Anda di halaman 1dari 9

Juni 3, 2012 by Indonesia Pediatrician

Antihistamin Medikamentosa Alergi, Jenis


dan Farmakokinetiknya
Antihistamin adalah obat dengan efek antagonis terhadap histamin. Di pasaran banyak
dijumpai berbagai jenis antihistamin dengan berbagai macam indikasinya.
Antihistamin terutama dipergunakan untuk terapi simtomatik terhadap reaksi alergi
atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin berlebih. Penggunaan antihistamin
secara rasional perlu dipelajari untuk lebih menjelaskan perannya dalam terapi karena
pada saat ini banyak antihistamin generasi baru yang diajukan sebagai obat yang
banyak menjanjikan keuntungan.
Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin terhadap
tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin (penghambatan saingan). Pada awalnya
hanya dikenal satu tipe antihistaminikum, tetapi setelah ditemukannya jenis reseptor khusus
pada tahun 1972, yang disebut reseptor-H2,maka secara farmakologi reseptor histamin dapat
dibagi dalam dua tipe , yaitu reseptor-H1 da reseptor-H2. Berdasarkan penemuan ini,
antihistamin juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni antagonis reseptor-H1 (sH1blockers atau antihistaminika) dan antagonis reseptor H2 ( H2-blockers atau zat penghambatasam)
Pada garis besarnya antihistamin dibagi dalam 2 golongan besar
1. Menghambat reseptor H1 H1-blockers (antihistaminika klasik) Mengantagonir
histamin dengan jalan memblok reseptor-H1 di otot licin dari dinding
pembuluh,bronchi dan saluran cerna,kandung kemih dan rahim. Begitu pula melawan
efek histamine di kapiler dan ujung saraf (gatal, flare reaction). Efeknya adalah
simtomatis, antihistmin tidak dapat menghindarkan timbulnya reaksi alergi Dahulu
antihistamin dibagi secara kimiawi dalam 7-8 kelompok, tetapi kini digunakan
penggolongan dalam 2 kelompok atas dasar kerjanya terhadap SSP, yakni zat-zat
generasi ke-1 dan ke-2.
2. Menghambat reseptor H2. H2-blockers (Penghambat asma) obat-obat ini
menghambat secara efektif sekresi asam lambung yang meningkat akibat histamine,
dengan jalan persaingan terhadap reseptor-H2 di lambung. Efeknya adalah
berkurangnya hipersekresi asam klorida, juga mengurangi vasodilatasi dan tekanan
darah menurun. Senyawa ini banyak digunakan pada terapi tukak lambug usus guna
mengurangi sekresi HCl dan pepsin, juga sebagai zat pelindung tambahan pada terapi
dengan kortikosteroida. Lagi pula sering kali bersama suatu zat stimulator motilitas
lambung (cisaprida) pada penderita reflux. Penghambat asam yang dewasa ini banyak
digunakan adalah simetidin, ranitidine, famotidin, nizatidin dan roksatidin yang
merupakan senyawa-senyawa heterosiklis dari histamin.
Antihistamin adalah antagonis reseptor histamin H1 (AH1). Semua kelas antihistamin H1
struktur kimianya menyerupai histamin.

Berbagai Jenis Antihistamin


H1-receptor antagonists
Dalam penggunaan umum, antihistamin merujuk hanya untuk antagonis H1, juga dikenal
sebagai antihistamin H1. Telah ditemukan bahwa antihistamin H1-agonis adalah benar-benar
berlawanan dengan reseptor histamin H1. Secara klinis, H1 antagonis digunakan untuk
mengobati reaksi alergi. Sedasi adalah efek samping yang umum, dan antagonis H1 tertentu,
seperti diphenhydramine dan Doksilamin, juga digunakan untuk mengobati insomnia.
Namun, antihistamin generasi kedua ini tidak melewati penghalang darah-otak, dan dengan
demikian tidak menyebabkan kantuk.

Azelastine

Brompheniramine

Buclizine

Bromodiphenhydramine

Carbinoxamine

Cetirizine

Chlorpromazine (antipsychotic)

Cyclizine

Chlorpheniramine

Chlorodiphenhydramine

Clemastine

Cyproheptadine

Desloratadine

Dexbrompheniramine

Deschlorpheniramine

Dexchlorpheniramine

Dimenhydrinate (most commonly used as an antiemetic)

Dimetindene

Diphenhydramine (Benadryl)

Doxylamine (most commonly used as an OTC sedative)

Ebastine

Embramine

Fexofenadine

Levocetirizine

Loratadine

Meclozine (sering digunakansebagai antiemetik)

Olopatadine

Orphenadrine (sejenis diphenhydramine digunakan terutama sebagai relaksan otot


rangka dan anti-Parkinson)

Phenindamine

Pheniramine

Phenyltoloxamine

Promethazine

Pyrilamine

Quetiapine (antipsychotic)

Rupatadine

Tripelennamine

Triprolidine

H2-receptor antagonists
Antagonis H2, seperti antagonis H1, juga agonis dan antagonis terbalik tidak benar. H2
reseptor histamin, ditemukan terutama di sel parietal dari mukosa lambung, digunakan untuk
mengurangi sekresi asam lambung, mengobati kondisi pencernaan termasuk tukak lambung
dan penyakit gastroesophageal reflux.

