Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
karunia-Nyalah sehingga referat yang berjudul “Strabismus” ini dapat diselesaikan.
Referat ini membahas tentang anatomi bola mata dan kelainan mata berupa strabismus
mulai dari definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan,
komplikasi dan prognosis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan referat ini, khususnya kepada dr. Juniati V.P., SpM sebagai pembimbing dalam
penulisan referat.
Penulis mengharapkan berbagai bentuk kritik dan saran yang bersifat membangun dari
para pembaca untuk perbaikan di masa yang akan datang. Semoga referat ini dapat berguna
dan menambah wawasan para pembaca. Sekian dan terima kasih.

Jakarta, 11 November 2015

Penulis

1
DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar …………………………………………………………………………….. 1


Daftar Isi ......……………………………………………………………………………..... 2
BAB I. Pendahuluan …………………………………………………………………........ 3
I.1. Latar Belakang ….………………………………………………….………….. 3
I.2. Tujuan Penulisan …………………………………………………………….... 3
BAB II. Tinjauan Pustaka ..………………………………………………………………... 4
2.1. Anatomi Mata .……...............………………………………………..……….. 4
2.1.1. Rongga Orbita…...............………………………………………..………… 4
2.1.2. Kelopak Mata…...............………………………………………..………… 4
2.1.3. Sistem Lakrimal…...............………………………………………..……… 4
2.1.4. Kongjungtiva…...............………………………………………..…………. 5
2.1.5. Bola Mata…...............………………………………………..…………….. 5
2.1.6. Otot-otot Bola Mata…...............…………………………………………… 9
2.2. Strabismus ………………………................……………………………….... 10
2.2.1. Definisi ……………………………………………………………….. 10
2.2.2. Etiologi……………………………………………………………...… 10
2.2.3. Patofisiologi ………………………………………………………… .. 10
2.2.4. Klasifikasi …………………………………………………………….. 13
2.2.5. Manifestasi Klinis ………………………………………...……….….. 14
2.2.6. Diagnosis dan Pemeriksaan ……………………………………….….. 15
2.2.7. Penatalaksanaan……………………………………………………….. 18
2.2.8. Komplikasi …………………………………………………………… 19
2.2.9. Prognosis ..……………………………………………..……………. 20
BAB III. Kesimpulan........………………………………………………………………… 21
Daftar Pustaka..........………………………………………………………………………. 22

2
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Mata merupakan salah satu organ indera manusia yang mempunyai manfaat sangat
besar. Kelainan yang menggangu fungsi mata salah satunya adalah strabismus. Strabismus ini
terjadi jika ada penyimpangan dari penjajaran okular yang sempurna.1
Strabismus atau mata juling adalah suatu kondisi dimana kedua mata tampak tidak
searah atau memandang pada dua titik yang berbeda. Dalam keadaan normal, kedua mata kita
bekerja sama dalam memandang suatu obyek. Otak akan memadukan kedua gambar yang
dilihat oleh kedua mata tersebut menjadi satu gambaran tiga dimensi yang memberikan
persepsi jarak, ukuran dan kedalaman (depth perception). Strabismus terjadi pada kira-kira 2%
anak-anak usia di bawah 3 tahun dan sekitar 3% remaja dan dewasa muda. Kondisi ini
mengenai pria dan wanita dalam perbandingan yang sama. Strabismus mempunyai pola
keturunan, jika salah satu atau kedua orang tuanya strabismus, sangat memungkinkan anaknya
akan strabismus.2
Ada beberapa jenis strabismus yang bisa kita amati langsung dengan meminta pasien
memandang lurus ke depan. Ketika satu mata memandang lurus ke depan maka mata
sebelahnya dapat saja memandang ke dalam (esotropia), ke luar (exotropia), ke bawah
(hipotropia) atau ke atas (hipertropia). Enam otot mata, yang mengontrol pergerakan bola mata,
melekat pada bagian luar masing-masing mata. Pada setiap mata, dua otot menggerakkan ke
kanan dan ke kiri. Empat otot lainnya menggerakkan ke atas, ke bawah, dam memutar. Agar
kedua mata lurus dan dapat berfokus pada satu obyek yang menjadi pusat perhatian, semua otot
pada setiap mata harus seimbang dan bekerja secara bersama-sama. Agar kedua mata bergerak
bersama-sama, semua otot-otot pada kedua mata harus terkoordinasi dengan baik. Otot-otot
mata ini dikontrol oleh otak. 2

I.2. Tujuan Penulisan

Tujuan penyusunan referat ini adalah untuk memahami dan mengetahui secara umum
mengenai anatomi mata, definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis,
diagnosis dan penatalaksanaan strabismus.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Mata

2.1.1. Rongga Orbita

Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7 tulang-tulang yang
membentuk orbita yaitu tulang frontalis, tulang sfenoidalis, tulang etmoidalis, tulang maksilaris,
tulang zigomatikus, tulang lakrimalis dan tulang palatinum.2

2.1.2. Kelopak Mata (Palpebra)

Palpebra merupakan alat menutup mata yang berguna untuk melindungi bola mata
terhadap trauma, trauma sinar dan pengeringan bola mata. Kelopak mata mempunyai lapis kulit
yang tipis pada bagian depan sedangkan di bagian belakang ditutupi selaput lendir tarsus yang
disebut konjungtiva tarsal. Pada kelopak terdapat bagian-bagian:2

