Anda di halaman 1dari 29

MANAJEMEN ANESTESI

PADA PASIEN DENGAN PROLAPS ISI BOLA MATA OCULI SINISTRA


ET CAUSA ULCUS CORNEA SENTRAL DENGAN ATRIAL SEPTAL
DEFECT YANG DILAKUKAN TINDAKAN EVISERASI OCULI SINISTRA

ABSTRAK
Latar belakang: Pembedahan pada mata merupakan tindakan yang unik dan menantang bagi
ahli anestesi. Pengertian tentang anatomi dan fisiologi sistem okuli termasuk regulasi tekanan
intraokuler, pengaruh obat obat anestesi sangat penting dikuasai oleh seorang ahli anestesi
karena akan mempengaruhi hasil operasi.
Tujuan: Melaporkan pengelolaan anestesi pada seorang laki laki dengan ablatio retina oculi
dextra dan hipertensi stage I.
Kasus: Seorang laki laki berusia 56 tahun datang dengan keluhan mata kanan tiba tiba kabur
sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga dengan riwayat menderita hipertensi sejak
1 tahun terakhir, minum obat teratur dengan tekanan darah harian 140/90 dan tekanan darah
tertinggi 170/100. Pada pemeriksaan EKG dan Rontgen Thorak masih dalam batas normal.
Hasil: Operasi berlangsung selama 1 jam 30 menit. Dilakukan prosedur Buckle Sclera pada mata
kanan. Perdarahan intra operatif sekitar 10 ml. Setelah 45 menit di ruang pemulihan pasein
dipindahkan ke ruangan. Pasien dipulangkan pada hari ke 3 pasca operasi.
Ringkasan: Manajemen Anestesi telah dilakukan pada laki laki 56 tahun dengan ablatio retina
oculi dextra dan hipertensi stage I. Operasi berjalan dengan sukses dan pasien diperbolehkan
pulang ke rumah pada hari ke 3 pasca operasi.
Kata Kunci: ablatio retina, hipertensi, buckle sclera

BAB I

PENDAHULUAN

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. ULKUS KORNEA
1.1 Definisi
Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan
kornea, yang ditandai dengan adanya infiltrat supuratif disertai defek kornea bergaung, dan
diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari epitel sampai stroma.1,2
Ulkus kornea adalah suatu kondisi yang berpotensi menyebabkan kebutaan yang
membutuhkan penatalaksanaan secara langsung.3
1.2 Anatomi dan Fisiologi Kornea
Kornea adalah jaringan transparan, yang ukurannya sebanding dengan kristal sebuah
jam tangan kecil. Kornea ini disisipkan ke sklera di limbus, lengkung melingkar pada
persambungan ini disebut sulkus skleraris. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,52
mm di tengah, sekitar 0,65 di tepi, dan diameternya sekitar 12,5 mm dari anterior ke
posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda-beda: lapisan epitel (yang
bersambung dengan epitel konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma, membran
Descement, dan lapisan endotel. Batas antara sklera dan kornea disebut limbus kornea.
Kornea merupakan lensa cembung dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. Kalau
kornea oedema karena suatu sebab, maka kornea juga bertindak sebagai prisma yang dapat
menguraikan sinar sehingga penderita akan melihat halo.9

Gambar 2.2 Anatomi Kornea


Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas cahaya
menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan strukturnya yang uniform, avaskuler dan
deturgenes. Deturgenes, atau keadaan dehidrasi relative jaringan kornea dipertahankan oleh
pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih
penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi dan cidera kimiawi atau fisik pada endotel
jauh lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema
kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya cedera pada epitel hanya menyebabkan edema
lokal stroma kornea sesaat yang akan menghilang bila sel-sel epitel itu telah beregenerasi.
Penguapan air dari film air mata prakornea akan mengkibatkan film air mata akan menjadi
hipertonik; proses itu dan penguapan langsung adalah faktor-faktor yang yang menarik air dari
stroma kornea superfisialis untuk mempertahankan keadaan dehidrasi.11
1.3 Etiologi Ulkus Kornea2,9,13,14
a.

Infeksi

Infeksi Bakteri : P. aeraginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies Moraxella


merupakan penyebab paling sering. Hampir semua ulkus berbentuk sentral. Gejala
klinis yang khas tidak dijumpai, hanya sekret yang keluar bersifat mukopurulen yang
bersifat khas menunjukkan infeksi P aeruginosa.

Infeksi Jamur : disebabkan oleh Candida, Fusarium, Aspergilus, Cephalosporium, dan


spesies mikosis fungoides.

Infeksi virus

Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering dijumpai. Bentuk khas dendrit
dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang bila pecah akan
menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk disiform bila mengalami
nekrosis di bagian sentral. Infeksi virus lainnya varicella-zoster, variola, vacinia
(jarang).

Acanthamoeba
Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat didalam air yang tercemar
yang mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi kornea oleh acanthamoeba adalah
komplikasi yang semakin dikenal pada pengguna lensa kontak lunak, khususnya bila
memakai larutan garam buatan sendiri. Infeksi juga biasanya ditemukan pada bukan
pemakai lensa kontak yang terpapar air atau tanah yang tercemar.

b. Noninfeksi

Bahan kimia, bersifat asam atau basa tergantung PH.


Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik, organik dan
organik anhidrat. Bila bahan asam mengenai mata maka akan terjadi pengendapan
protein permukaan sehingga bila konsentrasinya tidak tinggi maka tidak bersifat
destruktif. Biasanya kerusakan hanya bersifat superfisial saja. Trauma kimia asam
adalah trauma pada kornea dan konjungtiva yang disebabkan karena adanya kontak
dengan bahan kimia asam yang dapat menyebabkan kerusakan permukaan epitel bola
mata, kornea dan segmen anterior yang cukup parah serta kerusakan visus permanen
baik unilateral maupun bilateral. Sebagian besar bahan asam hanya akan mengadakan
penetrasi terbatas pada permukaan mata, namun bila penetrasi lebih dalam dapat
membahayakan visus. Asam sulfat merupakan penyebab paling sering dari seluruh
trauma kimia asam. Asam bereaksi dengan air mata yang melapisi kornea dan
mengakibatkan temperatur meningkat (panas) dan terbakarnya epitel kornea. Semua
asam cenderung untuk mengkoagulasi dan mengendapkan protein. Sel-sel terkoagulasi
pada permukaan berfungsi sebagai penghalang relatif pada penetrasi asam yang lebih
parah. Protein jaringan juga memiliki efek buffer pada asam, yang berkontribusi pada
sifat terlokalisir luka bakar asam.

