Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Air mata membentuk lapisan tipis dengan tebal sekitar 7-10 m yang
melapisi epitel kornea dan konjungtiva. Lapisan setipis ini diketahui memiliki
banyak fungsi penting, yaitu untuk menjaga kelembaban kornea dan konjungtiva,
membuat permukaan lapisan kornea menjadi halus dengan menghilangkan
iregularitas kecil pada permukaan epitel, membersihkan debris dan bahan iritan
berbahaya, mencegah pertumbuhan mikroorganisme dengan proses pembilasan
secara mekanis dan efek antimikroba, menyediakan nutrisi dan oksigen bagi epitel
kornea, serta memfasilitasi pergerakan kelopak pada bola mata. Terjadinya
penurunan produksi air mata maupun adanya evaporasi berlebih dapat
menyebabkan sindroma mata kering (Khurana, 2007; AAO, 2005; Vaughan et al.,
2007).
Sindroma mata kering merupakan salah satu kondisi mata yang paling
umum terjadi dan menyerang sekitar 10-15% orang dewasa serta sering
menyebabkan pasien mencari perawatan oftalmologis. Sindroma mata kering
berdampak besar pada kualitas hidup individu yang menderita karena
ketidaknyamanan atau disablitas visual. Walaupun gejalanya dapat membaik
dengan terapi, namun kondisi ini biasanya tidak dapat disembuhkan. Mata kering
dapat menyebabkan disabilitas visual dan membahayakan hasil operasi kornea,
katarak, dan refraksi. Kondisi multifaktorial ini terjadi pada permukaan ocular dan
tear film yang menyebabkan rasa tidak nyaman, gangguan visual, ketidakstabilan

air mata dengan kerusakan pada kornea dan konjungtiva. Sindroma mata kering
disebut juga keratokonjungtivitis sicca (KCS) atau keratitis sicca, yang
dikarakteristikan dengan inflamasi pada permukaan ocular dan kelenjar lakrimal.
Sindroma ini dapat terjadi bersama dengan kondisi yang lain atau hanya sindroma
mata kering saja dan sangat sering menyebabkan iritasi ocular (AAO, 2005; AAO,
2013; Javadi et al., 2011; Foster, 2013; Kastelan et al 2013; Rapuano et al, 2008).
Gejala mata kering bisa terjadi karena manifestasi penyakit sistemik.
Pasien dengan mata kering cenderung menyebabkan infeksi seperti keratitis
bakterial. Beberapa faktor resiko terjadinya sindroma mata kering, yaitu usia,
jenis kelamin (pada wanita 2x lebih banyak dari pria), ras, lingkungan dengan
kelembapan rendah, obat sistemik dan gangguan autoimun (Javadi et al., 2011;
Kastelan et al, 2013).
Deteksi awal dan terapi teratur dapat mencegah ulkus kornea dan scarring.
Terapi tergantung pada tingkat keparahan penyakit, obat-obatan yang dikonsumsi
dan intervensi operasi. Terapi dapat meningkatkan kualitas hidup individu dan
mencegah kerusakan permukaan okular (Foster, 2013; Kastelan et al, 2013).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tear Film


