Anda di halaman 1dari 35

SKENARIO 1

MATA DIOBATI MENJADI BUTA


Tidak terima matanya menjadi buta, Haslinda bersama tim kuasa hukum dari
Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan mendatangi ke Polda Metro Jaya untuk melaporkan
dugaan malpraktek dokter, Waldensius Girsang di Rumah Sakit Jakarta Eyes Center.
Haslinda menuturkan, pada 6 Maret lalu, Kemerahan pada mata, kabur penglihatan,
kepekaan terhadap cahaya (ketakutan dipotret), gelap, mata sakit sudah disampaikan ke okter
Fikri Umar Purba yang kemudian didiagnosis sebagai penyakit uveitis tuberkulosa. Namun
beberapa hari kemudian setelah ditangani oleh dokter Purba, mata Haslinda tidak kembali
berfungsi normal atau menjadi buta.
Sementara itu, Dokter Purba yang ditemui di Rumah Sakit Jakarta Eyes Center
membantah telah melakukan malpraktek terhadap Haslinda.
Sebelum mengadukan ke pihak yang berwaib,Haslinda berkonsultasi pada seorang
ustadz tentang hokum malpraktik menurut islam.
Dalam pengaduannya ke ruang pengaduan Polda Metro Jaya,Haslinda warga Kayu
Mas,Pulogadung, Jakarta Timur ini tidak menyebutkan tuntutan materil dan inmateril kepada
dokter Purba dan Rumah Sakit Jakarta Eyes Center sebagai pihak yang diduga melakukan
malpraktek.
Pengacara pasien juga menuliskan dasar gugatannya berdasarkan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kesehatan
UU No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Kode Etik Kedokteran
UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

KATA SULIT
Mal Praktik

: Kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat


keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim di
pergunakan dalam mengobati pasien.

Tuntutan Materil dan Imateril : Materil berupa uang, imateril berupa sanksi kurungan
Hukum Pidana

: Keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan


perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak
pidana serta menentukan hukuman apa yang dapat
dijatuhkan terhadap yang melakukannya

Hukum Perdata

: Ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara


individu-individu dalam masyarakat dan sanksi berupa
materil

Uveitis Tuberkulosis

: Peradangan pada lensa yang disebabkan komplikasi


tuberculosis

LBHK

: Lembaga bantuan hokum di bidang kesehatan untuk


melindungi pasien yang menjadi korban malpraktik di
Indonesia dan di bawah naungan departemen hokum
Negara dan HAM.

PERTANYAAN:
1. Apa saja batasan dari tindakan dokter yang di sebut sebagai malpraktik?
2. Jenis-jenis malpraktik?
3. UU yang mendukung/ membela dari sisi dokter?
4. Apakah pasien berhak untuk menentukan sanksi terhadap malpraktek dokter?
5. Bagaimana alur hokum tindakan kelalaian dokter?
6. Bagaimana peran RS dalam kasus seperti ini?
7. Bagaimana Hukum malpraktik menurut islam?
8. Bagaimana pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terjadi tindakan kelalaian dokter?
JAWABAN:
1. Yang dianggap merugikan pasien atau diluar SOP atau kelalaian dari tindakan
2. Malpraktek dibagi menjadi dua yaitu secara sengaja dan tidak sengaja. Dan yang termasuk
kelalaian pelayanan yaitu : adverse event,latent error,error event,active error.
3. BAB XX pasal 190 ayat 1 dan 2, Bab IX UU 44 pasal 46 : Rumah Sakit bertanggung
jawab atas tindakan kelalaian tenaga medis.
4. Tidak berhak menentukan sanksi tetapi hanya menuntut ganti rugi

5. Kelalaian dokter/malpraktik

MKDKI

ETIK

MKEK

DISIPLIN

HUKUM

MKDKI

PIDANA

6. BAB XX pasal 190 ayat 1 dan 2, Bab IX UU 44 pasal 46 : Rumah Sakit bertanggung
jawab atas tindakan kelalaian tenaga medis.
7. Malpraktik menyebabkan kematian diumpamakan seperti membunuh 1 kaum
8. SOP,Rekam medis,Informed consent,CCTV

HIPOTESIS
Pasien dengan diagnosis Uveitis Tuberkulosis ditangani oleh seorang dokter namun
tidak kunjung sembuh dan kemudian menjadi buta lalu dokter dituntut dengan dugaan
malpraktik. Malpraktik dalam kedokteran dan hukum dibagi menjadi dua yaitu secara
sengaja dan tidak sengaja. Dan yang termasuk kelalaian pelayanan yaitu adverse
event,latent error,error event,active error. Malpraktik pun membutuhkan sanksi serta
pencegahan tindakan malpraktik atau kelalaian dokter dengan keharusan memperhatikan
SOP,Rekam medis,Informed consent,CCTV . Serta malpraktik pun dapat dilihat dari sudut
pandang islam.
Pasien dengan diagnosis uveitis tuberculosis
Ditangani dokter
Tidak kunjung sembuh

Buta

Dituntut dengan dugaan Malpraktik

Pencegahan

Klasifikasi

SOP,Rekam medis,Informed consent,CCTV


Malpraktik dalam
kedokteran dan hukum
dibagi menjadi dua yaitu
secara sengaja dan tidak
sengaja.Dan yang
termasuk kelalaian
pelayanan yaitu adverse
event,latent error,error
event,active error
Pembuktian oleh
Sanksi

Malpraktik dalam sudut


pandang islam

SASARAN BELAJAR
1. Memahami dan Menjelaskan Malpraktik
1.1 Definisi Malpraktik
1.2 Klasifikasi Malpraktik
1.3 Undang undang yang terkait Malpraktik
1.4 Alur hukum
1.5 Sanksi Malpraktik
1.6 Pencegahan Malpraktik
1.7 Kelalaian
2. Memahami dan Menjelaskan Informed Consent dan Rekam Medis
3. Memahami dan Menjelaskan Malpraktik dalam Pandangan Islam

1. Memahami dan Menjelaskan Malpraktek


1.1 Definisi Malpraktik
Secara harfiah mal mempunyai arti salah sedangkan praktik mempunyai arti
pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktik berarti pelaksanaan atau tindakan
yang salah. Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter
atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang
terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance
Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Pengertian malpraktik medik menurut WMA (World Medical Associations) adalah
Involves the physicians failure to conform to the standard of care for treatment of the
patients condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is
the direct cause of an injury to the patient (adanya kegagalan dokter untuk menerapkan
standar pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan
perawatan pasien, yang menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada
pasien).
Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik
dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu,
tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran / ketidakkompetenan yang tidak beralasan.
Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk
pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum
pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud,
"penahanan" pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia,
penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu, menggunakan iptekdok
yang belum teruji / diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya,
dll. Kesengajaan tersebut tidak harus berupa sengaja mengakibatkan hasil buruk bagi pasien,
namun yang penting lebih ke arah deliberate violation (berkaitan dengan motivasi)
ketimbang hanya berupa error (berkaitan dengan informasi).
1.2 Klasifikasi Malpraktik
Malpraktik Medik (medical malpractice)
John.D.Blum merumuskan: Medical malpractice is a form of professional negligence
in whice miserable injury occurs to a plaintiff patient as the direct result of an act or
omission by defendant practitioner. (malpraktik medik merupakan bentuk kelalaian
professional yang menyebabkan terjadinya luka berat pada pasien / penggugat sebagai akibat
langsung dari perbuatan ataupun pembiaran oleh dokter/terguguat).
Sedangkan rumusan yang berlaku di dunia kedokteran adalah Professional
misconduct or lack of ordinary skill in the performance of professional act, a practitioner is
liable for demage or injuries caused by malpractice. (Malpraktek adalah perbuatan yang
tidak benar dari suatu profesi atau kurangnya kemampuan dasar dalam melaksanakan
pekerjaan. Seorang dokter bertanggung jawab atas terjadinya kerugian atau luka yang
disebabkan karena malpraktik), sedangkan junus hanafiah merumuskan malpraktik medik
adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu
pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka
menurut lingkungan yang sama.
6

