1. Pendahuluan
Otitis eksterna jamur (otomicosis) adalah penyakit yang umum terjadi
diseluruh Dunia, dengan frekuensi yang berbeda dalam berbagai zona geografi
yang berbeda. Hal ini sering terjadi didaerah tropis dan kadang-kadang
dikaitkan dengan komplikasi pada telinga tengah. Hal ini telah menjadi hal
yang membingungkan pada banyak ahli otologis karena sifatnya yang
berulang. Sekitar 100 tahun yang lalu oleh andral dan cavarret pada tahun 1843
dan mayer pada tahun 1844, banyak usaha telah dibuat dalam diagnosis dan
pengobatan Kondisi ini. Penyakit ini diseluruh Dunia terdapat kira-kira 5-25%
dari total kasus otitis eksterna.
Dalam sebuah klinik THT, rentang prevalensi sekitar 9% dan menjadi
sekitar 30,4% pada individu prasenting dengan otitis eksterna. Jamur
merupakan penyebab infeksi sekunder pada 1/3 CAE dari kasus otitis eksterna
dan sisanya dikaitkan dengan basil gram negatif.
Secara tradisional, pengobatan otomicosis berkisar dengan kepribadian
seseorang dan penghindaran pembersihan diri. Namun, seiring berjalannya
waktu, manajemen Tatalaksana barvariasi yang berkisar dari metacresylacetate,
asam borat, dan salep sulphatiazole dan berangsur-angsur ketokonazole topical,
tetes
telinga
cresylate,
dan
alumunium
asetat
tetes.
Penggunaan
74% dari individu-individu terdiri dari telinga kiri yang terlibat dengan
sisa 26% pada telinga kanan yang terkena. Pruritus (gatal) merupakan gejala
yang paling umum terlihat pada 76,5% dari individu-individu yang diikuti
dengan discharge telinga, telinga terasa penuh, otalgia, tinnitus dan tuli (tabel
1).
Kongesti membran timpani pada 67,6% pada individu-individu, diikuti
oleh eritema pada dinding tulang liang telinga, eritema pada dinding tulang
rawan liang telinga, nyeri tragus, tulang rawan dinding kanal bengkak,
discharge pada liang telinga, dan tulang pada dinding liang telinga bengkak.
Dari 34 individu, 24 individu terdapat sejarah sering membersihkan telinga dan
24 individu tersebut tidak terdapat serumen. Hal ini mungkin menjelaskan
bahwa serumen dapat dijadikan sebagai anti jamur (tabel 2).
4. Diskusi
Otomicosis, merupakan Kondisi umum yang ditemui dalam praktek
THT, kadang-kadang bisa menjadi tantangan dan menyebabkan frustasi pada
pasien dan ahli otolaringologi. Meskipun komplikasi jarang terjadi dan jarang
mengancam kehidupan, penyakit ini seringkali kambuh dan mungkin
memerlukan pengobatan dan tindak lanjut yang berkepanjangan. Tujuan
pengobatan adalah tidak hanya untuk mengobati infeksi tetapi juga untuk
mengurangi tanda dan gejala yang disebabkan oleh Kondisi ini. Kekambuhan
yang tinggi dikaitkan dengan banyaknya jumlah spora. Otitis media supuratif
kronik, pasca operasi mastoidektomi, dan individu dengan imunokomprimise
dikaitkan sebagai faktor predisposisi untuk Kondisi ini. Oleh karena itu dalam
penelitian kami, kami tidak mengecualikan Kondisi diatas dan mencoba untuk
menganalisis apakah ada faktor-faktor predisposisi lain dari otomikosis,
mengatasi faktor-faktor yang mendasari.
Prinsip dasar dari pengelolaan otitis eksterna karena jamur termasuk
efektivitas aural toilet, mengidentifikasi organisme penyebab dan dihilangkan
dengan menggunakan zat anti jamur yang sesuai. Meskipun antijamur sistemik
telah di coba pada otomikosis, penggunaan topical biasanya digunakan sebagai
anti jamur yang hanya menyebabkan infeksi superficial. Kekambuhan pada
otomikosis telah ditemukan akibat masih terdapatnya spora. Penelitian telah
menunjukkan bahwa spora sub epitel tetap bertahan meskipun telah
menggunakan obat tetes telinga anti jamur topical dan oleh karenanya perlu
penekanan yang penting tentang lamanya durasi pengobatan dan tindak lanjut.
Namun dalam penelitian kami, pada pemeriksaan setelah 2 minggu
pengobatan, tidak ada spora yang muncul.
menekankan pada aural toilet, terutama di daerah isthmus dan anterior recess.
Sejumlah pengobatan ototopikal telah digunakan di masa lalu. Hal ini termasuk
penerapan antiseptik seperti gentian violet, asam borat, cresylate dan
alumunium asetat (burrowssolution). Namun, obat ini dapat menimbulkan
ototoksik, terutama jika Kondisi tersebut terkait dengan perforasi membran
timpani.
Klotrimazole adalah obat anti jamur dari golongan azole yang
digunakan dalam pengobatan otomicosis. Hal ini umum digunakan dengan
kombinasi antibiotik topical maupun sediaan steroid. Pada penelitian lain, obat
tersebut efektif sebagai anti jamur dan mencapai tingkat kesembuhan 95%.