 Kelenjar seperti: kelenjar sebasea, kelenjar Moll atau kelenjar keringat, kelenjar Zeis
pada pangkal rambut, dan kelenjar Meibom pada tarsus.
 Otot seperti: m. orbikularis okuli yang berjalan melingkar di dalam kelopak atas dan
bawah, dan terletak di bawah kulit kelopak, berfungsi menutup bola mata yang
dipersarafi n. fasial. M. levator palpebra, yang berorigo pada anulus foramen orbita
dan berinsersi pada tarsus atas dengan sebagian menembus m. orbikularis okuli
menuju kulit kelopak bagian tengah. Bagian kulit tempat insersi m. levator palpebra
terlihat sebagai sulkus (lipatan) palpebra. Otot ini dipersarafi oleh n. III, yang
berfungsi untuk mengangkat kelopak mata atau membuka mata
 Pembuluh darah yang memperdarahinya adalah a.palpebra. 2

2.1.3. Sistem Lakrimal

Sistem sekresi air mata atau lakrimal terletak di daerah temporal bola mata. Sistem
ekskresi mulai pada pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal, ductus nasolakrimal,
meatus inferior.2
Air mata berguna untuk membuat permukaan kornea menjadi licin, membasahi
permukaan konjungtiva dan kornea untuk menghindari kerusakan epitel pada jaringan tersebut,
mencegah berkembangnya mikroorganisme pada konjungtiva dan kornea. Air mata yang

4
menutupi epitel kornea dan konjungtiva terdiri dari 3 lapisan yaitu sekret kelenjar Meibom,
cairan yang dikeluarkan oleh kelenjar air mata dan lapisan musin yang dibentuk oleh sel
Goblet.2
2.1.4. Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang.
Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini. Konjungtiva mengandung
kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama
kornea. Selaput ini mencegah benda-benda asing di dalam mata seperti bulu mata atau lensa
kontak agar tidak tergelincir ke belakang mata. Bersama-sama dengan kelenjar lakrimal yang
memproduksi air mata, selaput ini turut menjaga agar kornea tidak kering.3

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu:2


• Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus
• Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya.
• Konjungtiva forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi.

2.1.5. Bola Mata

Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata di bagian
depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat bentuk dengan
2 kelengkungan yang berbeda. Bagian-bagiannya:
1. Sklera

Merupakan dinding bola mata yang paling keras, terdiri dari jaringan fibrosa yang padat.
Susunan jaringan fibrosa sklera tidak teratur sehingga sklera tidak jernih seperti kornea. Sklera
penting untuk mempertahankan bentuk bulbus okuli. Tebalnya 1 mm. Sklera hanya sedikit
mengandung pembuluh darah, yang banyak pembuluh darahnya adalah jaringan episklera yang
memberi nutrisi pada sklera.3

2. Kornea

Kornea merupakan bagian anterior bola mata, transparan karena tidak mengandung
pembuluh darah. Tebal kornea adalah 1,0 mm pada bagian tepi, dan ± 0,5 mm pada bagian
tengah. Diameter kornea dewasa rata-rata 12 mm. Batas antara kornea dan sklera disebut
limbus kornea. Kornea mendapat nutrisi makanan dari air mata terutama untuk penyediaan

5
oksigen, humor akuos, dan pembuluh darah limbus secara difusi. Kornea terdiri dari 5 lapisan
dari luar ke dalam yaitu lapisan epitel, membran Bowman, stroma, membran descement dan
lapisan endotel. 3

3. Uvea
Uvea terdiri dari 3 bagian yaitu : iris, badan siliar, dan koroid.
a) Iris
Iris merupakan lanjutan dari badan siliar ke depan dan merupakan diafragma yang
membagi bola mata menjadi dua segmen yaitu segmen anterior dan segmen posterior, di
tengah-tengahnya berlubang yang disebut pupil. Iris membagi bilik mata menjadi bilik mata
depan dan bilik mata belakang. Iris terdiri dari stroma yang jarang dan diantaranya terdapat
kripta. Di dalam stroma terdapat sel pigmen, banyak pembuluh darah dan serat saraf. Pada iris
terdapat 2 macam otot yaitu m. sphincter pupillae yang dipersarafi oleh saraf prasimpatis untuk
mengecilkan pupil (miosis) dan m. dilatator pupillae yang dipersarafi oleh simpatis untuk
melebarkan pupil (midriasis). Perdarahan iris oleh a. siliaris posterior longus.
b) Badan siliar
Badan siliar berbentuk segitiga dan banyak mengandung pembuluh darah kapiler dan
vena. Badan siliar berfungsi untuk memproduksi humor akuos, mengandung muskulus siliaris
yang penting untuk akomodasi, tempat melekatnya Zonula Zinii, kontraksi muskulus siliaris
(saat penetesan pilokarpin) yang akan membuka lubang-lubang trabekulum sehingga akan
memperlancar keluarnya humor akuos. 3
c) Koroid
Merupakan bagian uvea yang paling luas dan terletak di antara retina dan sklera. Koroid
berfungsi untuk memberikan nutrisi kepada sebagian lapisan retina (lapisan epitel pigmen
retina dan sel fotoreseptor). Koroid terdiri dari lapisan epitel pigmen, membrana Bruch,
koriokapiler, pembuluh darah, suprakoroid. 3

4. Pupil
Pupil merupakan lubang ditengah iris yang mengatur banyak sedikitnya cahaya yang
masuk. Pupil anak-anak berukuran kecil akibat belum berkembangnya saraf simpatis. Orang
dewasa ukuran pupil adalah sedang, dan orang tua pupil mengecil akibat rasa silau yang
dibangkitkan oleh lensa yang sklerosis.2

6
5. Lensa

Lensa berbentuk cembung (bikonveks), diameter 9 mm, tebal 5 mm, avaskuler. Lensa
terdiri dari kapsul, korteks, dan nukleus. Lensa tetap berada pada tempatnya karena digantung
oleh Zonula Zinii. Permukaan posterior lebih cembung daripada permukaan anterior. Lensa
mendapat nutrisi dari cairan bola mata (humor aqueous) sekitarnya.

