KATA SULIT
Mal Praktik
Tuntutan Materil dan Imateril : Materil berupa uang, imateril berupa sanksi kurungan
Hukum Pidana
Hukum Perdata
Uveitis Tuberkulosis
LBHK
PERTANYAAN:
1. Apa saja batasan dari tindakan dokter yang di sebut sebagai malpraktik?
2. Jenis-jenis malpraktik?
3. UU yang mendukung/ membela dari sisi dokter?
4. Apakah pasien berhak untuk menentukan sanksi terhadap malpraktek dokter?
5. Bagaimana alur hokum tindakan kelalaian dokter?
6. Bagaimana peran RS dalam kasus seperti ini?
7. Bagaimana Hukum malpraktik menurut islam?
8. Bagaimana pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terjadi tindakan kelalaian dokter?
JAWABAN:
1. Yang dianggap merugikan pasien atau diluar SOP atau kelalaian dari tindakan
2. Malpraktek dibagi menjadi dua yaitu secara sengaja dan tidak sengaja. Dan yang termasuk
kelalaian pelayanan yaitu : adverse event,latent error,error event,active error.
3. BAB XX pasal 190 ayat 1 dan 2, Bab IX UU 44 pasal 46 : Rumah Sakit bertanggung
jawab atas tindakan kelalaian tenaga medis.
4. Tidak berhak menentukan sanksi tetapi hanya menuntut ganti rugi
5. Kelalaian dokter/malpraktik
MKDKI
ETIK
MKEK
DISIPLIN
HUKUM
MKDKI
PIDANA
6. BAB XX pasal 190 ayat 1 dan 2, Bab IX UU 44 pasal 46 : Rumah Sakit bertanggung
jawab atas tindakan kelalaian tenaga medis.
7. Malpraktik menyebabkan kematian diumpamakan seperti membunuh 1 kaum
8. SOP,Rekam medis,Informed consent,CCTV
HIPOTESIS
Pasien dengan diagnosis Uveitis Tuberkulosis ditangani oleh seorang dokter namun
tidak kunjung sembuh dan kemudian menjadi buta lalu dokter dituntut dengan dugaan
malpraktik. Malpraktik dalam kedokteran dan hukum dibagi menjadi dua yaitu secara
sengaja dan tidak sengaja. Dan yang termasuk kelalaian pelayanan yaitu adverse
event,latent error,error event,active error. Malpraktik pun membutuhkan sanksi serta
pencegahan tindakan malpraktik atau kelalaian dokter dengan keharusan memperhatikan
SOP,Rekam medis,Informed consent,CCTV . Serta malpraktik pun dapat dilihat dari sudut
pandang islam.
Pasien dengan diagnosis uveitis tuberculosis
Ditangani dokter
Tidak kunjung sembuh
Buta
Pencegahan
Klasifikasi
SASARAN BELAJAR
1. Memahami dan Menjelaskan Malpraktik
1.1 Definisi Malpraktik
1.2 Klasifikasi Malpraktik
1.3 Undang undang yang terkait Malpraktik
1.4 Alur hukum
1.5 Sanksi Malpraktik
1.6 Pencegahan Malpraktik
1.7 Kelalaian
2. Memahami dan Menjelaskan Informed Consent dan Rekam Medis
3. Memahami dan Menjelaskan Malpraktik dalam Pandangan Islam
MEDICAL
MALPRACTICE
ETHICAL
MALPRACTI
CE
PROFESI
LAIN
YURIDICAL
MALPRACTI
CE
CRIMINAL
MALPRACTICE
CIVIL
MALPRACTICE
ADMINISTRATIVE
MALPRACTICE
a. Criminal Malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice
manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana, yakni:
Perbuatan tersebut (positive/negative act) merupakan perbuatan tercela
Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan
(intensional), kecerobohan (recklessness) atau kealpaan (negligence)
o Intensional: melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia
jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263
KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis (pasal 299 KUHP)
o Recklessness: melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed
consent
o Negligence: kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya
pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah
bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang
lain atau kepada rumah sakit / sarana kesehatan
b. Civil Malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila
tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana
yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat
dikategorikan civil malpractice antara lain:
Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melakukannya
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi
dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability.
Dengan prinsip ini maka RS / sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas
kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) tersebut dalam rangka
melaksanakan tugas kewajibannya.
c. Administrative Malpractice
Tenaga perawatan dikatakan telah melakukan administrative malpractice
manakala tenaga tenaga perawatan tersebut telah melanggar hukum administrasi.