Struktur cairan yang membungkus kornea disebut pericorneal film. Tear
film normal membungkus mata yang tediri dari 3 lapisan yaitu : (Foster, 2013;
Khurana, 2007).
1. Lapisan lipid tipis superfisial (0,11 m), diproduksi oleh kelenjar
meibomian, zeiss dan moll, berfungsi mencegah produksi air mata yang
berlebih, memperlambat evaporasi dan melubrikasi kelopak mata.
2. Lapisan aqueous tebal pada bagian tengah (7 m), diproduksi oleh
kelenjar lakrimal utama (reflex menangis), juga oleh kelenjar lakrimal
assesoris yaitu kelenjar krause dan wolfring. Lapisan ini berisi cairan dan
sedikit natrium chloride, gula, urea dan protein. Juga bersifat basa dan
memiliki sifat antibakteri karena substansi seperti lisoenzim, lactoferin dan
betalisin. Lisoenzim merupakan protein terbanyak (20-40% total protein)
dan protein air mata yang paling basa dengan enzim glikolitik yang dapat
menghancurkan dinding sel bakteri. Lactoferin memiliki fungsi antimiroba
dan antibakterial dan epidermal growth factor (EGF) yang menjaga
permukaan okular normal dan menyembuhkan luka pada kornea.
Komponen lain albumin, transferin, IgA, IgM dan IgG.
3. Lapisan mucin hydrofilik pada bagian dalam (0,02 0,05 m), lapisan
yang paling tipis, mucin disekresi oleh sel goblet konjungtiva dan glandula
Manz, fungsinya untuk mengubah permukaan kornea yang hidrofobik
menjadi hidrofilik sehingga lapisan aqueous dapat menyebar pada epitel
kornea.

Gambar 2.1 Struktur tear film (Khurana, 2007).


Regulasi komponen tear film oleh hormonal yaitu androgen yang
merupakan hormon yang meregulasi produksi lipid dan reseptor esterogen dan
progesteron pada konjungtiva dan kelenjar lakrimal yang penting dalam fungsi
nomal jaringan. Selain itu diregulasi oleh sabut neural berdekatan kelenjar
lakrimal dan sel goblet yang menghasilkan sekresi mukus dan aqueous (Khurana,
2007)
Sekresi kelenjar lakrimal dikontrol oleh reflex neural dengan nervus
afferent (sabut sensori trigeminus) pada kornea dan konjungtiva melalui pons
(nucleus salivary superior) dari sabut saraf eferen melewati nervus intermedius ke
ganglion pterygiopalatina dan simpatetik postganglion dan nervus parasimpatik
yang berakhir pada kelenjar lakrimal (Javadi et al., 2011)
2.2 Fisiologi Tear Film
Fungsi tear film adalah (Khurana, 2007) :
-

Menjaga kelembapan kornea dan konjungtiva


Menyediakan oksigenasi pada epitel lensa
Menghalau debris dan iritan
Mecegah infeksi oleh adanya substansi antibakteri
Memfasilitasi gerak kelopak mata.

Tear film dapat menyebar pada permukaan okular melalui mekanisme


berkedip yang dikontrol neuronal. 3 faktor yang berperan yaitu reflek berkedip
normal, kontak antara permukaan okular eksternal dan kelopak mata dan epitel
kornea normal (Kanski, 2007).
2.3 Sindroma Mata Kering (Dry Eye Syndrome)
2.3.1 Definisi
Sindroma Mata Kering atau Dry Eye Syndrome bukan merupakan suatu
penyakit melainkan kompleks gejala yang terjadi sebagai akibat dari berbagai
macam penyakit yang dihubungkan dengan berkurangnya volume atau komponen
tear film (lapisan aqueous, mucin, atau lipid), evaporasi air mata berlebih,
abnormalitas permukaan kelopak mata, atau epitel (Khurana, 2007; Vaughan et
al., 2007; Kanski,2007; Lemp et al., 2008).
2.3.2 Epidemiologi
Sekitar 1 dari 7 orang yang berumur 65-84 tahun sangat sering melaporkan
gejala mata kering. Menurut penelitian, prevalensi mata kering terhadap 3.722
subyek penelitian yang berumur 48-91 tahun yaitu sekitar 14,4% dan dikatakan
menjadi dua kali lipat setelah berumur 59 tahun. Selain umur, seks dan ras juga
dikatakan memiliki korelasi dengan sindroma mata kering. Menurut penelitian
lainnya didapatkan bahwa dari 926 subyek penelitian yang berumur 40 tahun
keatas ditemukan prevalensi yang lebih tinggi terjadi pada wanita. Wanita
mengalami peningkatan prevalensi mata kering yang tajam lebih awal
dibandingkan pria, sekitar usia 45 tahun, kira-kira pada awal menopause. Data
lain mengenai ras menunjukkan bahwa prevalensi gejala berat dan atau diagnosis