Cimetidine

Famotidine

Lafutidine

Nizatidine

Ranitidine

Roxatidine

Experimental: H3- and H4-receptor antagonists


Obat ini baru dalam tahap eksperimental dan belum memiliki penggunaan klinis, meskipun
sejumlah obat ini sedang dalam percobaan manusia. H3-antagonis memiliki stimulan dan
efek nootropic, dan sedang diselidiki untuk pengobatan kondisi seperti ADHD, penyakit
Alzheimer, dan skizofrenia, sedangkan H4-antagonis tampaknya memiliki peran
imunomodulator dan sedang diteliti sebagai obat anti-inflamasi dan analgesik .

H3-receptor antagonists

A-349,821

ABT-239

Ciproxifan

Clobenpropit

Conessine

Thioperamide

H4-receptor antagonists

Thioperamide

JNJ 7777120

VUF-6002

Lainnya

Atipical antihistamin Obat ini menghambat aktivitas enzimatik dekarboksilase


histidin:

tritoqualine

catechin

Mast cell stabilizers


Mast cell stabilizers untuk menstabilkan sel mast untuk mencegah degranulasi dan pelepasan
mediator. Obat ini tidak biasanya digolongkan sebagai antagonis histamin, tetapi memiliki
indikasi serupa.

Cromoglicate (cromolyn)

Nedocromil

Beta 2 (2) adrenergic agonists

Obat Lain Dengan Khasiat Mirip Antihistamin


Banyak obat yang digunakan untuk indikasi lain memiliki aktivitas antihistaminergicyang
tidak diinginkan
Antihistamin H1 dikelompokkan dalam AH1 tradisional atau konvensional (generasi I), dan
AH1 non-sedatif (generasi I). Mereka dibagi dalam beberapa subkelas.

Etilendiamin Antazolin, tripelanamin, pirilamin.

Etanolamin Karbinoksamin, difenhidramin, doksilamin.

Alkilamin Klorfeniramin, deksklorfeniramin, dimetinden, feniramin.

Piperazin Setirizin, homoklorsiklizin, hidroksizin, oksatomid.

Piperidin Siproheptadin.

Fenotiasin Prometasin.

Lain-Lain Akrivastin, astemizol, azatadin, klemastin, levokobastin, loratadin,


mebhidrolin, terfenadin, ketotifen.

Golongan antihistamin generasi baru adalah setirizin, akrivastin, astemizol,


levokobastin, loratadin, dan terfenadin.

Farmakokinetik

Absorbsi AH1 berjalan sangat cepat setelah pemberian secara oral menyebabkan efek
sistemik dalam waktu kurang dari 30 menit. Hepar merupakan tempat metabolisme
utama (70-90%), dengan sedikit obat yang diekskresi dalam urin dalam bentuk yang
tidak berubah.

Penggunaan klinis

Antihistamin adalah obat yang paling banyak dipakai sebagai terapi simtomatik untuk reaksi
alergi yang terjadi. Semua jenis antihistamin sangat mirip aktivitas farmakologinya.
Pemilihan antihistamin terutama terhadap efek sampingnya dan bersifat individual. Pada
seorang pasien yang memberikan hasil kurang memuaskan dengan satu jenis antihistamin
dapat ditukar dengan jenis lain, terutama dari subkelas yang berbeda.

Rinitis alergik musiman dan rinitis alergik perenial sangat baik reaksinya terhadap
antihistamin. Hampir
70-90% pasien rinitis alergik musiman mengalami
pengurangan gejala
(bersin, keluar ingus, sumbatan hidung). Hasil yang terbaik
didapat
bilamana antihistamin diberikan sebelum kontak. Walaupun pada rinitis
vasomotor hasilnya kurang memuaskan tetapi efek antikolinergiknya dapat
mengurangi gejala pilek.

