hubungan seksual pertama
kalinya dengan wanita yang jauh lebih tua. Pasien dikenalkan dengan wanita tersebut
oleh temannya. Sejak saat itu pasien sering melakukan hubungan seks bebas.
Pasien menikah saat berusia 23 tahun. Pasien mengenal istrinya di diskotik.
Sebelum menikah, pasien pernah merasa sangat menyesal dengan perilaku seks
bebas yang dilakukan. Pasien menyakiti alat kelaminnya dengan cara mengoleskan
balsem. Hal itu dilakukan sebanyak dua kali.
Pasien mengatakan bahwa semua wanita yang dicintai lebih tua dari pasien.
f. Riwayat Aktivitas Sosial
Pasien lebih banyak menghabiskan waktunya bersama teman-teman sebayanya
sejak lulus SD. Hingga saat ini pasien masih melakukan aktivitas sosial di kompleks

prostitusi. Tidak mempunyai pekerjaan tetap. Pasien hanya tinggal di kamar kost
teman wanitanya. Jarang bersosialisasi dengan penghuni kost yang lain.
g. Riwayat Pelanggaran Hukum
Pasien

sejak

usia

14

tahun

melakukan

pelanggaran

hukum

berupa

penyalahgunaan napza. Pasien juga pernah melakukan penganiayaan pada saat dalam
kondisi mabuk. Namun ketika menyerahkan diri ke kepolisian, pasien dibebaskan.
Pasien belum pernah berurusan dengan pihak berwajib berkaitan dengan pelanggaran
hukum yang dilakukan.
h. Riwayat Penggunaan Waktu Luang
Sebelum sakit pasien banyak menghabiskan waktu luang dengan teman-teman
di tempat hiburan. Saat ini pasien hanya tiduran sambil menonton televisi di kamar
kost tidak ada kegiatan. Kadang-kadang pasien membantu temannya berjualan di
Malioboro.
i. Riwayat Situasi Kehidupan Sekarang
Kunjungan Rumah (tanggal 6 Juni 2013):
Saat ini pasien tinggal bersama teman wanitanya di kamar kost yang terletak di
kompleks lokalisasi prostitusi di Jogjakarta. Satu rumah terdiri dari 25 kamar kost.
Penghuni kost rata-rata pekerja seks komersial dan karyawan tempat hiburan malam
di sekitarnya. Harga sewa kamar kost sebesar Rp. 350.000, 00/bulan. Biaya hidup
sehari-hari ditanggung oleh teman wanitanya, dengan bekerja sebagai pekerja seks
komersial. Penghasilan sehari-hari kurang lebih Rp. 200.000,00.

Kamar kost

Kamar kost
Kamar kost

R. tamu

Tempat tinggal
pasien

Kamar kost

j. Riwayat Keluarga
Silsilah keluarga

1
0

8
9

Keterangan :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kakek
Nenek
Ayah
Ibu
Paman/bibi pasien
Saudara kandung pasien

7. Istri pasien
8. Pasangan
9. Anak tiri pasien
P. Pasien
: Meninggal

Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Jarak usia dengan kakaknya
sekitar lima tahun. Kakak pasien perempuan, saat ini sudah menikah dan mempunyai
satu orang anak. Ayah pasien sudah meninggal 5 bulan yang lalu karena sakit. Ibu
pasien saat ini tinggal di Jambi bersama paman pasien. Rumah di Palembang dijual
setelah ayah pasien meninggal.
Keadaan sosial ekonomi keluarga pasien tergolong cukup mampu. Orang tua
bekerja sebagai petani transmigran. Hidup berpindah-pindah sejak pasien masih
kecil.
k. Persepsi Pasien Tentang Diri dan Kehidupannya
Pasien menganggap dirinya seorang yang tidak dapat mengendalikan nafsu
untuk berbuat maksiat. Pasien merasa hina. Sejak kecil pasien menganggap dirinya
anak nakal. Pasien merasa dirinya banyak menghadapi permasalahan dalam
hidupnya, dan tidak tahu bagaimana cara menyelesaikannya. Pasien menggunakan

obat-obatan dan alkohol sebagai pelarian atas permasalahannya tersebut. Namun,


kehidupannya semakin kacau dan pasien semakin merasa dirinya tidak berguna,
tidak percaya diri, tidak punya masa depan. Ingin menjadi orang baik tetapi sulit
untuk berubah.
l. Impian, Fantasi dan Nilai-nilai
Pasien ingin keluar dari kehidupan penuh maksiat. Pasien ingin mengajak
pacarnya untuk bersama-sama menjalani kehidupan lebih baik. Ingin dapat mandiri
bekerja dan menjadi kepala rumah tangga yang bertanggung jawab. Pasien
menyadari bahwa perbuatannya selama ini adalah perbuatan yang salah tetapi tidak
mempunyai kemampuan untuk menghentikannya.
III. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL
(diperiksa pada tanggal 3 Juni 2013)
A. Deskripsi Umum
1. Penampilan
Seorang laki-laki, sesuai usia, berpakaian bersih dan rapi. Postur tubuh pasien
atletis. Wajah pasien tampak murung, kurang bersemangat.
2. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor
Selama wawancara, pasien cukup kooperatif, normoaktif.
3. Sikap terhadap pemeriksa
Kooperatif dan menjawab semua pertanyaan dengan suara agak pelan.
B. Mood dan Afek
1. Mood sedih
2. Afek menyempit
3. Keserasian: serasi
C. Pembicaraan
Pasien berbicara dengan suara cukup, menyampaikan keluhan dan menjawab
pertanyaan secara spontan.
D. Pikiran
1. Bentuk pikir : realistis
2. Progresi pikir: pasien menjawab pertanyaan dengan jawaban yang relevan, remming,
kontinuitasnya baik, produktivitas cukup.
3. Isi pikir :

- Preokupasi pada masa lalu


- Preokupasi pada napza (shabu dan alkohol)
- Rasa rendah diri
- Putus asa, tetapi tidak ada pikiran bunuh diri
E. Gangguan Persepsi
Halusinasi

: tidak ditemukan

Ilusi

: tidak ditemukan

F. Sensorium & kognitif


1. Tingkat kesadaran dan kesigapan: compos mentis
2. Orientasi
a.

Tempat: baik, pasien mengetahui saat ini berada di Poliklinik Jiwa


RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta.

b.