Kami merencanakan untuk melihat efektivitas penggunaan povidone
iodine 7,5% dalam pengelolaan otomicosis. Kami memilih povidone iodine
karena mudah tersedia dan terbukti efektif dalam tatalaksanan otitis media
supuratif kronik yang merupakan salah satu faktor predisposisi dari otomikosis.
Secara kimiawi stabil, murah dan resisten terhadap bakteri dan jamur belum
pernah dilaporkan. Penggunaan yang berlebihan dari setiap antibiotik dan
antimikroba dapat menyebabkan munculnya resistan terhadap organisme.
Povidone iodine digunakan dalam mengatasi masalah karena sampai saat ini
tidak ada studi yang menunjukkan resistensi, yang merupakan penyebab
Meningkatnya keprihatinan pada masa sekarang. Di negara-negara berkembang
seperti India dimana povidone iodine merupakan obat yang efektif dan lebih
murah tanpa efek ototoksik merupakan Pilihan yang lebih baik. Kami telah
menghilangkan faktor perancu seperti individu dengan immunokompromise,
dalam menggunakan tangan yang benar. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian
lebih lanjut termasuk penggunaan tangan pada individu dan sisi telinga yang
terkena.
Melihat pertumbuhan mikroba floral, penelitian menunjukkan bahwa
infeksi campuran cukup langka seperti jamur umumnya cenderung
menghambat bakteri flora. Dalam penelitian kami, kasus yang didiagnosis
otomikosis, infeksi campuran flora merupakan yang paling penting, dan kami
mengusulkan mungkin karena pembentukan biofilm yang dikenal cukup
resisten terhadap agen topical yang umum digunakan. Hal ini juga dapat
menjelaskan sifat berulangnya otomikosis. Penelitian lebih lanjut akan
diperlukan untuk mengkonfirmasi hal ini. Bakteri komensalisme seperti
staphylococcus epidermidis, corynebacterium spp, bacillus spp, coccus gram
positif (staphylococcus aureus, streptococcus spp, non pathogenic micrococci),
gram negatif bacil (pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, haemophilus
influenza, and moraxxela catarrhalis), dan miselium jamur dari genus
aspergillus maupun yeast seperti jamur, terutama candida spp.
Smears yang dilakukan sebelum terapi, memiliki dominasi bakteri basil
gram negatif dan pseudomonas aeruginosa, dan 75% pada grup ini ada
hubunganya dengan jamur. Penyusunan yang kami lakukan di hitung dengan
sebagian besar yang lain dalam mengisolasi aspergillus sebagai spesies yang
paling umum. Ketika seseorang mengalami gejala, sering dikaitkan dengan
tidak seimbangnya antara pathogen dengan onset infeksi.
Didapatkannya
merasa lebih tidak nyaman. Hal ini menyebabkan timbulnya buih dan bila
digunakan harus dibawah Pengawasan. Alkohol lebih cepat merusak biofilm
dari staphylococcus epidermidis. Candida telah diketahui Membentuk biofilm
terutama dalam kateter, dan studi sekarang menyarankan pembentukan biofilm
spesies aspergillus dengan bakteri. Belum ada literatur yang menunjukkan
bahwa biofilm dianggap sebagai penyebab infeksi berulang saluran
pendengaran bagian eksterna. Maka dari itu kami menunjukkan bahwa
kekambuhan dari penyakit tidak hanya akibat dari spora, mungkin juga karena
pembentukan biofilm.
Pemberian antibiotik oral infeksi yang terjadi bersamaan dengan infeksi
bakteri pada resolusis yang tidak lengkap dari infeksi liang telinga maupun
selulitis pada pada liang telinga bagian luar. Tidak seperti penelitian lain yang
hanya membandingkan gejala dengan hasil kultur, mengkategorikan gejala
hanya terbatas pada berbagai bagian liang telinga dan kongesti membran
timpani yang diikuti oleh eritema dinding tulang keras dan tulang rawan.
Debris jamur yang paling sering dicatat yaitu pada isthmus tulang rawan,
menunjukkan migrasi epitel dan kegagalan dalam menghilangkan organisme,
sehingga sebuah nidus dapat menumbuhkan jamur dengan subur. Penggunaan
tetes telinga yang diaplikasikan sekali sehari berdasarkan penelitian yang
dilakukan sebelumnya oleh Nong et al, menunjukkan angka kesembuhan
sebesar 95%. Sebagai hasil povidone iodine sebanding dengan kelompok
clotrimazole, povidone iodine juga dapat diterapkan sekali sehari sehingga
meningkatkan kepatuhan pasien. Tak satupun dari pasien kami yang
menunjukkan tanda dan gejala dermatitis alergi.
5. Kesimpulan
Hasil penelitian mendukung penggunaan povidone iodine dalam
pengobatan otomicosis, sehingga dapat menghindari munculnya resisten
organisme. Penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar
dibutuhkan yang diperlukan untuk memberikan nilai yang signifikan secara
statistic untuk mengukur obat yang lebih efektif. Telah banyak studi mengenai
penggunaan povidone iodine pada kasus-kasus klinis yang didiagnosis
otomicosis disampig pengelolaan otitis media supuratif kronis.