Pada bahan alkali antara lain amonia, cairan pembersih yang mengandung
kalium/natrium hidroksida dan kalium karbonat akan terjadi penghancuran kolagen
kornea. Trauma basa biasanya lebih berat daripada trauma asam, karena bahan-bahan
basa memiliki dua sifat yaitu hidrofilik dan lipolifik dimana dapat mengijinkan mereka
secara cepat untuk penetrasi sel membran dan masuk ke bilik mata depan, bahkan
sampai retina. Sementara trauma asam akan menimbulkan koagulasi protein permukaan,
dimana merupakan suatu sawar perlindungan agar asam tidak penetrasi lebih dalam.
Bahan ammonium hidroksida dan akustik soda dapat menyebabkan kerusakan yang
berat karena mereka dapat penetrasi secara cepat, dan dilaporkan bahwa bahan akustik
soda dapat menembus ke dalam bilik mata depan dalam waktu 7 detik. Kornea, pada
organ ini dapat terjadi edema kornea karena adanya kerusakan dari epitel,
glikosaminoglikan, keratosit, dan endotel, sehingga aquos humor dari bilik mata
anterior dapat masuk kedalam kornea. Selain itu karena adanya iskemia limbus suplai
nutrisi berkurang sehingga menyebabkan tidak terjadinya reepitelisai kornea dan pada
akhirnya dapat timbul sikatrik pada kornea. 16,17

Radiasi atau suhu


Dapat terjadi pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari yang akan merusak
epitel kornea.
Sindrom Sjorgen
Pada sindrom Sjorgen salah satunya ditandai keratokonjungtivitis sicca yang merupakan
suatu keadan mata kering yang dapat disebabkan defisiensi unsur film air mata (akeus,
musin atau lipid), kelainan permukan palpebra atau kelainan epitel yang menyebabkan
timbulnya bintik-bintik kering pada kornea. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul
ulkus pada kornea dan defek pada epitel kornea terpulas dengan flurosein.
Defisiensi vitamin A
Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A terjadi karena kekurangan vitamin A dari
makanan atau gangguan absorbsi di saluran cerna dan ganggun pemanfaatan oleh tubuh.

Obat-obatan
Obat-obatan yang menurunkan mekanisme imun, misalnya; kortikosteroid, IDU (Iodo 2
dioxyuridine), anestesi lokal dan golongan imunosupresif.
Kelainan dari membran basal, misalnya karena trauma.
Pajanan (exposure)
Dapat timbul pada situasi apapun dengan kornea yang tidak cukup dibasahi dan
dilindung oleh palpebra.
Neurotropik
Ulkus yang terjadi akibat gangguan saraf ke V atau ganglion Gaseri. Pada keadaan ini
kornea atau mata menjadi anestetik dan reflek mengedip hilang. Benda asing pada
kornea bertahan tanpa memberikan keluhan selain daripada itu kuman dapat
berkembang biak tanpa ditahan daya tahan tubuh. Terjadi pengelupasan epitel dan
stroma kornea sehingga menjadi ulkus kornea.
c. Sistem Imun (Reaksi Hipersensitivitas)

SLE
SLE adalah gangguan autoimun multisistem dengan komplikasi okular di
segmen anterior dan posterior, termasuk keratitis sicca, episkleritis, ulkus
kornea, uveitis, dan vasculitis retina.

Rheumathoid arthritis
RA adalah gangguan vaskulitis sistemik yang paling sering melibatkan
permukaan okular. Pasien dengan RA berat sering hadir dengan ulserasi
progresif indolen dari kornea perifer atau pericentral dengan peradangan
minimal yang pada akhirnya dapat mengakibatkan perforasi kornea.

1.5 Patofisiologi
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan seratnya
tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di permukaan

anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera mengganggu
pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan sekecil apapun di
kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di
daerah pupil.
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera
datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan
kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja
sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat
dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari selsel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan
timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas
tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbullah
ulkus kornea.
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik
superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga
diperberat dengan adanya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea dan
menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang dapat
menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea merupakan
fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada pembuluh iris.
Penyakit ini bersifat progresif, regresif atau membentuk jaringan parut. Infiltrat sel
leukosit dan limfosit dapat dilihat pada proses progresif. Ulkus ini menyebar kedua arah
yaitu melebar dan mendalam. Jika ulkus yang timbul kecil dan superficial maka akan lebih
cepat sembuh dan daerah infiltrasi ini menjadi bersih kembali, tetapi jika lesi sampai ke
membran Bowman dan sebagian stroma maka akan terbentuk jaringan ikat baru yang akan
menyebabkan terjadinya sikatrik.
1.6 Manifestasi Klinis9
Gejala klinis pada ulkus kornea secara umum dapat berupa :
1.6.1 Gejala Subjektif
a. Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva
b. Sekret mukopurulen

c. Merasa ada benda asing di mata


d. Pandangan kabur
e. Mata berair
f. Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus
g. Silau
h. Nyeri
i. Infiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit nyeri, jika ulkus terdapat pada
perifer kornea dan tidak disertai dengan robekan lapisan epitel kornea.
1.6.2 Gejala Objektif
a. Injeksi siliar
b. Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan adanya infiltrat
c. Hipopion
1.7 Diagnosis Ulkus Kornea4,6,13
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
klinis dengan menggunakan slit lamp dan pemeriksaan laboratorium.
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea, sering dapat diungkapkan adanya
riwayat trauma, benda asing, abrasi, adanya riwayat penyakit kornea yang bermanfaat,
misalnya keratitis akibat infeksi virus herpes simplek yang sering kambuh. Hendaknya
pula ditanyakan riwayat pemakaian obat topikal oleh pasien seperti kortikosteroid yang
merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, virus terutama keratitis herpes
simplek. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit sistemik seperti diabetes,
AIDS, keganasan, selain oleh terapi imunosupresi khusus.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan gejala obyektif berupa adanya injeksi siliar,
kornea edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea. Pada kasus berat dapat terjadi
iritis yang disertai dengan hipopion.
Disamping itu perlu juga dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti :
a. Ketajaman penglihatan
b. Tes refraksi
c. Pemeriksaan slit-lamp

d. Keratometri (pengukuran kornea)


e. Respon reflek pupil
f. Pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi.