Perlu diketahui bahwa melakukan police power, pemerintah mempunyai
kewenangan menertibkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya
tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat
Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga
perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang
bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
1.3 Undang-Undang terkait Malpraktik
Peraturan Non Hukum
Diatur oleh Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). KODEKI semula
merupakan peraturan non hukum karena peraturan ini telah menjadi petunjuk perilaku atau
etika seorang dokter dalam menjalankan profesinya. Dalam KODEKI diatur tentang
kewajiban dokter terhadap pasien yang dicantumkan di dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal
14, yaitu:
-
Peraturan Hukum
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pasal-pasal didalam KUHP yang terkait dengan malpraktik medik, yaitu:
a. Pasal 263 dan 267 KUHP (Membuat Surat Keterangan Palsu)
b. Pasal 290 KUHP (Melakukan Pelanggaran Kesopanan)
c. Pasal 299 KUHP (Mengobati seorang wanita dengan memberitahukan atau
menimbulkan harapan bahwa kandungannya dapat digugurkan)
d. Pasal 322 KUHP (Membuka Rahasia)
e. Pasal 304 KUHP (Pembiaran / Penelantaran)
f. Pasal 306 KUHP (Apabila tindakan penelantaran tersebut mengakibatkan
kematian)
g. Pasal 322 KUHP (Membocorkan rahasia profesi)
h. Pasal 333 KUHP (Dengan sengaja dan tanpa hak telah merampas kemerdekaan
seseorang)
i. Pasal 344 KUHP (Euthanasia)
j. Pasal 347 KUHP (Sengaja melakukan abortus tanpa persetujuan wanita yang
bersangkutan)
k. Pasal 348 KUHP (Sengaja melakukan abortus dengan persetujuan)
l. Pasal 349 KUHP (Membantu atau melakukan tindakan abortus provocatus
criminalis)
m. Pasal 359 KUHP (Kelalaian yang menyebabkan kematian)
n. Pasal 360 KUHP (Kelalaian yang menyebabkan luka / cacat)
o. Pasal 386 KUHP (Memberi atau menjual obat palsu)
p. Pasal 531 KUHP (Tidak memberi pertolongan pada orang yang berada dalam
keadaan bahaya)
Pemberlakukan hukum pidana dalam kasus-kasus kelalaian medis yang terjadi di
dalam penyelenggaraan praktek kedokteran haruslah sebagai ultimatum remidium artinya
hukum pidana sebagai alternatif terakhir apabila upaya-upaya non litigasi sudah tidak bisa
lagi berhasil untuk mengatasi permasalahan yang timbul. Selain iitu juga karena praktek
kedokteran merupakan profesi yang sangat mulia dan luhur yang diperlukan oleh banyak
orang dan praktek kedokteran dijamin pelaksanaannya oleh undang-undang.
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pasal-pasal didalam KUHPerdata yang terkait dengan malpraktek medik, yaitu:
a. Pasal 1239 KUH Perdata (Melakukan wanprestasi atau cidera janji)
b. Pasal 1365 KUH Perdata(Melakukan perbuatan melawan hukum)
c. Pasal 1366 KUH Perdata (Melakukan kelalaian sehingga menimbulkan
kerugian)
d. Pasal 1367 KUH Perdata (Bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan
oleh bawahannya)
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
a. Pasal 54 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Kesalahan atau
kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan)
b. Pasal 80 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja melakukan
tindakan medis tidak sesuai dengan Standart Operational Procedure pada ibu
hamil)
10
11
1.5 Sanksi
Seorang dokter atau dokter gigi yang menyimpang dari standar profesi dan
melakukan kesalahan profesi belum tentu melakukan malpraktik medis yang dapat dipidana,
malpraktik medis yang dipidana membutuhkan pembuktian adanya unsur culpa lata atau
kalalaian berat dan pula berakibat fatal atau serius (Ameln, Fred, 1991). Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 359 KUHP, pasal 360, pasal 361 KUHP yang dibutuhkan pembuktian culpa
lata dari dokter atau dokter gigi.
Dengan demikian untuk pembuktian malpraktik secara hukum pidana meliputi unsur :
1) Telah menyimpang dari standar profesi kedokteran;
2) Memenuhi unsur culpa lata atau kelalaian berat; dan
3) Tindakan menimbulkan akibat serius, fatal dan melanggar pasal 359, pasal 360,
KUHP.
Adapun unsur-unsur dari pasal 359 dan pasal 360 sebagai berikut :
1) Adanya unsur kelalaian (culpa).
2) Adanya wujud perbuatan tertentu .
3) Adanya akibat luka berat atau matinya orang lain.
12
4) Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain
itu.
Tiga tingkatan culpa:
a. Culpa lata : sangat tidak berhati-hati (culpa lata), kesalahan serius, sembrono (gross
fault or neglect)
b. Culpa levis : kesalahan biasa (ordinary fault or neglect)
c. Culpa levissima : kesalahan ringan (slight fault or neglect) (Black 1979 hal. 241)
Dalam pembuktian perkara perdata, pihak yang mendalilkan sesuatu harus mengajukan
bukti-buktinya. Dalam hal ini dapat dipanggil saksi ahli untuk diminta pendapatnya. Jika
kesalahan yang dilakukan sudah demikian jelasnya (res ipsa loquitur, the thing speaks for
itself) sehingga tidak diperlukan saksi ahli lagi, maka beban pembuktian dapat dibebankan
pada dokternya.
1. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
2. Pasal 359 360 KUHP Pidana
Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena kesalahan (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Pasal 360 KUHP
(1) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka bert,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun
(2) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa
sehingga timbul penyakit atau halangan menjadikan pekerjaan jabatan atau pencarian selama
waktu tertemtu, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda
paling tinggi tiga ratus juta rupiah.
3. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
1.6 Pencegahan Malpraktek
Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena
adanya malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati,
yakni:
Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena
perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan
berhasil (resultaat verbintenis).
Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala
kebutuhannya.
13
14
Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus merupakan
bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila
seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak
dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain
yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat
bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan
perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya
(berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau
cedera bagi orang lain.
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma etika dan
norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah
seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari
sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut
yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan
berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat
domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang
mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang
dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan
sendirinya juga berbeda.
Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan
tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord
Chief Justice, 1893).
Untuk malpraktik hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai
bidang hukum yang dilanggar, yaitu :
a. Criminal Malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala
perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan
(intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan
euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat
surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal
299 KUHP). Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya
melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati
mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut
pasien saat melakukan operasi. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal
malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan
kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
b. Civil Malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak
melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah
disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil
malpractice antara lain:
Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
15
16
17
Dokter Indonesia dengan SKB No. 319/88 yang dikuatkan oleh Menteri Kesehatan dengan
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 595/89 tentang Persetujuan Tindakan Medik.
Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual Liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari
hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban
yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena
health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung
jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius Liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas
kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya
(sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien
yang diakibatkan kelalaian perawat sebagai karyawannya.
3. Liability In Tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas haya perbuatan
yang
melawan
hukum,
kewajiban
hukum
baik
terhadap
diri
sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan
dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam
pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari
1919).
2. Memahami dan Menjelaskan Rekam Medis dan Informed Consent
Definisi Rekam Medis
Definisi Rekam Medis dalam berbagai kepustakaan dituliskan dalam berbagai pengertian,
seperti dibawab ini:
Menurut Edna K Huffman: Rekam Medis adalab berkas yang menyatakan siapa, apa,
mengapa, dimana, kapan dan bagaimana pelayanan yang diperoleb seorang pasien
selama dirawat atau menjalani pengobatan.
Menurut Permenkes No. 749a/Menkes!Per/XII/1989:
- Rekam Medis adalah berkas yang beiisi catatan dan dokumen mengenai identitas
pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lainnya yang
diterima pasien pada sarana kesebatan, baik rawat jalan maupun rawat inap.
Menurut Permenkes No: 269/Menkes/Per/III/2008
- Rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen antara lain identitas
pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan yang telah diberikan, serta tindakan dan
pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Menurut Gemala Hatta
- Rekam Medis merupakan kumpulan fakta tentang kehidupan seseorang dan riwayat
penyakitnya, termasuk keadaan sakit, pengobatan saat ini dan saat lampau yang ditulis
oleb para praktisi kesehatan dalam upaya mereka memberikan pelayanan kesehatan
kepada pasien.
Waters dan Murphy : Kompendium (ikhtisar) yang berisi informasi tentang keadaan
pasien selama perawatan atau selama pemeliharaan kesehatan.
18
IDI :Sebagai rekaman dalam bentuk tulisan atau gambaran aktivitas pelayanan yang
diberikan oleh pemberi pelayanan medik/kesehatan kepada seorang pasien.
Isi Rekam Medis
Isi Rekam Medis merupakan catatan keadaan tubuh dan kesehatan, termasuk data
tentang identitas dan data medis seorang pasien. Secara umum isi Rekam Medis dapat dibagi
dalam dua kelompok data yaitu:
a)
Data medis atau data klinis adalah segala data tentang riwayat penyakit, hasil
pemeriksaan fisik, diagnosis, pengobatan serta basilnya, laporan dokter, perawat, hasil
pemeriksaan laboratorium, ronsen dsb. Data-data ini merupakan data yang bersifat
rabasia (confidential) sebingga tidak dapat dibuka kepada pibak ketiga tanpa izin dari
pasien yang bersangkutan kecuali jika ada alasan lain berdasarkan peraturan atau
perundang-undangan yang memaksa dibukanya informasi tersebut.
b)
Data sosiologis atau data non-medis adalah segala data lain yang tidak berkaitan
langsung dengan data medis, seperti data identitas, data sosial ekonomi, alamat dan
sebagainya. Data ini oleh sebagian orang dianggap bukan rahasia, tetapi menurut
sebagian lainnya merupakan data yang juga bersifat rahasia (confidensial).
Isi Rekam Medis juga dapat berubah :
Catatan, merupakan uraian tentang identitas pasien, pemeriksaanpasien, diagnosis,
pengobatan, tindakan dan pelayanan lainbaikdilakukan oleh dokter dan dokter gigi
maupun tenaga kesehatan lainnyasesuai dengan kompetensinya.