Waktu: baik, pasien mengetahui tanggal dan hari saat pemeriksaan


dilakukan.

c.

Orang: baik, pasien mengenal dokter yang memeriksa dan petugas


poliklinik

3. Daya ingat
a. Daya ingat jangka segera: baik, pasien dapat menyebutkan nama tiga benda
dengan benar (meja, kursi, pulpen)
b. Daya ingat jangka pendek: baik, pasien ingat menu sarapan pagi.
c. Daya ingat jangka menengah: baik, pasien ingat kejadian yang dialaminya.
d. Daya ingat jangka panjang: baik, pasien dapat mengingat pengalaman pada masa
kecil.
4. Konsentrasi: cukup
Pasien dapat melakukan pengurangan angka 7 yang dimulai dari 100-7 sampai
pengurangan sebanyak 5 kali dengan baik, tetapi membutuhkan waktu agak lama.
5. Perhatian: baik
Pasien dapat mengeja kata dunia dari belakang dengan baik.
6. Kemampuan membaca dan menulis: baik
Pasien dapat membaca dan memahami kalimat, serta menuliskan kalimat dengan
benar.
7. Kemampuan visuospasial: baik
a. Pasien bisa menggambar jam dengan lengkap dan benar

10

b. Pasien dapat mencontoh 2 (dua) buah segilima yang saling berpotongan.

8. Pikiran abstrak: baik


Pasien

dapat

memahami

dan

kadang

menggunakan

metafora

dalam

pembicaraannya
9. Kapasitas intelegensia: baik
Pasien memiliki pengetahuan sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
10. Bakat kreatif: bakat kreatif pasien adalah olah raga
11. Kemampuan menolong diri sendiri: baik
Di luar aktivitas yang membutuhkan kekuatan fisik, pasien dapat merawat
dirinya sendiri
G. Kemampuan mengendalikan impuls:
Selama wawancara, tidak ditemukan adanya gangguan pengendalian impuls
H. Daya nilai dan tilikan
1.

Daya nilai sosial: baik.


Pasien memahami bahwa mencuri itu adalah perbuatan yang tidak benar dan
berdosa bila dilakukan.

2.

Uji daya nilai: baik.


Pasien akan melapor ke polisi bila menemukan uang yang tergeletak di jalan.

3.

Penilaian realita: baik.


Tidak ditemukan adanya halusinasi dan waham.

4.

Tilikan : derajat 5
Pasien menyadari bahwa dirinya sakit dan sebab mengetahui penyebabnya.

I. Taraf dapat dipercaya: secara keseluruhan pasien dapat dipercaya.


IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT
A. Status Internistik (3 Juni 2013)
Keadaan umum: tampak baik
Kesadaran: compos mentis
Tekanan darah: 120/80 mmHg
Denyut nadi: 88x/mnt
Frekuensi pernafasan: 18x/mnt

11

Suhu: 36,6oC TB: 173 cm BB: 68 kg


Kulit : turgor baik
Kepala : mata anemis -/- icterus -/Leher : struma (-), tekanan vena jugularis normal
Dada :
-

Jantung : BJ I-II tunggal, bunyi tambahan (-)

Paru : sonor, vesikuler, fremitus kiri & kanan normal

Abdomen: soufel, hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan (-), bising usus (+) normal.
Ekstremitas : akral hangat, kulit kering, edema -/B. Status Neurologik (3 Juni 2013)
Glasgow coma scale: E4 V5 M6
Pupil bulat isokor, gerakan bola mata baik, diameter 3mm
Refleks cahaya + / +
Saraf kranialis: tanda peningkatan tekanan intrakranial (-)
Kaku kuduk dan tanda rangsang meningeal tidak didapatkan
Motorik (kaki kiri dan tangan kanan-kiri):
Tidak ada kelumpuhan
Tonus motorik normal, koordinasi baik
Refleks fisiologis normal
Sensorik (kaki kiri dan tangan kanan-kiri) dalam batas normal
C. Pemeriksaan penunjang
- Laboratorium:
Lab rutin dan kimia darah dalam batas normal
3 Juni 2013
Wbc 10,7
RBC 4,94
HGB 14,90
HCT 45,00
MCV 91,10
MCH 32,20
MCHC 35,40
RDW 11,90
PLT 274
MPV 8,50

Nilai normal
4,10-11,0
4,50-5,90
13,50-17,50
41,00-53,00
80,00-100,00
26,00-34,00
31,00-36,00
11,60-14,80
150-440
6,80-10,0

3 Juni 2013
SGOT 25,19
SGPT 40,55
BUN 7,194
Creatinin 0,75
GDS 88,40
Na 140
K 4,144
HbSAg 0,515 (Non
reactive)

Nilai normal
11,00-33,00
11,00-50,00
8,00-23,00
0,70-1,20
70,00-140,00
136,00-145,00
3,50-5,10
Non Reactive

- EKG : sinus rythm


- Pemeriksaan psikologis:

12

a. Tes Grafis:
Berdasarkan pemeriksaan grafis pada tanggal 6 Juni 2013, didapatkan
kondisi psikologis dimana pasien kurang dapat mengendalikan diri, kurang matur,
cenderung impulsif, mudah marah dan perilakunya seringkali tidak dapat
diperhitungkan maksud dan tujuannya. Terdapat pula ekspresi ketergantungan,
selalu menuntut, dan bertindak seperti parasit, serta kecenderungan paranoid.
Daya tahan yang kurang, mudah kecewa dan gembira dengan hasil yang dicapai.
Ekspresi perasaan bersalah cukup jelas pada pasien. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh aktivitas otoerotik, riwayat traumatik yang dialami, konflikkonflik yang banyak belum terselesaikan, serta kekecewaan yang dialami.
Ekspresi body narsisitic pada pasien menunjukkan kecenderungan adanya sexual
maladjusment, emosionalitas egosentrik dan infantil. Hal ini sesuai dengan
kepribadian skizoid dan introvert, dimana pasien kurang mendapatkan kepuasan
benar-benar dalam hubungan sosial dan lebih memilih fantasi.
Pasien menganggap peran ibu sangat besar bagi dirinya, namun terdapat
indikasi kurangnya penerimaan terhadap pasien. Pasien merasa kurang dapat
diterima oleh keluarga, sehingga pasien cenderung mencari perhatian lebih besar
kepada keadaan di luar keluarga. Pasien menggambarkan sosok ayah yang
otoriter, menguasai, galak, dan kurang memberikan kesempatan pada pasien.
b. Woodworths Questioner:
Ein. Emot
Psychotics Obsession
Schizophrenia tendens
Paranoid tendens
Depressi hypocondrics
Impulse epil
Instabilitas emosi
Antisosial tendens