Gambar 2.14 Ulkus Kornea dengan fluoresensi


g. Goresan ulkus untuk analisa atau kultur (pulasan gram, giemsa atau KOH)
h. Pada jamur dilakukan pemeriksaan kerokan kornea dengan spatula kimura dari dasar
dan tepi ulkus dengan biomikroskop dilakukan pewarnaan KOH, gram atau Giemsa.

1.8 Penatalaksanaan Ulkus Kornea6,9,10,14


Ulkus kornea adalah keadan darurat yang harus segera ditangani oleh spesialis mata
agar tidak terjadi cedera yang lebih parah pada kornea. Pengobatan pada ulkus kornea
tergantung penyebabnya, diberikan obat tetes mata yang mengandung antibiotik, anti virus,
anti jamur, sikloplegik dan mengurangi reaksi peradangan dengann steroid. Pasien dirawat
bila mengancam perforasi, pasien tidak dapat memberi obat sendiri, tidak terdapat reaksi
obat dan perlunya obat sistemik.
1. Eviserasi, Enukleasi dan Eksenterasi
2.1.
-

Eviserasi
Defenisi: Pengankatan isi bola mata dengan meninggalkan bagian dinding bola mata,
sclera, otot-otot ekstra okuli dan saraf optiki.
Indikasi
Indikasi dari pembedahan eviserasi adalah keadaan kebutaan pada mata dengan
infeksi berat atau kondisi mata yang sangat nyeri. Tumor intraocular dan phitisis

merupakan kontraindikasi dalam meaksanakan pebedahan eviserasi. Eviserasi


memiliki keuntungan dibandingkan enukleasi yaitu pembedahan dapat dilaksanakan
dengan komplikasi yang lebih sedikit, anastesi dapat dilakukan dengan anastesi local
berupa blok retrobulbar dan proses pebedahan dilakukan dalam waktu yang lebih
singkat.

2.2. Enukleasi
Defenisi: Pengankatan keseluruhan isi bola mata termasuk nervus optikus.
Indikasi:

Visus yang sngat turun dengan nyeri pada rongga orbita.

Tumor intraokular

Trauma hebat dengan resiko sympathetic ophthalmia

Phthisis bulbi

Microphthalmia

Endophthalmitis/panophthalmitis

Kosmetik

.
2.3. Eksesnterasi
-

Defenisi: Merupakan tindakan pengangkatan seluruh orbita, termasuk bola mata,

jaringan lunak orbita, serta kelopak mata dan adnexa mata.


Indikasi
Indikasi pembedahan eksenterasi adalah adanya penyakit keganasan di rongga orbita
atau menyebaran dari tumor lain yang mengenai orbita

Manajemen Anestesi pada Operasi Mata


Pada prinsipnya manajemen anestesi pada operasi mata yang perlu kita perhatikan adalah
Tekanan intra okuler, Reflek okulo kardiak, dan ekspansi gas intraokuler
1.

Tekanan Intra okuler


Mata dapat dianggap sebagai bola hampa dengan dinding yang kaku. Jika isi dari bola

mata meningkat, tekanan intraokuler (normal 12 20 mmHg) akan naik. Sebagai contoh,
glaukoma disebabkan oleh sumbatan aliran humor aquos. Begitu juga tekanan intraokuler akan
naik jika volume darah dalam bola mata meningkat. Naiknya tekanan vena akan meningkatkan
tekanan intraokuler oleh penurunan aliran aquos dan peningkatan volume darah koroid.
Perubahan yang ekstrim dari tekanan darah arteri dan ventilasi dapat meningkatkan tekanan
intraokuler. Pemberian anestesi merubah parameter ini dan dapat menpengaruhi tekanan
intraokuler seperti laryngoscopy, intubasi, sumbatan jalan napas, batuk, posisi trendelenburg.
Hal lain, peningkatan ukuran bola mata yang tidak proporsional mengubah volume
isinya akan meningkatkan tekanan intraokuler. Penekanan pada mata dari sungkup yang sempit,
posisi prone yang tidak baik, atau perdarahan retrobulber merupakan tanda peningkatan tekanan.
Tekanan intraokuler membantu mempertahankan bentuk dan oleh karena itu membangun optik
dari mata. Variasi temporer tekanan biasanya dapat ditoleransi dengan baik oleh mata normal.
Dalam kenyataanya kebutaan menaikkan tekanan intraokuler sebanyak 5 mmHg dan juling 26
mmHg. Episode transien peningkatan tekanan intraokuler pada pasien dengan tekanan arteri
optalmikus yang rendah.(hipotensi, arteriosklerotik arteri retina), bagaimanapun dapat
membahayakan

perfusi

retina

yang

menyebabkan

iskemia

retina.

Pada saat bola mata dibuka selama prosedur pembedahan atau setelah trauma tembus, tekanan
intraokuler dapat

mendekati tekanan atmosfer. Beberapa faktor yang secara normal

meningkatkan tekanan intraokuler akan menurun bila terjadi pengaliran aqous atau ektruksi
vitreus yang menembus luka. Komplikasi lama yang serius menimbulkan kelainan visus yang
permanen.

Faktor yang menyebabkan peningkatan Tekanan Intra Faktor yang dapat menurunkan Tekanan Intra
Okuler

Okuler

Obat Midriatik
Gerakan pasien
Peningkatan tonus otot ekstraokuler
Hipertensi
Injeksi cairan 8 - 10 ml ke orbita
Asidosis respiratorik, hipoksia dan hiperkarbai

