Anda di halaman 1dari 22

Peran Kelenjar Limfe Pada Infeksi Odontogen

POSTED ON APRIL 10, 2011 UPDATED ON SEPTEMBER 28, 2011


Infeksi odontogen dapat meluas dengan berbagai cara. Pertama, dengan cara
langsung, yaitu menyebar melalui jaringan sekitaryang bersbelahan secara
langsung dan kontinyu [1]. Shafer berpendapat [2], penyebaran infeksi
odontogen juga dapat melalui aliran darah. Cara penyebaran yang lain adalah
dengan melalui aliran limfe [1,2].
Dari 800 kelenjar limfe di seluruh tubuh hampir (30 %nya) 300 kelenjar limfe
berada di kepala dan leher dengan demikian seringkali baik metastasis ataupun
penjalaran infeksi muncul sebagai pembesarann kelejar limfe kepala leher [3].
Perubahan patologis pada kelenjar limfe, baik yang merupakan infeksi maupun
neoplastik sering ditemukan dan sukar dibedakan dari tumor nonlimfatik, proses
radang atau degeneratif. Adanya pembesaran limfe pada bagian anterolateral
atas leher jika berlangsung singkat dan disertai dengan nyeri tekan dan
kemerahan, menunjukkan limfadenetis sekunder akibat infeksi. Pembesaran
kelenjar limfe multiple, yang kadang-kadang mengalami fluktuasi seringkali
saling melekat dan bergabung dan biasanya tidak nyeri tekan sering merupakan
akibat proses granulomatosis kronik [4].
Faktor dalam menilai kelenjar limfe yang bengkak adalah usia pasien, ciri khas
kelenjar limfe, lokasi kelenjar dan latar belakang klinis yang terkait dengan
limfadenopati. Ciri fisik kelenjar perifer penting, kelenjar linfoma cenderung
teraba kenyal, seperti karet, saling berhubungan dan tanpa nyeri. Kelenjar pada
karsinoma metastatik biasanya keras dan terfikasasi pada jaringan dibawahnya.
Pada infeksi akut, kelenjar limfe akan teraba lunak, membengkak secara
asimetris dan saling berhubungan serta kulit di atasnya eritematosus
(kemerahan) [5].
Infeksi yang terjadi di rongga mulut sering mengakibatkan keradangan limfonodi
regional yang lazimnya disebut limfadenitis. Hal tersebut adalah konsekuensi
dari suatu sistem sirkulasi aliran limfe yang merupakan pertahanan tubuh di
dalam sistem limforetikuler tubuh manusia [6,7].
Salah satu tugas limfonodi adalah melakukan penyaringan terhadap hadirnya
antigen yang masuk ke dalam tubuh [6,7,8,9]. Antigen dapat berupa protein
asing atau mikroba penyebab infeksi misalnya bakteri, virus, fungi, protozoa, dan
molekul makro yang dihasilkan oleh mikroba [10].
Dalam proses penanggulangan infeksi, kadang-kadang terjadi terobosan
mikroorganisme yang masuk ke aliran limfe sampai ke limfonodi [10]. Bila sifat
bawaan mikroorganisme tersebut subvirulen dan dapat ditanggulangi oleh
sistem pertahanan tubuh, maka akan terjadi limfadenitis kronis. Akan tetapi bila
sistem pertahanan tubuh tidak dapat menganggulanginya, dan jasad renik
termasuk jenis piogenik maka akan timbul supurasi pada limfonodi [7].
Palpasi leher dan wajah harus dilakukan secara sistematik. kelenjar limfe leher
dan metastatik seringkali terletak pada segitiga leher depan. daerah ini perlu

diinspeksi dengan cermat, khususnya di bawah otot sternokleidomastoideus dan


sepanjang perjalanan selubung karotis [11].
Proses pembesaran kelenjar limfe oleh karena infeksi berbeda dengan
metastasis karsinoma (kanker). Pada pembesaran kelenjar limfe yang
disebabkan oleh infeksi dapat dijelaskan sebagai berikut.
Infeksi yang dimulai dengan masuknya kuman patogen ke dalam tubuh,
direspons oleh sistem kekebalan yang berlapis. Di lapis depan berjajar komponen
normal tubuh seperti kulit, selaput lendir, batuk, flora normal dan berbagai sel.
Di pusat pertahanan, terdapat kelenjar limfe yang menyimpan dua mesin perang
yaitu limfosit T dan limfosit B. Kelenjar limfe tersusun secara regional menjaga
kawasan tertentu. Karena itu mereka disebut juga sentinel node (sentinal adalah
penjaga dan node adalah kelenjar limfe). Sentinel node kepala dan muka,
terdapat di leher; payudara dan tangan, ketiak; kaki, lipat paha dan sebagainya
[12].
Dalam peperangan itu salah satu tugas lapis pertama adalah membawa sampel
kuman ke limfosit untuk identifikasi dan pemrograman penghancurannya.
Kemudian limfe atau cairan getah bening akan membawa sel T dan sel B, ke
daerah konflik. Dalam usahanya kelenjar limfe regional akan meningkatkan
aktivitasnya hingga membesar. Ciri-ciri pembesaran kelenjar limfe dalam
mengatasi infeksi adalah sakit. Karena itu bila pembesaran kelenjar limfe
regional dengan nyeri dan disertai tanda-tanda infeksi di daerah itu, pencarian
dan pengobatan pusat infeksi menjadi prioritas [12].
Berbeda dengan infeksi, kelenjar limfe regional akan kewalahan menghadapi
kanker. Mereka melakukan penetrasi secara bertahap dalam waktu tahunan.
Lama-lama kelenjar limfe regional akan membesar tanpa rasa sakit. Karena itu
bila pembesaran kelenjar limfe regional tidak sakit, pencarian kanker primer
menjadi prioritas [12].
Referensi :
Thoma, KH. Goldman, HM. 1960. Oral Pathology. Firth edition. Philadelphia: CV
Mosby Company. 476, 737.
Schwetschenau, E. 2002. The Adult Neck Mass. Am Fam Physician. 66:831-8.
Shafer, WG. Hin, MK. Levy, BM. 1983. A textbook of Oral Pathology. 4th edition.
Philadelphia.: WB Saunders Company. 1117, 519.
Delp, MH. & manning, RT. 1999. Pemeriksaan kepala dan Leher dalam Major
Diagnosis Fisik. 9th Ed. Jakarta: EGC.
Isselbacher, KJ. Brauwald, E. Wilson, JD. martin, JD. Fauci, AS. Kasper, DL. 1999.
Pembengkakan Kelenjar Limfe dan Limpa dalam Harriosn Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. 13 th Ed. Jakarta: EGC.
Bellanti, J. 1993. Imunologi III. Ed. Ind. Noehajati Soeripto. Bulaksumur Jogjakarta
Indonesia: Gajah Mada university Press. 18-34.

Slots, J. Taubman, MA. 1992. Contemporary Oral Microbiology and Immunology.