2. Malpraktik Etik (ethical malpractice)


Malpraktik etik adalah tindakan dokter yang bertentangan dengan etika kedokteran,
sebagaimana yang diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia yang merupakan seperangkat
standar etika, prinsip, aturan, norma yang berlaku untuk dokter.
3. Malpraktik Yuridis (juridical malpractice)
Malpraktik yuridik adalah pelanggaran ataupun kelalaian dalam pelaksanaan profesi
kedokteran yang melanggar ketentuan hukum positif yang berlaku.
Malpraktik Yuridik meliputi:
a. malpraktik perdata (civil malpractice0
Malpraktik perdata terjadi jika dokter tidak melakukan kewajiban (ingkar janji) yaitu
tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Tindakan dokter yang
dapat dikatagorikan sebagai melpraktik perdata antara lain :
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan
b. Melakukan apa yang disepakati dilakukan tapi tidak sempurna
c. Melakukan apa yang disepakati tetapi terlambat
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatan tidak seharusnya dilakukan
b. Malpraktik Pidana (criminal malpractice)
Malpraktik pidana terjadi, jika perbuatan yang dilakukan maupun tidak dilakukan
memenuhi rumusan undang-undang hukum pidana. Perbuatan tersebut dapat berupa
perbuatan positif (melakukan sesuatu) maupun negative (tidak melakukan sesuatu) yang
merupakan perbuatan tercela (actus reus), dilakukan dengan sikap batin yang slah (mens rea)
berupa kesengajaan atau kelalauian. Contoh malpraktik pidana dengan sengaja adalah :
a. Melakukan aborsi tanpa tindakan medik
b. Mengungkapkan rahasia kedi\okteran dengan sengaja
c. Tidak memberikan pertolongan kepada seseorang yang dalam keadaan darurat
d. Membuat surat keterangan dokter yang isinya tidak benar
e. Membuat visum et repertum tidak benar
f. Memberikan keterangan yang tidak benar di pengadilan dalan kapasitasnya sebagai
ahli
Contoh malpraktik karena kelalaian:
a. Kurang hati-hati sehingga menyebabkan gunting tertinggal diperut (Civil
Malpractice)
b. Kurang hati-hati sehingga menyebabkan pasien luka berat atau meninggal
7

c. Malpraktik Administrasi Negara (administrative malpractice)


Malpraktik administrasi terjadi jika dokter menjalankan profesinya tidak
mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum administrasi Negara. Misalnya:
a. Menjalankan praktik kedokteran tanpa ijin
b. Menjalankan praktik kedokteran tidak sesuai dengan kewenangannya
c. Melakukan praktik kedokteran dengan ijin yang sudah kadalwarsa.
d. Tidak membuat rekam medik.
MALPRACTICE

MEDICAL
MALPRACTICE
ETHICAL
MALPRACTI
CE

PROFESI
LAIN
YURIDICAL
MALPRACTI
CE
CRIMINAL
MALPRACTICE
CIVIL
MALPRACTICE
ADMINISTRATIVE
MALPRACTICE

a. Criminal Malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice
manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana, yakni:
Perbuatan tersebut (positive/negative act) merupakan perbuatan tercela
Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan
(intensional), kecerobohan (recklessness) atau kealpaan (negligence)
o Intensional: melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia
jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263
KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis (pasal 299 KUHP)
o Recklessness: melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed
consent
o Negligence: kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya
pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah
bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang
lain atau kepada rumah sakit / sarana kesehatan

b. Civil Malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila
tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana
yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat
dikategorikan civil malpractice antara lain:
Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melakukannya
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi
dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability.
Dengan prinsip ini maka RS / sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas
kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) tersebut dalam rangka
melaksanakan tugas kewajibannya.
c. Administrative Malpractice
Tenaga perawatan dikatakan telah melakukan administrative malpractice
manakala tenaga tenaga perawatan tersebut telah melanggar hukum administrasi.
Perlu diketahui bahwa melakukan police power, pemerintah mempunyai
kewenangan menertibkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya
tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat
Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga
perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang
bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
1.3 Undang-Undang terkait Malpraktik
Peraturan Non Hukum
Diatur oleh Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). KODEKI semula
merupakan peraturan non hukum karena peraturan ini telah menjadi petunjuk perilaku atau
etika seorang dokter dalam menjalankan profesinya. Dalam KODEKI diatur tentang
kewajiban dokter terhadap pasien yang dicantumkan di dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal
14, yaitu:
-

Pasal 10 KODEKI: Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya


melindungi makhluk insani
Pasal 11 KODEKI: Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan
segala ilmu dan keterampilannya untu kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak
mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka ia wajib merujuk
penderita kepada dokter lain yang mempunyai keahlian dalam bidang penyakit
tersebut
Pasal 13 KODEKI: Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia
Pasal 14 KODEKI: Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai
suatu tugas perikemanusiaan, kecuali ia yakin ada orang lain yang bersedia dan lebih
mampu memberikan pertolongan darurat terhadap pasien yang membutuhkannya,
padahal ia mampu dapat terkena sasaran tuntutan malpraktek juga

Peraturan Hukum
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pasal-pasal didalam KUHP yang terkait dengan malpraktik medik, yaitu:
a. Pasal 263 dan 267 KUHP (Membuat Surat Keterangan Palsu)
b. Pasal 290 KUHP (Melakukan Pelanggaran Kesopanan)
c. Pasal 299 KUHP (Mengobati seorang wanita dengan memberitahukan atau
menimbulkan harapan bahwa kandungannya dapat digugurkan)
d. Pasal 322 KUHP (Membuka Rahasia)
e. Pasal 304 KUHP (Pembiaran / Penelantaran)
f. Pasal 306 KUHP (Apabila tindakan penelantaran tersebut mengakibatkan
kematian)
g. Pasal 322 KUHP (Membocorkan rahasia profesi)
h. Pasal 333 KUHP (Dengan sengaja dan tanpa hak telah merampas kemerdekaan
seseorang)
i. Pasal 344 KUHP (Euthanasia)
j. Pasal 347 KUHP (Sengaja melakukan abortus tanpa persetujuan wanita yang
bersangkutan)
k. Pasal 348 KUHP (Sengaja melakukan abortus dengan persetujuan)
l. Pasal 349 KUHP (Membantu atau melakukan tindakan abortus provocatus
criminalis)
m. Pasal 359 KUHP (Kelalaian yang menyebabkan kematian)
n. Pasal 360 KUHP (Kelalaian yang menyebabkan luka / cacat)
o. Pasal 386 KUHP (Memberi atau menjual obat palsu)
p. Pasal 531 KUHP (Tidak memberi pertolongan pada orang yang berada dalam
keadaan bahaya)
Pemberlakukan hukum pidana dalam kasus-kasus kelalaian medis yang terjadi di
dalam penyelenggaraan praktek kedokteran haruslah sebagai ultimatum remidium artinya
hukum pidana sebagai alternatif terakhir apabila upaya-upaya non litigasi sudah tidak bisa
lagi berhasil untuk mengatasi permasalahan yang timbul. Selain iitu juga karena praktek
kedokteran merupakan profesi yang sangat mulia dan luhur yang diperlukan oleh banyak
orang dan praktek kedokteran dijamin pelaksanaannya oleh undang-undang.
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pasal-pasal didalam KUHPerdata yang terkait dengan malpraktek medik, yaitu:
a. Pasal 1239 KUH Perdata (Melakukan wanprestasi atau cidera janji)
b. Pasal 1365 KUH Perdata(Melakukan perbuatan melawan hukum)
c. Pasal 1366 KUH Perdata (Melakukan kelalaian sehingga menimbulkan
kerugian)
d. Pasal 1367 KUH Perdata (Bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan
oleh bawahannya)
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
a. Pasal 54 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Kesalahan atau
kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan)
b. Pasal 80 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja melakukan
tindakan medis tidak sesuai dengan Standart Operational Procedure pada ibu
hamil)

