Anda di halaman 1dari 6

Asal Mula Kapur, Sirih dan Pinang

Cerita Rakyat dari Vietnam


Dalam kehidupan orang Melayu dikenal sebuah tradisi yang disebut
dengan berkapur-sirih, yaitu tradisi makan sirih yang diramu bersama
dengan kapur dan pinang. Tradisi ini juga dikenal oleh masyarakat Melayu di
Vietnam. Bahkan, di kalangan masyarakat Melayu Vietnam tersebar sebuah
cerita menarik mengenai asal mula kapur, sirih, dan pinang. Konon, kapur,
sirih, dan pinang tersebut merupakan jelmaan dua orang laki-laki kembar
tampan dan seorang perempuan cantik. Mengapa mereka menjelma menjadi
kapur, sirih dan pinang? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Mula
Kapur, Sirih, Pinang berikut ini.

***
Alkisah, di sebuah daerah di Vietnam, hidup sepasang suami-istri
bersama dua anak lelaki
kembarnya yang bernama Tang dan Lan. Saudara kembar itu sama-sama
tampan dan pandai. Hidung mereka mancung dan mata mereka bulat
bersinar. Keduanya hidup saling menyayangi. Ke
mana pun pergi, mereka selalu bersama.
Suatu hari, ayah Tang dan Lan sakit keras. Sudah banyak tabib yang
mengobatinya, namun
sakitnya tidak kunjung sembuh, dan akhirnya meninggal dunia. Seluruh
anggota keluarga itu
bersedih hati, terutama ibu Tang dan Lan. Oleh karena rasa sedih yang
mendalam, ibu Tang dan
Lan tidak mau makan hingga jatuh sakit. Tak lama berselang, sang Ibu pun
meninggal dunia. Maka,tinggallah Tang dan Lan berdua sebagai yatim piatu.
Walaupun kedua orang tua mereka telah tiada, Tang dan Lan tetap memiliki
semangat untuk hidup. Oleh karena sudah tidak memiliki sanak keluarga di
kampung, mereka pun memutuskan hendak pergi ke kota untuk mencari
sahabat karib ayahnya yang bernama Hakim Luu, dengan harapan, Hakim
Luu dapat membantu mencarikan pekerjaan untuk mereka.
Setelah mempersiapkan segala keperluan, mereka pun berangkat ke
kota. Sesampainya di kota, mereka bertanya kesana-kemari untuk mencari

alamat rumah Hakim Luu, karena mereka belum pernah ke kota itu
sebelumnya. Setelah beberapa lama mencari, akhirnya mereka pun
menemukan rumah Hakim Luu.
Bang, benar. Ini rumah Paman Luu, kata Lan kepada Tang sambil
menunjuk papan nama yang melekat di pintu rumah itu.
Tok...! Tok...! Tok...! Permisi...!!! seru Tang sambil mengetuk pintu.
Ya... sebentar! terdengar suara dari dalam rumah.
Tidak berapa lama, tampak seorang laki-laki tinggi gemuk membuka
pintu. Di belakangnya tampak seorang gadis kecil berkulit putih sedang
mengintip.
Eeeh... Nak Tang dan Nak Lan! Mari silahkan masuk! sambut Hakim
Luu.
Terima kasih, Paman! ucap Tang dan Lan.
Sebelum mempersilahkan duduk, Hakim Luu terlebih dahulu
memperkenalkan putrinya kepada mereka. Putri Hakim Luu adalah gadis
kecil yang cerdas, tapi pemalu. Saat berkenalan dengan Tang dan Lan,
pipinya memerah.
Bagaimana kalian bisa sampai kemari? tanya Hakim Luu.
Mendengar pertanyaan itu, Tang dan Lan saling berpandangan.
Sepertinya kalian sedang ada masalah. Ada apa, Nak? tanya Hakim
Luu.
Iya, Paman. Kami sedang sedih. Dua minggu yang lalu ayah kami
meninggal dunia karena sakit, jawab Tang dengan nada sedih.
Hah, meninggal dunia! Kenapa kalian tidak memberi kabar? tanya
Hakim Luu dengan terkejut.
Lalu, bagaimana dengan ibu kalian? tambahnya dengan perasaan
cemas.
Begini, Paman. Sepeninggal ayah, ibu tidak mau makan hingga jatuh
sakit. Beberapa hari
kemudian, ibu pun menyusul kepergian ayah, cerita Tang.
Paman turut berduka cita atas meninggalnya orang tua kalian. Paman
tahu kalian tidak memiliki siapa-siapa lagi. Jadi, kalian boleh tinggal di rumah
ini bersama kami, kata Hakim Luu.
Terima kasih, Paman! jawab Tang dan Lan serentak.

