Anda di halaman 1dari 12

LEGAL MEMORANDUM

Konvensi ICJ No. 15 tahun 1951 tentang Pencegahan dan Hukuman bagi kejahatan genosida yang terjadi di
seluruh belahan dunia.
Setelah melakukan kajian dan penelitian hukum secara terbatas atas salinan (copy) Konvensi ICJ 15 Nomor 182
tahun 1952 tentang Pencegahan dan Hukuman bagi kejahatan genosida yang terjadi di seluruh belahan dunia,
kami menyampaikan Legal Memorandum sebagai berikut:
BAB I
KASUS POSISI
Setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh dan menikmati kebutuhan mereka, antara lain, memperoleh
kehidupan, menikmati istirahat yang cukup, memperoleh pendidikan, merasa aman dan terlindungi. Manusia
pada umumnya adalah masa dimana untuk mendapatkan pendidikan, pemeliharaan dan perlindungan yang baik
di segala bidang termasuk memperoleh kehidupan serta perlindungan hukum dan hak asasi sebagai seorang
manusia, sebagaimana tercantum dalam UNHCR 1948. Dalam upaya Pencegahan dan Hukuman kejahatan
genosida, Indonesia telah meratifikasi konvensi ICJ No. 15 tahun 1951 tentang Pencegahan dan Hukuman
Kejahatan Genosida Undang-undang No. 26 tahun 2000, di mana setiap anggota yang meratifikasi konvensi ini
wajib mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida.
Tetapi dalam kenyataannya tidak semua kelompok dapat menikmati hak-haknya untuk tumbuh dan berkembang
secara optimal baik fisik, mental, sosial maupun intelektualnya. Faktor Politik dan Sosial menjadi alasan utama
Genosida bisa terjadi di dunia internasional.
BAB II
PEMERIKSAAN DOKUMEN
Konvensi ICJ No. 15 tahun 1951 dibuat dengan pertimbangan bahwa perlunya menyetujui instrumen
pencegahan dan Hukuman atas kejahatan genosida, sebagai prioritas utama untuk aksi nasional dan
internasional, termasuk kerjasama dan bantuan internasional, untuk melengkapi Konvensi dan Rekomendasi
yang berkenaan dengan suatu kelompok atau etnis yang diperbolehkan untuk hidup yang merupakan instrumen
dasar tentang hak asasi manusia, serta dalam rangka pencegahan dan hukuman atas kejahatan genosida oleh
para penjahat-penjahat perang, dengan memperhitungkan pentingnya kehidupan yang layak bagi seluruh
kelompok atau etnis di berbagai belahan dunia.
Kewajiban utama negara yang meratifikasi konvensi ini disebutkan dalam Resolusi 260 A (III) 1948:
Setiap anggota yang meratifikasi konvensi ini wajib mengambil tindakan segera dan efekti untuk
Pencegahan dan Hukuman atas Kejahatan genosida.
Dalam konvensi ini, istilah "Genocide" berarti tindakan terencana yang ditujukan untuk menghancurkan
eksistensi dasar dari sebuah bangsa atau kelompok sebuah entitas, yang diarahkan pada individu-individu
yang menjadi anggota kelompok bersangkutan.
Konvensi Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida :
Pasal I: Kelompok yang menutup perjanjian ini memperkuat bahwa genosida yang dilakukan pada waktu
perang atau pada waktu aman pun itu jadi kejahatan menurut hukuman antara negara yang akan dicegahkan dan
dihukumkan mereka.
Pasal II: Menurut konvensi ini, yang masuk hal genosida ini perbuatan yang dilakukan dengan maksud orang
se-bangsa, se-kaum, se-ras atau se-agama apakah semuanya atau hanya bagian mereka saja pun akan
dibinasakan, yaitu perbuatan seperti yang ikut:

(A) Anggota kelompok itu dibunuhkan.