Nilai
467
312
300
240
260
222
364
208

Cut off point


120
120
120
120
120
120
120
120

Nilai
21
16
2

Cut off point


5
5
12

c. Eysenck Personality Inventory


Neurotic
Introvert
Lie

Kesimpulan: kecenderungan kepribadian campuran skizoid, dependen dan emosional


tidak stabil tipe impulsif.
13

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


Telah diperiksa seorang laki-laki berusia 28 tahun, suku Jawa, bangsa Indonesia,
agama Islam, sudah menikah, belum mempunyai anak kandung, pendidikan tidak tamat
STM, tidak bekerja, tinggal di kompleks prostitusi di Jogjakarta, bersama teman
wanitanya. Merupakan pasien di Poliklinik Jiwa RSUP Dr. Sardjito sejak tanggal 2 Mei
2012.
Dari anamnesis didapatkan keluhan utama perasaan tidak berguna dan sulit
menghentikan penyalahgunaan napza. Pertama kali menggunakan napza, kurang lebih
sejak 14 tahun yang lalu. Napza yang digunakan adalah rokok, alkohol, dan beberapa obatobatan seperti, lexotan, dextromethorphan, inex, dan shabu-shabu.

Beberapa bulan

terakhir pasien hanya mengkonsumsi alkohol dan shabu. Berhenti sekolah pada kelas 2
STM. Tidak puas bekerja menjadi penyadap karet, kemudian merantau dan aktif
menggunakan napza dan menjadi pekerja seks komersial. Pernah menjalani rehabilitasi di
Rumah Sakit Palembang, tetapi tidak rutin (obat yang diberikan: Meprosetil, Neriphros,
Haloperidol, dan Triheksifenidil). Satu tahun yang lalu didapatkan gejala-gejala depresi
dan psikotik, membaik setelah dirawat di bagian jiwa RSUP Dr. Sardjito selama satu
minggu.
Sejak kurang lebih delapan bulan yang lalu, terdapat keluhan insomia, keluhan
fisik, dan gejala-gejala depresi, cenderung paraniod dan impulsif. Pasien menggunakan
alkohol dan shabu untuk mengatasi keluhannya. Pasien mulai berobat ke poliklinik
psikiatri RSUP Dr. Sardjito pada bulan Mei 2012 tetapi kadang tidak rutin. Satu bulan
terakhir keluhan semakin memberat, dorongan untuk menggunakan napza semakin besar.
Pasien dilahirkan kurang bulan, dengan berat lahir kurang (1800 gr). Orang tua
protektif dan detail. Sejak kecil pasien sering mendapat perlakuan kasar dari lingkungan.
Sering berpindah-pindah tempat tinggal. Pergaulan bebas dilakukan sejak usia SMP.
Berhenti sekolah pada STM kelas 2.
Pada pemeriksaan psikiatri pada tanggal 3 Juni 2013 didapatkan: seorang laki-laki,
sesuai usia, postur tubuh atletis, tampak kurang bersemangat. Afek menyempit, serasi,
mood disforik. Bicara dengan volume suara pelan. Isi pikiran tentang kesedihan,
penyesalan, rasa berdosa, rendah diri, putus asa dan preokupasi terhadap napza. Insight
baik. Pemeriksaan psikologis didapatkan kondisi depresif dan kecenderungan kepribadian

14

campuran skizoid, introvert, dependen serta kepribadian emosional tidak stabil tipe
impulsif. Status psikiatri lain, status internistik dan neurologis dalam batas normal.
VI. DIAGNOSIS BANDING
1. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan yang merugikan akibat zat
stimulansia lain termasuk kafein (F15.1) dan adanya keterlibatan alkohol (Y91)
2. Gangguan mental dan perilaku akibat sindroma ketergantungan zat stimulansia lain
termasuk kafein (F15.2) dan adanya keterlibatan alkohol (Y91)
3. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat multipel dan penggunaan zat
psikoaktif lainnya (F19) yang disertai gejala komorbid depresi dengan gejala
somatisasi.
VII. FORMULASI DIAGNOSTIK (Menurut PPDGJ-III)
Pada pasien ini ditemukan gejala perilaku dan psikologis yang secara klinis cukup
bermakna dan menimbulkan penderitaan (distress) serta hendaya (dissability) dalam
kehidupan sehari-hari, fungsi pekerjaan dan psikososial sehingga dapat disimpulkan bahwa
pasien ini mengalami suatu gangguan jiwa.
Berdasarkan riwayat perjalanan penyakit, anamnesis dan berbagai pemeriksaan
fisik dan piskiatris yang dilakukan, tidak didapatkan gangguan medis umum yang secara
fisiologis dapat menimbulkan disfungsi otak serta mengakibatkan gangguan jiwa yang
diderita saat ini, sehingga Gangguan Mental Organik dapat disingkirkan.
Pada pemeriksaan terhadap pasien ini tidak didapatkan adanya gejala-gejala
distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar disertai dengan afek yang tidak wajar, yang
dapat mempengaruhi pikiran dan perilaku bizare, sehingga diagnosis Skizofrenia dapat
disingkirkan.
Berdasarkan riwayat perjalanan penyakit, didapatkan penyalahgunaan bermacammacam napza, namun beberapa bulan terakhir pasien hanya menggunakan shabu dan
alkohol. Pada pasien ini didapatkan keinginan yang cukup kuat untuk menggunakan
alkohol dan napza psikoaktif lainnya, dan terbukti dalam satu bulan terakhir, pasien
menggunakan kembali. Pasien mengaku kesulitan dalam mengendalikan perilaku
menggunakan napza dan usaha untuk menghentikan, meskipun pasien menyadari adanya
akibat yang merugikan kesehatannya. Pasien ini sejak delapan bulan yang lalu mengalami
gangguan suasana perasaan. Gejala yang ditunjukkan pada pasien ini adalah rasa rendah