Urtikaria akut sangat bermanfaat untuk mengurangi ruam dan rasa gatal.
Manfaatnya pada urtikaria kronik kurang dan pada keadaan ini AH1 pilihan adalah
yang berefek sel rendah dan mempunyai masa kerja panjang, misal hidroksizin atau
AH1 nonsedatif lainnya. Pemberiannya cukup sekali sehari sehing meningkatkan
kepatuhan. Apabila gejala belum diatasi dapat dikombinasi dengan AH2, dan kalau
perlu ditambah simpatomimetik.

Reaksi anafilaksis akut antihistamin H1 digunakan sebagai terapi tambahan setelah


epinefrin. Preparat yang banyak dipakai adalah difenhidramin. Pada serum sickness
antihistamin berfungsi untuk mengurangi urtikaria tetapi mempunyai efek yang kecil
terhadap artralgia, demam, dan tidak mengurangi lama penyakitnya. Pada dermatitis
kontak dan erupsi obat fikstum, antihistamin oral dapat mengurangi rasa gatal.
Hindari penggunaan antihistamin topikal karena dapat menyebabkan sensititasi.
Antihistamin juga dapat dipakai sebagai terapi tambahan pada reaksi alergi obat dan
reaksi akibat transfusi.

Efek samping

Mengantuk Antihistamin termasuk dalam golongan obat yang sangat aman


pemakaiannya. Efek samping yang sering terjadi adalah rasa mengantuk dan
gangguan kesadaran yang ringan (somnolen).

Efek antikolinergik Pada pasien yang sensitif atau kalau diberikan dalam dosis besar.
Eksitasi, kegelisahan, mulut kering, palpitasi dan retensi urin dapat terjadi. Pada
pasien dengan gangguan saraf pusat dapat terjadi kejang.

Diskrasia Meskipun efek samping ini jarang, tetapi kadang-kadang dapat


menimbulkan diskrasia darah, panas dan neuropati.

Sensitisasi Pada pemakaian topikal sensitisasi dapat terjadi dan menimbulkan


urtikaria, eksim dan petekie.

Chlorpheniramin maleat

Di Indonesia, Chlorpheniramin maleat atau lebih dikenal dengan CTM merupakan


salah satu antihistaminika yang memiliki efek sedative (menimbulkan rasa kantuk).

Namun, dalam penggunaannya di masyarakat lebih sering sebagai obat tidur


dibanding antihistamin sendiri. Keberadaanya sebagai obat tunggal maupun campuran
dalam obat sakit kepala maupun influenza lebih ditujukan untuk rasa kantuk yang
ditimbulkan sehingga pengguna dapat beristirahat. CTM memiliki indeks terapetik
(batas keamanan) cukup besar dengan efek samping dan toksisitas relatif rendah.
Untuk itu sangat perlu diketahui mekanisme aksi dari CTM sehingga dapat
menimbulkan efek antihistamin dalam tubuh manusia. Menurut Dinamika Obat
(ITB,1991), CTM merupakan salah satu antihistaminika H1 (AH1) yang mampu
mengusir histamin secara kompetitif dari reseptornya (reseptor H1) dan dengan
demikian mampu meniadakan kerja histamin.

Di dalam tubuh adanya stimulasi reseptor H1 dapat menimbulkan vasokontriksi


pembuluh-pembuluh yang lebih besar, kontraksi otot (bronkus, usus, uterus),
kontraksi sel-sel endotel dan kenaikan aliran limfe. Jika histamin mencapai kulit misal
pada gigitan serangga, maka terjadi pemerahan disertai rasa nyeri akibat pelebaran
kapiler atau terjadi pembengkakan yang gatal akibat kenaikan tekanan pada kapiler.
Histamin memegang peran utama pada proses peradangan dan pada sistem imun.

CTM sebagai AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan
bermacam-macam otot polos. AH1 juga bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensitivitas dan keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebih.
Dalam Farmakologi dan Terapi edisi IV (FK-UI,1995) disebutkan bahwa histamin
endogen bersumber dari daging dan bakteri dalam lumen usus atau kolon yang
membentuk histamin dari histidin.

Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan sistem saraf pusat dengan
gejala seperti kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Efek
samping ini menguntungkan bagi pasien yang memerlukan istirahat namun dirasa
menggangu bagi mereka yang dituntut melakukan pekerjaan dengan kewaspadaan
tinggi. Oleh sebab itu, pengguna CTM atau obat yang mengandung CTM dilarang
mengendarai kendaraan.

Rasa kantuk yang ditimbulkan setelah penggunaan CTM merupakan efek samping
dari obat tersebut. Sedangkan indikasi CTM adalah sebagai antihistamin yang
menghambat pengikatan histamin pada resaptor histamin.