klinis mata kering pada ras Hispanik dan Asia lebih tinggi dibandingkan
Kaukasian (Javadi et al., 2011; DEWS, 2007).
2.3.3 Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya sindroma mata kering tersering yaitu jenis
kelamin (wanita lebih banyak), usia tua, terapi esterogen postmenopause,
penggunaan komputer, penggunaaan lensa kontak, operasi refraksi laser eksimer,
kekurangan vitamin A, terapi radiasi, hepatitis C, obat-obatan sistemik dan okular
termasuk antihistamin, diet rendah asam lemak omega 3 dan defisiensi androgen
(Foster, 2013; Rapuano et al, 2008).
Faktor resiko lain yang dapat menyebabkan sindroma kering yaitu diabetes
mellitus, etnik asia, infeksi HIV/HTLV1, disfungsi ovarium, lingkungan dengan
kelembapan rendah dan obat-obatan seperti beta bloker, diuretik dan antidepresan.
Faktor resiko yang mungkin menyebabkan sindroma mata kering yaitu asap
rokok, kehamilan, obat-obatan yaitu anxiolytic dan anticholinergic, penggunaan
alkohol, menopause dan kontrasepsi oral (Foster, 2013; Rapuano et al, 2008).
2.3.4 Klasifikasi (AAO, 2005; DEWS, 2007; Kanski, 2007)
Klasifikasi sindroma mata kering, yaitu :
1. Tear-deficient (aquous layer deficiency) dry eye
Non-Sjgren syndrome
Lacrimal deficiency
Lacrimal gland duct obstruction
Reflex block
Systemic drugs
Sjgren syndrome (primary or secondary)
2. Evaporative dry eye
Intrinsik
Meibomian oil deficiency
Disorders of lid aperture

Low blink rate


Drug action accutane
Ekstrinsik
Vitamin A-deficiency
Topical drugs preservatives
Contact lens wear
Ocular surface disease : allergy
Enviromental factors

2.3.5 Etiologi (Khurana, 2007; Vaughan et al., 2007)


Berbagai penyebab sindroma mata kering berpengaruh pada lebih dari satu
komponen tear film atau menyebabkan perubahan permukaan okular yang secara
sekunder menyebabkan ketidakstabilan tear film.
Penyebab sindroma mata kering dibagi menjadi 4, yaitu :
1. Kondisi-kondisi yang ditandai dengan hipofungsi kelenjar lakrimal
(Aqueous tear deficiency)
Kongenital
Familial dysautonomia (Riley-Day syndrome)
Aplasia kelenjar lakrimal (congenital alacrima)
Displasia ektodermal
Didapat
Penyakit sistemik
a. Sindroma Sjgren primer dan sekunder
b. Sklerosis sistemik progresif
c. Sarcoidosis
d. Leukemia, limfoma
e. Amyloidosis
f. Hemochromatosis
Infeksi
a. Mumps
Injury
a. Operasi pengangkatan atau kerusakan pada kelenjar
lakrimal
b. Irradiation
c. Luka bakar akibat bahan kimia
Medikasi
a. Antihistamin
7

b. Antimuskarinik : atropin, skopolamin


c. Beta-adrenergic blockers : timolol
Neurogenik
a. Kelumpuhan nervus fasialis
2. Kondisi-kondisi yang ditandai dengan defisiensi lapisan mucin, terjadi
jika sel goblet mengalami kerusakan
Avitaminosis A
Stevens-Johnson syndrome, toxic epidermal necrolysis, dan

erythema multiforme
Mucous membrane pemphigoid
Konjungtivitis kronis, seperti trachoma
Luka bakar akibat bahan kimia
Medikasi, seperti antihistamin, agen antimuskarinik, beta-