15

diri, sulit tidur, nyeri tengkuk, sedih, putus asa dan merasa bersalah, mood disforik,
hipoaktivitas, dan penarikan diri dari lingkungan. Sindroma depresi yang didapatkan pada
pasien ini dapat sebagai akibat yang merugikan dari penggunaan yang berat atau hendaya
fungsi kognitif akibat penggunaan napza, sehingga diagnosis Gangguan Mental dan
Perilaku Penggunaan yang Merugikan akibat Penggunaan Zat Stimulansia lain
(F15.1) dapat ditegakkan. Meskipun pada beberapa kasus, perubahan suasana perasaan
mungkin juga terselubung oleh kebiasaan konsumsi alkohol dan psikoaktif lainnya.
Sehingga komorbiditas Episode Depresif (F32) pada pasien ini belum dapat
disingkirkan. Penggunaan alkohol pada pasien ini hanya merupakan keterlibatan sekunder
dari perilaku penggunaan zat psikoaktif primer, sehingga diagnosis sekunder Keterlibatan
Penggunaan Alkohol (Y91) dapat disertakan pada pasien ini.
Pada pasien tidak ditemukan gangguan persepsi, gangguan proses berpikir dan
hendaya berat dalam menilai realita, sehingga pasien tidak dalam kondisi psikotik.
Menurut keterangan orang tuanya, sejak kanak-kanak pasien cenderung tertutup
tetapi impulsif. Pasien dikatakan sebagai anak yang kurang taat kepada orang tua. Pasien
juga sering menghadapi masalah dengan orang-orang di sekitarnya. Perlakuan buruk
orang-orang di lingkungannya sulit diklarifikasi apakah merupakan reaksi dari perilaku
pasien yang cenderung impulsif atau merupakan pemicu utama terjadinya masalah
kejiwaan yang terdapat pada pasien. Berdasarkan hasil pemeriksaan psikologis juga
didapatkan ciri kepribadian yang bercampur antara kepribadian skizoid, dependen, dan
kecenderungan emosional tidak stabil tipe impulsif. Kecenderungan kepribadian tersebut
sangat mungkin mendasari terjadinya hendaya pada saat ini, sehingga Gangguan
Kepribadian Campuran dan Lainnya (F61) merupakan diagnosis axis II yang belum
dapat disingkirkan.
Pada pasien ini tidak didapatkan keluhan-keluhan fisik maupun medis umum,
sehingga diagnosis axis III tidak didapatkan kelainan.
Faktor-faktor psikososial yang dihadapi pasien saat ini adalah tingkat sosial
ekonomi yang kurang, pasien tidak mempunyai keterampilan dan pekerjaan, sehingga
pasien menggantungkan diri kepada teman wanitanya yang bekerja sebagai PSK.
Lingkungan di lokasi prostitusi dan dekat dengan komunitas penyalahguna napza, serta
sebagai perantauan, dukungan keluarga sulit diperoleh. Hubungan rumah tangga yang
tidak harmonis dan kematian ayahnya beberapa bulan yang lalu juga perlu dicatat sebagai
diagnosis axis IV.

16

Pada aksis V, GAF (Global Assesment of Functioning) Scale pada saat ini dinilai
51-60 karena pasien menunjukkan gejala sedang dan disabilitas sedang dalam social
functioning, yang juga merupakan skor tertinggi 1 tahun terakhir.
VIII. FORMULASI PSIKODINAMIK
Formulasi psikodinamika melibatkan banyak elemen (bio-psiko-sosial) yang harus
disusun secara sistematik dan terintegrasi agar dapat menghasilkan analisis dan interpretasi
secara dinamis agar dapat menjelaskan manifestasi gambaran klinis pasien. Psikopatologi
gangguan jiwa terjadi apabila ada faktor predisposisi dan ada faktor presipitasi yang
dialami oleh seseorang. Faktor predisposisi

terdiri dari temperament sensitivity dan

parenting (pola asuh).


Keluhan utama pasien adalah adanya perubahan suasana perasaan berupa sedih
yang berlebihan, perasaan tidak berguna, rasa berdosa, rendah diri, dan menyesal.
Beberapa stresor yang diduga memicu terjadinya munculnya episode gangguan antara lain
adalah ketidakmampuan pasien mengendalikan dorongan memakai napza dan perilaku
maksiat yang dilakukan selama ini. Pemakaian alkohol dan napza psikoaktif yang berat
dan dalam jangka panjang dapat juga menimbulkan gangguan kejiwaan dan hendaya
kognitif yang berat. Selain itu kegagalan rumah tangga, kematian ayahnya beberapa bulan
yang lalu juga memperberat keluhan tersebut. Perasaan cemburu pasien terhadap teman
wanitanya ketika melayani laki-laki lain juga memicu munculnya perasaan putus asa pada
pasien. Hal itu dikarenakan, pasien ingin mengajak teman wanitanya berhenti bekerja
sebagai PSK tetapi pasien tidak dapat memberikan nafkah yang layak sebagai pengganti
penghasilan sebagai PSK.
Faktor-faktor organobiologis

yang mungkin mempengaruhi antara lain adalah

pasien dilahirkan dalam usia kehamilan kurang bulan dan berat lahir kurang, dengan usia
ibu saat melahirkan pasien 20 tahun (usia pernikahan ibu 17 tahun), dan kondisi kesehatan
ayah yang mengidap penyakit komplikasi sejak sebelum menikah. Hal tersebut
dimungkinkan menyebabkan ketidakseimbangan neurotransmitter pada pasien. Hal ini
merupakan faktor predisposisi bawaan yang memungkinkan timbulnya gangguan jiwa di
kemudian hari.
Menurut teori perkembangan psikoseksual (Sigmund Freud), pola asuh orang tua
yang cenderung protektif dan menerapkan aturan-aturan yang sangat detail sejak pasien
kecil, merupakan trauma psikis yang terepresi dan menyebabkan adanya fiksasi awal. Jejak

