Anda di halaman 1dari 19

Strategi Resusitasi Syok Hemoragik Akibat Trauma

Muhammad Zulkifli, Andi Hasnah Suaib

A. Pendahuluan
Mengelola pasien trauma dengan syok hemoragik sangat sulit dan sangat
kompleks meskipun pengetahuan tentang patofisiologi dari syok hemoragik
pada pasien trauma telah dikumpulkan selama beberapa dekade terakhir ini,
angka mortalitas pada pasien trauma dengan syok hemoragik masih tetap
tinggi. Pada fase akut perdarahan, terapi yang paling baik adalah
menghentikan perdarahan secepat mungkin menjadi prioritas utama. Selama
perdarahan ini tidak bisa di kontrol atau dikendalikan, petugas kesehatan harus
menjaga oksigen agar dapat membatasi jaringan yang hipoksia, inflamasi, dan
disfungsi organ.1
Setiap tahun sekitar 5.8 juta orang diseluruh dunia meninggal akibat
kejadian yang berhubungan dengan trauma, dimana 9.7 per 100.000 orang
meninggal akibat trauma yang dialami dan mengalami kelumpuhan pada
semua kelompok usia baik laki-laki maupun perempuan. Sekitar 40 % trauma
berhubungan dengan kematian terjadi karena perdarahan.2
Prognosis yang terjadi pada pasien dengan perdarahan hebat sangat buruk,
dengan rerata mortalitas dan mendekati 50% untuk pasien yang membutuhkan
transfusi darah, atau untuk mereka yang mengalami coagulopathy. Rata-rata
satu dari empat pasien yang mengalami luka yang hebat akibat trauma akan
mengalami koagulopati yang berhubungan dengan trauma saat masuk ke
instalasi gawat darurat.2
Strategi resusitasi yang optimal masih controversial dalam hal pemilihan
cairan untuk resusitasi, target hemodinamik yang ingin dicapai untuk
mengontrol perdarahan dan pencegahan optimal agar tidak terjadi traumatic
coagulopathy. 1

B. Definisi
Syok hemoragik adalah suatu sindrom yang terjadi akibat gangguan
hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan system sirkulasi untuk
mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh yang
biasanya terjadi akibat perdarahan yang massif.3,4
C. Etiologi
Perdarahan adalah penyebab syok yang paling sering terjadi. Perdarahan
akan menurunkan tekanan pengisisan sirkulasi dan sebagai akibatnya akan
menurunkan aliran balik vena. sebagai hasilnya, curah jantung menurun di
bawah normal dan timbul syok. Semua tingkat syok dapat timbul karena
perdarahan, dari pengurangan curah jantung, bergantun pada jumlah darah
yang hilang.5

D. Patofisiologi
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian sirkulasi dan sebagai
akibatnya menurunkan alir balik vena. Sebagai hasilnya, curah jantung
menurun di bawah normal. Pada perdarahan hebat selalu terjadi penurunan
tekanan darah. Pada perdarahan sedang (5-15 mL/Kgbb) tekanan nadi
2

berkurang tapi tekanan arteri rata-rata mungkin normal. Walaupun tidak


terdapat penurunan tekanan arteri rerata, penurunan tekanan nadi menurunkan
kecepatan lepas muatan di baroreseptor arteri dan timbul vasokonstriksi dan
takikardi refleks. Apabila darah yang hilang semakin banyak takikardi akan
diganti menjadi bradikardi. Hal ini terjadi sementara, apabila perdarahan lebih
besar lagi kecepatan denyut jantung kembali meningkat. Vasokonstriksi paling
jelas terjadi di kulit, yang dalam proses ini menyebabkan kulit dingin dan
pucat.4,6
Hilangnya sel darah merah menyebabkan kemampuan darah membawa O2
menurun, dan aliran darah ke badan karotis dan aorta berkurang. Perubahan
tekanan darah bervariasi dari orang ke orang, walaupun jumlah darah yang
hilang sama. Kulit menjadi pucat dan dingin serta mungkin memperlihatkan
warna keabu-abuan karena stasis di kapiler dan adanya sedikit sianosis.
Respirasi yang cepat dan pasien dengan kesadaran utuh, haus hebat adalah
gejala yang menonjol.4
E. Klasifikasi Syok Hemoragik
Efek langsung dari kelas perdarahan, berdasarkan presentase kehilangan
volume darah yang akut. System klasifikasi ini berguna untuk memastikan
tanda tanda dini dan patofisiologi syok.6