Secara fisiologik lensa mempunyai sifat tertentu, yaitu:

 Kenyal atau lentur karena memegang peranan terpenting dalam akomodasi untuk
menjadi cembung
 Jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan
 Terletak di tempatnya.2

6. Kamera Okuli

Ada 2 kamera okuli yaitu kamera okuli anterior (COA) dan kamera okuli posterior
(COP), yang keduanya berisi humor akuos. Kedalaman COA 3,4 mm dan volumnya 0,3 ml.
COA berhubungan dengan kanal Schlemm melalui anyaman trabekulum. COA berhubungan
dengan COP melalui celah melingkar antara tepi pupil dan lensa.

Humor akuos diproduksi oleh badan siliar, dan berperan untuk memberikan nutrisi ke
kornea dan lensa. Humor akuos berjalan dari COP ke COA, kemudian lewat trabekulum untuk
menuju kanal Schlemm kemudian ke kanal kolektor akhirnya ke sistem vena episklera untuk
kembali ke jantung. Keluarnya humor akuos ini disebut pengeluaran secara trabekular.
Sebagian kecil keluar lewat uveosklera. Humor akuos sangat menentukan tekanan bola mata.
Nilai normalnya berkisar antara 10 – 21 mmHg dan nilai ini dipertahankan karena adanya
keseimbangan antara produksi humor akuos dan pengeluarannya. 2

7. Badan Kaca (Corpus Vitreous)

Badan kaca merupakan suatu jaringan seperti kaca bening yang terletak antara lensa
dengan retina. Badan kaca bersifat semi cair di dalam bola mata. Mengandung air sebanya 90%
sehingga tidak dapat lagi menyerap air. Sesungguhnya fungsi badan kaca sama dengan fungsi
cairan mata, yaitu mempertahankan bola mata agar tetap bulat. Peranannya mengisi ruang
untuk meneruskan sinar dari lensa ke retina. Badan kaca melekat pada bagian tertentu jaringan

7
bola mata. Perlekatan itu terdapat pada bagian yang disebut ora serata, pars plana dan papil
saraf optik. Kebeningan badan kaca disebabkan tidak terdapatnya pembuluh darah dan sel. 2

8. Retina

Retina merupakan membran tipis, halus, dan tidak berwarna. Tebal retina 0,1 mm.
Secara histologis, retina terdiri dari 10 lapisan yaitu membran limitans interna, lapisan serabut
saraf, lapisan sel ganglion, lapisan plexiform dalam, lapisan nuklear dalam, lapisan plexiform
luar, lapisan nuklear luar, membran limitans eksterna, lapisan batang dan kerucut, lapisan epitel
pigmen. Pada funduskopi, tempat makula lutea tampak lebih merah dari sekitarnya dan pada
tempat fovea sentralis seolah-olah ada cahaya, yang disebut refleks fovea. Besar makula lutea
1-2 mm. Daerah ini memiliki daya penglihatan yang paling tajam, terutama di fovea sentralis.

Lapisan retina mendapat perdarahan dari a. retina sentral yang menembus n. optikus
dan bercabang-cabang pada papil n. II menjadi 4 cabang utama yaitu a. retina temporalis
superior dan inferior, serta a. retina nasalis superior dan inferior. Papil nervus optikus terdiri
dari serabut saraf, tidak mengandung sel batang atau kerucut sehingga disebut sebagai titik buta.
Sel batang untuk melihat cahaya dengan intensitas rendah, tidak dapat melihat warna, untuk
penglihatan perifer dan orientasi ruangan. Sel kerucut untuk melihat cahaya dengan intensitas
tinggi, melihat warna, penglihatan sentral (ketajaman penglihatan). 2

Gambar 1. Anatomi Mata.

8
2.1.6. Otot-Otot Bola Mata

a. Muskulus rektus lateral, kontaksinya akan menghasilkan abduksi atau


menggulirnya bola mata kearah temporal dan otot ini dipersarafi oleh saraf ke IV
(saraf abdusen). 2
b. Muskulus rektus medius, kontraksinya akan menghasilkan aduksi atau
menggulirnya bola mata kearah nasal dan otot ini dipersarafi oleh saraf ke III (saraf
okulomotor).
c. Muskulus rektus superior, kontraksinya akan menghasilkan elevasi, aduksi, dan
intorsi bola mata yang dipersarafi oleh saraf ke III (saraf okulomotor).
d. Muskulus rektus inferior, kontraksinya akan menghasilkan depresi, adduksi, dan
ekstorsi yang dipersarafi oleh saraf ke III(saraf okulomotor).
e. Muskulus oblik superior, kontraksinnya akan menghasilkan intorsi, abduksi, dan
depresi yang dipersarafi saraf ke IV (saraf troklear)
f. Muskulus oblik inferior ,kontraksinya akan menghasilkan ekstorsi, abduksi, dan
elevasi yang dipersarafi saraf ke III(saraf okulomotor). 2

Gambar 2. Otot-Otot Gerak Bola Mata.