17

pengalaman traumatik itu menetap di alam tidak sadar dalam bentuk memori yang
terepresi. Memori ini baru memberikan efek pada saat pasien mengalami kejadian
traumatik yang identik dengan pengalaman traumatik masa kanak, yaitu ketika pasien
disukai oleh gurunya. Pada titik ini, kekuatan yg menahan represi berkurang, sehingga
pasien mengalami kondisi yang oleh Freud disebut kembalinya sang represi.
Pemahaman psikodinamika tentang depresi, menurut Freud dibagi menjadi 4 teori, yaitu:
1) Gangguan hubungan ibu-anak pada usia 10-18 bulan pertama; 2) Kehilangan suatu
objek yang dicintai; 3) Introyeksi dari objek yang hilang tersebut; 4) Marah pada diri
sendiri sebagai campuran rasa cinta dan benci akibat kehilangan objek yang dicintai.
Adapun mekanisme pertahanan diri yang digunakan oleh pasien sangat mungkin
didasari oleh proses perkembangan pembelajaran yang dialami pasien sejak masih dalam
kandungan dan adanya fiksasi pada fase awal kehidupan. Mekanisme pertahanan diri yang
digunakan pasien dalam menghadapi konflik bawah sadarnya adalah dengan cara
merepresi konflik. Hal ini mengakibatkan munculnya manifestasi gangguan jiwa ketika
ego strength pasien tidak kuat menahan represi yang dilakukan.
Berdasarkan analisis psikodinamika di atas, pada pasien ini perlu dilakukan
psikoterapi cognitive behaviour therapy (CBT), yang merupakan pengembangan prinsip
learning theory di dalam praktik klinis.
IX. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
( Menurut PPDGJ III ) :
AXIS I

:
- Gangguan Mental dan Perilaku Penggunaan yang Merugikan akibat
Penggunaan Zat Stimulansia lain (F15.1) disertai
- Keterlibatan Penggunaan Alkohol (Y91)

AXIS II
AXIS III
AXIS IV

:
Gangguan kepribadian campuran dan lainnya (F61)
:
Tidak didapatkan kelainan medis umum
:

Tingkat sosial ekonomi yang kurang,

Pasien tidak mempunyai keterampilan dan pekerjaan, sehingga pasien


menggantungkan diri kepada teman wanitanya yang bekerja sebagai PSK.

18

Lingkungan di lokasi prostitusi dan dekat dengan komunitas penyalahguna


napza

Dukungan keluarga sulit diperoleh.

Hubungan rumah tangga yang tidak harmonis

Kematian ayahnya beberapa bulan yang lalu

AXIS V

GAF scale MRS 51-60

GAF scale terbaik 1 tahun terakhir 51-60

X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam
Hal-hal yang meringankan
-

Tidak ada gejala psikotik

Pasien cukup kooperatif

Motivasi untuk terapi cukup besar

Hal-hal yang memberatkan


-

Riwayat penggunaan napza dalam jangka waktu yang panjang

Riwayat kepatuhan minum obat dan psikoterapi tidak teratur

Tingkat sosial ekonomi rendah

Disfungsi dinamika keluarga: kondisi pasien jauh dari orang tua, berpisah
dengan istri, dan tinggal bersama dengan wanita lain tanpa ikatan pernikahan.

Dukungan keluarga kurang

Tidak mempunyai pekerjaan tetap

Pendidikan kurang

Lingkungan sosial di tempat prostitusi

Gangguan kepribadian campuran

XI. DAFTAR MASALAH


A. Organobiologik
-

Pasien dilahirkan dalam usia kehamilan kurang bulan

19

Berat lahir kurang,

Usia ibu saat melahirkan pasien 20 tahun (usia pernikahan ibu 17 tahun)

Kondisi kesehatan ayah yang mengidap penyakit komplikasi sejak sebelum


menikah.

B. Psikologis
-

Berbagai stresor kehidupan yang dialami pasien.

C. Lingkungan dan Sosial Ekonomi


-

Tingkat sosial ekonomi yang kurang

Pasien tidak mempunyai keterampilan dan pekerjaan

Pasien menggantungkan diri kepada teman wanitanya yang bekerja sebagai


PSK

Lingkungan di lokasi prostitusi dan dekat dengan komunitas penyalahguna


napza

Pasien sebagai perantau, dukungan keluarga sulit diperoleh

Hubungan rumah tangga yang tidak harmonis

Kematian ayahnya beberapa bulan yang lalu

Pasien merasakan kondisi sakitnya mengganggu dan menimbulkan disabilitas


dalam pekerjaan, aktifitas sehari-hari, hubungan sosial, dan interpersonal.

XII. RENCANA PENATALAKSANAAN


A. Psikofarmaka :
- Clozapine 2 x 25 mg
- Fluoxetine 1 x 20 mg
B. Psikoterapi
a. Kepada pasien
1. Psikoterapi suportif
2. Wawancara motivasional
3. Cognitive Behaviour Therapy (CBT)
4. Pencegahan kekambuhan
b. Kepada keluarga/lingkungan pasien: Community Therapy (CT)
XIII. DISKUSI
A. Diagnosis

20

Menurut PPDGJ III (Depkes RI, 1993), gangguan mental dan perilaku akibat
penggunaan zat psikoaktif digolongkan ke dalam blok F10-19. Di dalam blok ini berisi
gangguan yang bervariasi luas dan berbeda keparahannya (dari intoksikasi tanpa
komplikasi dan penggunaan yang merugikan sampai gangguan psikotik yang jelas dan
demensia), tetapi semua itu disebabkan karena penggunaan satu atau lebih zat
psikoaktif (dengan atau tanpa resep dokter).
Identifikasi penggunaan zat psikoaktif yang digunakan dapat dilakukan
berdasarkan laporan individu, analisis objektif dari spesimen urine, darah dan
sebagainya, atau bukti lain. Disarankan untuk mencario bukti yang menguatkan lebih
dari satu sumber, yang berkaitan dengan penggunaan napza. Analisis objektif
memberikan bukti yang paling dapat diandalkan.
Banyak pengguna obat menggunakan lebih dari satu jenis napza. Apabila
mungkin, diagnosis harus diklasifikasikan sesuai dengan napza tunggal yang paling
penting digunakan. Penggunaan kode F19 (gangguan akibat penggunaan obat multipel)
hanya digunakan bila pola penggunaan zat psikoaktif benar-benar kacau dan
sembarangan atau berbagai obat bercampur-campur.
Kasus gangguan jiwa akibat zat psikoaktif (terutama delirium pada usia lanjut),
tetapi tanpa salah satu gangguan dalam blok ini (misalnya penggunaan merugikan atau
sindroma ketergantungan) harus dimasukkan dalam kode F00-09.
Tingkat keterlibatan alkohol dapat ditunjukkan dengan menggunakan kode
tambahan dari Bab XX (ICD-10): Y90.- (bukti keterlibatan alkohol yang ditetapkan dari
kadar dalam darah) atau Y91.- (bukti keterlibatan alkohol yang ditetapkan dengan
derajat intoksikasinya).
Pola penggunaan zat psikoaktif yang merusak kesehatan dapat berupa fisik
(misalnya hepatitis karena penggunaan obat melalui suntikan) atau mental (misalnya
episode gangguan depresi sekunder karena konsumsi berat alkohol). Untuk menegakkan
diagnosis penggunaan napza yang merugikan (F1x.1) harus ada cedera nyata pada
kesehatan jiwa atau fisik pengguna. Pola penggunaan yang merugikan sering dikecam
oleh pihak lain dan seringkali disertai berbagai konsekuensi sosial yang tidak
diinginkan, bukan merupakan bukti adanya penggunaan yang merugikan. Jangan
memberi diagnosis penggunaan yang merugikan apabila ada sindroma ketergantungan
(F1x.2), gangguan psikotik (F1x.5), atau bentuk spesifik lain dari gangguan yang
berkaitan dengan penggunaan obat atau alkohol.