Obat depresan ssp


Manitol, ganglionik bloker
asetazolamid
Hipotensi
Posisi head up
Hipokarbi

Umumnya obat obat anestesi lain yang rendah tidak berefek pada tekanan intraokuler.
Anestesi inhalasi menurunkan tekanan intraokuler yang proporsional sesuai dalamnya anestesi.
Penyebab penurunannya multipel antara lain ; penurunan tekanan darah mengurangi volume
koroidal, relaksasi otot-otot ekstraokuler menurunkan tekanan dinding bola mata, kontriksi pupil
memudahkan aliran aquos. Anestesi intravena juga dapat menurunkan tekanan intraokuler.
Mungkin pengecualian adalah ketamin, yang dapat menaikkan tekanan darah arteri dan tidak
menyebabkan relaksasi otot ekstraokuler.
Pemberian obat antikolinergik topikal menyebabkan dilatasi pupil (midriasis), yang dapat
menyebabkan glaukoma sudut tertutup. Dosis premedikasi atropin sistemik yang dianjurkan
tidak berhubungan dengan hipertensi intraokuler, karena bagaimanapun hal ini akan terjadi pada
pasien-pasien dengan glaukoma. Besarnya empat struktur amonium glikopirolat dapat
memperbesar batas keamanan dan mencegah penularan ke dalam sistem saraf pusat.
Suksinilkolin meningkatkan tekanan intraokuler sebanyak 5-10 mmHg selama 5-10 menit setelah
pemberiannya, menembus terutama ke dalam otot-otot ekstraokuler dan menyebabkan
kontraktur. Tidak seperti otot skelet lainnya, otot ekstraokuler terdiri dari sel-sel dengan multipel
neuromuskuler junction. Setelah pemulihan depolarisasi sel-sel ini oleh suksinilkolin
menyebabkan kontraktur yang berkepanjangan. Hasilnya terjadi peningkatan tekanan intraokuler
yang mempunyai beberapa efek. Hal ini akan menyebabkan pengukuran palsu terhadap tekanan
intraokuler selama pemeriksaan dalam pengaruh anestesi pada pasien-pasien glaukoma,
peningkatan ini tidak penting dalam pembedahan, oleh karena itu kenaikan tekanan intraokuler
dapat menyebabkan ekstruksi okuler akibat bedah terbuka atau trauma yang tembus. Efek akhir
kontraktur yang berkepanjangan dari otot-otot ekstraokuler adalah tes forced duction abnormal
selama 20 menit. Manuver ini menilai penyebab ketidakseimbangan otot ekstraokuler dan

pengaruh tipe pembedahan strabismus. Kongesti vena-vena koroid juga dapat menaikkan
tekanan intraokuler. Obat pelumpuh otot nondepolarisasi tidak menaikkan tekanan intraokuler.

Pengaruh Obat - obatan Anestesi terhadap Tekanan Intra


Okuler

Anestesi inhalasi

Agen Voletile
Nitro oxide

Obat Intravena

Barbiturat
Benzodiazepin
Narkotik
Ketamin

Depolarisasi
Non Depolarisasi

Muscle relaxan

2.

Reflek Okulo Kardiak


Tarikan pada otot ektraokuler atau penekanan pada bola mata dapat menimbulkan

disritmia jantung berupa bradikardia dan ventricular ectopic beat sampai sinus arrest atau
fibrilasi ventrikuler. Refleks ini terdiri dari afferen trigeminus (V1) dan jalur efferen vagal.
Refleks okulokardiak paling sering pada pasien pediatrik yang menjaliani pembedahan
strabismus. Biarpun demikian hal ini dapat terjadi dalam semua kelompok umur dan beberapa
prosedur,

termasuk

ekstraksi

katarak,

enukleasi,

dan

perbaikan

retinal

terlepas.

Pemberian antikolinergik sering membantu mencegah reflek okulokardiak. Atropin intravena


atau glikopirolat merupakan prioritas segera pada pembedahan dan lebih efektif dibandingkan

dengan premedikasi intramuskuler. Hal ini telah diketahui bahwa pemberian antikolinergik
dapat merugikan pada pasien-pasien yang tua, yang sering mempunyai penyakit arteri koronaria.
Blok retrobulbar atau anestesi inhalasi yang dalam juga dapat dinilai, tetapi prosedur ini
mempunyai resiko baginya. Blok retrobulbar kenyataanya dapat menimbulkan refleks
okulokardiak.

Kebutuhan

profilaksis

secara

rutin

masih

merupakan

kontroversi

Penanganan refleks okulokardiak terdiri dari prosedur berikut :


1.

Segera laporkan ke ahli bedah dan menghentikan secara temporer stimulasi pembedahan
sampai nadi meningkat;

2.

Konfirmasi adekuatnya ventilasi, oksigen dan kedalaman anestesi;

3.

Berikan atropin intravena (10 mcg/kg) jika terdapat gangguan konduksi yang persisten;
dan;

4.

Dalam episode yang tidak bisa ditangani, lakukan infiltrasi pada otot rektus dengan
anestesi lokal. Refleks ini dapat lelah sendiri (memusnahkan dirinya sendiri) dengan pulihnya
traksi dari otot-otot ekstraokuler.

3.

Ekspansi Gas Intraokuler


Gelembung gas dapat terjadi setelah injeksi oleh ahli mata didalam chamber posterior
selama pembedahan vitreus. Injeksi udara intravireal akan meyebabkan retina terlepas dan
dibolehkan koreksi penyembuhan secara anatomis. gelembung gas dapat diserap dalam 5 hari
dengan perlahan-lahan menebus jaringan sekitarnya dan masuk kedalam aliran darah. Jika pasien
diberikan nitrous oksida, gelembung akan meingkat ukurannya. Hal ini karena nitrous oksida 35
kali lebih larut dari nitrogen dalam darah. Kemudian nitrous oksida akan berdifusi ke dalam
gelembung gas lebih cepat dibanding nitrogen (komponen utama udara) diserap oleh aliran
darah. Jika gelembung berekspansi setelah mata ditutup, maka tekanan intraokuler akan
meningkat.
Sulfur hexaflouride (SF6) merupakan gas lemban, dimana gas tersebut kurang larut dalam darah
dibanding nitrogen, dan lebih kurang larut dibanding nitrous oxide. Durasi lama kerjanya (lebih