10

c. Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja melakukan


transplantasi organ tubuh untuk tujuan komersil)
d. Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Tanpa keahlian
sengaja melakukan transplantasi, implan alat kesehatan, bedah plastik)
e. Pasal 81 ayat 2a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja mengambil
organ tanpa memperhatikan kesehatan dan persetujuan pendonor / ahli waris)
4) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran
a. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Pengaturan praktek
kedokteran bertujuan untuk, Pertama memberikan perlindungan kepada pasien,
Kedua mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang
diberikan oleh dokter dan dokter gigi, dan Ketiga memberikan kepastian
hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi)
b. Pasal 44 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Mensyaratkan kepada setiap
dokter dan dokter gigi dalam memberikan pelayanan haruslah mempunyai
standar pelayanan. Standar pelayanan disini adalah pedoman yang harus diikuti
oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktek kedokteran)
c. Pasal 75 dan 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Mensyaratkan setiap
dokter harus mempunyai surat registrasi yang ditandatangani oleh konsil
kedokteran. Sedangkan surat izin praktek kedokteran ditandatangani oleh
pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktek
kedokteran atau dokter gigi dilaksanakan. Kedua persyaratan tersebut menjadi
suatu hal yang mutlak dimiliki oleh seorang dokter. Apabila dokter tidak
mempunyai surat registrasi dan surat izin praktek, maka selain dokter tersebut
tidak sah, masyarakat juga tidak berani di diagnosa oleh dokter tersebut karena
takut terjadi malpraktek)
5) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan
a. Pasal 32 (Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan
yang diberikan oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian yang terjadi
karena kesehatan atau kelalaian
Dalam perikatan sebagaimana diatur di dalam KUHPerdata dikenal adanya dua
macam perjanjian, yaitu:
Inspanningverbintenis: perjanjian upaya, artinya kedua belah pihak yang
berjanji berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang
diperjanjikan
Resultaat bintennis: perjanjian bahwa pihak yang berjanji akan memberikan
result, yaitu sesuatu hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.

11

1.4 Alur Penyelesaian Hukum

1.5 Sanksi
Seorang dokter atau dokter gigi yang menyimpang dari standar profesi dan
melakukan kesalahan profesi belum tentu melakukan malpraktik medis yang dapat dipidana,
malpraktik medis yang dipidana membutuhkan pembuktian adanya unsur culpa lata atau
kalalaian berat dan pula berakibat fatal atau serius (Ameln, Fred, 1991). Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 359 KUHP, pasal 360, pasal 361 KUHP yang dibutuhkan pembuktian culpa
lata dari dokter atau dokter gigi.
Dengan demikian untuk pembuktian malpraktik secara hukum pidana meliputi unsur :
1) Telah menyimpang dari standar profesi kedokteran;
2) Memenuhi unsur culpa lata atau kelalaian berat; dan
3) Tindakan menimbulkan akibat serius, fatal dan melanggar pasal 359, pasal 360,
KUHP.
Adapun unsur-unsur dari pasal 359 dan pasal 360 sebagai berikut :
1) Adanya unsur kelalaian (culpa).
2) Adanya wujud perbuatan tertentu .
3) Adanya akibat luka berat atau matinya orang lain.

12

4) Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain
itu.
Tiga tingkatan culpa:
a. Culpa lata : sangat tidak berhati-hati (culpa lata), kesalahan serius, sembrono (gross
fault or neglect)
b. Culpa levis : kesalahan biasa (ordinary fault or neglect)
c. Culpa levissima : kesalahan ringan (slight fault or neglect) (Black 1979 hal. 241)
Dalam pembuktian perkara perdata, pihak yang mendalilkan sesuatu harus mengajukan
bukti-buktinya. Dalam hal ini dapat dipanggil saksi ahli untuk diminta pendapatnya. Jika
kesalahan yang dilakukan sudah demikian jelasnya (res ipsa loquitur, the thing speaks for
itself) sehingga tidak diperlukan saksi ahli lagi, maka beban pembuktian dapat dibebankan
pada dokternya.
1. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
2. Pasal 359 360 KUHP Pidana
Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena kesalahan (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Pasal 360 KUHP
(1) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka bert,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun
(2) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa
sehingga timbul penyakit atau halangan menjadikan pekerjaan jabatan atau pencarian selama
waktu tertemtu, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda
paling tinggi tiga ratus juta rupiah.
3. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
1.6 Pencegahan Malpraktek
Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena
adanya malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati,
yakni:
Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena
perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan
berhasil (resultaat verbintenis).
Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala
kebutuhannya.

13

Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat


sekitarnya.
Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga
perawat menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif
dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian tenaga kesehatan.
Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga
kesehatan dapat melakukan :
Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa
tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin
yang ada, misalnya perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja,
akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan
bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan
dalam perumusan delik yang dituduhkan.
Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau
menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan
cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk
membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa
yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa penasehat
hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat
membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil
penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di
pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai
dasar gugatan bahwa tergugat (perawat) bertanggung jawab atas derita (damage) yang
dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak
diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk
membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya
hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan
(damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan
dan hal inilah yang menguntungkan tenaga perawatan.
1.7 Kelalaian
Kelalaian
dapat
terjadi
dalam
3
bentuk,
yaitu malfeasance,
misfeasance dan nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar
hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan
medis
tanpa
indikasi
yang
memadai
(pilihan
tindakan
medis
tersebut
sudah improper).Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi
dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan
tindakan medis dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan
medis yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan
bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses) yang telah diuraikan sebelumnya, namun
pada kelalaian harus memenuhi ke-empat unsur kelalaian dalam hukum - khususnya adanya
kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent
error yang tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk

14

Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus merupakan
bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila
seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak
dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain
yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat
bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan
perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya
(berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau
cedera bagi orang lain.
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma etika dan
norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah
seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari
sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut
yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan
berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat
domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang
mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang
dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan
sendirinya juga berbeda.
Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan
tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord
Chief Justice, 1893).
Untuk malpraktik hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai
bidang hukum yang dilanggar, yaitu :
a. Criminal Malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala
perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan
(intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan
euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat
surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal
299 KUHP). Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya
melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati
mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut
pasien saat melakukan operasi. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal
malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan
kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
b. Civil Malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak
melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah
disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil
malpractice antara lain:
Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.

15

Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat


melakukannya.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan
dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip
ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang
dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka
melaksanakan tugas kewajibannya.
c. Administrative Malpractice
Dokter dikatakan telah melakukan administrative malpractice, disaat tenaga perawatan
tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan
police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di
bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan
profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga
perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan
dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktiannya dapat dilakukan
dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
Duty (kewajiban)
Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti bahwa
harus ada hubungan hukum antara pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya
hubungan hukum, maka implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter/perawat
rumah sakit itu harus sesuai dengan standar pelayanan medik agar pasien jangan
sampai menderita cedera karenanya. Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter
dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan
a. Adanya indikasi medis
b. Bertindak secara hati-hati dan teliti
c. Bekerja sesuai standar profesi
d. Sudah ada informed consent.
Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Apabila sudah ada kewajiban (duty), maka sang dokter atau perawat rumah sakit
harus bertindak sesuai dengan standar profesi yang berlaku. Jika seorang dokter
melakukan penyimpangan dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang
seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter tersebut dapat
dipersalahkan. Bukti adanya suatu penyimpangan dapat diberikan melalui saksi ahli,
catatan-catatan pada rekam medik, kesaksian perawat dan bukti-bukti lainnya.
Apabila kesalahan atau kelalaian itu sedemikian jelasnya, sehingga tidak diperlukan
kesaksian ahli lagi, maka hakim dapat menerapkan doktrin Res ipsa Loquitur.
Tolak ukur yang dipakai secara umum adalah sikap-tindak seorang dokter yang wajar
dan setingkat didalam situasi dan keadaan yang sama.