21

Diagnosis penggunaan napza dengan sindroma ketergantungan (F1x.2), apabila


didapatkan fenomena fisiologis, perilaku, dan kognitif akibat penggunaan suatu napza
atau goloingan napza tertentu yang mendapat prioritas lebih tinggi bagi individu
tertentu ketimbang perilaku yang pernah diunggulkan pada masa lalu. Gambaran utama
yang khas dari sindroma ketergantungan ialah keinginan untuk menggunakan obat
psikoaktif, alkohol, atau tembakau,. Mungkin ada bukti bahwa mereka menggunakan
napza kembali.
B. Penatalaksanaan
Masalah gangguan penggunaan napza merupakan suatu masalah yang kompleks
sehingga penataksanaannya harus benar-benar terintegrasi dan komprehensif yang
melibatkan tidak hanya tenaga medis. Komitmen dari pimpinan dan seluruh staf serta
karyawan dalam suatu organisasi pelayanan pasien gangguan penggunaan napza sangat
diperlukan. Kesinambungan program pun harus terus dilakukan evaluasi agar dapat
memenuhi kebutuhan setiap pasien.
Menurut publikasi National Institute on Drug Abuse (NIDA) pada tahun 1999,
terdapat 13 prinsip terapi efektif berdasarkan penelitian di lapangan, yaitu: 1) Tidak ada
satupun bentuk terapi yang sesuai untuk semua; 2) Kebutuhan terapi harus siap dan
tersedia ketika diperlukan; 3) Terapi yang efektif mengakomodasi kebutuhan yang
beragam untuk masalah napza saja; 4) Rencana terapi dan layanan lain harus dikaji
secara kontinyu dan dimodifikasi bila diperlukan, untuk memenuhi kebutuhan
perubahan pada pasien; 5) Periode waktu program terapi harus adekuat; 6) Konseling
individu atau kelompok dan terapi perilaku sangat penting; 7) Medikasi dan atau
kombinasi dengan terapi perilaku; 8) Jika disertai dengan komorbiditas gangguan
mental harus ditangani secara komprehensif; 9) Detoksifikasi hanya merupakan langkah
awal dari pengobatan gangguan penggunaan napzadan hanya memberi perubahan
sedikit terkait penggunaan napza dalam jangka waktu yang panjang; 10) Pengobatan
yang efektif tidak harus secra sukarela; 11) Kemungkinan penggunaan napza selama
periode pengobatan harus dipantau secara periodik; 12) Program pengobatan harus
menyediakan kajian untuk HIV/AIDS dan infeksi lain serta konseling untuk membantu
pasien merubah perilakunya; 13) Kepulihan dari gangguan penggunaan napza dapat
menjadi proses yang panjang dan seringkali memerlukan beberapa episode pengobatan.
1. Psikofarmaka
Merupakan model terapi berbasis biologik, genetik atau fisiologik sebagai
penyebab adiksi yang membutuhkan pengobatan farmakologis untuk menurunkan

22

gejala-gejala serta perubahan perilaku. Pemberian psikofarmaka ditujukan untuk


mengurangi gejala-gejala gangguan mental yang menyertai.
a. Antidepresan : Fluoxetin
Fluoxetin merupakan golongan Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor (SSRI),
bekerja sebagai antagonis 5HT2C. Pada kondisi normal, aksi serotonin pada reseptor
5HT2C adalah menginhibisi Dopamin (DA) dan Norepinephrin (NE). Sedangkan obatobat yang memblok reseptor 5HT2C bekerja berlawanan, yaitu dengan melakukan
disinhibisi pengeluaran DA dan NE. Fluoxetin sebagai antagonis 5HT2C, tidak hanya
sebagai SSRI tetapi juga sebagai disinhibisi pengeluaran NE dan DA (NDDI). Aksi
NDDI menyebabkan peningkatan pengeluaran DA dan NE pada korteks prefrontal dan
memberi kontribusi sebagai aksi terapeutik pada depresi major. Cara kerja yang
demikian diharapkan dapat memperbaiki gejala-gejala depresi yang didapatkan pada
pasien.
b. Antipsikotik: Clozapine
Antipsikotik Clozapine merupakan golongan antipsikotik atipikal yang bekerja
sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA). Sebenarnya tidak ada farmakoterapi
khusus yang diberikan kepada penyalahgunaan napza khususnya penyalahgunaan zat
golongan stimulan. Pemilihan Clozapine pada kasus ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa Clozapine dapat bekerja untuk menurunkan agresifitas pasien, dan diharapkan
dapat memperbaiki fungsi kognitif karena pasien masih muda sehingga masih
diharapkan produktivitas yang lebih baik. Selain itu efek sedatif Clozapine diharapkan
mampu untuk memperbaiki keluhan gangguan tidur pada pasien. Clozapine juga
merupakan antipsikotik yang paling sedikit menyebabkan efek samping ekstra
piramidal, sehingga diharapkan kenyamanan bagi pasien. Selain itu, pertimbangan
biaya juga mendasari pemilihan Clozapine dalam kasus ini, karena meskipun termasuk
dalam obat-obat yang tidak ditanggung oleh Jamkesmas, sediaan generik obat ini cukup
terjangkau

oleh

pasien.