Dokumen, merupakan kelengkapan dari catatan tersebut, antara lainfoto rontgen, hasil
laboratorium dan keterangan lain sesuai dengankompetensi keilmuannya
Menurut PERMENKES No: 269/MENKES/PER/III/2008 data-data yang harus
dimasukkan dalam Medical Record dibedakan untuk pasien yang diperiksa di unit rawat jalan
dan rawat inap dan gawat darurat. Setiap pelayanan baik di rawat jalan, rawat inap dan gawat
darurat dapat membuat rekam medis dengan data-data sebagai berikut:
1. Pasien Rawat Jalan
Data pasien rawat jalan yang dimasukkan dalam medical record sekurang-kurangnya
antara lain:
a. Identitas Pasien
b. Tanggal dan waktu.
c. Anamnesis (sekurang-kurangnya keluhan, riwayat penyakit).
d. Hasil Pemeriksaan fisik dan penunjang medis.
e. Diagnosis
f. Rencana penatalaksanaan
g. Pengobatan dan atau tindakan
h. Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
i. Untuk kasus gigi dan dilengkapi dengan odontogram klinik dan
j. Persetujuan tindakan bila perlu.
2. Pasien Rawat Inap
Data pasien rawat inap yang dimasukkan dalam medical record sekurang-kurangnya
antara lain:
a. Identitas Pasien
b. Tanggal dan waktu.
c. Anamnesis (sekurang-kurangnya keluhan, riwayat penyakit.
d. Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang medis.
e. Diagnosis
19
f.
g.
h.
i.
j.
k.
Rencana penatalaksanaan
Pengobatan dan atau tindakan
Persetujuan tindakan bila perlu
Catatan obsservasi klinis dan hasil pengobatan
Ringkasan pulang (discharge summary)
Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu
yang memberikan pelayanan ksehatan.
l. Pelayanan lain yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan tertentu.
m. Untuk kasus gigi dan dilengkapi dengan odontogram klinik
3. Ruang Gawat Darurat
Data pasien rawat inap yang harus dimasukkan dalam medical record sekurang-kurangnya
antara lain:
a. Identitas Pasien
b. Kondisi saat pasien tiba di sarana pelayanan kesehatan
c. Identitas pengantar pasien
d. Tanggal dan waktu.
e. Hasil Anamnesis (sekurang-kurangnya keluhan, riwayat penyakit.
f. Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang medis.
g. Diagnosis
h. Pengobatan dan/atau tindakan
i. Ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan pelayanan unit gawat
darurat dan rencana tindak lanjut.
j. Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu
yang memberikan pelayanan kesehatan.
k. Sarana transportasi yang digunakan bagi pasien yang akan dipindahkan ke
sarana pelayanan kesehatan lain dan
l. Pelayanan lain yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan tertentu.
Kegunaan Rekam Medis
Permenkes no. 749a tahun 1989 menyebutkan bahwa Rekam Medis mempunyai
manfaat yaitu:
a. Pengobatan Pasien
Rekam medis bermanfaat sebagai dasar dan petunjuk untuk
merencanakandan menganalisis penyakit serta merencanakan pengobatan,
perawatandan tindakanmedis yang harus diberikan kepada pasien.
b. Peningkatan Kualitas Pelayanan
Membuat Rekam Medis bagi penyelenggaraan praktik kedokteran
denganjelas dan lengkap akan meningkatkan kualitas pelayanan untuk
melindungitenaga medis dan untuk pencapaian kesehatan masyarakat yang
optimal.
c. Pendidikan dan Penelitian
Rekam medis yang merupakan informasi perkembangan kronologispenyakit,
pelayanan medis, pengobatan dan tindakan medis, bermanfaatuntuk bahan
informasi bagi perkembangan pengajaran dan penelitian dibidang profesi
kedokteran dan kedokteran gigi.
d. Pembiayaan
Berkas rekam medis dapat dijadikan petunjuk dan bahan untuk
menetapkanpembiayaan dalam pelayanan kesehatan pada sarana kesehatan.
Catatantersebut dapat dipakai sebagai bukti pembiayaan kepada pasien.
20
e. Statistik Kesehatan
Rekam medis dapat digunakan sebagai bahan statistik kesehatan,khususnya
untuk mempelajari perkembangan kesehatan masyarakat danuntuk menentukan
jumlah penderita pada penyakit-penyakit tertentu
f. Pembuktian Masalah Hukum, Disiplin dan Etik
Rekam medis merupakan alat bukti tertulis utama, sehingga bermanfaat
dalam penyelesaian masalah hukum, disiplin dan etik..