(B) Anggota kelompok itu dikenakan kerugian badan atau jiwa yang berat.
(C) Kelompok itu dikenakan kehidupan dengan maksud mereka dibinasakan apakah semuanya atau hanya
bagian mereka saja pun.
(D) Dijatuhkan tindakan dengan maksud kelahirhan anak kelompok itu akan dihalangi.
(E) Anak kelompok itu diculik supaya dibesarkan oleh kelompok lain.
Pasal III: Perbuatan yang akan dihukumkan:
(A) Genosida.
(B) Besekongkol genosida.
(C) Dihasutkan genosida dengan jelas di hadapan masyarakat.
(D) Diusahakan genosida.
(E) Diikuti dengan orang lain dengan maksud genosida dilakukan.
Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 2:
Genosida berarti setiap dari perbuatan-perbuatan berikut yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan
tujuan merusak begitu saja dalam seluruh atau sebagian suatu keseluruhan ataupun sebagian, kelornpok bangsa,
etnis, rasial, atau agama seperti:
1. Membunuh anggota kelompok
2. Membunuh para anggota kelompok
3. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok
4. Menyebabkan luka-luka pada tubuh atau mental para anggota kelompok
5. Sengaja menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik
baik seluruhnya atau sebagian;
6. Dengan sengaja menimbulkan pada kelompok itu kondisi hidup yang menyebabkan kerusakan fisiknya
dalam keseluruhan atau sebagian
7. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok
8. Mengenakan upaya-upaya yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok itu
9. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain
10. Dengan paksa rnengalihkan anak-anak dari kelompok itu ke kelompok lain.

Kewajiban negara anggota yg meratifikasi disebutkan dalam Pasal 5:


Setiap anggota, wajib untuk menilai validitas persyaratan dan menggunakan hak individualnya dan dari
sudut pandangnya sendiri.
Program-program yang harus dilakukan oleh negara anggota yang meratifikasi dijelaskan dalam Pasal 6:
1. Setiap anggota wajib merancang dan melaksanakan program aksi untuk Pencegahan dan Hukuman
Kejahatan Genosida sebagai prioritas.
2. Program-program aksi itu wajib dirancang dan dilaksanakan melalui konsultasi dengan lembaga
pemerintah dan organisasi pengusaha dan pekerja terkait, dengan memperhatikan pandangan kelompokkelompok terkait lainnya sebagaimana perlunya.
Tindakan-tindakan yang perlu untuk memastikan pelaksanaan ratifikasi ini dijelaskan dalam Pasal 7:
1. Setiap Anggota yang telah membuat dan mempertahankan resrvasi yang mengalami penolakan oleh satu
atau lebih peserta konvensi tapi tidak oleh peserta konvensi lainnya, dapat dianggap sebagai peserta
konvensi jika reservasi sesuai dengan maksud dan tujuan konvensi.
2. Setiap anggota wajib menunjuk pihak berwenang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
ketentuan-ketentuan yang memberlakukan Konvensi ini.
Kewajiban sesama anggota ratifikasi dalam hal kerjasama internasional diatur dalam Pasal 8:
a. Jika salah satu pihak dalam konvensi keberatan terhadap reserbasi yang dianggap tidak sesuai dengan
maksud dan tujuan konvensi, pihak tersebut bukan merupakan peerta konvensi.
b. Pada sisi lain, pihak yang menerima reservasi yang menganggap bahwa Negara yang melakukan
reservasi adalah pihak dalam konvensi.
BAB III
TINJAUAN TEORITIK
Dasar hukum Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida menurut instrumen internasional:
1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human Rights) 1948.
Dalam Pasal 4 Deklarasi HAM ini disebutkan bahwa tidak seorangpun bisa berada dalam perbudakan
(slavery) atau perhambaan (servitude). Perbudakan dan perdagangan budak belian telah dilarang dalam
segala bentuk.
2. Konvensi Genosida (Convention of genocide).
Hak-hak manusia yang ada dalam Konvensi Hak manusia dikelompokkan dalam empat kategori besar,
yakni: Hak atas kelangsungan hidup; Hak atas perlindungan; Hak untuk tumbuh dan berkembang; dan Hak
berpartisipasi. Dengan demikian hak-hak anak dalam Konvensi Genosida memberi perhatian kepada
manusia secara khusus dengan prinsip-prinsip:
1) Prinsip non diskriminasi;
2) Prinsip hak-hak untuk hidup, bertahan hidup dan pengembangan; dan
3) Prinsip menghormati sesama manusia.
3. Konvensi ICJ No. 15 tentang Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida.
Menurut Pasal 3 (1), menyatakan perbuatan yang akan di hukumkan a. Genosida, b. Besekongkol genosida,
c. Dihasutkan genosida dengan jelas di hadapan masyarakat, d. Diusahakan genosida, e. Diikuti dengan
orang lain dengan maksud genosida dilakukan.
4. Konvensi ILO No. 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan
Terburuk untuk Anak.
Dalam Pasal 2 Konvensi ICJ No. 15 tentang Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida mengandung
pengertian:

1.

Membunuh anggota kelompok

2.

Membunuh para anggota kelompok

3.

Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok

4.

Menyebabkan luka-luka pada tubuh atau mental para anggota kelompok

5.

Sengaja menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan


secara fisik baik seluruhnya atau sebagian

6.