Namun

demikian,

perlu

monitoring

efek

samping

agranulositosis karena Clozapine merupakan antipsikotik atipikal yang paling sering


menimbulkan efek samping tersebut.
2.

Psikoterapi :
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

420/Menkes/SK/III/2010, tujuan terapi psikososial adalah : 1) Memberikan informasi


dan penjelasan bahwa penyakit pasien adalah penyakit kronis; 2) Meningkatkan fungsi
peran antara episode kambuh; 3) Memberikan dukungan emosional; 4) Memberikan

23

dukungan keluarga; 5) Deteksi dini gejala awal; 6) Memperbaiki mekanisme koping


terhadap konsekuensi psikososial yang terjadi dan yang akan datang.
a.

Psikoterapi terhadap pasien


1) Psikoterapi suportif
- Ventilasi : membiarkan pasien untuk menceritakan perasaannya sehingga ia
merasa lega dan kecemasan terhadap penyakitnya akan berkurang karena
pasien dapat melihat masalahnya dalam proporsi yang sebenarnya.
- Sugesti : secara halus dan tidak langsung menanamkan pikiran atau
membangkitkan kepercayaan bahwa gejala-gejala akan berkurang.
- Reassurance : menerangkan apa yang telah dicapai pasien dan pasien dapat
berfungsi adekuat
- Psikoterapi suportif diberikan dengan tujuan: a) menguatkan daya tahan
mental yang ada; b) mengembangkan mekanisme baru yang lebih baik
untuk mempertahankan kontrol diri; c) mengembalikan keseimbangan adaptif
(dapat menyesuaikan diri)

2) Wawancara motivasional
Motivasi adalah suatu keadaan kesiapan atau keinginan untuk berubah,
selalu berfluktuasi dari waktu ke waktu atau dari situasi ke situasi lain.
Dasar pemikiran atau alasan untuk melakukan wawancara motivasional ini
adalah bahwa untuk mencapai perubahan adalah lebih mudah bila motivasi
untuk berubah tersebut datang dari dalam diri pasien.
Wawancara motivasional adalah sebuah wawancara yang interaksinya
berpusat pada pasien dan bertujuan untuk membantiu pasien untuk
menggali dan mengatasi ambivalensi tentang penggunaan napza melalui
tahap perubahan.
Wawancara motivasional didasari pada pengertian bahwa: a) pengobatan
yang efektif dapat membantu proses perubahan; b) Motivasi untuk berubah
terjadi dalam konteks hubungan antara pasien dan terapis; c) Gaya dan
semangat dari intervensi sangat menentukan keberhasilan terapis,
khususnya empati yang dihubungkan dengan perbaikan hasil pengobatan.
Prinsip wawancara motivasional :
a) Mengekspresikan empati

24

Dalam situasi klinis, keterlibatan empati memberikan gambaran bahwa


terapis menerima pasien apa adanya, tidak menghakimi dan dapat
memahami pasien serta menghindari memberikan label, misalnya menyebut
pasien sebagai alkoholik atau pecandu. Hal ini sangat penting untuk
menghindari

adanya

konfrontasi,

menyalahkan,

dan

mengkritik

pasien.keterampilan mendengarkan dan merefleksikan merupakan bagian


penting dari ekspresi empati.
b). Ketidakcocokan (perbedaan)
Wawancara motivasional bertujuan untuk menciptakan dan menjelaskan
perbedaan antara perilaku saat ini dan tujuan yang lebih besar dan menilai
cara pandang pasien terhadap hal tersebut. Hal yang penting bagi pasien
adalah mengidentifikasi tujuan dan nilai

serta untuk mengekspresikan

alasan-alasan mereka untuk berubah.


c). Menghindari argumentasi
Prinsip utama dari wawancara motivasional adalah dapat menerima bahwa
adanya ambivalensi dan resistensi untuk berubah adalah suatu hal yang
normal dan untuk mengajak pasien mempertimbangkan antara informasi
yang didapat dan pandangan terhadap penggunaan napza mereka. Pada saat
pasien memperlihatkan resistensinya, terapis harus dapat menggambarkan
kembali, untuk menghindari argumentasi dan perdebatan.
d). Dukungan keyakinan diri
Melakukan negoisasi dan membangun kepercayaan untuk membujuk pasien
bahwa pasien mampu melakukan perubahan perilaku. Kepercayaan terapis
terhadap kemampuan pasien untuk melakukan perubahan merupakan hal
yang penting karena dapat menjadi sugesti pada diri sendiri.
e) Keterampilan khusus
Keterampilan ini bertujuan untuk mendorong pasien agar mau berbicara,
menggali ambivalensi mereka terhadap penggunaan napza dan menjelaskan
mereka untuk mengurangi atau berhenti menggunakan napza.
Lima keterampilan khusus tersebut adalah: a) Open ended questions
(pertanyaan terbuka); b) Affirmation (penegasan); c) Reflecting listening
(mendengarkan

dengan

cara

merefleksikan);

d)

Summarising

(menyimpulkan); dan e) Berbicara mengenai perubahan.

25

3)

Cognitive Behavior Therapy (CBT)


Cognitive Behavior Therapy (CBT) adalah sebuah psikoterapi yang mulai
banyak

digunakan

para

profesional

untuk

menghadapi

berbagai

permasalahan psikologis individu. Beberapa alasan CBT banyak digunakan


para profesional adalah: a) jangka waktu pendek, sehingga sangat
kompatibel dengan sumber dya yang tersedia; b) telah teruji secara klinis
dan didukung oleh empirikal yang solid; c) terstruktur, goal oriented, dan
fokus pada masalah; d) sangat fleksibel pendekatan sangat individual tetapi
dapat disesuaikan dengan berbagai bentuk perawatan; e) sangat cocok
dikombinasikan dengan berbagai terapi seperti farmakoterapi dan
wawancara motivasional.
Dasar teori CBT adalah teori terapi kognitif dan teori terapi perilaku. Teori
kognitif bertujuan untuk membangun pikiran dan tindakan yang lebih
rasional, dengan mengidentifikasi keyakinan-keyakinan inti dan asumsiasumsi yang tidak rasional ynag mengakibatkan atau menjadi kebiasaan
(otomatisa) dan bekerja kemudian mengkoreksinya. Teori perilaku, lebih
menekankan teori pembelajaran sosial berupa modeling dan conditionong
sebagaimana pasien belajar menggunakan napza.
Cognitive Behavior Therapy pada adiksi didasari atas dasar asumsi
pendekatan biopsikososial. Pertanyaan-pertanyaan berikut harus menjadi
bagian dari asumsi terapis sebelum menghadapi pasien: a) penyakit tertentu
yang dimiliki pasien sebelum menggunakan napza; b) adanya gejala dual
diagnosis; c) gangguan psikologis yang diderita; d) tingkat keparahan
koindisi pasien; e) faktor-faktor risiko terhadap pilihan perawatan; f) tingkat
motivasi pasien untuk bnerhenti menggunakan napza; g) kekuatan dan
kelemahan pasien sehingga mampu bertahan dengan keadaan emosional
perilaku sampai saat ini, termasuk latar belakang sosial dan individual.
Langkah-langkah yang diambil selama proses terapi:
1.