Otot-otot sinergistik adalah otot-otot yang memiliki bidang kerja yang sama. Dengan
demikian, untuk pandangan ke arah atas, otot rektus superior dan oblikus inferior bersinergi
menggerakkan mata ke atas. Otot-otot ekstraokuler juga memperlihatkan sifat antagonistik
yang timbal-balik (hukum Sherrington), misalnya saat seseorang menatap ke kanan, otot rektus
lateralis kanan dan medialis kiri terstimulasi, sementara otot rektus medialis kanan dan lateralis
kiri mengalami inhibisi.

9
2.2. Strabismus

2.2.1. Definisi

Strabismus adalah suatu keadaan dimana kedudukan kedua bola mata tidak ke satu arah.
Satu mata bisa terfokus pada satu objek sedangkan mata yang lain dapat bergulir ke dalam, ke
luar, ke atas, atau ke bawah. Keadaan ini bisa menetap (selalu tampak) atau dapat pula hilang
timbul yang muncul dalam keadaan tertentu saja seperti saat sakit atau stres.2

Batasan strabismus lainnya adalah penyimpangan posisi bola mata yang terjadi oleh
karena syarat-syarat penglihatan binokuler yang normal tidak terpenuhi (faal masing-masing
mata baik, kerjasama dan faal masing-masing otot luar bola mata baik, dan kemampuan fusi
normal).2

2.2.2. Etiologi
Strabismus biasanya disebabkan oleh:
1. Kelumpuhan pada 1 atau beberapa otot penggerak mata (strabismus paralitik).
Kelumpuhan pada otot mata bisa disebabkan oleh kerusakan saraf.
2. Tarikan yang tidak sama pada 1 atau beberapa otot yang menggerakan mata (strabismus
non-paralitik). Strabismus non-paralitik biasanya disebabkan oleh suatu kelainan di
otak.4
2.2.3. Patofisiologi

Bila terdapat satu / lebih otot mata yang tidak dapat mengimbangi gerak otot-otot
lainnya maka akan terjadi gangguan keseimbangan gerak kedua mata, sumbu penglihatan akan
menyilang, mata menjadi strabismus & penglihatan menjadi ganda (diplopia).1,3

1. Gangguan Faal Otot Penggerak Bola Mata


Kedua bola mata digerakkan oleh otot-otot mata luar sedemikian rupa sehingga
bayangan benda yang menjadi perhatian akan selalu jatuh tepat di kedua fovea sentralis. Otot
penggerak kedua bola mata, yang berjumlah dua belas akan selalu bergerak secara teratur;
gerakan otot yang satu akan mendapatkan keseimbangan gerak dari otot-otot lainnya.
Keseimbangan yang ideal seluruh otot penggerak bola mata ini menyebabkan kita dapat selalu
melihat secara binokular. 1,3
Apabila terdapat satu atau lebih otot penggerak bola mata yang tidak dapat
mengimbangi gerak otot-otot lainnya,maka terjadilah gangguan keseimbangan gerak antara