Dengan sengaja menimbulkan pada kelompok itu kondisi hidup yang menyebabkan
kerusakan fisiknya dalam keseluruhan atau sebagian

7.

Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok

8.

Mengenakan upaya-upaya yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok


itu

9.

Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain

10.

Dengan paksa rnengalihkan anak-anak dari kelompok itu ke kelompok lain.

Dari kesepeluh kondisi tersebut 5 kategori pertama kemungkinan besar sudah dianggap sebagai kegiatan
genosida dan merupakan tanggung jawab utama pihak internasional untuk melakukan penindakan terhadap
para pelaku utama yang melakukan genosida. Berdasarkan instrumen Internasional yang dimaksud dengan
genosida adalah setiap tindakan pemusnahan etnis secara besar-besaran serta menimbulkan kelangkaan bagi
suku,etnis atau ras tersebut.
Dasar hukum perlindungan anak menurut instrumen nasional:
1. UUD 1945.
pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap
manusia berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.

Hak untuk hidup.


Hak untuk memperoleh pendidikan.
Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain.
Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama.
Hak untuk mendapatkan pekerjaan.

2. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi Genosida (ICJ) No. 15 tahun 1951
3. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Hak-hak Anak menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM:

(a) Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai
akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan (Pasal
3 (1)).
(b) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya (Pasal 9 (1)).
(c) Setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin Pasal 9 (2)).
(d) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 9 (3)).
(e) Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak (Pasal
11).
(f) Setiap orang beerhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak Miliknya (Pasal
29 (1)).
(g) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Pasal 69 (1)).
4. UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi ICJ No. 15 tahun 1951.
BAB IV
PENDAPAT HUKUM
Kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk ke dalam yurisdiksi universal, di mana setiap pelaku kejahatan
tersebut dapat diadili di negara manapun, tanpa memperdulikan tempat perbuatan dilakukan, maupun
kewarganegaraan pelaku ataupun korban. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan prinsip no safe haven (tidak
ada tempat berlindung) bagi pelaku kejahatan yang digolongkan ke dalam hostis humanis generis (musuh
seluruh umat manusia) ini. Perlu ditambahkan bahwa untuk kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana
kejahatan perang dan genosida tidak dikenal adanya daluwarsa.
Beberapa argumentasi menyatakan untuk dapat dikatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, tindakan
tersebut juga harus ditujukan terhadap penduduk sipil. Syarat ini tidak mengartikan bahwa semua populasi
suatu negara, entitas atau wilayah harus menjadi objek serangan. Penggunaan istilah penduduk (population)
secara implisit menunjukkan adanya beberapa bentuk kejahatan yang berbeda dengan kejahatan yang bentuknya
tunggal atau terhadap orang perorangan.
Perlindungan Hukum HAM internasional dalam masa damai didasarkan pada pengakuan bahwa setiap umat
manusia, terlepas dari negara asal, memiliki hak-hak dasar semata-mata karena dia adalah manusia. Rejim
hukum HAM internasional karenanya juga mengakui dan melindungi hak-hak fundamental individu dari hukum
negara dan kekuasaan kedaulatan negara. Perlakuan buruk negara terhadap warga negaranya merupakan
ancaman bagi negara lain dan karenanya perbuatan itu dapat diuji oleh masyarakat internasional.
Sistem perlindungan hak asasi manusia terutama bersumber pada perjanjian-perjanjian internasional. Secara
teoritis maupun praktis, perjanjian-perjanjian internasional mendapat bobot yang besar dalam sistem
perlindungan hak asasi manusia.[6] Sistem perlindungan yang tumbuh pesat sejak PD II ini bukan sebuah
kebetulan, melainkan merupakan reaksi wajar atas kekejaman yang terjadi pada saat itu sehingga ada kehendak
kuat untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran hak asasi yang sama. Dasar dari perlindungan
internasional hak asasi manusia sangat jelas dalam pembukaan Piagam PBB yang menyatakan tujuan adanya
PBB: menyelamatkan generasi-generasi yang akan datang dari musibah perang, dan menegaskan kembali
keyakinannya pada hak-hak asasi fundamental. Selanjutnya pasal-pasal 55 dan 56 Piagam memberi
landasan utama bagi perumusan standar hak asasi manusia dan sistem pemantauan perlindungan internasional
hak asasi manusia sebagaimana terlihat dalam konvensi-konvensi internasional hak asasi manusia. Dengan
demikian persoalan hak asasi manusia menjadi kepedulian yang sah dari masyarakat internasional dan hukum
hak asasi manusia menjadi standar internasional yang mengatur perilaku negara terhadap warga
negaranya/penduduk yang ada di dalamnya.

Bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 9 huruf f Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, penyiksaan adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja melawan hukum menimbulkan kesakitan
atau penderitaan yang berat baik fisik secara mental terhadap seorang tawanan atau seseorang dibawah
pengawasan. Oleh karenanya suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai penyiksaan, apabila persyaratan
adanya kesengajaan untuk menimbulkan rasa sakit atau suatu luka pada orang lain tersebut ada. Jadi, dalam hal
ini niat pelaku haruslah untuk menimbulkan luka pada tubuh atau untuk merugikan orang lain. Jelasnya dalam
hal ini adalah opzet atau tujuan, terlepas dari akibat yang timbul dari perbuatan tersebut.
Bahwa untuk menentukan adanya kejahatan penyiksaan harus dibuktikan 3 (tiga) unsur penting yang harus
dipenuhi yaitu;
1. pelaku membuat seseorang atau orang-orang mengalami rasa sakit atau penderitaan yang mendalam (severe)
baik secara fisik maupun mental
2. orang-orang itu (yang disiksa) berada dalam tahanan atau berada dibawah kontrol para pelaku, dan
3. rasa sakit atau penderitaan tersebut bukan akibat yang ditimbulkan dan tidak inheren atau diakibatkan oleh
penghukuman yang sah. Ketiga unsur tersebut harus juga disertai adanya pembuktian maksud atau niat pelaku
(mens rea atau elemen mental), sehingga terbuktinya actus reus haruslah sejalan dengan terbuktinya elemen
mental (mens rea atau mental element) dari tindakan penyiksaan.
Bahwa berdasarkan pada keterangan saksi-saksi dan juga sesuai dengan fakta32 fakta, dalam peristiwa
Talangsari 1989 telah cukup bukti adanya kejahatan penyiksaan, antara lain dilakukan dengan cara menendang,
memukul, menampar, menginjak dan memaksa membuka mulut dan kemudian dimasukkan barang tertentu, dan
tindakan-tindakan lain yang menimbulkan penderitaan fisik. Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi,
penyiksaan dilakukan dengan menggunakan alat atau instrumen tertentu. Alat atau instrumen yang digunakan
adalah adalah karet untuk menjepret mata, sepatu lars untuk menendang, balok kayu, kursi untuk menjepit
anggota badan yang kemudian diduduki, rokok untuk menyundut, pistol yang dimasukkan ke mulut, popor
senjata, borgol, pulpen yang dimasukkan ke jari-jari, tali rafia untuk mengikat kemaluan, cincin akik untuk
memukul, rotan untuk memukul, sembilu untuk menggores, dan benda-benda lainnya, juga menggunakan
setrum listrik.
Mekanisme internasional perlindungan hak asasi manusia memiliki banyak bentuk baik di tingkat dunia
maupun regional. Proses integrasi norma-norma hak asasi manusia, yang terumus dalam berbagai perjanjian
internasional, ke dalam sistem hukum nasional dilakukan melalui ratifikasi. Konvensi-konvensi hak asasi
manusia umumnya mewajibkan negara untuk menjamin dan melindungi hak-hak yang ada di dalamnya
kepada semua manusia yang berada di bawah yurisdiksi negara bersangkutan. Tentang sarana-sarana apa yang
hendak digunakan untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia menjadi kebebasan negara untuk
memilihnya. Hal ini berarti hukum hak asasi manusia internasional memungkinkan negara (pihak) menentukan
bagaimana menjamin terlindunginya hak asasi manusia setiap warganya. Berbeda dengan konvensi-konvensi
HAM utama di atas, Konvensi Genosida tidak memiliki mekanisme seperti prosedur pelaporan periodik oleh
negara, atau prosedur bagi perorangan maupun organisasi non pemerintah untuk mengajukan pengaduan,
pencarian fakta, maupun laporan dari pelapor khusus maupun kelompok kerja. Konvensi ini juga tidak
mempunyai badan pemantauan pelaksanaan konvensi sebagaimana Konvensi Anti Penyiksaan yang memiliki
Committee Against Torture yang juga membantu pengembangan standar melalui resolusi atau keputusankeputusan lainnya. Perbedaaan ini tidak berarti negara tidak dibebani kewajiban tertentu oleh konvensi
Genosida. Dalam konvensi Genosida negara pihak memiliki kewajiban absolut untuk mengadili dan
menghukum pelaku pelanggaran (perpetrators) dari konvensi tersebut. Pasal 4 mengatur bahwa orang yang
melakukan Genosida atau tindakan lain sebagaimana dikemukakan dalam pasal 3 harus dihukum. Tidak
terkecuali penguasa sah secara konstitusi, pejabat publik dan orang perorangan biasa. Pasal 5 kemudian
mewajibkan negara pihak untuk melakukan segala upaya untuk memberi hukuman yang efektif terhadap
mereka yang bersalah melakukan Genosida. Termasuk dalam kewajiban ini negara harus menyusun sebuah
hukum yang mengatakan bahwa Genosida adalah kejahatan yang harus dihukum. Hal ini berarti, Konvensi