St Louis: Mosby ear Book. 112-3.
Topazian, RG. Goldberg, MH. 1987. Oral and Maxillofacial Infections. 2nd ed.
Philadelphia: Saunders Company. 159-64.
Regezi, AR. Sciubba, JJ. 1989. Oral Pathology. Clinical Pathologic Correlations.
Philadelphia: WB Saunders Company. 284.
Roiit, IM. 1990. PokokPokok Ilmu Kekebalan. Jakarta: Gramedia. 1, 80.
Miller, CH. Palenik, CJ. 1994. Infection Control and Management of Hazardous
Material for the Dental Team. St Louis: Mosby. 41.
Azwar, B. 2008. Pembesaran Kelenjar Getah Bening. Available
athttp://www.suaradokter.com/2008/12/pembesaran-kelenjar-getah-bening-kgb/.
[27 Mei 2010].
Proses infeksi pada jaringan pulpo-periapikal dapat menyebabkan beberapa
kondisi ketika melibatkan jaringan periapikal, dapat berupa granuloma, abses,
kista, atau osteomyelitis. Dalam catatan ini akan dibahas mengenai patogenesa
abses mulai dari jaringan periapikal hingga ke jaringan lunak.
PATOGENESA DAN POLA PENYEBARAN
Saluran pulpa yang sempit menyebabkan drainase yang tidak sempurna pada
pulpa yang terinfeksi, namun dapat menjadi tempat berkumpulnya bakteri dan
menyebar kearah jaringan periapikal secara progresif (Topazian, 2002). Ketika
infeksi mencapai akar gigi, jalur patofisiologi proses infeksi ini dipengaruhi oleh
jumlah dan virulensi bakteri, ketahanan host, dan anatomi jaringan yang terlibat.
Abses merupakan rongga patologis yang berisi pus yang disebabkan oleh infeksi
bakteri campuran. Bakteri yang berperan dalam proses pembentukan abses ini
yaitu Staphylococcus aureus dan Streptococcus mutans.Staphylococcus
aureus dalam proses ini memiliki enzim aktif yang disebut koagulase yang
fungsinya untuk mendeposisi fibrin. Sedangkan Streptococcus mutans memiliki 3
enzim utama yang berperan dalam penyebaran infeksi gigi, yaitu streptokinase,
streptodornase, dan hyaluronidase. Hyaluronidase adalah enzim yang bersifat
merusak jembatan antar sel, yang pada fase aktifnya nanti, enzim ini berperan
layaknya parang yang digunakan petani untuk merambah hutan.
Bagaimana sebenarnya pola perjalanan abses ini?
Seperti yang kita semua ketahui, pada umumnya abses merupakan proses yang
kronis, meskipun sebenarnya ada juga abses periapikal akut, namun di catatan
ini saya hendak membahas mengenai perjalanan abses secara kronis.
Seperti yang disebutkan diatas, bakteri Streptococcus mutans (selanjutnya
disingkat S.mutans) memiliki 3 macam enzim yang sifatnya destruktif, salah
satunya adalah enzim hyaluronidase. Enzim ini berperan layaknya parang petani
yang membuka hutan untuk dijadikan ladang persawahannya, ya.. enzim ini

merusak jembatan antar sel yang terbuat dari jaringan ikat (hyalin/hyaluronat),
kalau ditilik dari namanya hyaluronidase, artinya adalah enzim pemecah
hyalin/hyaluronat. Padahal, fungsi jembatan antar sel penting adanya, sebagai
transpor nutrisi antar sel, sebagai jalur komunikasi antar sel, juga sebagai unsur
penyusun dan penguat jaringan. Jika jembatan ini rusak dalam jumlah besar,
maka dapat diperkirakan, kelangsungan hidup jaringan yang tersusun atas selsel dapat terancam rusak/mati/nekrosis.
Proses kematian pulpa, salah satu yang bertanggung jawab adalah enzim
dari S.mutans tadi, akibatnya jaringan pulpa mati, dan menjadi media
perkembangbiakan bakteri yang baik, sebelum akhirnya mereka mampu
merambah ke jaringan yang lebih dalam, yaitu jaringan periapikal.
Pada perjalanannya, tidak hanya S.mutans yang terlibat dalam proses abses,
karenanya infeksi pulpo-periapikal seringkali disebut sebagai mixed bacterial
infection. Kondisi abses kronis dapat terjadi apabila ketahanan host dalam
kondisi yang tidak terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup tinggi. Yang terjadi
dalam daerah periapikal adalah pembentukan rongga patologis abses disertai
pembentukan pus yang sifatnya berkelanjutan apabila tidak diberi penanganan.
Adanya keterlibatan bakteri dalam jaringan periapikal, tentunya mengundang
respon keradangan untuk datang ke jaringan yang terinfeksi tersebut, namun
karena kondisi hostnya tidak terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup tinggi, yang
terjadi alih-alih kesembuhan, namun malah menciptakan kondisi abses yang
merupakan hasil sinergi dari bakteriS.mutans dan S.aureus.
S.mutans dengan 3 enzimnya yang bersifat destruktif tadi, terus saja mampu
merusak jaringan yang ada di daerah periapikal, sedangkan S.aureus dengan
enzim koagulasenya mampu mendeposisi fibrin di sekitar wilayah kerjaS.mutans,
untuk membentuk sebuah pseudomembran yang terbuat dari jaringan ikat, yang
sering kita kenal sebagai membran abses (oleh karena itu, jika dilihat melalui
ronsenologis, batas abses tidak jelas dan tidak beraturan, karena jaringan ikat
adalah jaringan lunak yang tidak mampu ditangkap dengan baik dengan ronsen
foto). Ini adalah peristiwa yang unik dimana S.aureus melindungi dirinya
dan S.mutans dari reaksi keradangan dan terapi antibiotika.
Tidak hanya proses destruksi oleh S.mutans dan produksi membran abses saja
yang terjadi pada peristiwa pembentukan abses ini, tapi juga ada
pembentukan pus oleh bakteri pembuat pus (pyogenik), salah satunya juga
adalah S.aureus. jadi, rongga yang terbentuk oleh sinergi dua kelompok bakteri
tadi, tidak kosong, melainkan terisi oleh pus yang konsistensinya terdiri dari
leukosit yang mati (oleh karena itu pus terlihat putih kekuningan), jaringan
nekrotik, dan bakteri dalam jumlah besar.
Secara alamiah, sebenarnya pus yang terkandung dalam rongga tersebut akan
terus berusaha mencari jalan keluar sendiri, namun pada perjalanannya
seringkali merepotkan pasien dengan timbulnya gejala-gejala yang cukup
mengganggu seperti nyeri, demam, dan malaise. Karena mau tidak

mau, pus dalam rongga patologis tersebut harus keluar, baik dengan bantuan
dokter gigi atau keluar secara alami.
Rongga patologis yang berisi pus (abses) ini terjadi dalam daerah periapikal,
yang notabene adalah di dalam tulang. Untuk mencapai luar tubuh, maka abses
ini harus menembus jaringan keras tulang, mencapai jaringan lunak, lalu barulah
bertemu dengan dunia luar. Terlihat sederhana memang, tapi perjalanan inilah
yang disebut pola penyebaran abses.
Pola penyebaran abses dipengaruhi oleh 3 kondisi, yaitu (lagi-lagi) virulensi
bakteri, ketahanan jaringan, dan perlekatan otot. Virulensi bakteri yang tinggi
mampu menyebabkan bakteri bergerak secara leluasa ke segala arah, ketahanan
jaringan sekitar yang tidak baik menyebabkan jaringan menjadi rapuh dan
mudah dirusak, sedangkan perlekatan otot mempengaruhi arah gerak pus.
Sebelum mencapai dunia luar, perjalanan pus ini mengalami beberapa kondisi,
karena sesuai perjalanannya, dari dalam tulang melalui cancelous bone, pus
bergerak menuju ke arah tepian tulang atau lapisan tulang terluar yang kita
kenal dengan sebutan korteks tulang. Tulang yang dalam kondisi hidup dan
normal, selalu dilapisi oleh lapisan tipis yang tervaskularisasi dengan baik guna
menutrisi tulang dari luar, yang disebut periosteum. Karena memiliki
vaskularisasi yang baik ini, maka respon keradangan juga terjadi ketika pus
mulai mencapai korteks, dan melakukan eksudasinya dengan melepas
komponen keradangan dan sel plasma ke rongga subperiosteal (antara korteks
dan periosteum) dengan tujuan menghambat laju pus yang kandungannya
berpotensi destruktif tersebut. Peristiwa ini alih-alih tanpa gejala, tapi cenderung
menimbulkan rasa sakit, terasa hangat pada regio yang terlibat, bisa timbul
pembengkakan, peristiwa ini disebut periostitis/serous periostitis. Adanya
tambahan istilah serousdisebabkan karena konsistensi eksudat yang
dikeluarkan ke rongga subperiosteal mengandung kurang lebih 70% plasma, dan
tidak kental seperti pus karena memang belum ada keterlibatan pus di rongga
tersebut. Periostitis dapat berlangsung selama 2-3 hari, tergantung keadaan
host.
Apabila dalam rentang 2-3 hari ternyata respon keradangan diatas tidak mampu
menghambat aktivitas bakteri penyebab, maka dapat berlanjut ke kondisi yang
disebut abses subperiosteal. Abses subperiosteal terjadi di rongga yang sama,
yaitu di sela-sela antara korteks tulang dengan lapisan periosteum, bedanya
adalah.. di kondisi ini sudah terdapat keterlibatan pus, alias pus sudah berhasil
menembus korteks dan memasuki rongga subperiosteal, karenanya nama
abses yang tadinya disebut abses periapikal, berubah terminologi menjadi
abses subperiosteal. Karena lapisan periosteum adalah lapisan yang tipis, maka
dalam beberapa jam saja akan mudah tertembus oleh cairanpus yang kental,
sebuah kondisi yang sangat berbeda dengan peristiwa periostitis dimana
konsistensi cairannya lebihserous.
Jika periosteum sudah tertembus oleh pus yang berasal dari dalam tulang tadi,
maka dengan bebasnya, proses infeksi ini akan menjalar menuju fascial
space terdekat, karena telah mencapai area jaringan lunak. Apabila infeksi telah