adrenergic blocker, eyedrop preservatives


Obat tradisional, seperti kermes
3. Kondisi-kondisi yang ditandai dengan defisiensi lapisan lipid
Jaringan parut pada margin kelopak mata
Blepharitis
4. Kerusakan yang tersebar pada tear film
Abnormalitas kelopak mata
Defek, seperti pada koloboma
Ektropion atau entropion
Keratinisasi margin kelopak
Menurun atau hilangnya proses berkedip
a. Kerusakan neurologis (kelumpuhan nervus fasialis)
b. Hipertiroidisme
c. Lensa kontak
d. Obat-obatan
e. Herpes simpleks keratitis
f. Leprosy
Lagophthalmos
a. Nocturnal lagophthalmos
b. Hipertiroidisme
c. Leprosy
Abnormalitas konjungtiva
Pterigium
Symblepharon
Proptosis
2.3.6 Patogenesis

Permukaan okular dan fungsi kelenjar menghasilkan air mata merupakan


suatu kesatuan untuk menjaga suplai dan membersihkan dengan air mata.
Penyakit atau disfungsi pada fungsi ini, akan terjadi ketidakstabilan dalam
mempertahankan tear film yang menyebabkan gejala iritasi okular dan penyakit
epitelial yang disebut keratokonjungtivitis sicca. Penurunan sekresi air mata akan
menyebabkan respon inflamasi pada permukan okular yaitu mediator seluler dan
terlarut (Rapuano et al, 2008).

Rheumatoid atritis
Sjogrens syndrome

Ocular

epithelial

disease (Keratokonjungtivitis

Disfungsi sekresi
(kelenjar lakrimal dan

surface

Hyperosmolar tears sicca)

kelenjar meibomian)
Ocular surface inflammation

Jenis kelamin wanita

molekul adesi Tcell infiltration

MMPs apoptosis

Defisiensi androgen
Cytokines
Chemokines
2.3.7 Manifestasi Klinis
Gejala yang paling sering dikeluhkan pasien adalah merasa sangat kering
dan adanya sensasi berpasir atau benda asing pada mata. Gejala lain meliputi
gatal, sekresi mucus berlebih, penglihatan kabur yang bersifat sementara, tidak

mampu memproduksi air mata, sensasi terbakar, fotosensitif, kemerahan, nyeri,


serta sulit untuk menggerakkan kelopak. Gejala seringkali kambuh pada paparan
kondisi yang dihubungkan dengan meningkatkan evaporasi air mata, seperti pada
penggunaan air conditioner (AC), angin, pemanas utama, atau membaca dalam
waktu lama ketika frekuensi berkedip berkurang. (Javadi et al., 2011; Kanski,
2007; Khurana, 2007; Vaughan et al., 2007)
Tanda dari mata kering meliputi adanya benang mukus kekuningan dan
partikel-partikel terpisah pada tear film, permukaan okuler terlihat kusam,
conjunctival xerosis, hilangnya tear meniscus pada margin kelopak mata bagian
bawah, dan perubahan kornea dalam bentuk erosi epitel punctate dan filamen
yang terdiri dari benang mukus yang melekat di salah satu ujung permukaan
kornea (Kanski, 2007; Khurana, 2007; Vaughan et al., 2007).
2.3.8 Diagnosis (DEWS, 2007; Khurana, 2007; Vaughan et al., 2007; Kanski,
2007)
Pada pemeriksaan secara makroskopis (gross examination), mata dapat
terlihat normal, namun pemeriksaan teliti dengan menggunakan slit lamp, dapat
ditemukan iritasi dan kekeringan yang kronis. Gambaran paling khas yang sering
ditemukan adalah hilangnya tear meniscus pada margin kelopak mata bagian
bawah. Benang mukus berwarna kekuningan kadang terlihat pada fornix
conjunctival inferior, sedangkan conjunctiva pars bulbar terlihat menebal, edema,
hiperemia dan kusam.
Gambaran histopatologis sindroma mata kering menunjukkan gambaran
dry spots pada epitel kornea dan konjungtiva, pembentukan filamen, hilangnya sel