Genosida merupakan satu dari sedikit konvensi hak asasi manusia yang secara eksplisit mewajibkan negara
mengadili dan menghukum pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Perbedaan di atas bukan sebuah kecelakaan.
Sebab, sudah menjadi tujuan asal pembentukan Konvensi ini oleh PBB untuk mengutuk tindakan dan
menghukum pelaku Genosida. Konvensi Genosida merupakan satu dari sejumlah kecil konvensi HAM
internasional yang mengkriminalisasikan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karenanya Konvensi Genosida
memaksa individu untuk menghadapi hukuman pidana sebagai bentuk tanggung jawab atas perbuatan
Genosida. Disamping itu konvensi meniadakan pilihan pada negara dalam menentukan cara menjamin
terlindunginya hak asasi manusia dari tindakan Genosida selain melakukan penyelidikan atas dugaan terjadinya
pelanggaran, mengadili dan menghukum pelaku. Bahkan dapat dikatakan bahwa konvensi Genosida
merupakan pengakuan masyarakat internasional yang pertama bahwa tindak Genosida baik di masa damai
maupun perang adalah kejahatan yang pelakunya harus dihukum. Sebelum lahirnya konvensi Genosida 1948,
dalam hukum internasional hanya kejahatan perang yang mewajibkan negara menghukum pelakunya.
Di dalam perkembangan hukum internasional, fakta menunjukkan bahwa Hukum Internasional tidak dapat
meniadakan keberadaan dan berlakunya hukum nasional dari setiap anggota masyarakat internasional. Banyak
sekali dasar hukum, peraturan hukum ataupun kebiasaan suatu negara, menjadi bagian (pertimbangan) hukum
internasional. Misalnya masalah pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) dari negara tertentu yang sering
kurang sejalan dengan deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia Sedunia yang telah ada. Hal ini terkait atau tidak
terlepas juga dari penafsiran/kepentingan dari setiap negara serta terkait pula dengan masalah-masalah politik
yang ada di dalam negara tersebut. Demikian pula misalnya, perbedaan sistem hukum dan praktik hukum dari
suatu negara serta perlakuan terhadap warga negaranya, seakan-akan menjadi masalah negara yang
bersangkutan, hal ini menjadi masalah pula dalam hukum internasional. Dari sisi ini terbukti adanya keterkaitan
atau hubungan timbal balik antara hukum internasional dengan hukum nasional dari suatu negara.
Pengertian hukum internasional didasarkan atas adanya suatu masyarakat internasional yang terdiri atas
sejumlah negara-negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak di
bawah kekuasaan yang lain. Dengan perkataan lain, hukum internasional merupakan tertib hukum koordinasi
antara anggota-anggota masyarakat internasional yang sederajat. Anggota-anggota masyarakat internasional
tunduk pada hukum internasional sebagai suatu tertib hukum yang mereka terima sebagai perangkat kaedahkaedah dan azas-azas yang mengikat dalam hubungan di antara mereka.Masyarakat internasional tidak memiliki
suatu kekuasaan eksekutif pusat yang kuat seperti di dalam negara-negara di dunia. Dalam masyarakat juga
tidak terdapat kekuasaan legislatif atau kekuasaan kehakiman. Lembaga-lembaga tersebut merupakan ciri-ciri
yang jelas akan adanya hukum positif akan tetapi ini bukan berarti bahwa ketiadaan lembaga-lembaga tersebut
berarti tidak adanya hukum. Hal-hal mengenai dasar kekuatan mengikat dari hukum internasional banyak
dikemukakan oleh para tokoh yang menciptakan teori-teori mengenai dasar berlakunya hukum internasional.
Teori yang paling terkenal dan tertua adalah teori hukum alam (natural law). Teori ini mula-mula mempunyai
ciri-ciri keagamaan yang kuat, untuk pertama kalinya dilepaskan dari hubungannya dengan keagamaan itu oleh
Hugo Grotius. Hugo Grotius mendasarkan sistem hukum internasionalnya atas berlakunya hukum alami. Akan
tetapi hukum alami tersebut telah dilepaskannya dari keagamaan dan kegerejaan (disekularisasi). Teori ini
merupakan teori yang mendasarkan pada rasio dan akal manusia di mana hukum tersebut harus ditaati oleh
semua manusia di manapun dia berada. Hukum internasional dianggap bagian dari hukum alam yang sangat
universal dan mendasar. Negara-negara terikat atau tunduk pada hukum internasional dalam hubungan antara
mereka satu sama lain karena hukum internasional itu merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi yaitu
hukum alam.
Keberatan yang secara umum dapat dikemukakan terhadap teori-teori yang didasarkan atas hukm alam ini
adalah bahwa apa yang dimaksud hukum alam itu sangat samar dan tergantung dari pendapat subyektif dari
yang bersangkutan. Walaupun demikian, teori hukum alam telah meletakkan dasar moral yang berharga bagi
hukum internasional dan perkembangannya.Aliran lain mendasarkan kekuatan mengikat pada kehendak negara

itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional, yang disebut juga dengan teori voluntaris. Menurut teori ini,
pada dasarnya negaralah yang merupakan sumber dari segala hukum, dan hukum internasional itu mengikat
karena negara-negara itu atas kemauan sendiri mau tunduk pada hukum internasional. Tokoh-tokoh dalam teori
ini adalah Hegel, George Jellineck, dan Zorn.
Kelemahan teori ini adalah bahwa tidak dapat menerangkan dengan memuaskan bagaimana caranya hukum
internasionalyang tergantung dari kehendak negara-negara dapat mengikat negara-negara itu. Bagaimanakah
kalau suatu negara secara sepihak membatalkan niatnya untuk mau terikat oleh hukum itu? Hukum
internasional lalu tidak lagi mengikat. Teori ini juga tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa suatu negara
baru, sejak munculnya dalam masyarakat internasional sudah terikat oleh hukum internasional lepas dari mau
atau tidaknya ia tunduk padanya. Lalu Triepel berusaha untuk membuktikan bahwa hukum internasional itu
bukan mengikat karena kehendak mereka satu persatu, namun karena adanya kehendak bersama, yang lebih
tinggi dari kehendak masing-masing negara, untuk tunduk pada hukum internasional. Segi lain dari teori
tersebut pada hakekatnya adalah pada dasarnya memandang hukum internasional sebagai hukum perjanjian
antara negara-negara.
Aliran lainnya adalah Mazhab Wiena. Dalam teori ini persetujuan negara untuk tunduk pada hukum
internasional menghendaki adanya suatu hukum atau norma sebagai sesuatu yang ada terlebih dahulu, dan
berlaku lepas dari kehendak negara. Teori ini juga dapat dikategorikan sebagai aliran obyektivis. Menurut
mazhab ini kekuatan mengikat suatu kaedah hukum internasional didasarkan pada suatu kaedah yang lebih
tinggi. Kaedah yang lebih tinggi tersebut didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi lagi dan demikian
seterusnya sampai pada puncak piramida kedah-kaedah hukum di mana terdapat kaedah dasar (Grundnorm)
yang tidak dapat dikembalikan lagi pada kaedah yang lebih tinggi, melainkan harus diterima sebagai suatu
hipotesis asal (Ursprungshypothese) yang tidak dapat diterangkan secara hukum. Hans Kelsen dikenal sebagai
tokoh dari Mazhab Wiena. Akan tetapi, mazhab ini tidak dapat menerangkan mengapa kaedah dasar itu sendiri
dapat mengikat. Sebab tidak mungkin persoalan kekuatan mengikat hukum internasional itu disandarkan atas
suatu hipotesis. Sehingga mazhab ini pada ujungnya akan kembali pada teori hukum alam.
Lalu ada Mazhab Perancis dengan para tokohnya seperti Fauchile, Scelle, dan Duguit. Mazhab ini mendasarkan
kekuatan mengikat hukum internasional seperti juga segala hukum pada faktor-faktor biologis, sosial, dan
sejarah kehidupan manusia yang dinamakan fakta-fakta kemasyarakatan (fait social). Mazhab ini
mengembalikan kepada sifat alami manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki hasrat untuk bergabung dan
berinteraksi dengan manusia lain. Hal tersebut juga dimiliki oleh bangsa-bangsa. Jadi dasar kekuatan mengikat
hukum internasional terdapat pada kenyataan sosial bangsa-bangsa untuk bergabung dan berinteraksi satu sama
lain.
Dalam memahami berlakunya hukum internasional terdapat dua teori, yaitu teori voluntarisme, yang
mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kemauan negara, dan teori objektivis, yang menganggap
berlakunya hukum internasional lepas dari kemauan negara. Perbedaan pandangan atas dua teori ini membawa
akibat yang berbeda dalam memahami hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Pandangan
teori voluntarisme memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum yang
berbeda, saling berdampingan dan terpisah. Berbeda dengan pandangan teori objektivis yang menganggap
hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum dalam satu kesatuan perangkat hukum.
Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara,
hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk menjelaskan hal ini:
1. Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum internasional mempunyai
sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum

internasional bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum
internasional;
2. Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam hukum perdata atau
hukum publik, sedangkan pada hukum internasional adalah negara;
3. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada realitasnya ada mahkamah
dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam
hukum internasional.
Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti
hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku
secara efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional. Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini
adalah kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat
hukum yang lain. Dengan demikian dalam teori dualisme tidak ada hirarki antara hukum nasional dan hukum
internasional karena dua perangkat hukum ini tidak saja berbeda dan tidak bergantung satu dengan yang lain
tetapi juga terlepas antara satu dengan yang lainnya. Akibat lain adalah tidak mungkin adanya pertentangan
antara kedua perangkat hukum tersebut, yang mungkin adalah renvoi. Karena itu dalam menerapkan hukum
internasional dalam hukum nasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional.
Aliran monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup
manusia. Dengan demikian hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua bagian dalam satu
kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Hal ini berakibat dua perangkat
hukum ini mempunyai hubungan yang hirarkis. Mengenai hirarki dalam teori monisme ini melahirkan dua
pendapat yang berbeda dalam menentukan hukum mana yang lebih utama antara hukum nasional dan hukum
internasional. Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih utama dari hukum internasional. Paham ini
dalam teori monisme disebut sebagai paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham lain beranggapan
hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional. Paham ini disebut dengan paham monisme dengan
primat hukum internasional. Hal ini dimungkinkan dalam teori monisme.
Monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional merupakan kepanjangan tangan atau lanjutan
dari hukum nasional atau dapat dikatakan bahwa hukum internasional hanya sebagai hukum nasional untuk
urusan luar negeri. Paham ini melihat bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum internasional pada
hakikatnya adalah hukum internasional bersumber dari hukum nasional. Alasan yang kemukakan adalah sebagai
berikut:
1. Tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara;
2. Dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak pada wewenang negara untuk
mengadakan perjanjian internasional yang berasal dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi
masing-masing negara.
Monisme dengan primat hukum internasional, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional bersumber dari
hukum internasional yang menurut pandangan ini merupakan suatu perangkat ketentuan hukum yang hierarkis
lebih tinggi. Menurut paham ini hukum nasional tunduk pada hukum internasional yang pada hakikatnya
berkekuatan mengikat berdasarkan pada pendelegasian wewenang dari hukum internasional. Walaupun kedua
teori ini tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan dan masih banyak kelemahannya, namun pada
kenyataannya kedua teori ini dipakai oleh negara-negara dalam hal menetapkan keberlakuan hukum
internasional negara masing masing.