dari 10 hari) sebanding dengan gelembung udara yang dapat menguntungkan ahli mata. Ukuran
gelembung tersebut menjadi ganda dalam waktu 24 jam setelah diinjeksi karena nitrogen dari
udara yang dihirup memasuki gelembung lebih cepat dari difusi sulfur hexafouride ke dalam
aliran darah. Walaupun demikian, volume dari sulfur hexaflouride yang murni setelah di injeksi
secara lambat akan menggembung biasanya tidak meningkatkan tekanan intraokuler. Jika pasien
menghirup nitrous okside, maka ukuran gelembung akan meningkat dengan cepat dan dapat
menyebabkan hipertensi intraokuler. Inspirasi nitroxide konsentrasi 70% dapat menambah
ukurannya 3x, setiap 1 ml gelembung dapat menaikkan tekanan 2 kali pada mata tertutup dalam
waktu 30 menit. Penggunaan nitroxide yang tidak berkelanjutan dapat meningkatkan reabsorpsi
dari gelembung, yang menjadi sebuah campuran nitrous okside dan sulfur hexaflouride.
Konsekuensi dari penurunan tekanan intraokuler dapat menyebabkan pelepasan retina yang
lain.
Komplikasi komplikasi ekspansi gelembung gas intraokuler ini dapat dihindarkan
dengan pemberian nitrous okside paling kecil secara tidak terus menerus + 15 menit sebelum
injeksi udara atau sulfur hexaflouride. Kenyataannya, lamanya waktu untuk mengeliminasi
nitrous okside dari darah tergantung pada beberapa faktor , termasuk kecepatan aliran gas dan
adekuatnya ventilasi alveoli. Kedalaman anestesi harus dipelihara dengan obat-obat anestesi
yang lain. Nitroxide seharusnya dihindari sampai gelembung tersebut diserap (5 hari setelah
diudara dan 10 hari setelah injeksi hexaflouride sulfur).

3. Atrial Septal Defect (ASD)


3.1. Defenisi
Atrial Septal Defect / ASD (Defek Septum Atrium) adalah kelainan jantung kongenital
dimana terdapat lubang (defek) pada sekat (septum) inter-atrium yang terjadi oleh karena
kegagalan fusi septum interatrium semasa janin(1).
3.2.. Tipe Defek Septum Atrium
a. Tipe pertama adalah Defek Ostium Secundum.

Tipe ASD yang paling umum dan paling tidak serius adalah kerusakan ostium
secundum. Kerusakan ini terjadi di daerah fossa ovalis dan mungkin diakibatkan oleh
resorpsi septum primum yang berlebihan, kurang berkembangnya septum secundum, atau
kombinasi dari 2 kondisi ini.
Hampir separuh pasien dengan kekurangan perkembangan katup atrioventrikular
(AV) kiri (yaitu sindrom jantung kiri hipoplast atau Shone complex), perlekatan atas katup
foramen ovale terletak pada atap atrium kiri ke bagian kiri septum secundum. Weinberg dkk
(1986) menyebut anomali ini sebagai penyimpangan perlekatan atas septum primum (ke
arah kiri dan posterior). Penyimpangan ini sangat jarang teramati pada pasien dengan katup
AV kiri ternormalisasi. Yang penting, model klasik ini tidak menjelaskan keberadaannya
dengan baik. Jenis ini dapat dianggap sebagai variasi kerusakan ostium secundum, meskipun
hal ini dirancang secara paling kuat sebagai ASD (4).
Varian kedua kerusakan ostium secundum adalah kaitannya dengan aneurisme
septum atrium. Hal ini dianggap disebabkan oleh redundansi katup fossa ovalis. Hal ini
mungkin berkaitan dengan prolapse katup mitral atau atrial arrhytmia.
Anatomi dan Hemodinamik
Pada defek septum atrium sekundum terdapat lubang patologis di tempat fossa ovalis.
Defek dapat berukuran kecil sampai sangat besar shingga mencakup sebagian septum.
Akibatnya terjadi pirau dari atrium kiri ke atrium kanan, dengan beban volume di atrium dan
ventrikel kanan.
Gambaran klinis
Kebanyakan penderita defek septum atrium sekundum asimtomatis, terutama pada
masa bayi dan anak kecil. Bila pirau cukup besar maka pasien mengalami sesak nafas dan
sering mengalami infeksi paru. Gagal jantung pada masa bayi pernah dilaporkan, namu
sangat jarang. Tumbuh kembang biasanya sangat jarang, tetapi jika pirau besar berat badan
anak sedikit kurang.
Pada pemeriksaan fisis jantung pada mumnya normal atau hanya sedikit membesar
dengan pulsasi ventrikel kanan yang teraba. Komponen aorta dan pulmonal bunyi jantung II

terbelah lebar (wide split) yang tidak berubah baik pada saat inspirasi maupun ekspirasi
(fixed split). Split yang lebar ini disebakan oleh beban volume diventrikal kanan hingga
waktu ejeksi ventrikel kanan bertambah lama, sedang split yang idak bervariasi dengan
pernapasan terjadi karena pirau kiri kekanan bervariasi sesuai dengan berubahnya alir balik
ke atrium kanan. Pada defek yang sangat besar mungki terjadi variasi split sesuai dengan
siklus pernapasan yang merupakan petunjuk bahwa pasien memerluka tindakan operatif (5).
Pada defek kecil sampai sedang bunyi jantung I normal, akan tetapi pada defek besar
bunyi jantung I mengeras. Bising ejeksi sistolik terdengar di daerah pulmonal akibat aliran
darah yang berlebihan melalui katup pulmonal. Aliran darah yang memintas dari atrium kiri
ke kanan tidak menimbulkan bising karena perbedaan tekanan atrium kana dan kiri adalah
kecil. Bising diastolik di daerah trikuspidal terjadi akibat aliran darah yang berlebihan
melalui katup trikuspid pada fase pengisian cepat ventrikel kanan dapat terdengar. Bising ini
hanya dapat terdengar jikalau Qp/Qs lebih dari 2:1. bising ini terdengar pada saat inspirasi
dan melemah pada ikspirasi.
Foto Thoraks
Pada foto toraks pasien denga ASD dengan pirau yang bermakna, foto toraks AP akan
menunjukkan atrium kanan yang menonjol, dan dengan konus pulmonalis yang menonjol.
Pada foto AP biasanya tampak jantung yang hanya sedikit membesardan vaskularisasi paru
yang bertambah sesuai dengan besarnya pirau.
Ekokardiografi (6)

Picture 1 : Subcostal echocardiographic view of a child with a secundum atrial septal defect
(ASD). Note the position of the defect in the atrial septum. RA = Right atrium; LA = Left
atrium; SVC = Superior vena cava.

Picture 2: Subcostal long-axis view of the same child as in Media file 1 with a secundum
atrial septal defect (ASD). RA = Right atrium; LA = Left atrium; RUPV = Right upper
pulmonary vein.