10
kedua mata, sehingga sumbu penglihatan menyilang pada tempat diluar letak benda yang
menjadi perhatiannya dan disebut ‘juling’ (crossed eyes). Gangguan keseimbangan gerak bola
mata (muscle imbalance) bisa disebabkan oleh hal-hal berikut : 1,3
 Pertama apabila aktivitas dan tonus satu atau lebih otot penggerak menjadi berlebihan;
dalam hal ini otot bersangkutan akan menarik bola mata dari kedudukan normal.
Apabila otot yang hiperaktif adalah otot yang berfungsi untuk kovergensi terjadilah
juling yang konvergen (esotropia).
 Kedua, adalah kebalikan dari pertama, apabila satu atau lebih dari otot penggerak bola
mata aktivitas atau tonusnya menjadi melemah atau paretik. Bila hal ini terjadi pada
otot yang dipakai untuk konvergensi, maka terjadilah juling divergen (ekstropia).
Dapatlah dimengerti bahwa ada dua keadaan tersebut di atas, besarnya sudut deviasi
adalah berubah-ubah tergantung pada arah penglihatan penderitaan. Keadaan juling seperti itu
disebut sebagai gangguan keseimbangan gerak yang inkomitat. Sebagai contoh adalah suatu
kelumpuhan otot rektus lateral mata kanan, maka besar sudut deviasi adalah kecil bila penderita
melihat kearah kiri dan membesar bila arah pandang ke kanan.
Gangguan keseimbangan gerak bola mata dapat pula terjadi karena suatu kelainan yang
bersifat sentral berupa kelainan stimulus pada otot. Stimulus sentral untuk konvergensi bisa
berlebihan sehingga akan didapatkan seorang penderita kedudukan bola matanya normal pada
penglihatan jauh (divergensi) tetapi menjadi juling konvergen pada waktu melihat dekat
(konvergensi); demikian kita kenali : 1,3
 Convergence excess bila kedudukan bola mata penderita normal melihat jauh dan
juling ke dalam esotopia pada waktu melihat dekat.
 Divergence excess (aksi lebih konvergensi) bila kontraksi otot penggerak bola mata
penderita normal pada penglihatan dekat, tetapi juling keluar (divergent squint) bila
melihat jauh.
 Convergence insuffiency bila kedudukan bola mata normal pada pennglihatan jauh
tapi juling keluar pada waktu melihat dekat.
 Divergence insuffiency bila penderita mempunyai kedudukan bola mata yang normal
untuk dekat tetapi juling ke dalam bila melihat jauh. 1,3
2. Anisometropia
Apabila seseorang berbeda derajat hipermetropinya sebanyak dua dioptri atau lebih,
maka secara sadar atau tidak ia akan memakai mata dengan derajat hipermetropia yang lebih
ringan untuk penglihatan jauh maupun dekat, karena jumlah enersi untuk akomodasi yang
diperlukan untuk melihat jelas adalah lebih ringan. Denga jumlah akomodasi ini mata dengan
11
hipermetropi yang lebih berat tidak pernah melihat dengan jelas, baik untuk penglihatan dekat
maupun jauh. Bila keadaan ini terjadi secara dini dalam masa perkembangan penglihatan dan
di biarkan sampai anak berumur lebih dari lima tahun maka kemajuan melihat dari mata dengan
hipermetropia yang lebih tidaklah sebaik di banding mata lainnya. Kelemahan penglihatan
yang tidak di dasarkan pada adanya kelainan organik disebut ambilopia. 1,3
Perbedaan kekuatan miopia antara mata satu dan lainnya pada umumnya tidak
mengakibatkan timbulnya ambliopia yang mencolok, disebabkan oleh kerena mata dengan
miopia yang lebih berat sifatnya masih dapat melihat berbeda-beda secara jelas untuk dekat
tanpa akomodasi, lagi pula kelainan miopia umumnya bersifat progresif dan umumnya belum
terdapat secara menyolok pada usia sangat muda. 1,3
3. Aniseikonia
Apabila kita melihat ke suatu benda yang berjarak antara satu dan dua meter dihadapan
kita, kemudian menutup satu mata berganti, maka kita akan mengetahui bahwa terdapat
perbedaan bentuk, tempat maupun besarnya benda yang kita perhatikan. 1,3
Disparitas penglihatan yang terlalu besar, seperti contohnya seorang dengan afaki
monokular yang dikoreksi dengan kaca mata, mengakibatkan kesulitan bagi sistem saraf pusat
untuk menyatukan (memfusikan) menjadi satu bayangan tunggal dan benda-benda yang dilihat
akan tampak ganda. Disparitas penglihatan yang menimbulkan gangguan berupa penglihatan
ganda atau diplopia disebut aniseikonia.
Seseorang yang menderita diplopi sudah barang tentu akan menjadi binggung seperti
seorang yang baru belajar menggunakan mikroskop monokular, secara sadar ataupun tidak
akan menutup salah satu matanya agar penglihatan menjadi tunggal kembali. Lama kelamaan
orang tersebut akan belajar mengeliminasi bayangan salah satu matanya dan disebut sebagai
image suppression. Supresi dapat dilakukan secara sadar pada ke dua mata berganti –ganti
menjadi dan disebut Alternating Suppression, tapi dapat pula terjadi secara terus menerus pada
mata yang sama dan memilih menggunakan mata lainnya untuk penglihatan. Dalam hal ini
maka mata yang dipakai untuk penglihataan sehari-hari disebut sebagai mata yang dominan
sedang mata yang mengalami supresi sebagai mata malas (lazy eye). Mata malas dalam keadaan
sehari-hari tidak dipakai melihat, maka pada umumnya mata ini mengalami kemunduran-
kemunduran fungsional dan menjadi ambliopia bahkan kadang-kadang mengalami deviasi
sumbu penglihatan dan menjadi juling. 1,3

12
2.2.4. Klasifikasi

1. Menurut manifestasinya
a. Heterotropia : strabismus manifes (sudah terlihat)
Suatu keadaan penyimpangan sumbu bola mata yang nyata dimana kedua
penglihatan tidak berpotongan pada titik fikasasi.
Contoh: esotropia, eksotropia, hipertropia, hipotropia
b. Heteroforia : strabismus laten (belum terlihat jelas)
Penyimpangan sumbu penglihatan yang tersembunyi yang masih dapat diatasi
dengan reflek fusi.
Contoh: esoforia, eksoforia.3
2. Menurut jenis deviasi
a. Horizontal : esodeviasi atau eksodeviasi
b. Vertikal : hiperdeviasi atau hipodeviasi
c. Torsional : insiklodeviasi atau eksiklodeviasi
d. Kombinasi: horizontal, vertikal dan atau torsional
3. Menurut kemampuan fiksasi mata
a. Monokular : bila suatu mata yang berdeviasi secara konstan
b. Alternan : bila kedua mata berdeviasi secara bergantian
4. Menurut usia terjadinya :
a. kongenital : usia kurang dari 6 bulan.
b. didapat : usia lebih dari 6 bulan.
5. Menurut sudut deviasi
a. Inkomitan (paralitik)

Sudut deviasi tidak sama, pada kebanyakan kasus disebabkan kelumpuhan otot
penggerak bola mata. 3

 Tanda-tanda :
- Gerak mata terbatas
Terlihat pada daerah dimana otot yang lumpuh bekerja. Hal ini dapat dilihat,
bila penderita diminta supaya matanya mengikuti suatu objek yang
digerakkan, tanpa menggerakkan kepalanya.
- Deviasi