10

goblet konjungtiva, pembesaran abnormal dari sel-sel epitel non-goblet,


peningkatan cellular stratification dan keratinisasi.
Diagnosis yang akurat dari sindroma mata kering dapat dilakukan dengan
berbagai tes diagnosis yang terdiri dari :
1. Schirmer Test
Kertas filter Whatman no. 41 diselipkan pada fornix conjunctival inferior
kemudian ditunggu selama 5 menit (tanpa anastesi) untuk melihat bagian
kertas filter yang basah dengan tujuan untuk mengetahui fungsi normal
kelenjar lakrimal utama. Jika hasil yang didapat kurang dari 10 mm, maka
dikatakan abnormal.
2. Tear Film Break-Up Time
Tear film break-up time diukur dengan menggunakan strip fluorescein
yang sedikit dibasahi dan diletakkan pada bulbar konjungtiva serta pasien
diminta berkedip. Tear film kemudian discan dengan bantuan filter kobalt
slit lamp sementara pasien menahan diri untuk berkedip. Tear film breakup time adalah lamanya waktu sebelum dry spot pertama muncul pada
lapisan fluorescein kornea. Nilai normalnya berkisar antara 15-35 detik,
jika menurun (kurang dari 10 detik) dikatakan abnormal dan biasanya
didapatkan pada aqueous tear deficiency dan selalu lebih singkat pada
mata dengan mucin deficiency.
3. Ocular Ferning Test
Pemeriksaan mukus konjungtiva dilakukan dengan mengeringkan goresan
konjungtiva pada slide kaca yang bersih. Microscopic arborization
(ferning) diamati pada mata normal. Pada pasien dengan cicatrizing
conjunctivitis, ferning mukus menurun atau tidak ada.
4. Impression Citology

11

Impression cytology dapat menghitung densitas sel goblet pada permukaan


konjungtiva. Hilangnya sel goblet didapatkan pada trachoma, mucous
membrane pemphigoid, Stevens-Johnson syndrome, dan avitaminosi A.
5. Fluorescein Staining
Pewarnaan fluorescein merupakan indikator yang baik untuk tingkat
kebasahan dari mata, sebab tear meniscus dapat terlihat dengan mudah.
Selain itu, fluorescein dapat mewarnai area yang mengalami erosi dan
kerusakan mikrokskopis pada epitel kornea.
6. Rose Bengal and Lissamine Green Staining
Rose bengal dan lissamine green sensitif untuk pengecatan konjungtiva.
Keduanya dapat mewarnai seluruh sel epitel non vital yang kering dari
konjungtiva dan untuk jangkauan yang lebih kecil pada kornea.
7. Tear Lysozyme Assay
Penurunan konsentrasi lisozim air mata biasanya terjadi pada awal
perjalanan sindrom sjgren dan membantu diagnosis. Perhitungannya
menggunakan metode spektrofotometer.
8. Tear Osmolality
Hiperosmolalitas dikatakan merupakan tes yang paling spesifik untuk
sindroma mata kering, karena tetap dapat ditemukan bahkan jika tes
Schirmer, pengecatan dengan rose bengal, dan lissamine green yang
normal.
9. Lactoferrin
Tear Lactoferrin rendah pada pasien dengan hiposekresi kelenjar lakrimal.
Tes diagnosis utama meliputi tear film Break-Up Time, tes Schirmer, dan
pewarnaan rose Bengal. Jika didapatkan hasil dua dari tes diagnosis tersebut
positif, maka diagnosis sindroma mata kering dapat ditegakkan.