Salah satu alasan Indonesia meratifikasi Konvensi ICJ No. 15 tahun 1951 adalah untuk melihat
kesalingterikatan dan saling tergantungnya ke dua jenis hak asasi sebagaimana ditegaskan dalam Deklarasi
Wina dan Program Aksi 1997. Di tingkat global mekanisme yang dibangun di PBB didasarkan pada Perjanjian
Inernasional (treaty based) dan pada Piagam PBB (charter based). Di tingkat regional terdapat European
Human Rights Convention, American Human Rights Convention dan African Human and Peoples Rights yang
masing-masing memiliki mekanisme sendiri. Termasuk dalam kewajiban menjamin adalah tindakan positif
negara, yang dalam hal ini tidak berhubungan dengan kualitas baik atau buruk melainkan berhubungan dengan
intervensi negara dalam pemenuhan hak asasi manusia. Sebagai contoh adalah penyediaan KUHP, KUHAP,
aparat penyidik/penuntut dan pengadilan yang imparsial untuk mejamin persamaan di hadapan hukum.
Indonesia meratifikasi konvensi ini dengan UU No. 5/1998. Disamping Konvensi Anti Penyiksaan, Kovenan
Hak SIPOL (ICCPR), Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), Konvensi Hak
Anak (CRC) dan Konvensi Penghapusan Diskriminasi RAS (CERD) memiliki sistem perlindungan sejenis.
Perbuatan yang dimaksud mencakup: 1) Tindakan Genosida, 2) Konspirasi untuk melakukan genosida, 3)
Hasutan langsung dan di depan umum untuk melakukan genosida; dan 4) Percobaan melakukan genosida 5)
Permufakatan untuk melakukan genosida.
Di Indonesia KUHP tidak memuat aturan mengenai larangan/kejahatan Genosida, namun UU Pengadilan HAM
terang-terang memuat aturan mengenai kejahatan Genosida. Demikian pula Konvensi Anti Penyiksaan yang
mewajibkan negara pihak untuk menjamin bahwa semua tindakan penyiksaan merupakan kejahatan menurut
hukum pidana (pasal 4). Meski demikian dalam praktik konvensi-konvensi hak asasi manusia umumnya,
kewajiban menghukum pelanggaran HAM tetap dikenakan pada negara. Misalnya Komite HAM (Komite
Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik) menanggapi pengaduan yang masuk padanya beberapa kali
menegaskan bahwa negara-negara pihak wajib menghukum mereka yang bersalah melakukan penyiksaan atau
pembunuhan diluar hukum (extra legal execution).
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Secara umum hukum internasional tidak berlaku secara efektif. Mahkamah Internasional tidak mempunyai
kekuatan yang besar dalam menegakkan keputusannya mengenai hukum internasional dan tidak semua negara
memberlakukan hukum internasional di dalam negaranya. Negara inilah yang di dalam mata kuliah hukum
internasional mengadopsi teori kehendak (voluntaris) sehingga memberlakukan hukum internasional
berdasarkan kehendaknya masing-masing.
Masalah kedaulatan masing-masing negara masih merupakan faktor yang kuat yang dapat memperlemah hukum
internasional. Bahkan setelah PBB mensahkan Konvensi Genosida tahun 1948, hukum internasional tersebut
masih berlaku tergantung negara-negara yang menyetujuinya atau negara-negara yang ingin meratifikasi
konvensi tersebut ke dalam negaranya sendiri. Hal inilah yang masih menyulitkan berlakunya konvensi ini dan
mempersulit penegakan hukumnya.

Saran:
Dalam pelaksanaan Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida dapat disampaikan saran-saran sebagai
berikut:
1. Pemerintah pusat harus meningkatkan sosialisasi agar pemahaman seluruh pemangku kepentingan tentang
pentingnya Hak untuk pnghidupan yang layak harus di jalankan dengan maksimal.

2. Pemerintah pusat harus benar-benar memastikan bahwa pelaksanaan Hukuman terhadap para penjahatpenjahat perang sudah dapat berjalan dengan baik atau belum.
3. Pemerintah pusat harus mengarusutamakan Pencegahan terhadap Kejahatan Genosida
4. Perlu pengintegrasian program dalam rangka Pencegahan dan hukuman kejahatan genosida.
5. Perlu diterbitkannya tentang pencegahan dan Hukuman Kejahatan genosida agar amanat dari konvensi ICJ
No. 15 tahun 1951 dapat terealisasi di Indonesia karna Indonesia adalah termasuk negara yang meratifikasi
konvensi tersebut.

Daftar Pustaka
Chaloka Beyani, The Legal Premises for the International Protection of Human Rights di Guy S. GoodwinGill and S.Talmon (ed.) The Reality of International Law Essays in Honour of Ian Brownlie. hal. 21-35.
Lihat pendapat hukum ICJ mengenai Konvensi Genosida dalam kasus Reservations to the Convention on the
Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Adv.Op.), 1951 ICJ Rep.15 at 23 disitir dari Mc
Nair, Lord The Law of Treaties
Lihat pada umumnya United Nations Action in the Field of Human Rights, UNDoc.ST/HR/2/Rev.1, UN sales
no. e.79.XIV.6 (1980).
Michael
Radu,
The
Dangers
of
The
Armenian
(http://www.speroforum.com/site/article.asp?idarticle=8456)

Genocide

Resolution

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Binacipta, 1982), hal. 9


Pasal 1 Paragraf 3 Piagam PBB. Basic Documents in International Law (4th Ed.),
Ian Brownlie (ed.), 1995 hal. 3
Prihot

Nababan, Perlindungan HAM dalam Kerangka


nababan.blogspot.com/2007_09_01_archive.html)

Hukum

Internasional

(http://pirhot-

Resolusi Majelis PBB No.260 (A), 1951


Republik Indonesia, Undang-undang No. 39 Tahun 199 Tentang Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, Undang-undang tentang Pengesahan ICJ Nomor: 15 tentang Pencegahan dan Hukuman
Kejahatan Genosida Undang-undang Nomor: 5 tahun 1998,
UNGA Res.2200 A (XXI). International Covenant on Civil and Political Rights.

Anda mungkin juga menyukai