ASTHMA BRONCHIALE
Disusun oleh :
dr. Ari Andriyanto
Pembimbing:
dr. M. Rusydi
Pendamping :
dr. Kurniati, SpKK
2.
3.
4.
5.
Nama : Ny.N
Umur : 43 tahun
No. Registrasi :110xxx
Alamat: Desa Cerme Kidul RT4 RW1,
Kecamatan Ceme Kabupaten Gresik
Keluhan Utama: Sesak
Anamnesis:
Pasien datang ke IGD RSUD IBNU SINA Gresik dengan keluhan sesak berat sejak tadi
pagi sekitar jam 6 pagi, sesak semakin berat bila beraktifitas sampai berbunyi ngik-ngik,
pasien tidak merasakan adanya nyeri dada, bila tidur napas sering berbunyi ngik-ngik, sesak
sering kambuh bila terkena debu dan cuaca dingin. Sebelumnya pasien pernah mengalami
hal serupa dan membaik bila di terapi uap.
Riwayat Penyakit Dahulu:
- Riwayat Asma (+)
- Riwayat Diabetes Melitus disangkal
- Riwayat Hipertensi disangkal
Riwayat Pengobatan: Pasien tidak memberikan obat untuk keluhannya
Riwayat keluarga :
- Riwayat Asma disangkal
- Riwayat Diabetes Melitus disangkal
- Riwayat Hipertensi disangkal
Pemeriksaan Fisik:
STATUS GENERALIS
Vital Sign :
TD : 120/60
N : 92 x/menit
RR : 30 x/menit
So : 36,70C
GCS : 456
K/L : Anemis (-)/icterus (-)/cyanosis (-)/dispneu (+)
Pupil Bulat Isokor
Refleks cahaya (+/+)
Thorax : Simetris
Jantung
Tekanan vena sentral
Tidak didapatkan distensi vena jugular ekterna
Inspeksi
Ictus cordis tampak pada ICS V midclavicular line sinistra
Pulsasi jantung tak tampak
Palpasi
Iktus cordis teraba di ICS V midclavicular sinistra, kuat angkat
Pulsasi teraba di apeks.
Perkusi
Batas kanan jantung di ICS IV parasternal line dextra
Batas kiri jantung di ICS V midclavicular line sinistra
Auskultasi
S1 S2 Single Regular
Murmur (-)
Paru : ves/ves, wh +/+, rh -/ Abdomen :
Soepel, flat, BU (+) normal
Extrimitas : CRT < 2
Edema -/- Hangat +/+
-/+/+
8. Pemeriksaan Penunjang
(-)
ASESSMENT
Asthma Bronchilae
PLANNING
PDx: PTx :
- Nebul Ventoline : Pulmicort : Pz 1 : 1 : 1
- Tab. Salbutamol 4mg 3x1
- Tab. Dexamethasone 0,5mg 3x1
Daftar Pustaka
ASTHMA BRONCHIALE
Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batukbatuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan
napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Patogenesis Asma
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan terutama
sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan
berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada
penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten
maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma
alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.
Inflamasi Akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus,
iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat
dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.
Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator
seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin
dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan
vasodilatasi.
mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara
lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.
Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada orang normal
maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan bronkus. Makrofag dapat
menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain
berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway remodeling.
Peran tersebut melalui a.l sekresi growth-promoting factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan
TGF-.
AIRWAY REMODELING
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan yang secara
fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan
(repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut
melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama
dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan peyambung yang menghasilkan
jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan
inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme
sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan airway remodeling. Mekanisme
tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi,
dediferensiasi
sel
sebagaimana
deposit
jaringan
penyambung
dengan
diikuti
oleh
restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan
peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi
sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks
ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan
inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.
Perubahan struktur yang terjadi :
Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari
inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus (longstanding inflammation).
Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti
hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas.
Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama
pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.
Pemikiran Baru Mengenai Patogenesis Asma Dikaitkan Dengan Terjadinya Airway Remodeling
Disadari lingkungan sangat berpengaruh pada terjadinya ataupun perburukan asma.
Peningkatan kekerapan asma adalah akibat perubahan lingkungan yang beraksi pada genotip
asma baik sebagai induksi berkembangnya asma atau memperburuk asma yang sudah terjadi. Di
samping itu dipahami terjadinya kerusakan epitel dan perubahan sifat epitel bronkus pada asma
seperti lebih rentan untuk terjadinya apoptosis akibat oksidan, meningkatnya permeabiliti akibat
pajanan polutan, meningkatnya penglepasan sitokin dan mediator inflamasi dari epitel akibat
pajanan polutan, yang berdampak pada proses inflamasi dan remodeling.
Studi pada binatang percobaan mendapatkan bahwa injuri sel epitel menghasilkan
penglepasan mediator proinflamasi yang bersifat fibroproliferasi dan profibrogenic growth
factors terutama TGF- dan familinya (fibroblast growth factor, insulin growth factor,
endothelin-1, platelet-derived growth factor, dan sebagainya) yang berdampak pada remodeling.