Aspek Hukum, Disiplin, Etik dan Kerahasiaan Rekam Medis
a. Rekam Medis Sebagai Alat Bukti
Rekam medis dapat digunakan sebagai salah satu alat bukti tertulis di
pengadilan.
b. Kerahasiaan Rekam Medis
Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
wajibmenyimpan kerahasiaan yang menyangkut riwayat penyakit pasien
yangtertuang dalam rekam medis. Rahasia kedokteran tersebut dapat
dibukahanya untuk kepentingan pasien untuk memenuhi permintaan
aparatpenegak hukum (hakim majelis), permintaan pasien sendiri
atauberdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, rahasiakedokteran (isi rekam
medis) baru dapat dibukabila diminta oleh hakimmajelis di hadapan sidang
majelis. Dokter dan dokter gigi bertanggungjawab atas kerahasiaan rekam medis
sedangkan kepalasarana pelayanankesehatan bertanggung jawab menyimpan
rekam medis.
c. Sanksi Hukum
Dalam Pasal 79 UU Praktik Kedokteran secara tegas mengatur bahwasetiap
dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak membuat rekammedis dapat
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahunatau denda paling
banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Selain tanggung jawab pidana,
dokter dan dokter gigi yang tidak membuatrekam medisjuga dapat dikenakan
sanksi secara perdata, karena dokterdan dokter gigi tidak melakukan yang
seharusnya dilakukan (ingkarjanji/wanprestasi) dalam hubungan dokter dengan
pasien.
d. Sanksi Disiplin dan Etik
Dokter dan dokter gigi yang tidak membuat rekam medis selain
mendapatsanksi hukum juga dapat dikenakan sanksi disiplin dan etik sesuai
denganUU Praktik Kedokteran, Peraturan KKI, Kode Etik Kedokteran
Indonesia(KODEKI) dan Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia (KODEKGI).
Dalam
Peraturan
Konsil
Kedokteran
Indonesia
Nomor
16/KKI/PER/VIII/2006
tentang Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran Disiplin MKDKI
dan MKDKIP,ada tiga alternatif sanksi disiplin yaitu :
a. Pemberian peringatan tertulis.
b. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik.
c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi.
Selain sanksi disiplin, dokter dan dokter gigiyang tidak membuat
rekammedis dapat dikenakan sanksi etik oleh organisasi profesi yaitu
21
22
sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila
informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.
Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent
mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pada prinsipnya iformed consent deberikan di setiap pengobatan oleh dokter. Akan
tetapi, urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat terasa dalam kasus-kasus
sebagai berikut :
1. Dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi
2. Dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai
teknologi baru yang sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya.
3. Dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan banyak
efek samping, seperti terapi dengan sinar laser, dll.
4. Dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien
5. Dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter juga melakukan riset
dan eksperimen dengan berobjekan pasien.
1. Aspek Hukum Informed Consent
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan
pasien) bertindak sebagai subjek hukum yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban,
sedangkan jasa tindakan medis sebagai objek hukum yakni sesuatu yang bernilai dan
bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu
perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun
oleh dua pihak. Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan
medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga
tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana
maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan. Pada pelaksanaan tindakan
medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah kesalahan kecil
(culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan
pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini
disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium barang siapa merugikan
orang lain harus memberikan ganti rugi. Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur
yang dipergunakan adalah kesalahan berat (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan
kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk
menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa
tindakan medis(dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis
(pasien), sedangkanpasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan,
maka dokter sebagaipelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah
melakukan suatu perbuatanmelawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365
23
Kitab Undang-undang HukumPerdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas
tubuhnya, sehingga dokter danharus menghormatinya.
Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya
pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu
tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan
pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa
tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah
melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP. Sebagai salah satu pelaksana jasa
tindakan medis dokter harus menyadari bahwa informed consent benar-benar dapat
menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar
saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat
dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya
relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau
belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar
teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam
lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.
2. Elemen-Elemen Informed Consent
Suatu informed consent harus meliputi :
1. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terapi dan penyakitnya
2. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa besar
kemungkinan keberhasilannya
3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat apabila
penyakit tidak diobati
4. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau menolak terapi.
Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang mungkin terjadi dalam
penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi yang dilakukan.
3. Hal-Hal Yang Di Informasikan
Hasil Pemeriksaan
Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan.
Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah
diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.
Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya
antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi
idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang
diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut
juga harus diberitahu pada pasien. Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan
pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia
harus memberitahukannya pada pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada
kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter lain yang
dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.
Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan
terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang
ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi
hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan
24
Jika tidak ada wali yang ditunjuk pengadilan, pihak ketiga dapat diberi kuasa untuk
bertindak atas nama pokok-pokok kekuasaan tertulis dari pengacara. Jika tidak ada wali bagi
pasien inkompeten yang sebelumnya telah ditunjuk oleh pengadilan, keputusan dokter untuk
memperoleh informed consent diagnosis dan tatalaksana kasus bukan kegawatdaruratan dari
keluarga atau dari pihak yang ditunjuk pengadilan tergantung kebijakan rumah sakit. Pada
keadaan dimana terdapat perbedaan pendapat diantara anggota keluarga terhadap perawatan
pasien atau keluarga yang tidak dekat secara emosional atau bertempat tinggal jauh, maka
dianjurkan menggunakan laporan legal dan formal untuk menentukan siapa yang dapat
memberikan perijinan bagi pasien inkompeten.