meluas mengenai fascial spaces, maka dapat terjadi fascial abscess. Fascial
spaces adalah ruangan potensial yang dibatasi/ditutupi/dilapisi oleh lapisan
jaringan ikat. Fascial spaces dibagi menjadi :
Fascial spaces primer
1. Maksila
a. Canine spaces
b. Buccal spaces
c. Infratemporal spaces
2. Mandibula
a. Submental spaces
b. Buccal spaces
c. Sublingual spaces
d. Submandibular spaces
- Fascial spaces sekunder
Fascial spaces sekunder merupakan fascial spaces yang dibatasi oleh jaringan
ikat dengan pasokan darah yang kurang.Ruangan ini berhubungan secara
anatomis dengan daerah dan struktur vital. Yang termasuk fascial spaces
sekunder yaitu masticatory space, cervical space, retropharyngeal space, lateral
pharyngeal space, prevertebral space, dan body of mandible space. Infeksi yang
terjadi pada fascial spaces sekunder berpotensi menyebabkan komplikasi yang
parah.
Terjadinya infeksi pada salah satu atau lebih fascial space yang paling sering
oleh karena penyebaran kuman dari penyakit odontogenik terutama komplikasi
dari periapikal abses. Pus yang mengandung bakteri pada periapikal abses akan
berusaha keluar dari apeks gigi, menembus tulang, dan akhirnya ke jaringan
sekitarnya, salah satunya adalah fascial spaces. Gigi mana yang terkena
periapikal abses ini kemudian yang akan menentukan jenis dari fascial spaces
yang terkena infeksi.
Canine spaces
Berisi musculus levator anguli oris, dan m. labii superior. Infeksi daerah ini
disebabkan periapikal abses dari gigi caninus maksila. Gejala klinisnya yaitu
pembengkakan pipi bagian depan dan hilangnya lekukan nasolabial.Penyebaran
lanjut dari infeksi canine spaces dapat menyerang daerah infraorbital dan sinus
kavernosus.
Buccal spaces
Terletak sebelah lateral dari m. buccinator dan berisi kelenjar parotis dan n.
facialis. Infeksi berasal dari gigi premolar dan molar yang ujung akarnya berada
di atas perlekatan m. buccinator pada maksila atau berada di bawah perlekatan
m. buccinator pada mandibula. Gejala infeksi yaitu edema pipi dan trismus
ringan.

Infratemporal spaces
Terletak di posterior dari maksila, lateral dari proc. Pterigoideus, inferior dari
dasar tengkorak, dan profundus dari temporal space. Berisi nervus dan
pembuluh darah. Infeksi berasaal dari gigi molar III maksila. Gejala infeksi berupa
tidak adanya pembengkakan wajah dan kadang terdapat trismus bila infeksi
telah menyebar.
Submental space
Infeksi berasal dari gigi incisivus mandibula. Gejala infeksi berupa bengkak pada
garis midline yang jelas di bawah dagu.
Sublingual space
Terletak di dasar mulut, superior dari m. mylohyoid, dan sebelah medial dari
mandibula. Infeksi berasal dari gigi anterior mandibula dengan ujung akar di atas
m. mylohyoid. Gejala infeksi berupa pembengkakan dasar mulut, terangkatnya
lidah, nyeri, dan dysphagia.
Submandibular space
Terletak posterior dan inferior dari m. mylohyoid dan m. platysma. Infeksi berasal
dari gigi molar mandibula dengan ujung akar di bawah m. mylohyoid dan dari
pericoronitis. Gejala infeksi berupa pembengkakan pada daerah segitiga
submandibula leher disekitar sudut mandibula, perabaan terasa lunak dan
adanya trismus ringan.
Masticator space
Berisi m. masseter, m. pterygoid medial dan lateral, insersi dari m. temporalis.
Infeksi berasal dari gigi molar III mandibula. Gejala infeksi berupa trismus dan
jika abses besar maka infeksi dapat menyebar ke lateral pharyngeal space.
Pasien membutuhkan intubasi nasoendotracheal untuk alat bantu bernapas.
Lateral pharyngeal space (parapharyngeal space)
Berhubungan dengan banyak space di sekelilingnya sehingga infeksi pada
daerah ini dapat dengan cepat menyebar. Gejala infeksi berupa panas,
menggigil, nyeri dysphagia, trismus.
Retropharyngeal space (posterior visceral space)
Infeksi berasal dari gigi molar mandibula, dari infeksi saluran pernapasan atas,
dari tonsil, parotis, telinga tengah, dan sinus. Gejala infeksi berupa kaku leher,
sakit tenggorokan, dysphagia, hot potato voice, stridor. Merupakan infeksi fascial
spaces yang serius karena infeksi dapat menyebar ke mediastinum dan daerah
leher yang lebih dalam (menyebabkan kerusakan n. vagus dan n cranial bawah,
Horner syndrome)
PRINSIP TERAPI

Pada dasarnya, prinsip terapi abses adalah insisi untuk drainase (mengeluarkan
cairan pus), dengan catatan, prinsip ini dipergunakan untuk abses yang berada
di jaringan lunak. Lalu bagaimana dengan abses periapikal? Yang terjadi didalam
tulang? Biasanya abses periapikal memiliki kondisi khas berupa gigi
mengalami karies besar dan terasa menonjol, sakit bila digunakan mengunyah,
kadang terasa ada cairan asin keluar dari gigi yang berlubang tersebut. Terapi
kegawat-daruratannya dalam kondisi ini tentunya belum dapat dilakukan insisi,
oleh karena pus berada dalam tulang, namun yang dapat dilakukan adalah
melakukan prosedur open bur, melakukan eksterpasi guna mengeluarkan
jaringan nekrotik, oklusal grinding, dan pemberian terapi farmakologi.
(drg gilangrasuna sabdho wening-13 des 2011)
INFEKSI FASCIAL SPACES
Posted by De Haantjes van Het Oosten in Mar 04, 2012, under Tak Berkategori
Fascia adalah jaringan ikat fibrous yang membungkus otot dan
memisahkan suatu otot dengan otot yang lain. Fascia tersususn atas lapisanlapisan jaringan ikat tipis, disebut dengan fascial planes. Ruang antara fascia dan
fascial planes ini merupakan potensial spaces yang sebenarnya tidak ada pada
keadaan normal, tetapi bila perlekatan jaringan ikat ini rusak oleh karena proses
penyebaran infeksi, maka ruang ini bisa terisi dan membesar oleh karena adanya
produk radang. Potensial space ini disebut dengan fascial spaces.
Fascial space yang terlibat dalam penyebaran infeksi dari gigi disebut fascial
space primer, infeksi yang meluas dari fascial space primer menuju fascial space
sekunder yang letaknya lebih posterior dari fascial space primer.
Fascial space primer pada RA : canine space, buccal space dan infratempotal
space
Fascial space primer pada RB : buccal space, submandibular space, submental
space, sublingual space
Fascial space sekunder : superficial and deep temporal space, sibmasseteric
space, pterygomandibular space, lateral pharyngeal space, retropharyngeal
space, dan prevertebral space.
INFEKSI PADA FASCIAL SPACES PRIMER
Canine space infection
Canine space adalah ruang yang terletak diatas perlekatan m. levator
anguli oris dan dibawah perlekatan m. levator labii superior. Gejala klinis adalah
pembengkakan wajah bagian anterior sampai mendekati canthus medialis dari
mata. Terdapat fluktuasi pada lateral nares dan bisa terjadi obliterasi sulkus
nasolabialis. IO pembengkakan pada sulcus labialis.
Canine space jarang terjadi dalam perjalanan infeksi odontogen dan lebih
jarang terjadi dalam infeksi nasal. Drainase adalah cara penanggulangan terbaik