16

Direct Cause (penyebab langsung)


Penyebab langsung yang dimaksudkan dimana suatu tindakan langsung yang
terjadi, yang mengakibatkan kecacatan pada pasien akibat kealpaan seorang dokter
pada diagnosis dan perawatan terhadap pasien. Secara hukum harus dapat dibuktikan
secara medis yang menjadi bukti penyebab langsung terjadinya malpraktik dalam
kasus manapun. Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti-rugi berdasarkan malpraktek
medik, maka harus ada hubungan kausal yang wajar antara sikap-tindak tergugat
(dokter) dengan kerugian (damage) yang menjadi diderita oleh pasien sebagai
akibatnya. Tindakan dokter itu harus merupakan penyebab langsung. Hanya atas dasar
penyimpangan saja, belumlah cuklup untuk mengajukan tutunyutan ganti-kerugian.
Kecuali jika sifat penyimpangan itu sedemikian tidak wajar sehingga sampai
mencederai pasien. Namun apabila pasien tersebut sudah diperiksa oleh dokter secara
edekuat, maka hanya atas dasar suatu kekeliruan dalam menegakkan diagnosis saja,
tidaklah cukup kuat untuk meminta pertanggungjawaban hukumannya.
Damage (kerugian)
Damage yang dimaksud adalah cedera atau kerugian yang diakibatkan kepada
pasien. Walaupun seorang dokter atau rumah sakit dituduh telah berlaku lalai, tetapi
jika tidak sampai menimbulkan luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm) kepada
pasien, maka ia tidak dapat dituntut ganti-kerugian. Istilah luka (injury) tidak saja dala
bentuk fisik, namun kadangkala juga termasuk dalam arti ini gangguan mental yang
hebat (mental anguish). Juga apabila tejadi pelanggaran terhadap hak privasi orang
lain. Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung)
antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan
tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan
dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan dokter.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya
kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni
dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan
(doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang
ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada
contributory negligence.
Menurut W.L. Prosser dalam buku The Law of Torts yang dikutip oleh Dagi, T.F
dalam tulisannya yang berjudul Cause and Culpability di Journal of Medicine and Philosophy
Vol. 1, No. 4, 1976, unsur malapraktik adalah (1) Adanya perjanjian dokter-pasien; (2)
Adanya pengingkaran perjanjian; (3) Adanya hubungan sebab akibat antara tindakan
pengingkaran itu dengan musibah yang terjadi; (4) Tindakan pengingkaran itu merupakan
penyebab utama dari musibah dan; (5) Musibah itu dapat dibuktikan keberadaannya.
Adanya perjanjian. Unsur ini yang tersedia untuk digarap oleh pengacara kasus
malapraktik. Perjanjian dokter-pasien, oleh kalangan kedokteran di Indonesia disebut sebagai
transaksi terapeutik (TT) atau ikatan untuk pengobatan. Oleh karena perjanjian yang diatur
oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) tidak menguntungkan pasien, Ikatan

17

Dokter Indonesia dengan SKB No. 319/88 yang dikuatkan oleh Menteri Kesehatan dengan
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 595/89 tentang Persetujuan Tindakan Medik.
Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual Liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari
hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban
yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena
health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung
jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius Liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas
kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya
(sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien
yang diakibatkan kelalaian perawat sebagai karyawannya.
3. Liability In Tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas haya perbuatan
yang
melawan
hukum,
kewajiban
hukum
baik
terhadap
diri
sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan
dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam
pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari
1919).
2. Memahami dan Menjelaskan Rekam Medis dan Informed Consent
Definisi Rekam Medis
Definisi Rekam Medis dalam berbagai kepustakaan dituliskan dalam berbagai pengertian,
seperti dibawab ini:
Menurut Edna K Huffman: Rekam Medis adalab berkas yang menyatakan siapa, apa,
mengapa, dimana, kapan dan bagaimana pelayanan yang diperoleb seorang pasien
selama dirawat atau menjalani pengobatan.
Menurut Permenkes No. 749a/Menkes!Per/XII/1989:
- Rekam Medis adalah berkas yang beiisi catatan dan dokumen mengenai identitas
pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lainnya yang
diterima pasien pada sarana kesebatan, baik rawat jalan maupun rawat inap.
Menurut Permenkes No: 269/Menkes/Per/III/2008
- Rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen antara lain identitas
pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan yang telah diberikan, serta tindakan dan
pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Menurut Gemala Hatta
- Rekam Medis merupakan kumpulan fakta tentang kehidupan seseorang dan riwayat
penyakitnya, termasuk keadaan sakit, pengobatan saat ini dan saat lampau yang ditulis
oleb para praktisi kesehatan dalam upaya mereka memberikan pelayanan kesehatan
kepada pasien.
Waters dan Murphy : Kompendium (ikhtisar) yang berisi informasi tentang keadaan
pasien selama perawatan atau selama pemeliharaan kesehatan.
18

IDI :Sebagai rekaman dalam bentuk tulisan atau gambaran aktivitas pelayanan yang
diberikan oleh pemberi pelayanan medik/kesehatan kepada seorang pasien.
Isi Rekam Medis
Isi Rekam Medis merupakan catatan keadaan tubuh dan kesehatan, termasuk data
tentang identitas dan data medis seorang pasien. Secara umum isi Rekam Medis dapat dibagi
dalam dua kelompok data yaitu:
a)
Data medis atau data klinis adalah segala data tentang riwayat penyakit, hasil
pemeriksaan fisik, diagnosis, pengobatan serta basilnya, laporan dokter, perawat, hasil
pemeriksaan laboratorium, ronsen dsb. Data-data ini merupakan data yang bersifat
rabasia (confidential) sebingga tidak dapat dibuka kepada pibak ketiga tanpa izin dari
pasien yang bersangkutan kecuali jika ada alasan lain berdasarkan peraturan atau
perundang-undangan yang memaksa dibukanya informasi tersebut.
b)
Data sosiologis atau data non-medis adalah segala data lain yang tidak berkaitan
langsung dengan data medis, seperti data identitas, data sosial ekonomi, alamat dan
sebagainya. Data ini oleh sebagian orang dianggap bukan rahasia, tetapi menurut
sebagian lainnya merupakan data yang juga bersifat rahasia (confidensial).
Isi Rekam Medis juga dapat berubah :
Catatan, merupakan uraian tentang identitas pasien, pemeriksaanpasien, diagnosis,
pengobatan, tindakan dan pelayanan lainbaikdilakukan oleh dokter dan dokter gigi
maupun tenaga kesehatan lainnyasesuai dengan kompetensinya.
Dokumen, merupakan kelengkapan dari catatan tersebut, antara lainfoto rontgen, hasil
laboratorium dan keterangan lain sesuai dengankompetensi keilmuannya
Menurut PERMENKES No: 269/MENKES/PER/III/2008 data-data yang harus
dimasukkan dalam Medical Record dibedakan untuk pasien yang diperiksa di unit rawat jalan
dan rawat inap dan gawat darurat. Setiap pelayanan baik di rawat jalan, rawat inap dan gawat
darurat dapat membuat rekam medis dengan data-data sebagai berikut:
1. Pasien Rawat Jalan
Data pasien rawat jalan yang dimasukkan dalam medical record sekurang-kurangnya
antara lain:
a. Identitas Pasien
b. Tanggal dan waktu.
c. Anamnesis (sekurang-kurangnya keluhan, riwayat penyakit).
d. Hasil Pemeriksaan fisik dan penunjang medis.
e. Diagnosis
f. Rencana penatalaksanaan
g. Pengobatan dan atau tindakan
h. Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
i. Untuk kasus gigi dan dilengkapi dengan odontogram klinik dan
j. Persetujuan tindakan bila perlu.
2. Pasien Rawat Inap
Data pasien rawat inap yang dimasukkan dalam medical record sekurang-kurangnya
antara lain:
a. Identitas Pasien
b. Tanggal dan waktu.
c. Anamnesis (sekurang-kurangnya keluhan, riwayat penyakit.
d. Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang medis.
e. Diagnosis
19

f.
g.
h.
i.
j.
k.