12

2.3.9 Tingkat Keparahan


Variabel

Derajat keparahan sindroma mata kering


1
2
3
Ketidaknyamana Ringan,
Sedang,
Berat, sering
n (keparahan dan episodik
episodik atau atau konstan
frekuensi)
terjadi akibat kronis terjadi terjadi tanpa
lingkungan
dengan atau stres
tanpa stres
Gejala visual
Tidak
ada Menggangu,
Menganggu,
atau
nyeri aktivitas
konstan
sedikit
terbatas
kronis,
episodik
episodik
aktivitas
terbatas
Conjungtival
Tidak ada - Tidak ada injection
ringan
ringan
+/Conjungtival
Tidak ada Variasi
Moderate
staining
ringan
marked
Corneal staining Tidak ada variasi
Marked
(keparahan dan ringan
central
lokasi)
Corneal and tear Tidak ada Sedikit debris, Keratitis
sign
ringan
penurunan
filamen,
meniscus
meningkat
debris
airmata,
mucus
clumping
Kelopak
dan MGB -/+
kelenjar
meibomiam
Tear
breakup Bervariasi
time
Nilai schirmer
Bervariasi

4
Berat
atau
disabling,
konstan

Konstan dan
mungkin
disabling

+/++
Marked
Severe
punctate erosi
Keratitis
filamen,
meningkat
debris
airmata,
mucus
clumping,
ulserasi
Trikiasis,
keratinasi,
symblepharon
Immediate

MGB -/+

Sering MGB

10s

5s

10mm/5min

5mm/5min 2mm/5min

MGB : Meibomiam Gland Dysfuntion (Foster, 2013).

13

2.3.10 Diferensial diagnosa


-

Bell palsy
Blepharitis pada dewasa
Konjungtivitis alergika
Komplikasi lensa kontak
Keratokonjungtivitis
Keratopati, neurotropik
Manifestasi okular penderita HIV
Ocular rosacea
Thyroid opthalmopathy (Foster, 2013).

2.3.11 Manajemen
Beberapa terapi dapat dilakukan yaitu (Khurana, 2007) :
-

Suplementasi dengan pengganti air mata. Air mata buatan dapat


digunakan sebagai terapi dapat berupa obat tetes, dan ointment.
Air mata buatan mengandung cellulose derivat (cth : 0,25%0,7% methylcellulose dan 0,3% hypromellose) atau polyvinyl

alcohol (1,4%).
Cylosporine topical (0,05-0,1 %) bekerja dengan mengurangi

cell mediated inflammation pada jaringan lakrimal


Mucolitik yaitu 5% asetilsistein digunakan 4xsehari untuk

mengurangi viskositas air mata


Topical retinoid memperbaiki perubahan seluler (squamous

metaplasi) yang terjadi pada konjungtiva sindroma mata kering


Mempertahankan airmata dengan mengurangi evaporasi dan
penurunan drainase. Evaporasi dapat dikurangi dengan

menurunkan temperatur ruangan dan kacamata proteksi.


Deteksi dini dan terapi yang sesuai dari sindroma mata kering dapat mencegah
terjadinya ulser kornea dan scar. Beberapa kategori sindroma mata kering yaitu
(Rapuano et al, 2008; Foster, 2013);
Tipe terapi
Lingkungan/ eksogen

Terapi
Edukasi dan modifikasi lingkungan

14

Eliminasi obat topikal atau sistemik


Pengganti airmata, gel/ointment
Antiinflamasi
agent
(cyclosporin
topical dan kortikosteroid)
Mucolytic agent
Autologous serum tears
Asam lemak omega 3
Tetrasiklin
(untuk meibomitis dan
rosacea)
Systemic antiinflamory agent
Punctal plugs
Occulusi punctal permanen untuk
mengurangi drainase airmata pada
pasien sindroma mata kering berat
Tarsorrahaphy
Memperbaiki malposisi kelopak atau
paparan
Mucous membran grafting, salivary
duct transposition dan amniotic
membrane transplatation
Terapi kelopak mata (kompres hangat
dan kebersihan kelopak mata
Lensa kontak
Moisture chamber spectacles

Obat-obatan
Obat topical

Obat sistemik

Operasi

Lain-lain

International Dry Eye Workshop (DEWS) merekomendasikan berdasarkan


keparahan penyakit yaitu (Foster, 2013; Kastelan et al, 2013) :
Level 1 (sensani kering dan burning) terapinya meliputi :
-

Edukasi dan modifikasi lingkungan atau diet


Eliminasi pengobatan sistemik
Terapi kelopak mata
Mengganti airmata yang diawetkan berupa gel atau ointment.