4.2 Pengecualian Terhadap Materi Pemberitahuan
Terdapat empat pengecualian yang dikenal secara umum terhadap tugas dokter untuk
membuat pemberitahuan meskipun keempatnya tidak selalu ada.
Pertama, seorang dokter dapat saja dalam pandangan profesionalnya menyimpulkan
bahwa pemberitahuan memiliki ancaman kerugian terhadap pasien yang memang
dikontradiinkasikan dari sudut pandang medis. Hal ini dikenal sebagai keistimewaan
terapetik atau kebijaksanaan profesional. Dokter dapat memilih untuk menggunakan
kebijaksanaan profesional terapetik untuk menjaga fakta medis pasien atau walinya ketika
dokter meyakini bahwa pemberitahuan akan membahayakan atau merugikan pasien.
Tergantung situasinya, dokter boleh namun tidak perlu membuka informasi ini kepada
keluarga dekat yang diketahui.
Kedua, pasien yang kompeten dapat meminta untuk tidak diberitahu. Pasien dapat
melepaskan haknya untuk membuat informed consent.
Ketiga, dokter berhak untuk tidak menyarankan pasien mengenai masalah yang
diketahui umum atau jika pasien memiliki pengetahuan aktual, terutama berdasarkan
pengalaman di masa lampau.
Keempat, tidak ada keharusan untuk memberitahu pada kasus kegawatdaruratan
dimana pasien tidak sadar atau tidak mampu memberikan persetujuan sah dan bahaya gagal
pengobatan sangat nyata.
26
Ttd
()
*Coret yang tidak perlu
ttd
(..)
27
terkenal
di
zamannya,
Ibnu
Qayyim
Al-
Maka wajib mengganti rugi [bertanggung jawab] bagi dokter yang bodoh jika melakukan
praktek kedokteran dan tidak mengetahui/mempelajari ilmu kedokteran sebelumnya
[Thibbun Nabawi hal. 88, Al-Maktab Ats-Tsaqafi, Koiro]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sadi rahimahullahu berkata,
.
Tidak boleh bagi seseorang melakukan suatu praktek pekerjaan dimana ia tidak mumpuni
dalam hal tersebut. Demikian juga dengan praktek kedokteran dan lainnya. Barangsiapa
lancang melanggar maka ia berdosa. Dan apa yang ditimbulkan dari perbuatannya berupa
hilangnya nyawa dan kerusakan anggota tubuh atau sejenisnya, maka ia harus bertanggung
jawab. [Bahjah Qulubil Abrar hal. 155, Dar Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, cet-ke-1, 1423 H]
Al-khathabi rahimahullahu berkata
Saya tidak mengetahui adanya perselisihan dalam pengobatan apabila seseorang
melakukan kesalahan, sehingga menimbulkan mudharat pada pasien, maka ia harus
menanggung ganti rugi. Orang yang melakukan praktek [kedokteran] yang tidak mengetahui
ilmu dan terapannya, maka ia adalah orang yang melampui batas. Apabila terjadi kerusakan
akibat perbuatannya, maka ia harus bertanggung jawab dengan mennganti diyat.[ [Thibbun
Nabawi hal. 88, Al-Maktab Ats-Tsaqafi, Koiro]
28
Kemudian terjadi efek yang kurang baik bagi pasien, maka ia tidak harus bertanggung
jawab dengan mengganti.
Kami [penulis] beri contoh kasus disaat ini, misalnya pasien mendapat obat dari dokter,
kemudian dokter sudah bertanya apakah ia mempunyai alergi dengan obat tertentu, maka
pasien menjawab tidak tahu, kemudia dokter menjelaskan bisa jadi terjadi alergi. Kemudian
pasien memilih menggunakan obat tersebut. Kemudian terjadi alergi berupa gatal-gatal pada
pasien tersebut. Maka dokter tidak wajib mengganti kerugian. Alasannya lainnya juga karena
kita tidak tahu apakah ia alergi obat apa tidak, karena ketahuan hanya jika sudah dicoba
mengkonsumsi.
2. Dokter yang bodoh dan melakukan praktek kedokteran
Kemudian terjadi bahaya bagi pasien, maka dokter wajib bertanggung jawab atau
ganti rugi berupa diyat.
Kami [penulis] beri contoh kasus disaat ini, misalnya mahasiswa kedokteran yang
masih belajar [co-aas] melakukan praktek kemudian terjadi kesalahan yang merugikan pasien
maka ia wajib bertaggung jawab.
3. dokter yang mahir, mendapatkan izin, kemudian melakukan kecerobohan.
Maka ia wajib bertanggung jawab, akan tetapi ada perselisihan dalam penggantian
diyat, bisa jadi dari harta dokter ataupun dari baitul mal [kas negara].
Kami [penulis] beri contoh kasus disaat ini, misalnya dokter bedah ketika membedah,
pisau bedah tertinggal diperut pasien, kemudian perut pasien rusak, maka dokter bedah wajib
bertanggung jawab.
