Anda di halaman 1dari 15

ASUHAN KE[ERAWATAN SISTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

Pengertian
SLE (Sistemisc lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan
fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam
autoantibodi dalam tubuh.
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak
faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi
sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi

autoantibodi yang berlebihan

(Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein
intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar,
2003) melalui mekanisme pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
Sistemik lupus erythematosus adalah suatu penyakit kulit menahun yang ditandai dengan
peradangan dan pembetukan jaringan parut yang terjadi pada wajah, telinga, kulit kepala dan
kandung pada bagian tubuh lainnya(WWW. Medicastrore. Com. 2004).
Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic
lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi,
skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah,
lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini
memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit
secara menetap (Hahn, 2005).

2. Systemic Lupus Erythematosus


SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak
faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi
sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan
(Albar,

2003).

Terbentuknya

autoantibodi

terhadap

dsDNA,

berbagai

macam

ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan


jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
3. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein
tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
Insiden
SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 10 : 1.
Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi oleh obat. Penyakit SLE
juga menyerang penderita usia produktif yaitu 15 64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini
dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente,
2002). Prevalensi SLE berbeda beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika Amerika
mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12
kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di
Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50
kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000
populasi (Bartels, 2006).
Etiologi
Faktor genetik
Mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit
SLE. Sekitar 10% 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang
menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi
daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak
gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen
komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s,
C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin
(Albar, 2003) .
Faktor lingkungan
Menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di
daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta

menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu
khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi
obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan
obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh
sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda
asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang
mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B
sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri
juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan
peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan
memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).
Kriteria
Kriteria SLE dari ARA, tahun 1997:
1.Malar rash :erythema yang fixed,datar/meninggi.Letaknya pada malar,biasanya tidak mengenai lipatan
nasolabial.
2.Discoid rash :Lesi erythemetous yang meninggi dengan squama keratotic.Kadang tampak scar yang atofi.
3.Fotosensitivitas. :Diketahui melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik.
4.Ulkus oral : Ulserasi dimulut atau nasofaring,biasanya tidak nyeri.
5.Arthritis : nonerosive arthritis melibatkan 2 atau lebih dari sendi perifer. Ditandai dengan
nyeri,bengkak,atau efusi.
6.Serositis : Pada pleuritis didapatkan riwayat nyeri pleural,pleural friction rub,efusi pleura.Pada pericarditis
tampak pada ECG,gesekan pericard,efusi pericard.
7.Gangguan Renal : proteinuria >0,5 g/hari atau >3+,atau cellular cast berupa eritrosit,hemoglobin
granular,tubular,atau campuran.
8.Kelainan neorologis : psikosis,kejang-kejang (tanpa sebab yang jelas).
9.Kelainan hematologis :anemia hemolytic, leukopenia(<4000/L), limfopenia (<1500/L), trombositopenia
(<100.000/L).
10.Kelainan imunologis : Anti ds-DNA , Anti-Sm(antibody terhadap antigen otot polos) ,Antifosfolipid
antibody,STS false positve.
11.Antibodi antinuclear : ANA test +., Penderita dikatakan mempunyai SLE jika terdapat minimal 4 kriteria
terpenuhi, baik secara bersamaan ataupun simultan, selama observasi.
Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh

kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan


penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari,
luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah
alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel Tsupresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi
tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
WOC SLE
Gangguan imunoregulasi

Peningkatan autoantibodi

Komplek imun dan kerusakan jaringan

Perubahan fungsi barier kulit

Inflamasi

Kelemahan otot

Rasa nyeri saat


gerak

Penurunan rentang
gerak

Peningkatan aktivitas penyakit

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa
lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005).
Gejala muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan mialgia umumnya timbul mendahului
gejala yang lain. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh
lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki (Delafuente,
2002).