melalui pendekatan IO, jauh didalam vestibulum labialis RA menggunakan


hemostat tajam maupun tumpul. Pendekatan ini adalah perluasan dari cara yang
digunakan umtuk apicoectomy dari apex gigi kaninus. Drainage per cutan dapat
dilakukan lateral dari hidung tetapi hal ini tidak dapat memberikan dependent
drainage.
Buccal space infection
Buccal space adalah ruang potensial yang dibatasi olah kulit wajah pada
bagian lateral dadi m. Buccinator di sebelah medial. Space ini terlibat dalam
penyebaran infeksi gigi RA (terutama M) apabila pus menembus tulang alveolar
di atas perlekatan m. Buccinator. Meskipun agak jarang infeksi dari gigi M RB
juga isa menyebabkan buccal space infection jika merusak tulang diatas
perlekatan m. Buccinator.
Gambaran klinis dari buccal space abscess adalah pembengkakan pada pipi,
batas tidak jelas, warna kemerahan, palpasi sakit.
Pada buccal space terdapat bantalan lemak buccal, duktus stensens dan arteri
fasialis. Infeksi pada space ini mudah didiagnosa karena terdapatnya tanda
pembengkakan pada pipi yang menyertainya sakit gigi M atau P. Fluktuasi terjadi
biasanya di kutan. Usaha untuk membuat fluktuasi secara langsung secara intra
oral dengan kumur air hangat adalh sia sia, dan drainase intraoral melalui
mukosa, submukosa dan m. Buccinator akan mengalami kesulitan.
Drainase kutan seharusnya dilakukan pada inferior dari titik fluktuasi,
disertaidiseksi tumpul dalam kedalam dan batas-batas ekstrim space.
Kandungan nanah dapat memenuhi space sehingga tampak sangat besar. Untuk
itu perlu hati-hati adanya percabangan saraf pada n. facialis. Lazimnya insisi dan
drainase terletak tepat pada inferior dari duktus sensens.
Infratemporal space infection
Infratemporal space terletak disebelah posterior dari maksila,dibatasi oleh
sisi lateral prosesus pterygoideus di sebelah medial, basis cranii di sebelah
superior, dan infra temporal space berhubungan dengan deep temporal space di
sebelah lateral.
Infeksi dari infratemporal space dapat menyebar ke :
Superior dari deep temporal space
Inferior dari pterygomandibular space
Sinous cavernous dan menyebabkan septic thrombosisi dari sinus cavernous
Odontogenisc source berasal dari M3 RA. Yanda klinis berupa rasa sakit dan
trismus, pembengkakan di sebelah anterior dari telinga, dan dapat menunjukkan
gejala cavernuos sinus thrombosis dan abses otak.
Trombosis Sinus Cavernous

Infeksi odontogen RA dapat juga menyebar melalui aliran darah


(hematogen) menyebabkan thrombosis sinus cavernous. Bakteri bisa menyebar
ke arah posterio melalui plexus pterygoideus dan vena emmisariae, atau ke arah
anterior melalui vena angularis dan vena pohtalmicus inferior atau superior
menuju sinus cavernous. Vena pada daerah wajah dan orbita tidak memiliki
katup sehingga memungkinkan aliran darah mengalir bolak balik. Akibatnya
bakteri dapat mengikuti sistem drainase vena dan mengkontaminasi sinus
cavernous dan dapat menyebabkan kematian, sehingga diperlukan perawatan
medis ataupun bedah yang intensif.
Submental space
Sebuah facial space potensial pada dagu dan sering terjadi infeksi, baik
secara langsung dari incisive RB ataupun secara tidak langsung dari
submandibular space. Submental space terletak dibawah dagu dan dibatasi oleh
kulit serta otot, bagian lateral oleh otot digastricus venter anterior, bagian dalam
oleh otot mylohyoid, bagian superior oleh fascia servicalis dalam, otot platysma,
fascia superficialis dan kulit.
Jika infeksi dari I keluar melalui bagian labial dari tulang mandibula,
inferior dari perlekatan otot akan melibatkan submental space. Dagu akan
tampak membesar, tamoak jelas dan bersifat erytena. Drainase adalah
penyelesaian terbaik di daerah cutan. I secarahorizontal di bagian paling inferior
dari dagu dibuat berdasarkan drainase dan estetika terhadap bekas luka
tersebut.
Pola penyebaran dari submental space :
Menyebar ke submandibular space kemdian melanjut pada parapharyngeal
space
Ke arah inferior menuju fascial plane dari leher
Ke arah superior menuju sublingial space
Sublingual space infection
Sublingual space dibatasi oleh mukosa dasar mulut disebelah superior, sisi
medial mandibula disebelah lateral, dan m. Mylohyoid di sebelah inferior. Infeksi
ini paling sering disebabkan oleh gigi M1 RB dan bisa juga M2 RB yang akarnya
relatif pendek.
Gambaran klinis :pembengkakan pada mukosa dasar mulut, kemerahan,
palpasi sakit. Bila abses cukup besar maka pembengkakan bisa menjadi bilateral
dan lidah terangkat. Tidak ada pembengkakan EO
Infeksi dari sublingual space pola penyebarannya :
Postero-inferior menuju submandibular space
Postero-lateral menuju parapharyngeal space

Postero-lateral menuju pterygomandibular space


Submandibular Space Infection
Submandibular space adalah ruang yang dibatasi oleh m. Mylohyoid di
sebelah suprior, sisi medial mandibula disebelah lateral, m. Platysma dan kulit di
sebelah inferior, batas postrior berhubungan dengan fascial space sekunder.
Penyebab utamanya adalah gigi M3 RB karena penyebaran infeksi ini hampir
selalu ke lingual dan pus masuk ke dalam submandibular space.
Gambaran klinis : pembengkakan EO di daerah submandibula pada satu
sisi, kemerahan, palpasi (+) dan terdapat fluktuasi.
Infeksi submandibular space dapat menyebar ke arah :
Perluasan infeksi ke sublingual space
Ke arah medial berlawanan dengan submandibular space
Ke inferior menuju fascial plane dari leher
Posterior menuju parapharyngeal spaces dan pterygomandibular spaces
Supero-posterior menuju deep temporal space
Ludwigs Angina
Ludwigs angina adalah selulitis yang melibatkan submandibular space
dan sublingual space secara bilateral dan submental space. Infeksi ini disebut
juga dengan phlegmon dasar mulut. Selulitis yang terjadi sangat cepat dan bisa
menyebar ke fascial space sekunder. Penyebab utamanya adalah infeksi dari
gigi-gigi rahang bawah, tetapi bisa juga disebabkan oleh faktor lain seperti
sialedinitis kelenjar submandibularis, fraktur mandibula, laserasi jaringan lunak,
luka tusuk pada mukosa dasar mulut, atau infeksi sekunder dari lesi ganas di RM.
Pada Ludwigs angina kondisi fisik penderita pada umumnya jelek.
Gambaran klinis ludwigs angina cukup spesifik yaitu : mulut penderita tampak
selalu terbuka, pembengkakan EO pada regio submandibularis bilateral dan regio
submentalis, konsistensinya keras, IO terdapat pembengkakan pada dasar mulut
dan lidah terangkat sehingga penderita mengalami kesulitan bernapas dan
menelan.
Ludwigs angina merupakan infeksi yang serius karena : infeksi dapat
menyebar ke fascial spaces yang lebih dalam (masticator spaces/parapharyngeal
space), dapat menyebabkan sepsis, dan bisa menyebabkan obstruksi saluran
pernapasan bagian atas. Kematian dalam waktu cepat biasanya diakibatkan oleh
karena obstruksi saluran pernapasan bagian atas tersebut.
Perawatan meliputi : antibiotik dosis tinggi, multiple incision pada
submandibular space dan submental space, dan pemberian terapi suportif. Bila
terjadi penyumbatan pada saluran pernapasan bagian atas perlu dilakukan
tracheostomy. Bila kondisi akut telah reda gigi penyebab harus segera dicabut.