4. dokter yang mahir, berijtihad memberikan suatu resep obat, kemudian ia salah dalam
ijtihadnya
Maka ia wajib bertanggung jawab dan ada dua pendapat tentang harta pengganti, bisa
dari baitul mal [kas negara] atau harta keluarganya.
5. dokter yang mahir, melakukan pengobatan kepada anak kecil atau orang gila tanpa izinya
tetapi mendapat izin walinya
Kemudian terjadi kerusakan/bahaya bagi pasien maka ganti rugi dirinci, jika ia
melakukan kecorobohan, maka ia wajib mengganti jika tidak maka tidak perlu mengganti.
Ganti ruginya apa?
Ini juga sudah diatur dalam Islam, kita bisa membaca panjang lebar penjelasan ulama
dalam pembahasan fiqh kitab Jinayaat yaitu tentang kejahatan dan ganti rugi.
Kita ambil contoh, misalnya dokter bedah ketika membedah, pisau bedah tertinggal
diperut pasien, kemudian perut pasien meninggal. maka dokter bedah harus bertanggung
jawab, tetapi ia tidak diqishas dengan dibunuh juga, tetapi harus bertanggung jawab
membayar diyatnya baik dari hartanya atau kas negara.
30
Dalam penbahasan Jinayaat juga dirinci berapa diyat jika merusak wajah, hidung, mata, kaki
dan lain-liannya dengan rinci. Silahkan merujuk pada kitab fiqh, maka kita akan
mendapatkan penjelasan yang rinci. Karena ini menunjukkan kesempurnaan ajaran Islam
Malpraktek berasal dari kata malpractice dalam bahasa Inggris . Secara harfiah,
mal berarti salah, dan practice berarti pelaksanaan atau tindakan, sehingga
malpraktek berarti pelaksanaan atau tindakan yang salah.Jadi, malpraktek adalah tindakan
yang salah dalam pelaksanaan suatu profesi. Istilah ini bisa dipakai dalam berbagai bidang,
namun lebih sering dipakai dalam dunia kedokteran dan kesehatan. Artikel ini juga hanya
akan menyoroti malpraktek di seputar dunia kedokteran saja.
Perlu diketahui bahwa kesalahan dokter atau profesional lain di dunia kedokteran dan
kesehatan- kadang berhubungan dengan etika/akhlak. Misalnya, mengatakan bahwa pasien
harus dioperasi, padahal tidak demikian. Atau memanipulasi data foto rontgen agar bisa
mengambil keuntungan dari operasi yang dilakukan. Jika kesalahan ini terbukti dan
membahayakan pasien, dokter harus mempertanggungjawabkannya secara etika.
Hukumannya bisa berupa tazr [2], ganti rugi, diyat, hingga qishash .
Malpraktek juga kadang berhubungan dengan disiplin ilmu kedokteran. Jenis kesalahan ini
yang akan mendapat porsi lebih dalam tulisan ini.
Bentuk-Bentuk Malpraktek
Malpraktek yang menjadi penyebab dokter bertanggung-jawab secara profesi bisa
digolongkan sebagai berikut:
1. Tidak Punya Keahlian (Jahil)
Yang dimaksudkan di sini adalah melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa memiliki
keahlian, baik tidak memiliki keahlian sama sekali dalam bidang kedokteran, atau memiliki
sebagian keahlian tapi bertindak di luar keahliannya. Orang yang tidak memiliki keahlian di
bidang kedokteran kemudian nekat membuka praktek, telah disinggung oleh Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
Barang siapa yang praktek menjadi dokter dan sebelumnya tidak diketahui memiliki
keahlian, maka ia bertanggung-jawab .
Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan dan nyawa banyak orang,
sehingga para Ulama sepakat bahwa mutathabbib (pelakunya) harus bertanggung-jawab, jika
timbul masalah dan harus dihukum agar jera dan menjadi pelajaran bagi orang lain.
2. Menyalahi Prinsip-Prinsip Ilmiah (Mukhlafatul Ushl Al-Ilmiyyah)
Yang dimaksud dengan pinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang telah
baku dan biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan harus dikuasai
oleh dokter saat menjalani profesi kedokteran .
31
Para ulama telah menjelaskan kewajiban para dokter untuk mengikuti prinsip-prinsip
ini dan tidak boleh menyalahinya. Imam Syfii rahimahullah misalnya- mengatakan: Jika
menyuruh seseorang untuk membekam, mengkhitan anak, atau mengobati hewan piaraan,
kemudian semua meninggal karena praktek itu, jika orang tersebut telah melakukan apa yang
seharusnya dan biasa dilakukan untuk maslahat pasien menurut para pakar dalam profesi
tersebut, maka ia tidak bertanggung-jawab. Sebaliknya, jika ia tahu dan menyalahinya, maka
ia bertanggung-jawab. Bahkan hal ini adalah kesepakatan seluruh Ulama, sebagaimana
disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah.
Hanya saja, hakim harus lebih jeli dalam menentukan apakah benar-benar terjadi
pelanggaran prinsip-prinsip ilmiah dalam kasus yang diangkat, karena ini termasuk
permasalahan yang pelik.