Jika terapi level 1 tidak adekuat dapat dilakukan terapi level 2 (gatal, nyeri,
fotopobia) dengan menambah terapi yaitu :
-

Anti inflamtory agent


Mengganti airmata yang tidak diawetkan
Tetrasiklin untuk meibomitis atau rosacea
Punctal plug (setelah inflamasi terkontrol)
Secretagogeous

15

Moisture chamber spectacles

Jika terapi level 2 tidak adekuat dapat dilakukan terapi level 3 (mata merah,
sensasi adanya benda asing, nyeri, blurred vision) dengan menambah terapi yaitu :
-

Autologous serum atau umbilical cord serum


Lensa kontak
Permanent punctal occlusion

Jika terapi level 3 tidak adekuat dapat dilakukan terapi level 4 (blepharospasme,
resiko perforasi kornea) dengan menambah terapi yaitu :
-

Agen antiinflamasi sistemik


Operasi (operasi kelopak mata, tarsorapphy, mucous membran
grafting, salivary duct transposition dan amniotic membrane
transplatation).

2.3.12 Komplikasi
Awal dari perjalanan sindroma mata kering adalah penglihatan sedikit
terganggu. Jika kondisi semakin memburuk, ketidaknyamanan tersebut akan
menjadi disabilitas. Pada kasus-kasus lebih lanjut dapat terjadi ulserasi kornea,
penipisan kornea, serta perforasi. Infeksi sekunder bakteri juga kadang terjadi
sehingga mengakibatkan vaskularisasi dan jaringan parut pada kornea yang dapat
memperburuk penglihatan. Pencegahan berbagai komplikasi dapat diatasi dengan
melakukan pengobatan sejak dini (Vaughan et al., 2007;Kanski, 2007).

16

Gambar 2.2 Infeksi sekunder karena bakteri (Kanski, 2007).

Gambar 2.3 Ulserasi kornea (Kanski, 2007).

Gambar 2.4 Perforasi kornea (Kanski, 2007).

17

BAB III
RINGKASAN

1. Sindroma Mata Kering atau Dry Eye Syndrome bukan merupakan suatu
penyakit melainkan kompleks gejala yang terjadi sebagai akibat dari berbagai
macam penyakit yang dihubungkan dengan berkurangnya volume atau
komponen tear film (lapisan aqueous, mucin, atau lipid), evaporasi air mata
berlebih, abnormalitas permukaan kelopak mata, atau epitel.
2. Faktor resiko tersering terjadinya sindroma mata kering adalah jenis kelamin
(wanita lebih banyak), usia tua, penggunaan komputer, penggunaaan lensa