Mekanisme kerja

Antihistamin bekerja dengan cara kompetisi dengan histamin untuk suatu reseptor
yang spesifik pada permukaan sel. Hampir semua AH1 mempunyai kemampuan yang
sama dalam memblok histamin. Pemilihan antihistamin terutama adalah berkenaan
dengan efek sampingnya. Antihistamin juga lebih baik sebagai pengobatan profilaksis
daripada untuk mengatasi serangan.

Mula kerja AH1 nonsedatif relatif lebih lambat; afinitas terhadap reseptor AH1 lebih
kuat dan masa kerjanya lebih lama. Astemizol, loratadin dan setirizin merupakan
preparat dengan masa kerja lama sehingga cukup diberi 1 kali sehari.

Beberapa jenis AH1 golongan baru dan ketotifen dapat menstabilkan sel mast
sehingga dapat mencegah pelepasan histamin dan mediator kimia lainnya; juga ada
yang menunjukkan penghambatan terhadap ekspresi molekul adhesi (ICAM-1) dan
penghambatan adhesi antara eosinofil dan neutrofil pada sel endotel. Oleh karena
dapat mencegah pelepasan mediator kimia dari sel mast, maka ketotifen dan beberapa
jenis AH1 generasi baru dapat digunakan sebagai terapi profilaksis yang lebih kuat
untuk reaksi alergi yang bersifat kronik.

EFEK SAMPING

Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat
serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Efek samping yang
paling sering ialah sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasien yang dirawat di RS
atau pasien yang perlu banyak tidur. Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang
memerlukan kewaspadaan tinggi sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya
kecelakaan.

Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain mungkin dapat mengurangi efek
sedasi ini. Astemizol, terfenadin, loratadin tidak atau kurang menimbulkan sedasi.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus, lelah,
penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, insomnia dan
tremor.

Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang,
mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare, efek samping ini akan
berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan.

Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria,
palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek
samping karena efek antikolinergik tersebut kurang pada pasien yang mendapat
antihistamin nonsedatif.

AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat
penggunaan lokal berupa dermatitis alergik. Demam dan foto sensitivitas juga pernah
dilaporkan terjadi.

Selain itu pemberian terfenadin dengan dosis yang dianjurkan pada pasien yang
mendapat ketokonazol, troleandomisin, eritromisin atau lain makrolid dapat
memperpanjang interval QT dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel. Hal ini
juga dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat dan pasienpasien yang peka terhadap terjadinya perpanjangan interval QT (seperti pasien
hipokalemia).

Kemungkinan adanya hubungan kausal antara penggunaan antihistamin non sedative


dengan terjadinya aritmia yang berat perlu dibuktikan lebih lanjut.

INTOKSIKASI AKUT AH1 Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan ini
sering terdapat sebagai obat persediaan dalam rumah tangga. Pada anak, keracunan
terjadi karena kecelakaan, sedangkan pada orang dewasa akibat usaha bunuh diri.

Dosis 20-30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak. Efek sentral AH1 merupakan
efek yang berbahaya.

PAda anak kecil efek yang dominan ialah perangsangan dengan manifestasi
halusinasi, eksitasi, ataksia, inkoordinasi, atetosis dan kejang. Kejang ini kadangkadang disertai tremor dan pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar
dikontrol.

Gejala lain mirip gejala keracunan atropine misalnya midriasis, kemerahan di muka
dan sering pula timbul demam. Akhirnya terjadi koma dalam dengan kolaps
kardiorespiratoar yang disusul kematian dalam 2-18 jam. Pada orang dewasa,
manifestasi keracunan biasanya berupa depresi pada permulaan, kemudian eksitasi
dan akhirnya depresi SSP lebih lanjut.

PENGOBATAN INTOLSIKASI Pengobatan diberikan secara simtomatik dan suportif


karena tidak ada antidotum spesifik. Depresi SSP oleh AH1 tidak sedalam yang
ditimbulkan oleh barbiturate. Pernapasan biasanya tidak mengalami gangguan yang
berat dan tekanan darah dapat dipertahankan secara baik. Bila terjadi gagal napas,
maka dilakukan napas buatan, tindakan ini lebih baik daripada memberikan analeptic
yang justru akan mempermudah timbulnya konvulsi. Bila terjadi konvulsi, maka
diberikan thiopental atau diazepam.

Sopir atau pekerja yang memerlukan kewaspadaan yang menggunakan AH1 harus
diperingatkan tentang kemungkinan timbulnya kantuk. Juga AH1 sebagai campuran
pada resep, harus digunakan dengan hati-hati karena efek AH1 bersifat aditif dengan
alcohol, obat penenang atau hipnotik sedative.

Anda mungkin juga menyukai