3. Ketidaksengajaan (Khatha)
Ketidaksengajaan adalah suatu kejadian (tindakan) yang orang tidak memiliki maksud
di dalamnya. Misalnya, tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien
yang terluka. Bentuk malpraktek ini tidak membuat pelakunya berdosa, tapi ia harus
bertanggungjawab terhadap akibat yang ditimbulkan sesuai dengan yang telah digariskan
Islam dalam bab jinayat, karena ini termasuk jinayat khatha (tidak sengaja).
4. Sengaja Menimbulkan Bahaya (Itid)
Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja. Ini adalah bentuk
malpraktek yang paling buruk. Tentu saja sulit diterima bila ada dokter atau paramedis yang
melakukan hal ini, sementara mereka telah menghabiskan umur mereka untuk mengabdi
dengan profesi ini. Kasus seperti ini terhitung jarang dan sulit dibuktikan karena berhubungan
dengan isi hati orang. Biasanya pembuktiannya dilakukan dengan pengakuan pelaku,
meskipun mungkin juga faktor kesengajaan ini dapat diketahui melalui indikasi-indikasi kuat
yang menyertai terjadinya malpraktek yang sangat jelas. Misalnya, adanya perselisihan antara
pelaku malpraktek dengan pasien atau keluarganya.
Pembuktian Malpraktek
Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan. Demikian pula, tuduhan
malparaktek harus diiringi dengan bukti, dan jika terbukti harus ada pertanggungjawaban dari
pelakunya. Ini adalah salah satu wujud keadilan dan kemuliaan ajaran Islam. Jika tuduhan
langsung diterima tanpa bukti, dokter dan paramedis terzhalimi, dan itu bisa membuat mereka
meninggalkan profesi mereka, sehingga akhirnya membahayakan kehidupan umat manusia.
Sebaliknya, jika tidak ada pertanggungjawaban atas tindakan malpraktek yang terbukti,
pasien terzalimi, dan para dokter bisa jadi berbuat seenak mereka.
Dalam dugaan malpraktek, seorang hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui oleh
syariat sebagai berikut:
1. Pengakuan Pelaku Malpraktek (Iqrr).
32
Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri,
dan ia lebih mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri, biasanya
pengakuan ini menunjukkan kejujuran.
2. Kesaksian (Syahdah).
Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan tazr, dibutuhkan kesaksian dua pria
yang adil. Jika kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi,
dibolehkan kesaksian satu pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang
tidak bisa disaksikan selain oleh wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian empat
wanita tanpa pria. Di samping memperhatikan jumlah dan kelayakan saksi, hendaknya hakim
juga memperhatikan tidak memiliki tuhmah (kemungkinan mengalihkan tuduhan malpraktek
dari dirinya) [8].
3. Catatan Medis.
Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat
agar bisa menjadi referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang
sah.
Bentuk Tanggung Jawab Malpraktek
Jika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk tanggung jawab yang
dipikul pelakunya. Bentuk-bentuk tanggung-jawab tersebut adalah sebagai berikut:
1. Qishash
Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak malpraktek sengaja untuk
menimbulkan bahaya (itida), dengan membunuh pasien atau merusak anggota tubuhnya,
dan memanfaatkan profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang dilakukannya.
Ketika memberi contoh tindak kriminal yang mengakibatkan qishash, Khalil bin Ishaq alMaliki mengatakan: Misalnya dokter yang menambah (luas area bedah) dengan sengaja.
2. Dhamn (Tanggung Jawab Materiil Berupa Ganti Rugi Atau Diyat)
Bentuk tanggung-jawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada
kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
c. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan tidak
disengaja.
d. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin dari
pasien, wali pasien atau pemerintah, kecuali dalam keadaan darurat.
33
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Panduan HAM bagi Pasien dan Dokter untuk Mencegah Malpraktek, Diakses dari:
http://www.balitbangham.go.id/index/images/judul_pdf/sipol/pengembangan/2008/malpra
ktek.pdf
2. Etika Kedokteran, Diakses dari: http://www.scribd.com/doc/96601676/etika-kedokteran
3. Malpraktek Dalam Kajian Hukum Pidana,
Diakses dari: http://eprints.undip.ac.id/20768/1/2380-ki-fh-98.pdf
4. Malpraktek Medik, Diakses dari:
http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/matkul/Forensik/MALPRAKTEK%20MEDIK.pdf
5. Malpraktek Menurut Syariat Islam, Diakses dari:
http://almanhaj.or.id/content/2836/slash/0/malpraktek-menurut-syariat-islam/
6. Rekam Medis, Diakses dari: http://medicalrecord.webs.com/kegunaanrekammedis.htm
7. Tanggung Jawab Dokter Dalam Malpraktek Kedokteran Menurut Hukum Perdata,Diakses
dari : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/4766/1/05004307.pdf
8. Tinjauan Yuridis malpraktek dalam system hukum Indonesia,
Diakses dari : http://eprints.uns.ac.id/2230/1/207721811201102511.pdf
35