18

kontak, kekurangan vitamin A, terapi radiasi, hepatitis obat-obatan sistemik


dan okular termasuk antihistamin.
3. Klasifikasi sindroma mata kering dibagi menjadi 2, yaitu Tear-deficient
(aquous layer deficiency) dry eye dan Evaporative dry eye.
4. Gejala yang paling sering dikeluhkan pasien adalah merasa sangat kering dan
adanya sensasi berpasir atau benda asing pada mata. Gejala lain meliputi gatal,
sekresi mucus berlebih, penglihatan kabur yang bersifat sementara, tidak
mampu memproduksi air mata, sensasi terbakar, fotosensitif, kemerahan, nyeri,
serta sulit untuk menggerakkan kelopak.
5. Tanda dari mata kering meliputi adanya benang mukus kekuningan dan
partikel-partikel terpisah pada tear film, permukaan okuler terlihat kusam,
conjunctival xerosis, hilangnya tear meniscus pada margin kelopak mata
bagian bawah, dan perubahan kornea dalam bentuk erosi epitel punctate dan
filamen yang terdiri dari benang mukus yang melekat di salah satu ujung
permukaan kornea.
6. Diagnosis yang akurat dari sindroma mata kering dapat dilakukan dengan
berbagai tes diagnosis yang terdiri dari :Schirmer Test, Tear Film Break-Up
Time, Ocular Ferning Test, pemeriksaan mukus, impression Citology,
fluorescein Staining, rose Bengal and Lissamine Green Staining, tear
Lysozyme Assay, tear Osmolality, lactoferrin. Tes diagnosis utama meliputi tear
film Break-Up Time, tes Schirmer, dan pewarnaan rose Bengal. Jika
didapatkan hasil dua dari tes diagnosis tersebut positif, maka diagnosis
sindroma mata kering dapat ditegakkan.
7. Manajemen untuk sindroma mata kering adalah
- Suplementasi dengan pengganti air mata. Air mata buatan mengandung
cellulose derivat (cth : 0,25%-0,7% methylcellulose dan 0,3%
hypromellose) atau polyvinyl alcohol (1,4%).

19

Cylosporine topical (0,05-0,1 %) bekerja dengan mengurangi cell

mediated inflammation pada jaringan lakrimal


Mucolitik yaitu 5% asetilsistein digunakan 4xsehari untuk mengurangi

viskositas air mata


Topical retinoid memperbaiki perubahan seluler (squamous metaplasi)

yang terjadi pada konjungtiva sindroma mata kering


Mempertahankan airmata dengan mengurangi evaporasi dan penurunan
drainase. Evaporasi dapat dikurangi dengan menurunkan temperatur
ruangan dan kacamata proteksi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Thomas JL, et al,. American Academy of Opthalmology (AAO),


2005, External Disease and Cornea, Section 8 Basic and
Clinical Science Course, San Fransisco pp 73-81.
2. American Academy of Opthalmology (AAO), 2013, Dry Eye
Syndrome PPP, San Fransisco, viewed 30 Agustus 2014.
<www.aao.org/ppp>
3. Foster S.C., 2013, Dry Eye Syndrome, viewed 30 Agustus
2014.
<http://emedicine.medscape.com/article/1210417-clinical>
4. Javadi, MohammadA., Feizi, S., Dry Eye Syndrome, 2011,
Ophthalmic Research Center ShahidBehesthi University of
20

Medical Sciences, J Ophthalmic Vis Res 2011; 6(3): 192-198,


viewed 29 Agustus 2014
<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3306104>
5. Kanski, Jack J., 2007, Clinical Ophtalmology: A systematic
approach, Sixth edition, Elsevier pp 205-213.
6. Kastelan, et al., 2013, Diagnostic Procedures and Management of Dry Eye,
viewed 30 Agustus 2014.
<http://www.hindawi.com/journals/bmri/2013/309723>
7. Khurana A. K., 2007, Comprehensive Ophtalmology, Fourth
edition pp 364-366.
8. Lemp, Michael A., Foulks, Gary N., 2008, The Definition and
Classification of Dry Eye Disease, Guidelines from the 2007
International dry eye workshop.
9. Rapuano C. J et all., 2008, Preffered Practice Pattern EED,
Cataract and Strabismus pp 3-14.
10. Report of the International Dry Eye WorkShop (DEWS), 2007,
A Journal of Review Linking Laboratory Science, Clinical
Science, and Clinical Practice, The ocular surface vol. 5 no. 2,
viewed 30 Agustus 2014.
<www.theocularsurface.com>
21

11. Nijm

Lisa

M,

et

al,.

Vaughan

&

Asburys

General

Opthalmology, 2007, Mc-Graw Hill, 16th Edition pp 113-118.

22

Anda mungkin juga menyukai