Rencana penatalaksanaan
Pengobatan dan atau tindakan
Persetujuan tindakan bila perlu
Catatan obsservasi klinis dan hasil pengobatan
Ringkasan pulang (discharge summary)
Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu
yang memberikan pelayanan ksehatan.
l. Pelayanan lain yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan tertentu.
m. Untuk kasus gigi dan dilengkapi dengan odontogram klinik
3. Ruang Gawat Darurat
Data pasien rawat inap yang harus dimasukkan dalam medical record sekurang-kurangnya
antara lain:
a. Identitas Pasien
b. Kondisi saat pasien tiba di sarana pelayanan kesehatan
c. Identitas pengantar pasien
d. Tanggal dan waktu.
e. Hasil Anamnesis (sekurang-kurangnya keluhan, riwayat penyakit.
f. Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang medis.
g. Diagnosis
h. Pengobatan dan/atau tindakan
i. Ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan pelayanan unit gawat
darurat dan rencana tindak lanjut.
j. Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu
yang memberikan pelayanan kesehatan.
k. Sarana transportasi yang digunakan bagi pasien yang akan dipindahkan ke
sarana pelayanan kesehatan lain dan
l. Pelayanan lain yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan tertentu.
Kegunaan Rekam Medis
Permenkes no. 749a tahun 1989 menyebutkan bahwa Rekam Medis mempunyai
manfaat yaitu:
a. Pengobatan Pasien
Rekam medis bermanfaat sebagai dasar dan petunjuk untuk
merencanakandan menganalisis penyakit serta merencanakan pengobatan,
perawatandan tindakanmedis yang harus diberikan kepada pasien.
b. Peningkatan Kualitas Pelayanan
Membuat Rekam Medis bagi penyelenggaraan praktik kedokteran
denganjelas dan lengkap akan meningkatkan kualitas pelayanan untuk
melindungitenaga medis dan untuk pencapaian kesehatan masyarakat yang
optimal.
c. Pendidikan dan Penelitian
Rekam medis yang merupakan informasi perkembangan kronologispenyakit,
pelayanan medis, pengobatan dan tindakan medis, bermanfaatuntuk bahan
informasi bagi perkembangan pengajaran dan penelitian dibidang profesi
kedokteran dan kedokteran gigi.
d. Pembiayaan
Berkas rekam medis dapat dijadikan petunjuk dan bahan untuk
menetapkanpembiayaan dalam pelayanan kesehatan pada sarana kesehatan.
Catatantersebut dapat dipakai sebagai bukti pembiayaan kepada pasien.
20

e. Statistik Kesehatan
Rekam medis dapat digunakan sebagai bahan statistik kesehatan,khususnya
untuk mempelajari perkembangan kesehatan masyarakat danuntuk menentukan
jumlah penderita pada penyakit-penyakit tertentu
f. Pembuktian Masalah Hukum, Disiplin dan Etik
Rekam medis merupakan alat bukti tertulis utama, sehingga bermanfaat
dalam penyelesaian masalah hukum, disiplin dan etik..
Aspek Hukum, Disiplin, Etik dan Kerahasiaan Rekam Medis
a. Rekam Medis Sebagai Alat Bukti
Rekam medis dapat digunakan sebagai salah satu alat bukti tertulis di
pengadilan.
b. Kerahasiaan Rekam Medis
Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
wajibmenyimpan kerahasiaan yang menyangkut riwayat penyakit pasien
yangtertuang dalam rekam medis. Rahasia kedokteran tersebut dapat
dibukahanya untuk kepentingan pasien untuk memenuhi permintaan
aparatpenegak hukum (hakim majelis), permintaan pasien sendiri
atauberdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, rahasiakedokteran (isi rekam
medis) baru dapat dibukabila diminta oleh hakimmajelis di hadapan sidang
majelis. Dokter dan dokter gigi bertanggungjawab atas kerahasiaan rekam medis
sedangkan kepalasarana pelayanankesehatan bertanggung jawab menyimpan
rekam medis.
c. Sanksi Hukum
Dalam Pasal 79 UU Praktik Kedokteran secara tegas mengatur bahwasetiap
dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak membuat rekammedis dapat
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahunatau denda paling
banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Selain tanggung jawab pidana,
dokter dan dokter gigi yang tidak membuatrekam medisjuga dapat dikenakan
sanksi secara perdata, karena dokterdan dokter gigi tidak melakukan yang
seharusnya dilakukan (ingkarjanji/wanprestasi) dalam hubungan dokter dengan
pasien.
d. Sanksi Disiplin dan Etik
Dokter dan dokter gigi yang tidak membuat rekam medis selain
mendapatsanksi hukum juga dapat dikenakan sanksi disiplin dan etik sesuai
denganUU Praktik Kedokteran, Peraturan KKI, Kode Etik Kedokteran
Indonesia(KODEKI) dan Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia (KODEKGI).
Dalam
Peraturan
Konsil
Kedokteran
Indonesia
Nomor
16/KKI/PER/VIII/2006
tentang Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran Disiplin MKDKI
dan MKDKIP,ada tiga alternatif sanksi disiplin yaitu :
a. Pemberian peringatan tertulis.
b. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik.
c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi.
Selain sanksi disiplin, dokter dan dokter gigiyang tidak membuat
rekammedis dapat dikenakan sanksi etik oleh organisasi profesi yaitu
21

MajelisKehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Kehormatan


EtikKedokteran Gigi (MKEKG)
Informed Consent
Definisi Informed consent
Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu informed yang berarti telah
mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan consent yang berarti persetujuan
atau memberi izin. Jadi informed consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang
diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat
didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar
penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang
berkaitan dengannya Menurut D. Veronika Komalawati, SH , informed consent
dirumuskan sebagai suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan
dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya
medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala
resiko yang mungkin terjadi. Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika
memenuhi minimal 3 (tiga) unsur sebagai berikut :
a. Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter.
b. Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan
c. Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.
Di Indonesia perkembangan informed consent secara yuridis formal, ditandai
dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang informed consent
melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan
PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik atau Informed
Consent. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal
dan melaksanakan informed consent karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada
pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau
keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.Secara umum bentuk persetujuan yang
diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis
(dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
a. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung
resiko
besar,
sebagaimana
ditegaskan
dalam
PerMenKes
No.
585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88
butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar,
mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien
memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko
yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent)
b. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat noninvasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
c. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang
akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya
sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Tujuan Informed consent
Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup
untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga
berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat
terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan

22

sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila
informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.
Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent
mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia


Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.

Pada prinsipnya iformed consent deberikan di setiap pengobatan oleh dokter. Akan
tetapi, urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat terasa dalam kasus-kasus
sebagai berikut :
1. Dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi
2. Dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai
teknologi baru yang sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya.
3. Dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan banyak
efek samping, seperti terapi dengan sinar laser, dll.
4. Dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien
5. Dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter juga melakukan riset
dan eksperimen dengan berobjekan pasien.
1. Aspek Hukum Informed Consent
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan
pasien) bertindak sebagai subjek hukum yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban,
sedangkan jasa tindakan medis sebagai objek hukum yakni sesuatu yang bernilai dan
bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu
perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun
oleh dua pihak. Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan
medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga
tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana
maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan. Pada pelaksanaan tindakan
medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah kesalahan kecil
(culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan
pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini
disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium barang siapa merugikan
orang lain harus memberikan ganti rugi. Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur
yang dipergunakan adalah kesalahan berat (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan
kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk
menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa
tindakan medis(dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis
(pasien), sedangkanpasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan,
maka dokter sebagaipelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah
melakukan suatu perbuatanmelawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365
23