Picture 3: Parasternal short axis view of a child with a secundum atrial septal defect (ASD).
RA = Right atrium; LA = Left atrium; AO = Aorta.

b. Tipe kedua adalah Defek Ostium Primum.

ASD mungkin disebabkan oleh kegagalan bantalan endokardial untuk menutup


ostium primum. Karena bantalan endokardial juga membentuk katup mitral dan tricuspid,
kerusakan ostium primum selalu dikaitkan dengan pembelahan di dinding katup mitral
anterior.
Anatomi dan Hemodinamik
Pada defek septum primum terdapat celah pada bagian bawah septum atrium, yakni pada
septum atrium primum. Di samping itu, sering terdapat pula celah pada daun katup mitral.
Keadaan tersebut menyebabkan terjadinya (1) pirau dai atrium kiri ke kanan serupa dengan
defek pada septum atrium sekundum, (2) arus sistolik dai ventrikel kiri melalui celah pada
katup mitral.
Gambaran klinis
Pasien dengan defek septum primum biasanya mempunyai berat badan yang kurang di
banding denga anak sebayanya, dan memiliki prekordium menonjol akibat pembesaran
ventrikel kanan. Pada pemeriksaan fisik biasanya jantung membesar dengan peningkatan
aktivitas ventrikel kiri maupu kanan. Pada auskultasi terdengar bunyi jantung I normal atau
mengeras, dan bunyi jantung II split lebar dan menetap. Didaerah pulmonal terdengar bising
ejeksi sistolik akibat stenosis pulmonal relatif. Sering terdengar bising pansistolik apikal
akibat regurgitasi mitral. Bising ini sering kali tidak terdengar jelas meskipun terdapat
regurgitasi mitral yang bermakna.
Foto toraks
Tampak pembesaran ventrikel kanan ( pada foto lateral) dengan atau tanpa pembesaran
atrium kanan. Pada foto PA tampak konus pulmonalis menonjol. Terdapat peningkatan
vaskularisasi paru baik di hilus maupu di daerah perifer. Jikalau terdapat regurgitasi mitral
maka terdapat pembesaran ventrikel sreta atrium kiri. Umumnya kardiomegali lebih sering
terjadi pada defek primum dibanding sekundum.
Ekokardiografi

Picture 4: Apical echocardiographic view of a primum atrial septal defect (ASD). Note the
position of the defect when compared with a secundum ASD. RA = Right atrium; LA = Left
atrium; RV = Right ventricle; LV = Left ventricle. (7)

Picture 5 : Apical echocardiographic view of a primum atrial septal defect (ASD). Note that
the atrioventricular valves are at the same level (instead of mild apical displacement of the
tricuspid valve), which is seen in the spectrum of atrioventricular canal defects. RA = Right
atrium; LA = Left atrium; RV = Right ventricle; LV = Left ventricle (7).

Picture 6: Apical color Doppler echocardiographic view of a primum atrial septal defect
(ASD). Note the flow across the defect from the left atrium to the right atrium (RA), and note
the mitral regurgitation (MR) through a cleft in the anterior leaflet of the mitral valve. MV =
Mitral valve; LV = Left ventricle. (8)

c. Tipe ketiga adalah Defek Sinus Venosus.


ASD ini ditemukan di bagian posterior septum di dekat vena cava superior (di
mana ia bisa ada bersama dengan koneksi vena paru-paru) atau vena cava inferior (di mana ia
bisa ada bersama dengan kerusakan vena paru-paru ). Secara klinis, EKG, dan radiologis
dfek septum atrium sekundum; untuk membedakannya diperlukan ekokardiofrafi. Defek tipe
ini merupakan 2-3 % dari seluruh kelainan hubungan antara atrium kanan dan atrium kiri.
Defek septum atrium tipe sinus venosus terletak di dekat muara vena kava superior atau vena
kava inferior dan seringkali disertai dengan anomali parcial drainase vena pulmonalis, yakni
sebagian vena pulmonalis bermuara kedalam atrium kanan. Pada bedah korektif dilakukan
pula koreksi terhadap kelainan Muara vena pulmonalis yang ada.

Picture 7: Subcostal short-axis view of a child with a sinus venosus atrial septal defect (ASD).
Note the position of the defect compared with that of a secundum or primum ASD. Also note
the anomalous position of the right upper pulmonary vein (RUPV). RA = Right atrium; LA =
Left atrium.

d. Tipe keempat adalah Defek septum sinus koroner.


Tipe ASD yang paling tidak umum ini disebut sebagai kerusakan septum koroner
atau kerusakan septum sinus koroner. Sebagian dasar sinus koroner menghilang; oleh karena
itu, darah dapat mengalir dari atrium kiri ke sinus koroner dan selanjutnya ke atrium kanan.
Tipe ini seringkali dikaitkan dengan vena cava superior kiri.

Pirau dari kiri ke kanan


Efek klinis ASD biasanya dikaitkan dengan pirau dari kiri ke kanan. Besarnya
pirau berhubungan dengan ukuran kerusakan dalam septum, dengan pemenuhan relatif ruang
jantung kiri dan kanan, dan berhubungan secara tidak langsung dengan resistensi sirkulasi
pulmoner (PVR) dan sistemik. Saat lahir, ventrikel kanan dan kiri memiliki ketebalan dan
pemenuhan yang sama. Dalam beberapa hari sampai minggu pertama setelah kelahiran,
resistensi vaskuler pulmoner (PVR) masih meningkat dan belum mencapai titik terendah.

Saat hambatan aliran pulmoner turun dan ventrikel kanan masih bekerja normal,
darah dapat mengalir ke vaskuler pulmoner secara lebih mudah, dan pirau kiri ke kanan
tingkat atrium meningkat.
Kadang-kadang, kerusakan septum ini kecil, dengan sedikit pirau dari kiri ke
kanan. Akan tetapi, kebanyakan kerusakan yang menyebabkan bising atau gejala semakin
besar, dan ukuran kerusakan yang kecil dapat membatasi pirau dari kiri ke kanan. Sekitar 15
% ASD ostium secundum menutup secara spontan pada umur 4 tahun.
Kerusakan ini menyebabkan serangkaian masalah dalam perawatan primer anak.
Pemahaman tentang embriologi manusia sangatlah penting untuk mendiagnosis abnormalitas
ini dalam perencanaan penanganan jangka panjang.