13
Kalau mata digerakkan kearah otot yang lumpuh bekerja, mata yang sehat
akan menjurus kearah ini dengan baik, sedangkan mata yang sakit tertinggal.
Deviasi ini akan tampak lebih jelas, bila kedua mata digerakkan kearah
dimana otot yang lumpuh bekerja. Tetapi bila mata digerakkan kearah
dimana otot yang lumpuh ini tidak berpengaruh, deviasinya tak tampak.
- Diplopia
Terjadi pada otot yang lumpuh dan menjadi lebih nyata bila mata
digerakkan kearah ini.
- Ocular torticollis (head tilting)
Penderita biasanya memutar kearah kerja dari otot yang lumpuh.
Kedudukan kepala yang miring, menolong diagnosa strabismus paralitikus.
Dengan memiringkan kepalanya, diplopianya terasa berkurang.
- Proyeksi yang salah
Mata yang lumpuh tidak melihat objek pada lokalisasi yang benar. Bila
mata yang sehat ditutup, penderita disuruh menunjukkan suatu objek yang
ada didepannya dengan tepat, maka jarinya akan menunjukkan daerah
disamping objek tersebut yang sesuai dengan daerah otot yang lumpuh. Hal
ini disebabkan, rangsangan yang nyata lebih besar dibutuhkan oleh otot
yang lumpuh, dan akan menyebabkan tanggapan yang salah pada penderita.
- Vertigo, mual-mual
Disebabkan oleh diplopia dan proyeksi yang salah. Keadaan ini dapat
diredakan dengan menutup mata yang sakit. 3
b. Komitan (nonparalitik)
Sudut deviasi tetap konstan pada berbagai posisi, mengikuti gerak mata yang
sebelahnya pada semua arah dan selalu berdeviasi dengan kekuatan yang sama.
Deviasi primer (deviasi pada mata yang sakit) sama dengan deviasi sekunder
(deviasi pada mata yang sehat). 3

2.2.5. Manifestasi Klinis


1. Mata lelah
2. Sakit kepala
3. Penglihatan kabur
4. Mata juling (bersilangan)
5. Mata tidak mengarah ke arah yang sama

14
6. Gerakan mata yang tidak terkoordinasi
7. Penglihatan ganda.5

2.2.6. Diagnosis dan Pemeriksaan

1. Anamnesis
Pertanyaan yang lengkap dan cermat tentang riwayat sakit sangat membantu dalam
menentukan, diagnosis, prognosis dan pengobatan strabismus. Dalam hal ini perlu ditanyakan:6

a. Riwayat keluarga : biasanya strabismus diturunkan secara autosomal dominan.

b. Umur pada saat timbulnya strabismus : karena makin awal timbulnya strabismus makin
jelek prognosisnya.

c. Timbulnya strabismus : mendadak, bertahap, atau berhubungan dengan penyakit


sistemik.

d. Jenis deviasi : bagaimana pasien menyadari strabismusnya? Bagaimana penglihatan


dekatnya? Kapan matanya terasa lelah? Apakah pasien menutup matanya jika terkena
sinar matahari? Apakah matanya selalu dalam keadaan lurus setiap saat? Apakah
derajat deviasinya tetap setiap saat?

e. Fiksasi : apakah selalu berdeviasi satu mata atau bergantian? 6

2. Inspeksi
Dengan inspeksi sudah dapat ditentukan apakah strabismusnya konstan atau hilang
timbul (intermitten), berganti-ganti (alternan) atau menetap (nonalternan),dan berubah-ubah
(variable) atau tetap (konstan). Harus diperhatikan pula ptosis terkait dan posisi kepala yang
abnormal. Derajat fiksasi masing-masing secara terpisah atau bersama-sama. Adanya
nistagmus menunjukkan bahwa fiksasinya buruk dan tajam penglihatannya menurun. 6

3. Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan


Tajam penglihatannya harus diperiksa walaupun secara kasar untuk membandingkan
tajam penglihatan kedua mata. Kedua mata diperiksa sendiri-sendiri, karena dengan uji
binokular tidak akan bisa diketahui kekaburan pada satu mata. Untuk anak-anak yang masih
sangat muda, yang bisa dilakukan kadang-kadang hanya berusaha agar mata bisa memfiksasi
atau mengikuti sasaran (target). Sasaran dibuat sekecil mungkin disesuaikan dengan usia,
perhatian, dan tingkat kecerdasannya. Jika dengan menutup satu mata anak tersebut melawan,

15
sedang dengan menutup mata yang lain tidak melawan, maka mata yang penglihatannya jelek
adalah yang ditutup tanpa perlawanan. 6
Pada uji titik (dot test), anak yang diperiksa disuruh menaruhkan jari-jarinya pada
sebuah titik yang ukurannya telah dikalibrasi. Ini adalah uji kuantitatif paling awal yang
dikerjakan secara berkala (dimulai pada umur 2-2 ½ tahun). Pada umur 2 ½ - 3 tahun anak
sudah mampu mengenali dan mengerjakan uji gambar-gambar kecil (kartu Allen). Umumnya
anak umur 3 tahun sudah bisa melakukan permainan “E” (E-game) yaitu dengan kata snellen
konvensional dengan huruf E yang kakinya ke segala arah dan sianak menunjukkan arah kaki
huruf E tersebut dengan jari telunjuknya. 6
Tajam penglihatan dan kemampuan visual bayi lainnya dapat ditentukan dengan
metode melihat apa yang disukai anak (preferential looking method), yang didasarkan pada
kebiasaan bayi yang lebih menyukai melihat lapangan yang telah dipola (diberi corak) atau
melihat lapangan yang seragam. 6

4. Pemeriksaan Kelainan Refraksi


Memeriksa kelainan refraksi dengan retinoskop memakai sikloplegik adalah sangat
penting. Obat baku yang digunakan agar sikloplegia sempurna adalah atropine. Bisa diberikan
dalam bentuk tetes mata atau salep mata 0,5 % atau 1 % beberapa kali sehari selama beberapa
hari. Pemberian atropine pada anak-anak usia sekolah sangat tidak disukai karena
sikloplegianya berlangsung lama sampai 2 minggu sehingga mengganggu pelajaran sekolah.
Pada semua umur bisa digunakan homatropin 5 % atau siklopentolat 1 atau 2 % dan hasilnya
baik. 6