Kitab Undang-undang HukumPerdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas
tubuhnya, sehingga dokter danharus menghormatinya.
Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya
pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu
tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan
pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa
tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah
melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP. Sebagai salah satu pelaksana jasa
tindakan medis dokter harus menyadari bahwa informed consent benar-benar dapat
menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar
saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat
dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya
relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau
belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar
teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam
lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.
2. Elemen-Elemen Informed Consent
Suatu informed consent harus meliputi :
1. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terapi dan penyakitnya
2. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa besar
kemungkinan keberhasilannya
3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat apabila
penyakit tidak diobati
4. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau menolak terapi.
Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang mungkin terjadi dalam
penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi yang dilakukan.
3. Hal-Hal Yang Di Informasikan
Hasil Pemeriksaan
Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan.
Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah
diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.
Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya
antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi
idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang
diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut
juga harus diberitahu pada pasien. Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan
pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia
harus memberitahukannya pada pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada
kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter lain yang
dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.
Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan
terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang
ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi
hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan
24

subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan prosedur, keberhasilan dan kerugian


serta komplikasi yang mungkin timbul.
Rujukan/ Konsultasi
Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa
kemampuan dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada
pasien-pasien tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia
merasa tidak mampu melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia
mengetahui adanya dokter lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih baik
darinya.
Prognosis
Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele,
ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak
mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak
mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi dengan mereka. Semua ini
berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang dapat diduga oleh dokter.
Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari informed
consent.
4. Otoritas Untuk Memberikan Persetujuan
Seorang dewasa dianggap kompeten dan oleh karena itu harus mengetahui terapi yang
direncanakan. Orang dewasa yang tidak kompeten karena penyakit fisik atau kejiwaan dan
tidak mampu mengerti tentu saja tidak dapat memberikan informed consent yang sah.
Sebagai akibatnya, persetujuan diperoleh dari orang lain yang memiliki otoritas atas nama
pasien. Ketika pengadilan telah memutuskan bahwa pasien inkompeten, wali pasien yang
ditunjuk pengadilan harus mengambil otoritas terhadap pasien.
Persetujuan pengganti ini menimbulkan beberapa masalah. Otoritas seseorang
terhadap persetujuan pengobatan bagi pasien inkompeten termasuk hak untuk menolak
perawatan tersebut. Pengadilan telah membatasi hak penolakan ini untuk kasus dengan alasan
yang tidak rasional. Pada kasus tersebut, pihak dokter atau rumah sakit dapat memperlakukan
kasus sebagai keadaan gawat darurat dan memohon pada pengadilan untuk melakukan
perawatan yang diperlukan. Jika tidak cukup waktu untuk memohon pada pengadilan, dokter
dapat berkonsultasi dengan satu atau beberapa sejawatnya.
Jika keluarga dekat pasien tidak setuju dengan perawatan yang direncanakan atau jika
pasien, meskipun inkompeten, mengambil posisi berlawanan dengan keinginan keluarga,
maka dokter perlu berhati-hati. Terdapat beberapa indikasi dimana pengadilan akan
mempertimbangkan keinginan pasien, meskipun pasien tidak mampu untuk memberikan
persetujuan yang sah. Pada kebanyakan kasus, terapi sebaiknya segera dilakukan (1) jika
keluarga dekat setuju, (2) jika memang secara medis perlu penatalaksanaan segera, (3) jika
tidak ada dilarang undang-undang.
Cara terbaik untuk menghindari risiko hukum dari persetujuan pengganti bagi pasien
dewasa inkompeten adalah dengan membawa masalah ini ke pengadilan.
4.1 Kemampuan memberi perijinan
Perijinan harus diberikan oleh pasien yang secara fisik dan psikis mampu memahami
informasi yang diberikan oleh dokter selama komunikasi dan mampu membuat keputusan
terkait dengan terapi yang akan diberikan. Pasien yang menolak diagnosis atau tatalaksana
tidak menggambarkan kemampuan psikis yang kurang. Paksaan tidak boleh digunakan dalam
usaha persuasif. Pasien seperti itu membutuhkan wali biasanya dari keluarga terdekat atau
yang ditunjuk pengadilan untuk memberikan persetujuan pengganti.
25

Jika tidak ada wali yang ditunjuk pengadilan, pihak ketiga dapat diberi kuasa untuk
bertindak atas nama pokok-pokok kekuasaan tertulis dari pengacara. Jika tidak ada wali bagi
pasien inkompeten yang sebelumnya telah ditunjuk oleh pengadilan, keputusan dokter untuk
memperoleh informed consent diagnosis dan tatalaksana kasus bukan kegawatdaruratan dari
keluarga atau dari pihak yang ditunjuk pengadilan tergantung kebijakan rumah sakit. Pada
keadaan dimana terdapat perbedaan pendapat diantara anggota keluarga terhadap perawatan
pasien atau keluarga yang tidak dekat secara emosional atau bertempat tinggal jauh, maka
dianjurkan menggunakan laporan legal dan formal untuk menentukan siapa yang dapat
memberikan perijinan bagi pasien inkompeten.
4.2 Pengecualian Terhadap Materi Pemberitahuan
Terdapat empat pengecualian yang dikenal secara umum terhadap tugas dokter untuk
membuat pemberitahuan meskipun keempatnya tidak selalu ada.
Pertama, seorang dokter dapat saja dalam pandangan profesionalnya menyimpulkan
bahwa pemberitahuan memiliki ancaman kerugian terhadap pasien yang memang
dikontradiinkasikan dari sudut pandang medis. Hal ini dikenal sebagai keistimewaan
terapetik atau kebijaksanaan profesional. Dokter dapat memilih untuk menggunakan
kebijaksanaan profesional terapetik untuk menjaga fakta medis pasien atau walinya ketika
dokter meyakini bahwa pemberitahuan akan membahayakan atau merugikan pasien.
Tergantung situasinya, dokter boleh namun tidak perlu membuka informasi ini kepada
keluarga dekat yang diketahui.
Kedua, pasien yang kompeten dapat meminta untuk tidak diberitahu. Pasien dapat
melepaskan haknya untuk membuat informed consent.
Ketiga, dokter berhak untuk tidak menyarankan pasien mengenai masalah yang
diketahui umum atau jika pasien memiliki pengetahuan aktual, terutama berdasarkan
pengalaman di masa lampau.
Keempat, tidak ada keharusan untuk memberitahu pada kasus kegawatdaruratan
dimana pasien tidak sadar atau tidak mampu memberikan persetujuan sah dan bahaya gagal
pengobatan sangat nyata.

26

Contoh Inform Consent:


SURAT PERSETUJUAN/PENOLAKAN MEDIS KHUSUS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
:
(L/P)
Umur/Tgl Lahir
:
Alamat
:
Telp
:
Menyatakan dengan sesungguhnya dari saya sendiri/*sebagai orang tua/*suami/*istri/*a
nak/*wali dari
:
Nama
:
(L/P)
Umur/Tgl Lahir
:
Dengan ini menyatakan SETUJU/MENOLAK untuk dilakukan Tindakan Medis berupa
.
Dari penjelasan yang diberikan, telah saya mengerti segala hal yang berhubungan denga
n penyakit tersebut, serta tindakan medis yang akan dilakukan dan kemungkinana pasca
tindakan yang dapat terjadisesuai penjelasan yang diberikan.
Jakarta,.20
Dokter/Pelaksana,
Yang membuat pernyataan,

Ttd
()
*Coret yang tidak perlu

ttd
(..)

4. Memahami dan Menelaskan Malpraktik dalam sudut pandang islam


Inilah kesempurnaan ajaran agama Islam, jauh sebelum kedokteran modern
merumuskan tentang malpraktek dan ketentuannya, Agama Islam telah meletakkan dasar
mengenai hal ini.Rasulullah shallallahu alaihi wa sallambersabda,



Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya sebelum itu
maka dia yang bertanggung jawab. [HR. An-Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah dan yang lain,
hadits hasan no. 54 kitab Bahjah Qulub Al-Abrar]
Menurut pengertian kedokteran modern, malpraktek adalah praktek kedokteran yang
salah atau tidak sesuai dengan standar profesi atau standar prosedur operasional. Dalam
kamus kedokteran Dorland dijelaskan,
Malpraktek adalah praktek yang tidak benar atau mencelakakan; tindakan kedokteran yang
tidak terampil atau keliru.

27

Jika melakukan malpkraktek harus bertanggungjawab


Ulama sekaligus dokter
Jauziyahrahimahullahu berkata,

terkenal

di

zamannya,

Ibnu

Qayyim

Al-



Maka wajib mengganti rugi [bertanggung jawab] bagi dokter yang bodoh jika melakukan
praktek kedokteran dan tidak mengetahui/mempelajari ilmu kedokteran sebelumnya
[Thibbun Nabawi hal. 88, Al-Maktab Ats-Tsaqafi, Koiro]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sadi rahimahullahu berkata,


.