3.3. Faktor Resiko


Jenis kelamin
Rasio wanita terhadap pria adalah sekiar 2:1.
Umur
ASD, abnormalitas bawaan, ada saat kelahiran. Akan tetapi, dalam kebanyakan
kasus, bising tidak terdengar sampai anak berusia beberapa bulan. Gejala-gejala ini biasanya
tidak terjadi pada individu dengan ASD sampai kanak-kanak akhir, remaja, atau dewasa.
Kerusakan tipe secundum (ostium secundum), sinus venosus, dan sinus koroner
kadang-kadang tidak terdiagnosa sampai dekade ketiga kehidupan. ASD ostium primum
biasanya terdiagnosa pada beberapa tahun pertama kehidupan karena adanya bising mitral
atau ECG abnormal.
Atrium umum (kombinasi kerusakan sinus venosus, ostium secundum, dan ostium
primum) biasanya terdiagnosa dalam beberapa tahun pertama kehidupan karena darah vena
sistemik dan darah vena pulmoner seringkali bercampur sebelum memasuki masing-masing

ventrikel, kondisi ini menyebabkan cyanosis. Selain itu, atrium bisa dikaitkan dengan CHD
kompleks, dan pasien bisa hadir relatif awal karena adanya abnormalitas intrakardial (10).

3.5. Gambaran Klinis


Bayi dan anak-anak dengan kerusakan septum atrium (ASD) biasanya
asimtomatis. Kebanyakan ASD terdiagnosa setelah bising terdeteksi selama pemeriksaan
pemeliharaan kesehatan rutin. Bahkan pada anak-anak dengan ASD asimtomatis, manifestasi
klinis seringkali tidak kentara dan nonspesifik. Beberapa anak dengan ASD memiliki berat
badan rendah, mereka masih tetap agak kecil, dan mereka bisa mengalami dyspnea usaha
atau infeksi sistem pernapasan atas.
Gejala-gejala yang relatif berat, misalnya arrhytmia, hipertensi arteri pulmoner,
dan penyakit kerusakan vaskuler pulmoner (PVOD), jarang ada pada anak-anak dengan
ASD. Beberapa bayi dan anak-anak dengan kerusakan luas bisa menunjukkan gejala gagal
jantung turunan (CHF), khususnya jika mereka memiliki luka yang berkaitan (misalnya
ductus arterious paten) atau penyakit paru-paru (misalnya bronchopulmonary dysplasia
dan/atau penyakit paru-paru kronis) (11).

Pemeriksaan Fisik
Kebanyakan anak dengan ASD ini asimtomatis. Di negara-negara maju, diagnosis
biasanya

dibuat

selama

pengevaluasian

bising

yang

mencurigakan

atau

selama

pengevaluasian kelelahan dan intoleransi olah raga. ASD yang tidak terdiagnosis pada anakanak dapat menyebabkan masalah di saat dewasa.
Pada evaluasi awal, banyak anak dengan ASD yang nampak sehat sama sekali,
akan tetapi, pemeriksaan fisik yang cermat seringkali menghasilkan tanda-tanda untuk
diagnosis.
Pasien dengan ASD dapat mengalami penonjolan prekardial, detak jantung
ventrikel kanan yang menonjol, dan

denyut arteri pulmoner yang jelas. Semua ini

merupakan tanda peningkatan aliran darah melalui sisi kanan jantung dan dasar vaskuler
paru-paru.
Pada pemeriksaan individu dengan ASD, suara jantung pertama mungkin normal
atau menyebar. Suara yang berkaitan dengan penutupan katup tricuspid ini bisa ditekankan
jika aliran darah melalui katup pulmoner meningkat dan menimbulkan bising pulmoner
midsistolik. Suara ini dapat dinilai di batas sternal kiri atas dan bisa ditransmisikan ke bidang
paru-paru
Meskipun suara jantung kedua mungkin normal pada bayi baru lahir dengan ASD,
hal ini menyebar dengan luas dan tetap sepanjang waktu saat tekanan pada sisi kanan jantung
turun. Penyebaran tetap ini terjadi sebagai akibat peningkatan kapasitas dasar vaskuler
pulmoner, yang menimbulkan penghambatan pulmoner yang rendah, dan karenanya
memberikan interval setelah akhir sistol ventrikel kanan. Penyebaran tetap S2 merupakan
penemuan diagnostik penting dalam pelangsiran tingkat atrium.
Pirau yang besar dapat meningkatkan aliran di sepanjang katup tricuspidal, dan
pasien dengan ASD memungkinkan untuk mengalami bising diastol di batas sternum kiri (12).
Prolapse katup mitral terjadi dengan frekuensi yang meningkat dalam keberadaan
ASD dan bisa disebabkan oleh kompresi sisi kiri jantung setelah pembesaran sisi kanan
Pada pasien dengan prolapse katup mitral, bising sistolik seringkali terdengar
menyebar ke axilla. Bunyi klik midsistolik bisa ada, namun bising ini mungkin sulit untuk
dideteksi pada beberapa pasien dengan ASD
Resistensi vaskuler pulmoner (PVR) bisa meningkat selama kanak-kanak, remaja,
dan dewasa, menghasilkan PVOD. Peningkatan

tekanan arteri pulmoner dan PVR

menghasilkan hipertrofi ventrikel kanan, yang kemudian mengurangi aktivitas ventrikel


kanan dan mengurangi tingkat pirau dari kiri ke kanan.
Pada pemeriksaan fisik, pasien bisa mengalami denyut ventrikel kanan yang
menonjol, namun gemuruh aliran tricuspid diastolik dan bising sistolik di daerah pulmoner
mungkin berkurang

Penyebaran luas suara jantung kedua bisa kecil, dan komponen paru-paru pada
suara jantung kedua bisa menjadi keras, dengan intensitas yang sama dengan intensitas
komponen aorta.
Pada semua pasien dengan atrium umum, pirau dari kanan ke kiri terjadi,
menghasilkan cyanosis, meskipun hal ini mungkin ringan karena adanya aliran darah di
sepanjang katup atrioventrikel (AV).
Pada orang dewasa dengan ASD yang tidak diketahui, pirau dari kiri ke kanan
bisa lebih buruk jika hipertensi arteri sistemik terjadi. Hasilnya mungkin adalah hipertrofi
ventrikel kiri, berkurangnya aktifitas ventrikel kiri, dan peningkatan pirau dari kiri ke kanan
(13)