Subcutan Abscess
Infeksi pada beberapa fascial space seperti canine space, buccal space,
submental space atau submandibular space pada umumnya akan menjadi
subcutan abscess, yakni suatu tahap dari perjalanan abses dimana pus telah
terkumpul dibawah ermukaan kulit. Pada subcuttan abses biasanya keradangan
yang ada sudah menjadi kronis sehingga gejala subjektif tidak separah seperti
kondisi sebelumnya.
Gambaran klinisnya adalah : pembengkakan EO disertai terbentuknya inti
abses yang berwarna kemerahan, batas jelas dan terdapat fluktuasi.
Seperti halnya pada vestibular abses, pus pada subcutan abses ini letaknya
sangat superfisial sehingga abses bisa pecah dengan sendirinya, yang disebut
dengan drainase spontan. Drainase spotan dapat mengakibatkan jaringan parut
yang tentu akan menimbulkan masalah kosmetik di kemudian harinya. Untuk
mencegah drainase spontan dibuat insisi pada inti abses kemudian dilakukan
rainase dengan hemostat untuk mengeluarkan nanahnya. Agar luka insisi tidak
menutup kembali perlu dipasang draine dan dipertahankan selama beberapa
hari.
Yang perlu diingat adalah setelah insisi operator tidak boleh melakukan
penekanan pada abses dengan tujuan untuk mengeluarkan nanah sebanyak
mungkin. Tindakan ini sangat berbahaya karena justru bisa menyebabkan
penyebaran infeksi.
INFEKSI PADA FASCIAL SPACE SEKUNDER
Infeksi pada fascial spaces primer bila tidak mendapatkan perawatan yang
memadai akan dapat menyebar ke arah posterior yakni ke fascial space
sekunder. Infeksi pada fascial space sekunder sifatnya lebih serius, dapat
menimbulkan komplikasi dan morbiditas yang lebih tinggi, dan perawatannya
lebih sulit.
PENYEBARAN INFEKSI PERIAPIKAL
Posted by De Haantjes van Het Oosten in Mar 04, 2012, under Tak Berkategori
Infeksi periapikal dapat menyebar ke jaringan-jaringan lain mengikuti pola
patofisiologi yang beragam yang pada dasarnya dipengaruhi oleh : jumlah dan
virulensi kuman, resistensi dari host, dan struktur anatomi daerah yang terlibat.
Pus pada jaringan periapikal menyebar melalui tulang kanselus menuju ke
permukaan tulang dan setelah menembus lapisan korteks pus masuk ke jaringan
lunak di sekitarnya yang biasanya didahului dengan keradangan pada
periosteum tulang alveolar di daerah tersebut (periostitis)
Arah penyebaran infeksi periapikal menuju ke jaringan lunak dipengaruhi oleh 2
faktor utama yaitu:
1. Ketebalan tulang yang meliputi apeks gigi

2. hubungan antara tempat perforasi tulang dan tempat perlekatan otot-otot


pada maksila dan mandibula
Bila apeks gigi yang terinfeksi lebih dekat dengan labial plate maka akan
menyebabkan vestibular abscess. Sebaliknya jika kar gigi lebih dekat dengan
permukaan palatal maka yang terjadi adalah palatal abscess.
Setelah pus menembus permukaan tulang dan masuk ke dalam jaringan lunak
arah penyebaran selanjutnya ditentukan oleh tempat perlekatan otot-otot pada
tulang rahang, utamanya yaitu m. Buccinator pada maksila dan mandibula, dan.
Mylohyoid pada mandibula. Pada gigi-gigi posterior rahang atas apabila pus
keluar ke arah bukal dan dibawah perlekatan m.buccinator pada maksila dan
mandibula, dan m mylohyoid pada mandibula. Pada gigi posterior rahang atas
apabila pus keluar ke arah bukal dan dibawah perlekatan m. Buccinator maka
akan terjadi vestibular abscess. Apabila pus terletak di atas perlekatan m.
Buccinator maka yang terjadi adalah buccal space abscess.
Infeksi periapikal pada gigi-gigi rahang atas pada umunya menjalar ke arah labial
atau bukal. Beberapa gigi seperti insisif lateral yang inklinasinya ekstrenm, akar
palatal gigi premolar pertama dan molar rahang atas dapat menyebabkan abses
di sebelah palatal. Penjalaran infeksi ke labial atau bukal dapat menjadi
vestibular abscess atau fascial space infection ditentukan oleh hubungan antara
tempat peforasi tulang dan tempat perlekatan otot-otot oada tukang maksila
yaitu m, buccinator dan m. Levator anguli oris.
Gigi insisif sentral dan lateral rahang atas penyebaran infeksi ke labial sehingga
terjadi vestibular abscess. Infeksi pada kaninus yang akarnya panjang dapat
menyebabkan canine space infection. Infeksi pada M rahang atas bisa menjadi
vestibular abscess. Infeksi periapikal gigi-gigi P dan M rahang atsa dapat
menyebar ke arah sinus maksilaris sehingga menyebabkan sinusitis maksilaris.
Di rahang bawah infeksi periapikal dari gigi I,C dan P pada umumnya akan
merusak korteks di buccal palte sehingga menjadi vestibular abscess.
Infeksi pada gigi M1 bisa mengarah ke bukal atau ke lingual demikian juga M2,
sedangkan infeksi periapikal gigi M3 selalu mengarah ke lingual.
Penyebaran infeksi Molar bawah yang ke arah bukal juga ditentukan oleh
perlekatan m. Buccinator. Apabila pus keluar diatas perlekatan m. buccinator
maka yang tejadi adalah vestibular abscess, bila pus keluar dibawah perlekatan
otot tersebut maka yang terjadi adalah buccal space infection atau
perimandibular infection. Penyebaran infeksi M RB yg kearah lingual ditentukan
oleh relasi antara letak apeks akar gigi M dan tempat perlekatan m. Mylohyoid.
Bila pus keluar dari dinding lingual di atas perlekatan m. Mylohyoid maka akan
terjadi sublingual space abscess, sebaliknya bila pus keluar dibawah perlekatan
otot tsb akan timbul submandibular space abscess.
Periostitis

Serous periostitis adalah keradangan akut pada periosteum tulang rahang


karena infeksi periapikal telah menembus korteks tulang. Keradangan yang
terjadi berupa cairan serous diantara korteks dan periosteum, belum terbentuk
nanah. Gejala subjektifnya berupa rasa sakit selama 1-3 istri disertai
pembengkakan, suhu badan meningkar. EO tampak pembengkakan merata,
warna agak kemerahan, palpasi peningkatan suhu dan sakit. IO tampak
peninggian buccal fold tapi tidak ada fluktuasi, terdapat gigi dengan karies
profunda dan non vital (Gangren pulpa).
Pencabutan merupakan kontraindikasi karena dapat menyebabkan penyebaran
infeksi yang berbahaya. Perawatan ditujukan pada tindakan yang dapat
meredakan infeksi akut : open bur disertai dengann ekstirpasi saluran akar,
pemberian antibiotik dan analgesik. Pencabutan dilakukan bila tanda radang
sudah reda.
Subperiosteal abscess
Merupakan kelanjutan dari seruos periostitis dimana pus sudah terbentuk dan
terkumpul di bawah periosteum. Periosteum adalah jaringan ikat yang tipis dan
tegang, maka dengan terkumpulnya pus dibawahnya akan timbul rasa sakit yang
sangat dan biasanya periosteum akan pecah dalam waktu singkat. Oleh karena
itu secara klinis oeriosteal abscess jarang dijumpai. Keadaan ini dapat berlanjut
menjadi vestibular abscess atau fascial space abscess.
Vestibular abscess (Submucous abscess)
Setelah menembus korteks dan periosteum tulang labial/bukal pus yang berasal
dari infeksi periapikal masuk ke dalam jaringan lunak di bawah permukaan
mukosa di daerah vestibulum (mocobucal fold), disebut dengan vestibular
abscess. Keadaan ini rasa sakit sudah agak mereda dibandingkan dengan
subperiosteal abscess.
EO berupa pembengkakan tidak berbatas jelas, palpasi sakit dan pembesaran
kelenjar limfe regional. IO tanpak buccal fold terangkat, warna kemerahan,
palpasi terasa sakit dan ada fluktuasi. Terdapat gigi gangren yang memberikan
respon sakit pada perkusi dan druk. Abses dapaty pecah dan membentk drainase
berupa fistel intra oral.
Bila belum terjadi drainase spontan, maka perawatannya adalah incisi dan
drainase pada puncak fluktuasi dan drainase dipertahankan dengan pemasangan
drain (drain karet atau kasa), pemberian antibiotik dan analgesik. Pencabutan
dilakukan setelah gejala akutnya mereda.
Palatal abscess
Patogenesa palatal abscess sebenarnya sama dengan submucous abscess,
hanya lokasinya yang berbeda karena disini pus keluar ke arah palatal. Biasanya
disebabkan oleh infeksi pd akar palatal gigi posterior rahang atas. IO berupa
pembengkakan mucosa palatal, berbatas jelas dan ada fluktuasi.