5. Menentukan Besar Sudut Deviasi


Sudut deviasi dapat diukur dengan melokalisir reflex cahaya (metode Hirschberg) atau
netralisasi dengan suatu prisma yang dipegang di depan mata berfiksasi dengan meletakkan
reflex cahaya di sentral pada mata yang tidak berfiksasi (uji Krimsky).2
Pada beberapa kasus adalah mungkin untuk melakukan uji tutup mata berganti dengan
satu penutup dan prisma. Bila seseorang melakukan uji ini, fiksasi monokular harus juga
diperiksa untuk menentukan apakah terdapat suatu sudut kappa positif atau negatif.
Terdapat bermacam-macam uji atau pemeriksaan untuk membuat diagnosis
keseimbangan otot gerak mata seperti:
 Uji Hirschberg, reflek kornea
Adanya juling ditentukan dengan menggunakan sentolop dan melihat reflek sinar pada
kornea. Pada uji ini mata disinari dengan sentolop dan akan terlihat reflek sinar pada
16
permukaan kornea. Reflek sinar pada mata normal terletak pada kedua mata sama-sama di
tengah pupil. Bila satu reflek sinar di tengah pupil sedang pada mata yang lain di nasal berarti
pasien juling ke luar atau eksotropia dan sebaliknya bila reflek sinar sentolop pada kornea
berada di bagian temporal kornea berarti mata tersebut juling ke dalam atau esotropia. Setiap
pergeseran letak reflex sinar dari sentral kornea 1 mm berarti ada deviasi bola mata 7 derajat. 2
 Uji krimsky
Mengukur sudut deviasi pada juling dengan meletakkan di tengah cahaya reflek kornea
dengan prisma. Dengan uji krimsky prisma dengan kekuatan yang sesuai dengan beratnya
juling dipegang di depan mata berfiksasi (dasar keluar untuk esotropia, dasar ke dalam untuk
eksotropia, dasar ke bawah untuk hipotropia, dasar ke atas untuk hypertropia) dan reflek cahaya
diobservasi agar dipusatkan pada pupil mata yang nirfiksasi. Sudut deviasi dan arah dibaca
langsung dari prisma.
Lampu diletakkan 33 cm di depan penderita. Diletakkan prisma pada mata yang
berfiksasi yang kekuatan prismanya ditambah perlahan-lahan sehingga reflek sinar pada mata
yang juling terletak di tengah kornea. Kekuatan prisma yang diletakkan pada mata yang fiksasi
dan memberikan sinar di tengah pada mata yang julig merupakan beratnya deviasi mata yang
2
juling.

 Uji tutup mata (cover test)


Uji ini sering digunakan untuk mengetahui adanya tropia atau foria. Uji pemeriksaan
ini dilakukan untuk pemeriksaan jauh dan dekat, dilakukan dengan menyuruh mata berfiksasi
pada satu obyek. Bila telah terjadi fiksasi kedua mata maka mata kiri ditutup dengan lempeng
penutup. Di dalam keadaan ini mungkin akan terjadi:
- Mata kanan bergerak berarti mata tersebut mempunyai kejulingan yang manifest. Bila
mata kanan bergerak ke nasal berarti mata kanan juling keluar atau eksotropia. Bila
mata kanan bergerak ke temporal berarti mata kanan juling ke dalam atau esotropia.
- Mata kanan bergoyang yang berarti mata tersebut mungkin amblyopia atau tidak dapat
berfiksasi.
- Mata kanan tidak bergerak sama sekali, yang berarti bahwa mata kanan berkedudukan
normal, lurus atau telah berfiksasi. 2
 Uji tutup buka mata (uncover test)
Uji ini sama dengan uji tutup mata, dimana yang dilihat adalah mata yang ditutup.
Mata yang ditutup dan diganggu fusinya sehingga mata yang berbakat menjadi juling akan
menggulir. Bila tutup mata tersebut ditutup dan dibuka akan terlihat pergerakan mata tersebut.

17
Pada keadaan ini berarti mata ini mengalami foria atau juling atau berubah kedudukan bila
mata ditutup. 2
 Uji tutup mata berganti (alternate cover test)
Bila satu mata ditutup dan kemudian mata yang lain maka bila kedua mata berfiksasi
normal maka mata yang dibuka tidak bergerak. Bila terjadi pergerakan pada mata yang baru
dibuka berarti terdapat foria atau tropia. 2

2.2.7. Penatalaksanaan

1. Tujuan :7
a. Mengembalikan penglihatan binokular yang normal
b. Alasan kosmetik
2. Dapat dilakukan dengan tindakan:
a. Ortoptik
1) Oklusi
Jika anak menderita strabismus dengan ambliopia, dokter akan
merekomendasikan untuk melatih mata yang lemah dengan cara menutup mata
yang normal dengan plester mata khusus (eye patch).
2) Pleotik
3) Obat-obatan
b. Memanipulasi akomodasi
1) Lensa plus / dengan miotik. Menurunkan beban akomodasi dan konvergensi yang
menyertai
2) Lensa minus dan tetes siklopegik. Merangsang akomodasi pada anak-anak
c. Operatif
Prinsip operasinya :
- Reseksi dari otot yang terlalu lemah
- Resesi dari otot yang terlalu kuat. 7

3. Tahapan:
a. Memperbaiki visus kedua mata dengan terapi oklusi
- Pada anak berumur dibawah 5 tahun dapat diteteskan sulfas atropin 1 tetes satu
bulan, sehingga mata ini tak dipakai kira-kira 2 minggu. Ada pula yang
menetesinya setiap hari dengan homatropin sehingga mata ini beberapa jam
sehari tak dipakai. 7