Membangun dan membina rapport dan empati

2.

Mempersiapkan pasien dalam terapi: menilai motivasi pasien,


menjelaskan tujuan terapi dan cara pendekatan terapi, membuat kontrak
terapi.

3.

Identifikasi masalah

26

4.

Tentukan target terapi sesuai masalahnya

5.

Penilaian dan tentukan konsekuensi emosi dan perilaku (Consequences


of emotion and behavior = C)

6.

Penilaian dan tentukan suatu keadaan sebagai pencetus bagi pasien


(Activating Event = A)

7.

Penilaian dan tentukan adannya persepsi, asumsi, dan kepercayaan


(Beliefs = B)

8.

Cari hubungan antara B yang irrasional dan C

9.

Berikan pertanyaan dan argumentasi untuk menggoyahkan B yang


irrasional

10. Siapkan pasien untuk selalu memakai B yang rasional


11. Meminta pasien menerapkan B yang baru dalam kehidupan sehari-hari
12. Berikan pekerjaan rumah melakukan hal di atas
13. Periksa hasil dan apa yang dirasakan serta apa yang menjadi
penghalang pada pertemuan berikutnya.
4)

Pencegahan kekambuhan
Kambuh merupakan pengalaman yang sering terjadi dalam proses
pemulihan gangguan penggunaan napza. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa faktor yang dapat diprediksi dalam kekambuhan adalah sistem
keyakinan yang salah dan menetap (...saya seorang pecandu dan saya
tidak bisa berhenti menggunakan napza).
Strategi pencegahan kekambuhan:
-

Tingkatkan komitmen untuk berubah

Identifikasi risiko tinggi yang menimbulkan kekkambuhan (kapan,


dimana, dengan siapa dan bagaimana menggunakan napza bisa
terjadi)

Mengajarkan kemampuan menghadapi masalah (coping skill),


misalnya: keterampilan sosial, keterampilan manajemen diri,
monitoring diri dari penggunaan napza.

Mengembangkan strategi untuk menghadapi situasi yang dapat


menyebabkan terjadinya kekambuhan: apa yang harus dilakukan
pasien dalam suatu kejadian yang dapat meniimbulkan kambuh,
dimana psien mendapatkan dukungan, apa peran yang dapat

27

diberikan teman atau keluarga, dan seberapa cepat pasien harus


membuat perjanjian untuk kembali ke poliklinik.
b. Kepada keluarga/lingkungan: Therapy community (TC-Model)
Model ini merujuk pada keyakinan bagwa gangguan penggunaan napza
adalah gangguan pada seseorang secara menyeluruh. Dalam hal ini norma-norma
perilaku diterapkan secara ketat dan nyata, yang diyakini dan diperkuat dengan
memberikan reward dan sanksi spesifik secara langsung untuk mengembangkan
kemampuan mengontrol diri dan sosial/komunitas.
(Berdasarkan

Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

Nomor

420/Menkes/SK/III/2010)
C. Prognosis
Prognosis dan terjadinya penlahgunaan napza tergantung pada faktor-faktor
yang terlibat dalam suatu interaksi kompleks elemn-elemen biologis-psikologis-dan
lingkungan. Aspek-aspek lain yang sangat penting yaitu: penggunaan zat spesifik,
durasi dan dosis napza yang digunakan, gangguan mental atau fisik yang terjadi
bersama penggunaan napza, coping skill, riwayat perkembangan, status sosial
ekonomi, dukungan sosial, predisposisi genetik, pemilihan terapi. Gaya hidup
antisosial, pemakaian napza suntikan dan sex bebas meningkatkan risiko penularan
penyakit seperti HIV/AIDS (Martin, P. R., 2008).

DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. 2009. Psikologi Individual Alfred Adler. Dalam Psikologi Kepribadian, edisi
revisi, Malang. UMM Press. Hal 64-83
Amir, Nurmiati. 2005. Penatalaksanaan Depresi dalam Depresi Aspek Neurobiologi
Diagnosis dan Tatalaksana. FK UI.

28

Gabbard, GO. 2005. Cluster A Personality Disorder, Paranoid, Schizoid, and Schizotypal,
Psychodynamic Psychiatry in Clinical Practice (4th Ed). American Psychiatric Publishing,
Inc.
Kolegium Psikiatri Indonesia, 2008, Modul Cognitive Behavior Therapy
Kolegium Psikiatri Indonesia, 2008, Modul Psikopatologi Dinamik
Maramis A, Dharmono S, Maramis M. 2003. Penanganan depresi dan anxietas di
pelayanan primer. Surabaya. Indopsy.
Martin, P. R. 2008. Substance Related Disorders, in Current Diagnosis and Treatment,
International edition, 2nd ed. The McGraw-Hill Companies, Inc.
Namora Lumongga. 2009. Depresi Tinjauan Psikologis. Jakarta. Prenada Media Group.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 420/Menkes/SK/III/2010
tentang Pedoman Layanan Terapi dan Rehabiloitasi Komprehensif pada Gangguan
Penggunaan Napza Berbasis Rumah Sakit, 2010. Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan
Jiwa, Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI.
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Di Indonesia III. 1993
Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Pelayanan Medik
Saddock, Benjamin James, MD; Sadock, Virginia Alcott, M.D.2007. Synopsis of
Psychiatry, Behavioral Sciences / Clinical Psychaitry; Ed.10, Mood Disorder, chapter 15 :
527-578
Stahl, Stephen. 2008. Stahls Essential Psychopharmacology. Neuroscientific Basis and
Practical Applications. USA. Cambridge University Press.

29

Anda mungkin juga menyukai