Tidak boleh bagi seseorang melakukan suatu praktek pekerjaan dimana ia tidak mumpuni
dalam hal tersebut. Demikian juga dengan praktek kedokteran dan lainnya. Barangsiapa
lancang melanggar maka ia berdosa. Dan apa yang ditimbulkan dari perbuatannya berupa
hilangnya nyawa dan kerusakan anggota tubuh atau sejenisnya, maka ia harus bertanggung
jawab. [Bahjah Qulubil Abrar hal. 155, Dar Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, cet-ke-1, 1423 H]
Al-khathabi rahimahullahu berkata





Saya tidak mengetahui adanya perselisihan dalam pengobatan apabila seseorang
melakukan kesalahan, sehingga menimbulkan mudharat pada pasien, maka ia harus
menanggung ganti rugi. Orang yang melakukan praktek [kedokteran] yang tidak mengetahui
ilmu dan terapannya, maka ia adalah orang yang melampui batas. Apabila terjadi kerusakan
akibat perbuatannya, maka ia harus bertanggung jawab dengan mennganti diyat.[ [Thibbun
Nabawi hal. 88, Al-Maktab Ats-Tsaqafi, Koiro]

28

Musibah tanpa malpraktek dan malpraktek tanpa musibah


Kedua istilah ini dikenal dalam kedokteran modern. Musibah tanpa malpraktek
misalnya, Pasien meninggal dalam suatu operasi, walaupun dokter sudah melakukan segala
cara yang harus dilakukan sesuai dengan ilmu yang dipelajari dan pengalaman.
Maka hal ini juga sudah ditegaskan dalam Islam, Syaikh Abdurrahman bin Nashir AsSadi rahimahullahu berkata,


.

Dokter yang mahir, jika melakukan [praktek kedokteran] dan tidak melakukan kesalahan,
kemudian terjadi dalam prakteknya kerusakan/bahaya. Maka ia tidak harus mengganti rugi.
Karena ia mendapat izin dari pasien atau wali pasien. Dan segala kerusakan yang timbul
dalam perbuatan yang mendapat izin, maka tidak harus mengganti rugi. [Bahjah Qulubil
Abrar hal. 156, Dar Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, cet-ke-1, 1423 H]
Maksud mendapat izin yaitu ada ridha dari pasien bahwa ia mau diobati oleh dokter,
atau ia meminta dokter untuk melakukan pengobatan padanya. Hal ini diperkuat dengan
kaidah fiqhiyah.
,
Apa-apa [kerusakan] yang timbul dari sesuatu yang mendapat izin, maka tidak harus
mengganti rugi, dan kebalikannya [Al-Qawaaidul Ushuul Jaamiah hal. 21, Darul Wathan,
Riyadh, cet. Ke-2, 1422 H]
Malpraktek tanpa musibah misalnya, pasien diperiksa dengan berbagai alat
canggih berbiaya mahal. Walaupun tidak diperlukan. Maka hal ini juga dilarang dalam Islam,
karena sebaiknya kita memperlakukan seseorang sebagaimana kita ingin diperlakukan.
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda,

Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman sehingga ia mencintai saudaranya seperti
mencintai dirinya sendiri.[HR. Bukhari-Muslim]
Rincian malpraktek
Bahkan kesalahan dan ganti rugi dengan rinci dijelaskan oleh ulama Islam. Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu merincinya ada lima pembagian:
1. Dokter yang mahir, melakukan praktek sesuai standar dan tidak melakukan kecerobohan
29

Kemudian terjadi efek yang kurang baik bagi pasien, maka ia tidak harus bertanggung
jawab dengan mengganti.
Kami [penulis] beri contoh kasus disaat ini, misalnya pasien mendapat obat dari dokter,
kemudian dokter sudah bertanya apakah ia mempunyai alergi dengan obat tertentu, maka
pasien menjawab tidak tahu, kemudia dokter menjelaskan bisa jadi terjadi alergi. Kemudian
pasien memilih menggunakan obat tersebut. Kemudian terjadi alergi berupa gatal-gatal pada
pasien tersebut. Maka dokter tidak wajib mengganti kerugian. Alasannya lainnya juga karena
kita tidak tahu apakah ia alergi obat apa tidak, karena ketahuan hanya jika sudah dicoba
mengkonsumsi.
2. Dokter yang bodoh dan melakukan praktek kedokteran
Kemudian terjadi bahaya bagi pasien, maka dokter wajib bertanggung jawab atau
ganti rugi berupa diyat.
Kami [penulis] beri contoh kasus disaat ini, misalnya mahasiswa kedokteran yang
masih belajar [co-aas] melakukan praktek kemudian terjadi kesalahan yang merugikan pasien
maka ia wajib bertaggung jawab.
3. dokter yang mahir, mendapatkan izin, kemudian melakukan kecerobohan.
Maka ia wajib bertanggung jawab, akan tetapi ada perselisihan dalam penggantian
diyat, bisa jadi dari harta dokter ataupun dari baitul mal [kas negara].
Kami [penulis] beri contoh kasus disaat ini, misalnya dokter bedah ketika membedah,
pisau bedah tertinggal diperut pasien, kemudian perut pasien rusak, maka dokter bedah wajib
bertanggung jawab.
4. dokter yang mahir, berijtihad memberikan suatu resep obat, kemudian ia salah dalam
ijtihadnya
Maka ia wajib bertanggung jawab dan ada dua pendapat tentang harta pengganti, bisa
dari baitul mal [kas negara] atau harta keluarganya.
5. dokter yang mahir, melakukan pengobatan kepada anak kecil atau orang gila tanpa izinya
tetapi mendapat izin walinya
Kemudian terjadi kerusakan/bahaya bagi pasien maka ganti rugi dirinci, jika ia
melakukan kecorobohan, maka ia wajib mengganti jika tidak maka tidak perlu mengganti.
Ganti ruginya apa?
Ini juga sudah diatur dalam Islam, kita bisa membaca panjang lebar penjelasan ulama
dalam pembahasan fiqh kitab Jinayaat yaitu tentang kejahatan dan ganti rugi.
Kita ambil contoh, misalnya dokter bedah ketika membedah, pisau bedah tertinggal
diperut pasien, kemudian perut pasien meninggal. maka dokter bedah harus bertanggung
jawab, tetapi ia tidak diqishas dengan dibunuh juga, tetapi harus bertanggung jawab
membayar diyatnya baik dari hartanya atau kas negara.
30

Dalam penbahasan Jinayaat juga dirinci berapa diyat jika merusak wajah, hidung, mata, kaki
dan lain-liannya dengan rinci. Silahkan merujuk pada kitab fiqh, maka kita akan
mendapatkan penjelasan yang rinci. Karena ini menunjukkan kesempurnaan ajaran Islam
Malpraktek berasal dari kata malpractice dalam bahasa Inggris . Secara harfiah,
mal berarti salah, dan practice berarti pelaksanaan atau tindakan, sehingga
malpraktek berarti pelaksanaan atau tindakan yang salah.Jadi, malpraktek adalah tindakan
yang salah dalam pelaksanaan suatu profesi. Istilah ini bisa dipakai dalam berbagai bidang,
namun lebih sering dipakai dalam dunia kedokteran dan kesehatan. Artikel ini juga hanya
akan menyoroti malpraktek di seputar dunia kedokteran saja.
Perlu diketahui bahwa kesalahan dokter atau profesional lain di dunia kedokteran dan
kesehatan- kadang berhubungan dengan etika/akhlak. Misalnya, mengatakan bahwa pasien
harus dioperasi, padahal tidak demikian. Atau memanipulasi data foto rontgen agar bisa
mengambil keuntungan dari operasi yang dilakukan. Jika kesalahan ini terbukti dan
membahayakan pasien, dokter harus mempertanggungjawabkannya secara etika.
Hukumannya bisa berupa tazr [2], ganti rugi, diyat, hingga qishash .
Malpraktek juga kadang berhubungan dengan disiplin ilmu kedokteran. Jenis kesalahan ini
yang akan mendapat porsi lebih dalam tulisan ini.
Bentuk-Bentuk Malpraktek
Malpraktek yang menjadi penyebab dokter bertanggung-jawab secara profesi bisa
digolongkan sebagai berikut:
1. Tidak Punya Keahlian (Jahil)
Yang dimaksudkan di sini adalah melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa memiliki
keahlian, baik tidak memiliki keahlian sama sekali dalam bidang kedokteran, atau memiliki
sebagian keahlian tapi bertindak di luar keahliannya. Orang yang tidak memiliki keahlian di
bidang kedokteran kemudian nekat membuka praktek, telah disinggung oleh Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam dalam sabda beliau:

Barang siapa yang praktek menjadi dokter dan sebelumnya tidak diketahui memiliki
keahlian, maka ia bertanggung-jawab .
Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan dan nyawa banyak orang,
sehingga para Ulama sepakat bahwa mutathabbib (pelakunya) harus bertanggung-jawab, jika
timbul masalah dan harus dihukum agar jera dan menjadi pelajaran bagi orang lain.
2. Menyalahi Prinsip-Prinsip Ilmiah (Mukhlafatul Ushl Al-Ilmiyyah)
Yang dimaksud dengan pinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang telah
baku dan biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan harus dikuasai
oleh dokter saat menjalani profesi kedokteran .
31

Para ulama telah menjelaskan kewajiban para dokter untuk mengikuti prinsip-prinsip
ini dan tidak boleh menyalahinya. Imam Syfii rahimahullah misalnya- mengatakan: Jika
menyuruh seseorang untuk membekam, mengkhitan anak, atau mengobati hewan piaraan,
kemudian semua meninggal karena praktek itu, jika orang tersebut telah melakukan apa yang
seharusnya dan biasa dilakukan untuk maslahat pasien menurut para pakar dalam profesi
tersebut, maka ia tidak bertanggung-jawab. Sebaliknya, jika ia tahu dan menyalahinya, maka
ia bertanggung-jawab. Bahkan hal ini adalah kesepakatan seluruh Ulama, sebagaimana
disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah.
Hanya saja, hakim harus lebih jeli dalam menentukan apakah benar-benar terjadi
pelanggaran prinsip-prinsip ilmiah dalam kasus yang diangkat, karena ini termasuk
permasalahan yang pelik.
3. Ketidaksengajaan (Khatha)
Ketidaksengajaan adalah suatu kejadian (tindakan) yang orang tidak memiliki maksud
di dalamnya. Misalnya, tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien
yang terluka. Bentuk malpraktek ini tidak membuat pelakunya berdosa, tapi ia harus
bertanggungjawab terhadap akibat yang ditimbulkan sesuai dengan yang telah digariskan
Islam dalam bab jinayat, karena ini termasuk jinayat khatha (tidak sengaja).
4. Sengaja Menimbulkan Bahaya (Itid)
Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja. Ini adalah bentuk
malpraktek yang paling buruk. Tentu saja sulit diterima bila ada dokter atau paramedis yang
melakukan hal ini, sementara mereka telah menghabiskan umur mereka untuk mengabdi
dengan profesi ini. Kasus seperti ini terhitung jarang dan sulit dibuktikan karena berhubungan
dengan isi hati orang. Biasanya pembuktiannya dilakukan dengan pengakuan pelaku,
meskipun mungkin juga faktor kesengajaan ini dapat diketahui melalui indikasi-indikasi kuat
yang menyertai terjadinya malpraktek yang sangat jelas. Misalnya, adanya perselisihan antara
pelaku malpraktek dengan pasien atau keluarganya.
Pembuktian Malpraktek
Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan. Demikian pula, tuduhan
malparaktek harus diiringi dengan bukti, dan jika terbukti harus ada pertanggungjawaban dari
pelakunya. Ini adalah salah satu wujud keadilan dan kemuliaan ajaran Islam. Jika tuduhan
langsung diterima tanpa bukti, dokter dan paramedis terzhalimi, dan itu bisa membuat mereka
meninggalkan profesi mereka, sehingga akhirnya membahayakan kehidupan umat manusia.
Sebaliknya, jika tidak ada pertanggungjawaban atas tindakan malpraktek yang terbukti,
pasien terzalimi, dan para dokter bisa jadi berbuat seenak mereka.
Dalam dugaan malpraktek, seorang hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui oleh
syariat sebagai berikut:
1. Pengakuan Pelaku Malpraktek (Iqrr).

32

Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri,
dan ia lebih mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri, biasanya
pengakuan ini menunjukkan kejujuran.
2. Kesaksian (Syahdah).
Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan tazr, dibutuhkan kesaksian dua pria
yang adil. Jika kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi,
dibolehkan kesaksian satu pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang
tidak bisa disaksikan selain oleh wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian empat
wanita tanpa pria. Di samping memperhatikan jumlah dan kelayakan saksi, hendaknya hakim
juga memperhatikan tidak memiliki tuhmah (kemungkinan mengalihkan tuduhan malpraktek
dari dirinya) [8].
3. Catatan Medis.
Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat
agar bisa menjadi referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang
sah.
Bentuk Tanggung Jawab Malpraktek
Jika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk tanggung jawab yang
dipikul pelakunya. Bentuk-bentuk tanggung-jawab tersebut adalah sebagai berikut:
1. Qishash
Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak malpraktek sengaja untuk
menimbulkan bahaya (itida), dengan membunuh pasien atau merusak anggota tubuhnya,
dan memanfaatkan profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang dilakukannya.
Ketika memberi contoh tindak kriminal yang mengakibatkan qishash, Khalil bin Ishaq alMaliki mengatakan: Misalnya dokter yang menambah (luas area bedah) dengan sengaja.
2. Dhamn (Tanggung Jawab Materiil Berupa Ganti Rugi Atau Diyat)
Bentuk tanggung-jawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada
kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
c. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan tidak
disengaja.
d. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin dari
pasien, wali pasien atau pemerintah, kecuali dalam keadaan darurat.

33

3. Tazr berupa hukuman penjara, cambuk, atau yang lain.


Tazr berlaku untuk dua bentuk malpraktek:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada
kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
Pihak Yang Bertanggungjawab
Tanggung-jawab dalam malpraktek bisa timbul karena seorang dokter melakukan
kesalahan langsung, dan bisa juga karena menjadi penyebab terjadinya malpraktek secara
tidak langsung. Misalnya, seorang dokter yang bertugas melakukan pemeriksaan awal
sengaja merekomendasikan pasien untuk merujuk kepada dokter bedah yang tidak ahli,
kemudian terjadi malpraktek. Dalam kasus ini, dokter bedah adalah adalah pelaku langsung
malpraktek, sedangkan dokter pemeriksa ikut menyebabkan malpraktek secara tidak
langsung.
Jadi, dalam satu kasus malpraktek kadang hanya ada satu pihak yang bertanggungjawab. Kadang juga ada pihak lain lain yang ikut bertanggung-jawab bersamanya.
Karenanya, rumah sakit atau klinik juga bisa ikut bertanggung-jawab jika terbukti teledor
dalam tanggung-jawab yang diemban, sehingga secara tidak langsung menyebabkan
terjadinya malpraktek, misalnya mengetahui dokter yang dipekerjakan tidak ahli.

34

DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Panduan HAM bagi Pasien dan Dokter untuk Mencegah Malpraktek, Diakses dari:
http://www.balitbangham.go.id/index/images/judul_pdf/sipol/pengembangan/2008/malpra
ktek.pdf
2. Etika Kedokteran, Diakses dari: http://www.scribd.com/doc/96601676/etika-kedokteran
3. Malpraktek Dalam Kajian Hukum Pidana,
Diakses dari: http://eprints.undip.ac.id/20768/1/2380-ki-fh-98.pdf
4. Malpraktek Medik, Diakses dari:
http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/matkul/Forensik/MALPRAKTEK%20MEDIK.pdf
5. Malpraktek Menurut Syariat Islam, Diakses dari:
http://almanhaj.or.id/content/2836/slash/0/malpraktek-menurut-syariat-islam/
6. Rekam Medis, Diakses dari: http://medicalrecord.webs.com/kegunaanrekammedis.htm
7. Tanggung Jawab Dokter Dalam Malpraktek Kedokteran Menurut Hukum Perdata,Diakses
dari : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/4766/1/05004307.pdf
8. Tinjauan Yuridis malpraktek dalam system hukum Indonesia,
Diakses dari : http://eprints.uns.ac.id/2230/1/207721811201102511.pdf

35

Anda mungkin juga menyukai