ABSES DAN SELULITIS


Penyebaran infeksi odontogen ke jaringan lunak dapat berupa abses, selulitis,
atau kombinasi dari keduanya.
Abses (Abscess)
Abses didefinisikan sebagai kumpulan pus dalam suatu rongga yang secara
anatomis tidak ada dan diliputi oleh membran abses.
Nanah atau ous merupakan bentuk nekrosis pencairan (liquefaction) sel-sel
jaringan yang disebabkankarena aktivitas enzimatik kuman-kuman patogen. Pus
dalam suatu abscess berisi : sel-sel leukosit (PMN) mati, sel-sel jaringan yang
mati, dan mikroorganisme penyebab proses supuratif ini disebut dengan kuman
piogenik, utamanya adalah Streptococcus pyogens dan Staphylococcus aureus.
Pembentukan abscess dihubungkan dengan enzim coagulase yang dihasilkan
oleh mikroorganisme. Enzim coagulase menyebabkan terjadinya deposisi fibrin
sehingga menghambat fagositosis dan kondisi ini mengarah kepada
pembentukan abses
Secara klinis ciri khas suatu abses jaringan lunak ialah : pembengkakan berbatas
jelas, palpasi terdapat fluktuasi, dan pada umumnya memberikan tanda klinis
yang bersifat kronis.
Perawatan pada abses pada prinsipnya adalah insisi dan drainase. Untuk
mempertahankan drainase dari pus perlu dilakukan pemasangan drain, misalnya
dengan rubber drain atau penrose drain.
Beberapa tujuan dari insisi dan drainase yaitu : (1) mencegah terjadinya
perluasan abses ke jaringan lain,(2) mengurangi rasa sakit,(3) menurunkan
jumlah popolasi mikroba beserta toksinnya,(4) memperbaiki vaskularisasi
jaringan,(5) mencegah terjadinya jaringan parut.
Selulitis
Bila infeksi yang terjadi tidak dapat ditanggulangi oleh faktor pertahanan
jaringan, misalnya virulensi kuman yang tinggi atau faktor pertahanan yan
rendah, maka infeksi tidak terhambat dan akan menyebar dengan cepat menuju
jaringan yang lain disekitarnya, infeksi semacam ini disebut selulitis.
Selulitis adalah infeksi pada jaringan lunak yang tidak terlokalisir dimana eksudat
dengan cepat menyebar diantara celah interstitial jaringan ikat. Secara klinis
ditandai dengan pembengkakan akut, difus, kemerahan, konsistensi keras, tidak
terdapat fluktuasi.
Selulitis biasanya disertai gejala sistemik yaitu : penderita tampak pucat,
malaise, peningkatan suhu badan dan denyut nadi. Dibandingkan abses selulitis
lebih berbahaya karena penyebaran infeksi berlangsung sangat cepat ke
jaringan yang letaknya jauh dari tempat infeksi asalnya dan resiko terjadiya
septikemia cukup tinggi.

Kuman Streptokokus diduga sebagai penyebab selulitis karena kemampuannya


menghasilkan enzim streptokinase yang dapat menyebabkan fibrinolisis dan
enzim hyaluronidase yang mengkatalisa hidrolisis asam hyaluronat, bahan dasar
jembatan interseluler jaringan ikat, sehingga dapat mempermudah terjadinya
penyebaran infeksi secara cepat.
Perawatan pada selulitis adalah pemberian antibiotika yang tepat dan dengan
dosis yang tinggi. Dengan terapi antibiotik gejala akutnya mereda atau bisa
menjadi abses.
Pericoronitis
Pericoronitis adalah infeksi yang melibatkan jaringan lunak di sekitar mohkota
gigi yang erupsi sebagian, umumnya terjadi pada gigi M3 bawah. Pada gigi yang
impaksi sebagian, mahkota gigi biasanya diliputi oleh jaringan lunak baik yang
menutupi permukaan oklusal mahkota gigi (operculum) atau permukaan
aksialnya.
Antara mahkota gigi yang impaksi dan jaringan lunak yang menutupinya
terdapat suatu ruan potensial, yakni bagian dari dental follicle.Pericoronitis
berawal dari keradangan pada follicle ini.
Pericoronitis dapat juga terjadi akibat taruma gigitan dari M3 RA. Operculum dari
mahkota M3 rahang bawah dapat menjadi bengkak karena tergigit oleh M3 RA.
Dalam hal ini pencabutan gigi M3 RA biasanya akan dapat menghilangkan gejala
klinis dan simptom yang ada.
Pericoronitis dapat pula terjadi akibat terperangkapnya makanan dibawah
operculum, sisa makan dapat menjadi media pertumbuhan bakteri.
Pericoronitis akut
Pericoronitis akut adalah keradangan akut pada jaringan lunak perikorona yang
ditandai dengan rasa sakit cekot-cekot terutama pada waktu mengunyah. Pada
anamnesa pasien mengeluhkan trismus dan rasa tidak enak bila menelan.
Pemeriksaan klinis menunjukkan adanya peningkatan suhu tubuh, frekuensi
denyut nadi dan pernapasan, terdapat pembengkakan EO yang difuse, kelenjar
limfe submandibularis membesar dan sakit pada palpasi. IO tampak mukosa
perikorona membengkak, kemerahan, palpasi sakit dan bila ditekan keluar pus
dari ruan potensial dibawah mukosa.
Pericoronitis akut dapat menyebar ke infeksi fascial space di daerah ramus
mandibula(pterygomandibular space atau submasseteric space) atau ke daerah
lateral dari leher (lateralpharyngeal space). Pencabutan merupakan
kontraindikasi mengingat resiko terjadinya penyebaran infeksi.
Antibiotik mutlak diperlukan, pilihan yang umum adalah golongan penisilin.
Analgesik diberikan untuk mengurangi rasa sakit.
Disamping perawatan umum tersebut, perlu dilakukan perawatan lokal yaitu :

Irigasi H2O2
Bila terdapat trauma dari gigi M RA dilakukan pemendekkan tonjol oklusal
Bila terbentuk abses, perlu dilakukan insisi pada absesnya.
Instruksi pada pasien untuk kumur-kumur larutan air garam hangat dengan
frekuensi yang cukup sering. Tindakan ini cukup efektif untuk meredakan rasa
sakit dan mempercepat resolusi dari keradangan yang terjadi.
Pericoronitis kronis
Pericoronitis kronis ditandai dengan rasa kemeng yang timbulnya berkala. Tanda
yang khas pasien mengeluhkan rasa tidak enak. Tidak ada gejala klinis dan
cukup dilakukan perawatan lokal saja,antibiotik tidak diperlukan.
M3 RB bisa dicabut setelah gejala klinis dari pericoroniti stelah hilang. Bila
pencabutan dilakukan pada saat keradangan akut resiko cukup tinggi untuk
terjadi komplikasi seperti : dry socket atau postoperative infection.
Setelah infeksi dapat diatasi, perawatan definitif yaitu pencabutan dapat segera
dilakukan.
Spasia kanina
Spasia kanina merupakan ruang tipis di antara levator angulioris dan M. labii
superioris. Spasia kanina terbentuk akibat dari infeksi yang terjadi pada gigi
caninus rahang atas. Gigi caninus merupakan satu-sarunya gigi dengan akar
yang cukup panjang untuk menyebabkan pengikisan sepanjang tulang alveolar
superior hingga otot atau facial expression. Infeksi ini mengikis bagian superior
hingga ke dasar M. levator anguli oris dan menembus dasar M. levator labii
superior.
Ketika spasia ini terinfeksi, gejala klinisnya yaitu pembengkakan pipi bagian
depan dan swelling pada permukaan anterior menyebabkan lipatan nasolabial
menghilang. Penyebaran lanjut dari infeksi canine spaces dapat menyerang
daerah infraorbital dan sinus kavernosus.
1.4.2