Sejak itu, Tang dan Lan tinggal di rumah Hakim Luu. Mereka rajin dan
tekun membantu Hakim Luu
berjualan di toko. Hakim Luu menyayangi mereka seperti anak kandungnya
sendiri.
Waktu terus berjalan. Tang dan Lan tumbuh menjadi pemuda yang tampan
dan pandai. Tingkah
laku dan sopan santunnya memikat hati semua orang. Putri Hakim Luu pun
tumbuh dewasa dan
semakin cantik menawan. Rupanya, Tang dan Lan diam-diam menaruh
perhatian pada putri Hakim
Luu yang pemalu itu. Namun, mereka malu dan tidak berani
mengutarakannya.
Pada suatu hari, timbul niat di hati Hakim Luu untuk menikahkan salah
seorang dari mereka dengan
putrinya. Namun, ia tidak dapat menentukan siapa yang akan dipilihnya,
karena mereka memiliki
paras dan perangai yang serupa. Akhirnya, ia mengajak kedua saudara
kembar itu untuk
bermusyawarah.
Begini, Nak! Paman berniat menikahkan putriku. Tapi, paman masih bingung
untuk memilih salah
seorang di antara kalian, ungkap Hakim Luu.
Dengan Tang saja, Paman! sahut Lan.
Tidak, Paman! Lan saja! sanggah Tang.
Hakim Luu pun semakin bingung melihat kedua saudara kembar itu saling
menunjuk. Ia harus
memilih salah seorang di antara mereka. Untuk itu, Hakim Luu ingin
mengetahui siapa di antara
keduanya yang lebih tua dan yang berhak menikahi putrinya. Ia kemudian
meminta kepada putrinya
untuk menyediakan semangkuk makanan dan sepasang sumpit di depan
Tang dan Lan. Saat Hakim
Luu mempersilahkan kepada mereka untuk bersantap, Lan langsung
mengambil sumpit itu, lalu
menyerahkannya kepada Tang dengan sopan. Tang pun menerimanya.
Melihat hal itu, tahulah
Hakim Luu bahwa Tang adalah yang lebih tua. Maka, Tang lah yang terpilih
menjadi menantunya.
Pesta pernikahan mereka pun dilaksanakan dengan meriah. Berbagai
pertunjukan seni dan tari

dipentaskan. Undangan datang dari berbagai negeri. Bahkan banyak


pembesar kerajaan yang datang ke pesta itu. Para undangan ikut berbahagia
menyaksikan pasangan pengantin itu sedang
duduk bersanding di pelaminan.
Kehidupan pengantin muda itu sangat berbahagia. Tang sering mengarang
syair-syair percintaan
dan menyanyikannya untuk melukiskan rasa kebahagiaannya. Oleh karena
terlalu asyiknya dengan
kehidupan rumah tangga barunya, Tang melupakan Lan. Ia tidak pernah lagi
bercerita dan duduk
mengobrol dengan adiknya itu. Pada awalnya Lan memakluminya. Namun,
semakin hari sikap Tang
semakin tidak peduli lagi kepadanya, sehingga Lan merasa kesepian.
Begitu malangnya nasibku. Abang pun sudah melupakan aku. Apalah
gunanya berada di sini jika
tidak pernah disapa sama sekali, ucap Lan dengan sedihnya.
Lan kemudian bertekad mengembara seorang diri untuk menghilangkan
kesedihannya. Ia pun
meninggalkan kota itu tanpa sepengetahuan Tang dan keluarga Hakim Luu.
Ia berjalan tanpa arah
dan tujuan, mengikuti ke mana arah kakinya melangkah. Sudah banyak
hutan ia lewati, gunung ia
daki, dan sungai ia seberangi, namun kesedihannya tidak juga hilang dari
hatinya.
Suatu hari, saat hari mulai gelap, sampailah ia di sebuah pantai yang indah
dan sejuk. Lan mencaricari
tempat untuk bermalam, namun tidak menemukan tempat untuk berlindung.
Perutnya pun
terasa sangat lapar, karena sudah beberapa hari tidak terisi oleh makanan
sedikit pun. Semakin
lama, tubuhnya pun semakin lemah, dan akhirnya meninggal dunia di
tempat itu. Konon, mayat Lan
berubah menjadi sebuah batu kapur yang putih.
Sementara itu, Tang yang menyadari adiknya telah pergi dari rumah merasa
sangat menyesal.
Dengan perasaan sedih dan pilu, ia pergi mencari adiknya. Setelah berjalan
melalui hutan lebat,
mendaki gunung, dan menyeberangi sungai, sampailah ia di pantai tempat
adiknya meninggal