18
- Pada anak yang lebih besar, mata yang normal ditutup dilakukan penutupan
matanya 2-4 jam sehari. Dengan demikian penderita dipaksa untuk memakai
matanya yang berdeviasi. Biasanya ketajaman penglihatannya menunjukkan
perbaikan dalam 4-10 minggu. Penutupan ini mempunyai pengaruh baik pada
pola sensorisnya retina, tetapi tidak mempengaruhi deviasi. Sebaiknya terapi
penutupan sudah dimulai sejak usia 6 bulan, untuk hindarkan timbulnya
ambliopia. Penetesan atau penutupan jangan dilakukan terlalu lama, karena
takut menyebabkan ambliopia pada mata yang sehat.
- Pada strabismus yang sudah berlangsung lama dan anak berumur 6 tahun atau
lebih pada waktu diperiksa pertama, maka hasil pengobatannya hanya kosmetis
saja. Sedapat mungkin ambliopia pada mata yang berdeviasi harus dihilangkan
dengan cara penutupan, pada anak yang sudah mengerti (3 tahun), harus
dikombinasikan dengan latihan ortoptik untuk mendapatkan penglihatan
binokuler yang baik. Kalau pengobatan preoperatif sudah cukup lama dilakukan,
kira-kira 1 tahun, tetapi tak berhasil, maka dilakukan operasi. 7
b. Memperbaiki posisi kedua bola mata agar menjadi ortoforia.
Hal ini dapat dicapai dengan pemberian lensa, melaukan operasi atau kombinasi
keduanya. Tindakan operasi sebaiknya dilakukan bila telah tercapai perbaikan
visus dengan terapi okslusi. Tindakan operatif sebaiknya dilakukan pada umur 4-5
tahun, supaya bila masih ada strabismusnya yang belum terkoreksi dapat dibantu
dengan latihan. 7

c. Melatih fusi kedua bayangan dari retina kedua mata agar mendapatkan penglihatan
binokuler sebagai tujuan akhir yang hasilnya tergantung dari hasil operasi,
pemberian lensa koreksi dan latihan ortoptik. 7

2.2.8. Komplikasi

Komplikasi pada strabismus dapat berupa :

1. Supresi

Merupakan usaha yang tak disadari dari penderita untuk menghindari diplopia yang
timbul akibat adanya deviasinya. Mekanisme bagaimana terjadinya masih belum diketahui. 3

2. Amblyopia

19
Yaitu menurunkan visus pada satu / dua mata dengan / tanpa koreksi kacamata dan
tanpa adanya kelainan organiknya. 3

3. Defect otot

 Misal : kontraktur. Kontraktur otot mata biasanya timbul pada strabismus yang bersudut
besar dan berlangsung lama.
 Perubahan sekunder dari struktur conjungtiva dan jaringan fascia yang ada disekeliling
otot menahan pergerakan normal mata

4. Adaptasi posisi kepala

Antara lain : Head Tilting, Head Turn. Keadaan ini dapat timbul untuk menghindari
pemakaian otot yang mengalami defect atau kelumpuhan untuk mencapai penglihatan
binokuler. Adaptasi posisi kepala biasanya kearah aksi otot yang lumpuh. Contoh : Paralyse
Rectus Lateralis mata kanan akan terjadi Head Turn kekanan. 3

2.2.9. Prognosis

Prognosis pada strabismus ini baik bila segera ditangani lebih lanjut, sehingga tidak
sampai menimbulkan komplikasi yang menetap.

20
BAB III
KESIMPULAN

Mata merupakan salah satu organ indera manusia yang mempunyai manfaat sangat
besar. Kelainan yang menggangu fungsi mata salah satunya adalah strabismus. Strabismus
adalah suatu keadaan dimana kedudukan kedua bola mata tidak ke satu arah. Hal ini dapat
terjadi karena adanya gangguan gerakan bola mata terjadi bila terdapat satu atau lebih otot mata
yang tidak dapat mengimbangi gerakan otot mata lainnya maka akan terjadi gangguan
keseimbangan gerakan mata sumbu penglihatan sehingga tidak terbentuk penglihatan
binokuler.

Klasifikasi dapat terbagi berdasarkan manifestasinaya, jenis deviasi, kemampuan


fiksasi mata, usia terjadinya, dan sudut deviasinya. Diagnosis dapat ditegakan dengan
anamnesa, inspeksi, pemeriksaan ketajaman penglihatan, pemeriksaan kelainan refraksi,
mengukur sudut deviasi. Tujuan dari penatalaksanaan adalah mengembalikan penglihatan
binokular yang normal dan alasan kosmetik. Prognosis akan lebih baik bila masalah dapat
terdiagnosis dini dan penanganan segera sehingga masalah cepat teratasi.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Arthur C, Hall, John E. Fisiologi kedokteran. Edisi ke-11. Jakarta : EGC; 2008.
2. Ilyas HS, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-5. Jakarta: Penerbit FKUI;
2015.h.1-262.
3. Eva PR, Whitcher JP. Oftalmologi Umum. Edisi ke-17. Jakarta: EGC; 2009.h. 1-249.
4. Perhimpunan dokter Spesialis Mata Indonesia. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-2. Jakarta:
Sagung Seto; 2007.
5. Snell, Richarcd. Anatomi klinik. Edisi ke-6. Jakarta : EGC; 2006.
6. Rusdianto. Diagnosis dan manajemen mikrostrabismus. The 4th Sumatera
Ophthalmology Meeting. Padang, 4-7 Januari 2006.
7. James, Bruce, Chew. Oftalmologi. Edisi ke-9. Jakarta : Erlangga; 2006.

22

Anda mungkin juga menyukai