Spasia bukal

Spasia bukalis terikat pada permukaan kulit muka pada aspek lateral dan M.
buccinators dan berisi kelenjar parotis dan n. facialis. Spasia dapat terinfeksi
akibat perpanjangan infeksi dari gigi maxilla dan mandibula. Penyebab utama
infeksi spasia bukal adalah gigi-gigi posterior, terutama Molar maxilla. Spasia
bukal menjadi berhubungan dengan gigi ketika infeksi telah mengikis hingga
menembus tulang superior hingga perlekatan M. buccinators.
Gejala infeksi yaitu edema pipi dan trismus ringan. Keterlibatan spasia bukal
dapat menyebabkan pembengkakan di bawah lengkung zygomatic dan daerah di
atas batas inferior dari mandibula. Sehingga baik lengkung zygomatic dan batas
inferior mandibula Nampak jelas pada infeksi spasi bukal.

1.4.3

Spasia mastikasi (masseter, pterygoid, temporal)

Jika infeksi spasia primer tidak ditangani secara tepat, infeksi dapat meluas ke
arah posterior hingga melibatkan spasia facial sekunder. Ketika spasia sekunder
telah ikut terlibat, infeksi menjadi lebih berat, dapat menyebabkan komplikasi
hingga kematian, dan lebih sulit untuk ditangani. Hal ini dikarenakan spasia
sekunder dikelilingi oleh jaringan ikat fascia yang sedikit sekali mendapat suplai
darah. Sehingga infeksi pada spasia ini sulit ditangani tanpa prosedur
pembedahan untuk mengeluarkan eksudat purulen.
Spasia masseter Spasia masseter berada di antara aspek lateral mandibula
dan batas median m. masseter. Infeksi ini paling sering diakibatkan penyebaran
infeksi dari spasia bukalis atau dari infeksi jaringan lunak di sekitar Molar ketiga
mandibula. Ketika spasia masseter terlibat, area di atas sudut rahang dan ramus
menjadi bengkak. Inflamasi m. masseter ini dapat menyebabkan trismus
Spasia pterygomandibular Spasia pterygomandibular berada ke arah median
dari mandibula dan ke arah lateral menuju m. pterygoid median. Area ini
merupakan area tempat penyuntikan larutan anastesi local disuntikan ketika
dilakukan block pada saraf alveolar inferior. Infeksi pada area ini biasanya
merupakan penyebaran dari infeksi spasia sublingual dan submandibula.
Infeksi pada area ini juga sering menyebabkan trismus pada pasien, tanpa
disertai pembengkakan. Ini lah yang menjadi dasar diagnosa pada infeksi ini
Spasia temporal Spasia temporal berada pada posterior dan superior dari
spasia master dan pterygomandibular. Dibagi menjadia dua bagian oleh m.
temporalis. Bagian pertama yaitu bagian superficial yang meluas menuju m.
temporalis, sedangakn bagian kedua merupakan deep portion yang
berhubungan dengan spasia infratemporal. infeksi ini, baik superficial maupun
deep portion hanya terlihat pada keadaan infeksi yang sudah parah. Ketika
infeksi sudah melibatkan spasia temporalis, itu artinya pembengkakan sudah
terjadi di sepanjang area temporal ke arah superior menuju arcus zygoamticus
dan ke posterior menuju sekeliling mata.
Spasia masseter, pterygomandibular, dan temporal juga dikenal sebagai spasia
matikator. Spasia ini saling berhubungan, sehingga ketika salah satunya
mengalami infeksi maka spasia lainnya berkemungkinan juga terkena infeksi
1.4.4

Spasia submandibula dan sublingual

Terletak posterior dan inferior dari m. mylohyoid dan m. platysma. Infeksi berasal
dari gigi molar mandibula dengan ujung akar di bawah m. mylohyoid dan dari
pericoronitis. Gejala infeksi berupa pembengkakan pada daerah segitiga
submandibula leher disekitar sudut mandibula, perabaan terasa lunak dan
adanya trismus ringan.
Kedua spasia ini terbentuk dari perforasi lingual dari infeksi molar mandibula,
dan dapat juga disebabkan infeksi pada premolar. Yang membedakan infeksi
tersebut apakah submandibula atau siblingual adalah perlekatan dari M.

mylohyoid pada ridge mylohyoid pada aspek medial mandibula. Jika infeksi
mengikis medial aspek mandibula di atas garis mylohyoid, artinya infeksi terjadi
pada spasia lingual (sering terjadi pada gigi premolar dan molar). Sedangkan jika
infeksi mengikis aspek medial dari inferior mandibula hingga mylohyoid line ,
spasia submandibular pun dapat terkena infeksi.
Molar ketiga mandibula paling sering menjadi penyebab spasia primer
mandibula. Sedangkan molar kedua mandibula dapat mengakibatkan baik spasia
sublingual maupun submandibular.
Spasia sublingual berada di antara mucosa oral dasar mulut dan m. mylohyoid.
Batas posteriornya terbuka hingga berhubungan langsung dengan spasia
submandibular dan spasia sekunder mandibula hingga aspek posterior. Secara
klinis, pada infeksi spasia sublingual sering terlihat pembengkakan intraoral,
terlihat pada bagian yang terinfeksi pada dasar mulut. Infeksi biasanya menjadi
bilateral dan lidah menjadi terangkat (meninggi)
Spasia submandibula berada di antara m. mylohyoid dan lapisan kulit di atasnya
serta fascia superficial. Batas posterior spasia submandibula berhubungan
dengan spasia sekunder dari bagian posterior rahang. Infeksi pada
submandibular menyebabkan pembengakakan yang dimulai dari batas inferior
mandibula hingga meluas secara median menuju m. digastricus dan meluas ke
arah posterior menuju tulang hyoid.
Ketika bilateral submandibula, sublingual dan submentalis terkena infeksi, inilah
yang disebut dengan Ludwigs angina. Infeksi ini menyebar dengan cepat kea
rah posterior menuju spasia sekunder mandibula.
Sulit menelan hampir selalu terjadi pada infeksi ini, disertai dengan elevasi dan
displacement lidah serta pengerasan superior submandibula hingga tulang hyoid
Pasien yang mengalami infeksi ini biasanya mengalami trismus, mengeluarkan
saliva, kesulitan menelan bahkan bernafas yang dapat berkembang menjadi
obstruksi nafas atas yang dapat menyebabkan kematian.
1.4.5

Spasia submental

Spasia submental berada di antara anterior bellies dari m. digastricus dan di


antara m. mylohyoid dengan kulit di atasnya. Spasia ini biasanya terjadi karena
infeksi dari incisor mandibula. Incisor mandibula cukup panjang untuk dapat
menyebabkan infeksi mengikis bagian labial dari tulang apical hingga perlekatan
m. mentalis. Gejala infeksi berupa bengkak pada garis midline yang jelas di
bawah dagu. Infeksi juga dapat terjadi pada batas inferior mandibula hingga ke
m. submentalis
1.4.6