dunia. Oleh karena terlalu letih, ia pun duduk di pantai sambil menyaksikan
deburan ombak.
Lan, adikku! Kamu di mana? Aku sangat menyesal karena telah
mengabaikanmu, ucap Tang
sambil menangis tersedu-sedu.
Selama dua hari dua malam Tang duduk di pantai itu sambil menangis tiada
henti. Ia juga tidak
makan dan minum, sehingga jatuh sakit. Akhirnya ia pun meninggal dunia di
tempat itu, dan
mayatnya berubah menjadi pohon pinang.
Sementara itu isteri Tang sudah jenuh menunggu kepulangan suaminya. Ia
pun pergi mencari
suaminya yang sangat dikasihinya. Ia terus berjalan tanpa mengenal lelah
hingga akhirnya sampai
pula di pantai tempat suaminya meninggal. Oleh karena terlalu letih, ia pun
duduk bersandar di
pohon pinang di tepi pantai itu sambil menangis tanpa henti. Lama-kelamaan
tubuhnya menjadi
lemah tidak berdaya, dan akhirnya meninggal dunia. Mayatnya berubah
menjadi pohon sirih dan
melilit di pohon pinang yang tidak lain adalah jelmaan suaminya sendiri.
***
Demikian cerita Asal Mula Kapur, Sirih, dan Pinang dari Vietnam. Untuk
mengenang peristiwa
tersebut, penduduk setempat mendirikan sebuah rumah ibadat di pantai itu,
agar kasih sayang
mereka yang tulus dapat ditiru. Di kalangan masyakat Melayu Vietnam,
kapur, sirih dan pinang
menjadi lambang kasih sayang.
Cerita di atas termasuk kategori cerita legenda yang mengandung pesanpesan moral. Setidaknya
ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan
sifat kasih sayang dan
akibat yang ditimbulkan sifat terlena dalam kebahagiaan.
Pertama, sifat kasih sayang. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Tang
dan istrinya yang rela
berjalan jauh untuk mencari orang-orang yang mereka sayangi. Namun, ada
sebuah pelajaran yang

dapat diambil dari peristiwa tersebut bahwa jika mencintai atau menyayangi
seseorang hendaknya
tidak berlebihan, sehingga lepas kendali dan membahayakan jiwanya. Dalam
kehidupan Melayu,
sifat kasih sayang memang diutamakan, tapi dalam batas kewajaran.
Dikatakan dalam untaian
syair:
wahai ananda dengarlah peri,
berkasih sayang sifat terpuji
pandai-pandailah menjaga diri
hati orang jangan disakiti
Kedua, akibat yang ditimbulkan dari sifat terlena dalam kebahagiaan. Sifat
ini digambarkan oleh
sikap dan perilaku Tang yang terlena dalam kehidupan rumah tangganya,
sehingga ia mengabaikan
adik kandungnya sendiri. Akibatnya, adiknya pergi meninggalkannya, karena
merasa kesepian. Dari
sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa kebahagiaan dalam kehidupan
rumah tangga dapat
menyebabkan seseorang lupa kepada saudara dan orang-orang yang ada di
sekitarnya.
(SM/sas/82/05-08)
Sumber:
Isi cerita di adaptasi dari Anonim. www.pnm.my diakses pada 19 Juni 2008.
Anonim. Vietnam, (http://id.wikipedia.org/wiki/Vietnam, diakses pada
tanggal 19 Juni 2008).
Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan
Pengembangan
Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.

Anda mungkin juga menyukai