Gejala di kulit
Dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan banyak menolong dalam
mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa
eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat,
kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat
timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photohypersensitivity). Lesi cakram
terjadi pada 10% 20% pasien SLE. Gejala lain yang timbul adalah vaskulitis eritema
periungual, livido retikularis, alopesia, ulserasi, dan fenomena Raynaud (Delafuente, 2002).

Gejala SLE pada jantung


Sering ditandai adanya perikarditis, miokarditis, gangguan katup jantung (biasanya
aorta atau mitral) termasuk gejala endokarditis Libman-Sachs. Penyakit jantung pada pasien

umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi, kegemukan, dan hiperlipidemia.
Terapi dengan kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal juga dapat meningkatkan resiko
penyakit jantung pada pasien SLE (Delafuente, 2002).

Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang meliputi
Pleuritis dan efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas, dan
batuk. Gejala pada paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas yang tinggi.
Nyeri abdomen terjadi pada 25% kasus SLE. Gejala saluran pencernaan (gastrointestinal) lain
yang sering timbul adalah mual, diare, dan dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi vaskulitis,
perforasi usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali (Delafuente, 2002).

Gejala SLE pada susunan saraf yaitu


Terjadinya neuropati perifer berupa gangguan sensorik dan motorik yang umumnya
bersifat sementara (Albar,2003). Gejala lain yang juga timbul adalah disfungsi kognitif,
psikosis, depresi, kejang, dan stroke (Delafuente, 2002).

Gejala hematologik
Umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik pada sebagian besar
pasien saat lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji Coombs-nya positif dapat mengalami
anemia hemolitik. Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak
memerlukan terapi dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan
trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada 5% pasien dan harus
diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka pendek dapat dicapai dengan
pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung trombosit tidak dapat mencapai kadar yang
memuaskan dalam 2 minggu, harus dipertimbangkan tindakan splenektomi (Delafuente,
2002).

Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil
pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan secara penurunan berat
badan dan kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan perikarditis. Tidak ada satu tes
laboratorium tunggal yang dapat memastikan diagnostik SLE, sebaliknya pemeriksaan serum
akan mengungkapkan anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau
leucopenia dan anti bodi antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mungkin
tetapi tidak memastikan diagnostic (Smeltzer dan Suzanne, 2001)
Anti ds-DNA
Batas normal : 70 200 IU/mL
Negatif
: < 70 IU/mL
Positif
: > 200 IU/mL

Antibodi ini ditemukan pada 65% 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada
penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan
kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang
lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat
turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit
terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang
tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua
tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan
yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan
spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodiantigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan
konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks
Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah
sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif
untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi
ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik
yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan
penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah
ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap
SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika
hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang
diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm),
anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and
Pagana, 2002).
Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk
monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin,
lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte
Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP),kadar komplemen (C3 dan C4),
Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase
(Pagana and Pagana, 2002).
2.9 Pengobatan

Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)


NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antiperitik dan
antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan arthralgia/arthritis.
Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti kegunaannya. Ibuprofen dan
indometasin cukup efektif untuk mengobaati SLE dengan arthritis dan pleurisi, dalam
kombinasi dengan steroid dan antimalaria. Keterbatasan obat ini adalah efeksamping pada
saluran pencernaan terutama pendarahan dan ulserasi. Cox2 dengan efek samping yang lebih
sedikit diharapkan dapat mengatasi hal ini, sayang belum ada penelitian mengenai
efektivitasnya pada SLE. Efek samping lain dari OAINS adalah : reaksi hipersensitivitas,
gangguan renal, retensi cairan, meningitis aseptik.
Corticosteroids
Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekaanisme antiinflamasi dan
amunosuprefit. Dari berbagai jenis steroid, yang paling sering digunakan adalah prednison
dan metilprednisolon.
Pada SLE yang ringan (kutneus, arthritis/arthralgia) yang tidak dapat dikontrol oleh
NSAID dan antimalaria, diberikan prednison2,5 mg sampai 5 mg perhari. Dosis ditingkatkan
20% tiap 1 sampai 2 minggu tergantung dari respon klinis. Pada SLE yang akut dan
mengancam jiwa langsung diberikan steroid, NSAID dan antimalaria tidak efektif pada
keadaan itu. Manifestasi serius SLE yang membaik dengan steroid antara lain : vaskulitis,
dermatitis berat ataau SCLE, poliarthritis, poliserosistis, myokarditis, lupus pneumonitis,
glomeruloneftritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik, neuropati perifer dan krisis lupus.
Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regimen pemberian steroid:
1. Regimen I: daily oral short acting (prednison, prednisolon, metilprednisolon), dosis: 1-2
mg/kg BB/hari dimulai dalam dosis terbagi, lalu diturunkaan secara bertahap (tapering)
sesuai dengan perbaikan klinis dan laboratoris. Regimen ini sangat cepat mengontrol penyakit
ini, 5-10 hari untuk manifestasi hemotologis atau saraf, serositis, atau vaskulitas; 3-10
minggu untuk glomerulonephritis.
2. Regimen II : methylprednisolone intravena, dosis: 500-1000 mg/hari, selama 3-5 hari atau 30
mg/kg BB/hari selam 3 hari. Regimen ini mungkin dapat mengontrol penyakit lebih cepat
dari pada terapi oral setiaap hari, tetapi efek yang menguntungkan ini hanya bersifat
sementara, sehingga tidak digunakan untuk terapi SLE jangka lama.
3. Regimen III: kombinasi regimen 1 atau 2 dengan obat sitostatik azayhioprine atau
cyclophosphamide.

Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan kecepatan 2,5-5
mg/minggu sampai dicapai maintenance dose.
Antimalaria
Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah lama
diketahui, dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk SLE kulit terutama
LE diskoid dan LE kutaneus subakut. Obat ini bekerja dengan cara mengganggu pemrosesan
antigen di makrofag dan sel penyaji antigen yang lain dengan meningkatkan pH di dalam
vakuola lisosomal. Juga menghambat fagositosis, migrasi netrfil, dan metabolisme membran
fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi sinar UV. Hidrosiklorokuin
menghaambat reaksi kulit karena sinar UV. Bebrapa penelitian melaporkan bahwa antimalaria
dapat menurunkan koSLEterol total, HDL dan LDL, pada penderita SLE yang menerima
steroid maupun yang tidak.
Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia : hidroksiklorokuin (dosis 200-400mg/hari),
klorokuin (250mg/hari), kuinarkrin (100mg/hari). Hidroksiklorokuin lebih efektif daripada
klorokuin, dan efek sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering
adalah efek pada saluran pencernaan, kembung, mual, dan muntah; efk sam ping lain adalah
timbulnya ruam, toksisitas retin, daan neurologis (jarang).
Methoreksat
Methoreksat adaalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis untuk penyaakit
rematik efek imunosupresifnya lebih lemah daripada obat alkilating atauazathrioprin.
Methorekxate dosis rendah mingguan, 7,5-15 mg, eektif sebagai steroid sprring agent dan
dapat diterima baik oleh penderita, terutama pada manifestsi kulit dan mukulosketetal.
Gansarge dkk. Melakukan percobaan dengan memberikan Mtx 15 mg/minggu pada
kegagalan steroid dan antimalaria.
Efek samping Mtx yang paling sering dipakai adalah:lekopenia, ulkus oral, toksisitas
gastrointestinal, hepatotoksisitas.untuk pemantauan efek samping diperlukan pemeriksaan
darah lengkap,tes fungsi ginjal dan hepar.pada penderita dengan efek samping
gastrointestinal,pemberian asam folat 5 mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Identitas
Umur : biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun

Jenis Kelamin : Perbandingan penderita penyakit Lupus ini antara wanita dan pria adalah 9:1,
dan 80% dari kasus ini menyerang wanita dalam usia produktif.
2. Riwayat Keperawatan
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan
efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien biasanya mengeluh sama dengan keluhan utamanya, tetapi respon tiap orang
berbeda terhadap tanda dan gejala SLE tergantung imunitas masing-masing.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dahulu walaupun tidak terlalu spesifik biasanya akan didapatkan adanya
keluhan mudah lelah, nyeri, kaku, anorksia dan penurunan berat badan secara signifikan.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien yang mempunyai keluarga yang pernah terkena penyakit Lupus ini dicurigai
berkecenderungan untuk terkena penyakit ini, lebih kurang 5-12% lebih besar dibanding
orang normal.
3.2 Pemeriksaan Fisik
a. Status Kesehatan Umum
b. Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien secara umum, ekspresi
wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap petugas,
bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat kecemasan dan ketegangan pasien.
c. Perlu juga dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan pasien
d. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
e. Sistem Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi
eritematous

papuler

dan

purpura

yang

menjadi

nekrosis

menunjukkan

gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.
f. Sistem Persyarafan
Sering

terjadi

depresi

dan

psikosis,

juga

serangan

kejang-kejang,

korea

ataupun manifestasi SSP lainnya.


g. Sistem Pencernaan
Menurunnya frekuensi eliminasi BAB, mual, muntah, terdengar suara bising usus jelas.
h. Sistem integumen

Lesi

akut

pada

kulit

yang

terdiri

atas

ruam

berbentuk

kupu-kupu

yang

melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi
atau palatum durum.
i. Sistem Muskuluskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku
pada pagi hari.
3.3 Diagnosa dan Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Kriteria Hasil : - Pasien merasa derajat nyeri menurun
- Pasien dapat melakukan relaksasi dan distraksi
- Pasien bisa mengendalikan rasa nyeri
Intervensi :
a.

Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres


panas /dingin; masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga,
bidai; teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)

R/ mengendalikan rasa nyeri dan relaksasi terhadap nyeri


b. Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
R/ mengurangi rasa nyeri dan memberikan kenyamanan pasien
c.
Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap
penatalaksanaan nyeri.
R/ mengatur kesiapan pasien untuk melakukan pengobatan
d. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat
kronik penyakitnya.
R/ mengetahui derajat keparahan nyeri pasien
e. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa
nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
R/ menjelaskan efek dari pengobatan yang sedang dijalani sekarang
f. Bantu dalam mengenali nyeri dalam kehidupan seseorang yang membawa pasien
untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
R/ metode terapi nyeri yang tepat
g. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.
R/ mengetahui respon nyeri
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri.
Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang diperlukan.
Kriteria Hasil :

pasien tidak merasa letih


pasien bisa melakukan aktivitas hidup sehari-hari dengan maksimal
pasien merasa nyaman dan senang

Intervensi :
a.

Beri penjelasan tentang keletihan

R/ membantu pasien dalam memahami tentang gejala yang dideritanya


b. hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan
R/ mencegah terjadiya komplikasi
c.

menjelaskan

tindakan

untuk

memberikan

kenyamanan

sementara

melaksanakannya
R/ pasien merasa tidak takut dan merasa nyaman
d. mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin untuk tidur (mandi air
hangat dan teknik relaksasi yang memudahkan tidur)
R/ kebutuhan istirahat tidur tercukupi dan pasien merasa nyaman
e.

menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler dan


emosional
R/ dapat mengendalikan emosionalnya

f.

menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga


R/ pasien mengetahui tentang pola penggunaan tenaga

g.

kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.

R/ untuk mengontrol aktivitas yang dilakukan pasien


h. Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.
R/ membantu pasien untuk memenuhi kebutuhan istirahat tidur
i. Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.
R/ memotivasi pasien dalam melkukan program terapi
j. Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.
R/ kebutuhan nutrisi tubuh tercukupi
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak,
kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
-

Kriteria Hasil :
Pasien tidak merasa nyeri saat bergerak
Pasien bisa melakukan mobilitas dengan optimal
Intervensi :
a.

Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.

R/ untuk mengetahui keterbatasan dalam mobilitas

b.

Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :

Menekankan kisaran gerak pada sendi yang sakit


R/ mengurangi rasa sakit pada sendi
Meningkatkan pemakaian alat bantu
R/ membantu untuk mempermudah dalam mobilisasi
c.

Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan.

Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas


R/ untuk menghemat tenaga
Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas.
R/ memulihkan energy
Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi
R/ mencegah kerusakan sendi
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan
fisik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan perubahan fisik serta psikologik yang
ditimbulkan oleh penyakit.
Kriteria Hasil :
-

Pasien tampak percaya diri


Pasien tidak mengalami perubahan fisik serta psikologik yang ditimbulkan oleh penyakit
Intervensi :

a.

Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan


penanganannya.
R/ pencegahan invasi terhadap penyakit

b.

Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut

Membantu menilai situasi sekarang dan mengenali masalahnya.


R/ mengendalikan emosionalnya
Membantu mengenali mekanisme koping pada masa lalu.
R/ pertahanan emosional yang baik
Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.
R/ menjaga dan mempertahankan emosional pasien dengan baik
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit,
penumpukan kompleks imun.

Tujuan : pemeliharaan integritas kulit


Kriteria Hasil :
-

Tidak terjadi kerusakan integritas kulit


Tidak ada perubahan pada fungsi kulit
Intervensi :

a.

Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan malserasi


R/ agar kulit tidak terpajan langsung dengan sinar UV
b.

Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya cedera termal akibat penggunaan kompres
hangat yang terlalu panas.
R/ menghindari kerusakan integritas kulit

c.

Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.


R/ menghambat reaksi sinar UV

d.

Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.


R/ untuk memberikan efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh
banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan
disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi

autoantibodi yang

berlebihan. Klasifikasi SLE ada 3 yaitu Discoid Lupus, Systemic Lupus Erythematosus,
Lupus yang diinduksi oleh obat.
SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria, Manifestasi klinik secara umum
yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu
makan, dan penurunan berat badan. Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit
yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Tidak ada satu tes laboratorium tunggal yang
dapat memastikan diagnostik SLE. Pengobatan

yang digunakan pada SLE adalah

Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), Corticosteroids dan lain-lain yang dapat


mendukung pengobatan penyakit SLE.
4.2 Saran
1. Dalam menerapkan Asuhan Keperawatan pada Klien dengan S L E diperlukan pengkajian,
konsep dan teori oleh seorang perawat.
2. Informasi atau pendidkan kesehatan berguna untuk klien dengan SLE misalnya mematasi
aktivitasnya.

3. Dukungan psikologik sangat berguna untuk klien.


DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marlyne ( 2000 ) Rencana Asuhan Keperawatan EGC, Jakarta
Dorland, W.A. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Huriawati Hartanto dkk (eds). Edisi 29.
Jakarta: EGC
Klein-Gitteman MS, Miller ML. Systemic Lupus Erythematosus. In : Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB. Textbook of Pediatrics. 17 th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. pp. 809812
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 1.Jakarta; Medi Aesculapius. Hal:568
dan 569
Medical Journal : Cermin Dunia Kedokteran no.142,2004 ; hal.27-30.
Sudoyo, Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I,Edisi ktiga. EGC : Jakarta hal
150-159.
Suzanne, Smeltzer ( 2001 ) Keperawatan Medikal Bedah edisi 2 Vol 8. Jakarta : EGC
Symposium National Immunology Week 2004,Surabaya 9-10 Oktober 2004;hal201-213.
The Merck Manual Edisi 16 ,Jilid 2 ; hal.878-830
http://stikep.blogspot.com/penyakit/01/ html. 12.00. 25 Maret 2010
www. medicastore. Com./ penyakit langka, diakses 13.00. 26 Maret 2010

Anda mungkin juga menyukai