Ludwigs Angina

Definisi Ludwigs Angina ialah keadaan dimana adanya sepsis cellulitis di regio
submandibular. Kebanyakan kasus, penyakit ini disebabkan oleh infeksi gigi
molar rahang bawah hingga dasar mulut (akar gigi melekat pada otot mylohyoid)

karena ekstraksi. Infeksi ini berbeda dari jenis cellulitis post-ekstraksi lainnya.
Hal utama yang membedakannya adalah:
1. Indurasinya kuat. Adanya gangrene dengan keluarnya cairan
serosanguinous yang meragukan ketika dilakukan incise dan tidak jelas
apakah itu adalah pus.
2. Spasia yang terlibat (submandinular, submental, sublingual) terbentuk
bilateral.
3. Pasien biasanya dalam kondisi openmouth, dasar mulutnya elevasi dan
lidahnya protusi. Kondisi ini yang menyebabkan pasien sulit bernafas.
Etiologi Infeksi ini disebabkan oleh streptokokus hemolitik, walaupun bisa jadi
disebabkan pula oleh miksturasi antara bakteri aerob dan anaerob.
Gejala dan tanda klinis: sakit dan bengkak pada leher, leher menjadi merah,
demam, saliva bertambah, lidah bergerak kaku, dan ada edematous di larynx,
lemah, lesu, mudah capek, rasa dingin, bingung dan perubahan mental, dan
kesulitan bernapas (gejala ini menunjukkan adanya suatu keadaan darurat) yaitu
obstruksi jalan nafas. Pasien Ludwig`s angina akan mengeluh bengkak yang jelas
dan lunak pada anterior leher, jika dipalpasi tidak terdapat fluktuasi.
Terapi Pada kasus ini pasien dapat diberi antibiotik dengan spektrum luas dan
terapi suportif. Pada kasus akut dilakukan tracheostomy. Jika tidak ada progress,
dapat dilakukan pembedahan dengan dua alasan:untuk melepaskan tekanan
jaringan dan drainase.
Komplikasi Komplikasi paling serius dari Ludwig`s angina adalah adanya
penekanan jalan nafas akibat pembengkakan yang berlangsung hebat dan dapat
menyebabkan kematian.
1.4.7

Spasia faringeal

Batas anatomi Spasia ini perluasan dari dasar tengkorak di tulang sphenoid
menuju tulang hyoid di inferior dan terletak antara otot pterygoid medial di
aspek lateral dan superior faringeal konstriktor aspek medial. Di bagian depan
dibatasi oleh pterygomandibular raphe dan meluas ke bagian posteriomedia
fascia prevertebral. Prosessus styloid, associated muscles, dan facia membagi
spasia ini menjadi kompartemen anterior yang mengandung selubung carotid
dan beberapa nervus cranial.
Gejala dan tanda klinis infeksi Tanda klinis yang terlihat ialah trismus yang
cukup berat yang merupakan keterlibatan otot pterygoid media; pembengkakan
leher lateral, terutama sudut inferior mendibula; dan pembengkakan dinding
faringeal lateral.ke arah midline. Pasien dengan kasus ini biasanya sulit menelan
dan demam.
1.4.8

Spasia retrofaringeal

Batas anatomi Spasia ini terletak di belakangan jaringan lunak aspek posterior
faring. Di bagian depan dibatasi oleh konstriktor faringeal superior; bagian muka
dan posterior oleh alar layer fascia prevetebral. Spasia ini berawal dari dasar
tengkoran dan meluas ke arah inferior di vertebra C7 atau T1, di mana fascia alar
menyatu dengan fascia buccopharyngeal
Gejala dan tanda klinis infeksi (1)Obstruksi jalan nafas atas yang serius
sebagai hasil dari displacement anterior dari dinding faringeal posterior ke arah
faring.(2)Rupturnya abses spasia retrofaringeal dengan masuknya pus ke paruparu
1.4.9

Mediastinitis

Lokasi anatomi mediastinum Mediastinum adalah ruang ekstrapleura yang


dibatasi sternum di sebelah depan, kolumna vertebralis di sebelah belakang,
pleura mediastinal di sebelah lateral kiri dan kanan, di superior oleh thoracic
inlet dan di inferior oleh diafragma. Mediastinum terdiri dari tiga area :
anterosuperior mediastinum, middle mediastinum, posterior mediastinum.
Mediastinitis adalah peradangan di daerah mediastinum yang terdiri dari
mediastinitis akut dan kronik (fibrosing mediastinitis).
Penyebaran infeksi Dalam kasus ini faktor penyebab diperkirakan berasal dari
otitis media yang berkembang menjadi mastoiditis lalu menyebabkan osteitis
dan periostitis yang akan mendestruksi korteks dari mastoid lalu menyebar
melalui fasia leher ke dalam mediatinum.
Gejala dan tanda klinis Pada kasus ini dijumpai gejala klinis berupa demam
hilang timbul, sesak nafas, nyeri menelan serta riwayat penyakit penyerta
berupa diabetes, mastoiditis kronis dan infeksi telinga, pada pemeriksaan fisik
tak didapatkan kelainan. Gejala klinis ini sesuai dengan kepustakaan dimana
demam yang ditimbulkan bersifat lowgrade dan dapat menjadi hectic bila
kontaminasi terhadap mediastinum terus berlangsung, gejala lainnya dapat
berupa pembengkakan pada daerah leher, nyeri pada substernal, nyeri pada
prekordial dalam, punggung dan epigastrium yang dapat menyerupai gejala akut
abdomen.
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai panas tinggi, takikardi, edema dari leher
dan kepala, emfisema subkutan. Pada orang dewasa distress pernafasan dapat
terjadi yang mengindikasikan terjadinya pneumotorak atau efusi pleura
sedangkan pada anak anak dapat terjadi pernafasan stakato akibat nyeri saat
bernafas.
Terapi Terapi pembedahan dengan kombinasi penggunaan antibiotik dalam
kasus ini sudah tepat yaitu untuk drainase abses sesuai dengan kepustakaan
yang mengatakan drainase abses dapat dengan torakotomi seperti kasus diatas
khususnya pada pasien yang sakit berat atau melalui pendekatan
cervicomediastinal dimana insisi pararel dengan M. sternokleidomastoideus, lalu
diretraksi ke lateral, maka terdapat akses ke sarung karotis dan ruang pretrakeal
serta retroviseral, cara ini dapat digunakan untuk drainase mediastinum sampai

ke level vertebra torakal empat di posterior dan percabangan trakea di anterior.


Aspek inferior mediastinum harus di drainase transpleura / ekstrapleura, melalui
bidang posterior dari iga yang bersangkutan. 1,2 Walaupun saat ini telah
diperkenalkan berbagai cara pencucian mediastinum yaitu : pendekatan
subxiphoid, median sternotomy dan thorakoskopi, tetapi posterolateral
torakotomi tetap di rekomendasikan dan merupakan kombinasi terbaik dengan
CT scan toraks serial walaupun gejala klinis dari infeksi tak ditemukan.
Trombolitik intrapleura dengan dosis urokinase 5400 IU/Kg/hari dapat digunakan
untuk penanganan komplikasi mediastinitis berupa empiema sehingga cairan
dapat di drainase melalui selang WSD.
1.4.10

Terapi infeksi spasia wajah

Ada lima hal yang ditempuh dalam dalam mengatasi infeksi spasia ini,
diantaranya adalah:
1. Medical support untuk mengoreksi pertahanan imun, termasuk di
dalamnya pemberian analgesic.
2. Pemberian antibiotik yang tepat, yakni dosis tinggi bakterisidal yang
diberikan secara intravena.
1. Surgical removal
2. Surgical drainage
3. Evaluasi konstan dari perawatan infeksi
1. Osteomielitis
Osteomyelitis rahang adalah suatu infeksi yang ekstensif pada tulang rahang,
yang mengenai spongiosa, sumsum tulang, kortex, dan periosteum. Infeksi
terjadi pada bagian tulang yang terkalsifikasi ketika cairan dalam rongga
medullary atau dibawah periosteum mengganggu suplai darah. Tulang yang
terinfeksi menjadi nekrosis ketika ischemia terbentuk. Perubahan pertahanan
host yang mendasar terdapat pada mayoritas pasien yang mengalami
ostemyelitis pada rahang. Kondisi-kondisi yang merubah persarafan tulang
menjadikan pasien rentan terhadap onset ostemielitis, kondisi-kondisi ini antara
lain radiasi, osteoporosis, osteopetrosis, penyakit tulang Paget, dan tumor ganas
tulang.

Anda mungkin juga menyukai