Dari berbagai mediator tersebut, TGF- adalah paling paling penting karena mempromosi
diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas yang kemudian akan mensekresi kolagen interstisial,
sedangkan mediator/growth factor lainnya sebagai mitogen otot polos dan sel endotel. TGF-
dan efeknya pada fibroblas dan miofibroblas dimulai pada sel epitel dan diteruskan ke
submukosa. Komunikasi antara sel-sel epitel dan sel-sel mesenkim tersebut dikaitkan dengan
perkembangan embriogenik jalan napas mendatangkan pikiran adanya epithelial mesenchymal
tropic unit (EMTU) yang tetap aktif setelah lahir atau menjadi reaktivasi pada asma dan
menimbulkan remodeling jalan napas pada asma. Berdasrkan pemikirantersebut, inflamasi dan
remodeling yang terjadi pada asma adalah konsekuensi dari peningkatan kecenderungan injuri,
kelemahan penyembuhan luka atau keduanya.
Derajat Asma
Diagnosa
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani
dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal
untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan
saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk
dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus
udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat
membantu identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru
normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat
berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu penanganan klinis,
dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma,
diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung
ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi), dan
eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat
perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah
pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat
asma, rinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak
kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu
rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak
barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh
serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat
yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid. Gejala-gejala kunci untuk
menegakkan diagnosis asma dirangkum dalam Tabel 2.
Pemeriksaan Klinis
Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci, menentukan
adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisik pasien asma, sering
ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi
dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher,
perut dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang.
Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk
menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
2. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat
tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru.
Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma
diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan
dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis
obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk
pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita
yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
3. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
4. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE
spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji
alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi
dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat
dilakukan (pada dermographism).
5. Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak
berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri
bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas
dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinophil dalam sputum, dan kadar
oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi
menunjukkan hubungan antara jumlah eosinophil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP)
dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat
menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB
dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan
nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada
penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek
alergi tanpa asma.
Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya
berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi.
Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes
provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani,
inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin.
Penatalaksanaan Asma Bertujuan:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, agar kualitas hidup meningkat
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mempertahankan aktivitas normal termasuk latihan jasmani dan aktivitas lainnya
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara ireversibel
7. Meminimalkan kunjngan ke gawat darurat Komunikasi yang baik dan terbuka antara dokter
dan pasien adalah hal yang penting sebagai dasar penatalaksanaan. Diharapkan agar dokter
selalu bersedia mendengarkan keluhan pasien, itu merupakan kunci keberhasilan
pengobatan. Komponen yang dapat diterapkan dalam penatalaksanaan asma, yaitu
mengembangkan hubungan dokter pasien, identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap
faktor risiko, penilaian, pengobatan dan monitor asma serta penatalaksanaan asma
eksaserbasi akut.
Tatalaksana
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu:
1. Penatalaksanaan Asma Akut
Serangan akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan bantuan medis segera,
Penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit/gawat darurat. Kemampuan
pasien untuk mendeteksi dini perburukan asmanya adalah penting, agar pasien dapat
mengobati dirinya sendiri saat serangan di rumah sebelum ke dokter. Dilakukan penilaian
berat
serangan
berdasarkan
riwayat
serangan,
gejala,pemeriksaan
fisis
dan
bila
memungkinkan pemeriksaan faal paru, agar dapat diberikan pengobatan yang tepat. Pada
prinsipnya tidak diperkenankan pemeriksaan faal paru dan laboratorium yang dapat
menyebabkan keter-lambatan dalam pengobatan/tindakan.
2. Penatalaksanaan Asma Kronik
Pasien asma kronik diupayakan untuk dapat memahami sistem penanganan asma secara
mandiri, sehingga dapat mengetahui kondisi kronik dan variasi keadaan asma. Anti inflamasi
merupakan pengobatan rutin yang yang bertujuan mengontrol penyakit serta mencegah
serangan dikenal sebagai pengontrol, Bronkodilator merupakan pengobatan saat serangan
untuk mengatasi eksaserbasi/serangan.
Ciri-ciri asma terkontrol:
1. Tanpa gejala harian atau 2x/minggu
2. Tanpa keterbatasan aktivitas harian
3. Tanpa gejala asma malam
4. Tanpa pengobatan pelega atau 2x/minggu
5. Fungsi paru normal atau hampir normal
6. Tanpa eksaserbasi
Ciri-ciri asma tidak terkontrol
1. Asma malam (terbangun malam hari karena gejala asma)
2. Kunjungan ke gawat darurat, karena serangan akut
3. Kebutuhan obat pelega meningkat.
Pengendalian asma bertujuan:
1. Meningkatkan kemandirian pasien dalam upaya pencegahan asma
2. Menurunkan jumlah kelompok masyarakat yang terpajan faktor risiko asma
3. Terlaksananya deteksi dini pada kelompok masyarakat berisiko asma
4. Terlaksananya penegakan diagnosis dan tatalaksana pasien asma sesuai standar/kriteria
5. Menurunnya angka kesakitan akibat asma
6. Menurunnya angka kematian akibat asma