3.6. Penanganan dan Pengobatan


Terapi medis tidak terlalu bermanfaat pada anak-anak dengan kerusakan septum
atrium (ASD) asimtomatis. Dengan perkecualian jenis ostium secundum, ASD merupakan
kerusakan struktural yang tidak menutup secara spontan. Penutupan dengan pembedahan
diperlukan untuk kebanyakan ASD. ASD ostium secundum yang memiliki diameter 6 mm
atau kurang pada tahun pertama kehidupan pasien memungkinkan untuk menutup secara
spontan; akan tetapi, penutupan tersebut lebih lambat daripada penutupan pada kerusakan
septum ventrikel otot kecil.
Bayi yang terkena ASD berat dan mengalami gagal jantung bawaan (CHF) dapat
ditangani seperti anak lain dengan CHF dari pirau kiri ke kanan. Penanganan ini, yang
mencakup pengurangan diuretik, digoxin, dan afterload, tercakup dalam artikel lain.
Arrhytmia yang berkaitan dengan ASD juga jarang terjadi pada anak-anak, namun
semakin sering dengan pertambahan usia. Dalam kenyataannya, terjadinya fibrilasi atrium
dapat memicu CHF pada orang dewasa dengan ASD yang berumur kurang dari 40 tahun.
Arrhytmia bisa diakibatkan oleh pembesaran atrium, dan individu ini memerlukan terapi
antiarrhytmia sampai ASD lebih baik.
Beberapa anak dengan ASD mengalami infeksi sistem pernapasan berulang, yang
mungkin ditolerir dengan buruk.

Endocarditis prophylaxis bakteri tidak diperlukan untuk pasien tertentu dengan


ASD terpisah, tanpa memandang tipe ASD. Prophylaxis dianjurkan sebelum pembedahan
jika ASD merupakan bagian dari penyakit jantung

bawaan (CHD) sianotik kompleks.

Endocarditis prophylaxis dianjurkan selama 6 bulan setelah operasi atau perbaikan ASD
percutaneous, dan dalam beberapa contoh dianjurkan

lebih lama pada pasien dengan

abnormalitas katup mitral residual setelah operasi perbaikan ASD primum.


Terapi tertentu untuk ASD secara historis terbatas pada penutupan bedah. Akan
tetapi, dengan datangnya teknik-teknik transkateter, banyak anak yang menjalani penanganan
sukses di laboratorium kateterisasi jantung.
Pendekatan bedah yang paling umum untuk kerusakan ini adalah perbaikan
primer dengan penutupan jahitan atau dengan

perbaikan tambalan (umumnya dengan

pericardium autolog yang ditangani dengan glutaraldehid atau benang yang terbuat dari serat
poliester (Dacron).
Tidak semua anak dengan ASD merupakan calon pembedahan, yang hanya
diindikasikan untuk anak-anak dengan pirau kiri ke kanan yang secara klinis signifikan.
Umumnya,

rasio aliran pulmoner terhadap sistemik sebesar 1,5:1 atau lebih

dianggap sebagai indikasi utama perbaikan bedah. Pirau yang lebih sedikit pada anak-anak
dengan kerusakan kecil dan pada mereka dengan hipertensi pulmoner yang ada dapat
diamati.
Karena kateterisasi jantung jarang diperlukan, bukti ekokardiograf pelebaran
atrium kanan dan ventrikel kanan biasanya dianggap sebagai bukti pirau dari kiri ke kanan
yang secara klinis signifikan dan merupakan indikasi untuk bedah ASD.
Pembedahan idealnya dilakukan pada anak-anak yang berusia antara 2 4 tahun
dan memiliki angka mortalitas rendah. Akan tetapi, pembedahan dapat dilakukan lebih awal
jika anak memiliki bukti CHF (15).
Teknik-teknik pembedahan yang lebih baru

telah dikembangkan. Hal ini

meningkatkan penampilan dan mengurangi waktu rawat inap. Teknik ini idealnya
disesuaikan untuk penutupan sederhana ASD secundum.

Angka mortalitas pembedahan ini rendah pada pasien dengan ASD yang tidak
berkomplikasi. Di sebuah pusat pediatri berpengalaman, angka mortalitas sebaiknya kurang
dari 1%.
Morbiditas pasca operasi pada individu dengan ASD hampir secara eksklusif
berhubungan dengan akumulasi cairan perikardium (sindrom pasca perikardiotomi), yang
terjadi pada sekitar sepertiga pasien. Kadang-kadang, tamponade terjadi dan memerlukan
perikardiosentesis. Efusi perikardial sebaiknya dicurigai pada pasien anak yang menjalani
perbaikan pasca operasi ASD dan yang menunjukkan rasa sakit di dada, napas pendek, atau
rasa tidak enak badan. Pada anak kecil, gejala-gejala ini mungkin tidak spesifik dan meliputi
iritabilitas dan penurunan nafsur makan.
Pendekatan transkateter untuk penutupan ASD telah diterima dalam populasi
pediatri. ASD secundum merupakan satu-satunya subtipe ASD yang menyetujui pendekatan
ini. Teknik tersebut memerlukan individu dengan keahlian besar di bidang kardiologi anak
intervensional dan kerjasama antara intervensionalis dan spesialis pencitraan noninvasif.
Keuntungan dari pendekatan transkateter adalah invasivitasnya yang minimal,
kurangnya stemotomi median, dan penghindaran bypas kardiopulmoner, dan waktu
pemulihannya yang relatif cepat. Kelemahannya adalah pirau residu di sekitar alat,
embolisasi selama penempatan yang memerlukan intervensi bedah, kurangnya lingkaran
septum yang memadai untuk menempatkan alat dengan tepat, masalah keamanan jangka
panjang, dan kebutuhan akan keahlian teknis dan peralatan khusus. Meskipun relatif baru,
pendekatan transkateter untuk penutupan ASD semakin lazim, dan penelitian-penelitian
menunjukkan angka keberhasilan yang tinggi (16).

i American Academy of Ophthalmology: Orbit, eyelid and Lacrimal System, Section7 ,


2011-2012. page 119-120

Anda mungkin juga menyukai