Tabel 2.1 Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah Berdasarkan Presentasi


Penderita Semula

Kehilangan
(mL)
Kehilangan

Kelas I
darah Sampai 750

Kelas II
750-1500

Kelas III
1500-200

Kelas IV
>2000

darah Sampai

15%-30%

30%-40%

>40%
3

(% volume darah)
Denyut nadi
Tekanan darah
Tekanan
nadi
(mmHg)
Frekuensi
pernafasan
Produksi
urin
(mL/jam)
CNS/status mental

15%
< 100
>100
Normal
Normal
Normal atau Menurun
naik
14-20
20-30
>30

Sedikit
cemas
Penggantian cairan Kristaloid
(Hukum 3:1)

>120
Menurun
Menurun

>140
Menurun
Menurun

30-40

>35

20-30

5-15

Tidak berarti

Agak
cemas
Kristaloid

Cemas,
bingung
Kristaloid
dan darah

Bingung,
lesu
Kristaloid
dan darah

F. Gejala Klinis Syok Hemoragik


Gejala klinis tunggal jarang saat diagnosa syok ditegakkan. Pasien bisa
mengeluh lelah, kelemahan umum, atau nyeri punggung belakang (gejala
pecahnya aneurisma aorta abdominal). Penting diperoleh data rinci tentang
tipe, jumlah dan lama pendarahan, karena pengambilan keputusan untuk tes
diagnostik dan tatalaksana selanjutnya tergantung jumlah darah yang hilang
dan lamanya pendarahan. Bila pendarahan terjadi di rumah atau di lapangan,
maka harus ditaksir jumlah darah yang hilang.8
Untuk pendarahan pada saluran cerna sangatlah penting dicari asal darah
dari rektum atau dari mulut. Karena cukup sulit menduga jumlah darah yang
hilang dari saluran cerna bagian bawah. Semua darah segar yang keluar dari
rektum harus diduga adanya perdarahan hebat, sampai dibuktikan sebaliknya. 8
Pendarahan saat trauma kadang sulit ditaksir jumlahnya. Karena rongga
pleura,

kavum

abdominalis,

mediastinum

dan

retroperitoneum

bisa

menampung darah dalam jumlah yang sangat besar dan bisa menjadi
penyebab kematian. Perdarahan trauma eksternal bisa ditaksir secara baik, tapi
bisa juga kurang diawasi oleh petugas emergensi medis. Laserasi kulit kepala
bisa menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah besar. Fraktur multipel
terbuka, juga bisa mengakibatkan kehilangan darah yang cukup besar. 8
4

Tabel 3. Lokasi & Estimasi Perdarahan


Lokasi
Fr. Femur tertutup
Fr.Tibia tertutup
Fr. Pelvis
Hemothorax
Fr. Iga (tiap satu)
Luka sekepal tangan
Bekuan darah sekepal

Estimasi Perdarahan
1.5-2 liter
0.5 liter
3 liter
2 liter
150 ml
500 ml
500 ml

Pemeriksaan klinis pasien syok hemoragik dapat segera langsung


berhubungan dengan penyebabnya. Asal sumber perdarahan dan perkiraan
berat ringannya darah yang hilang bisa terlihat langsung. Bisa dibedakan
perdarahan pada pasien penyakit dalam dan pasien trauma. Dimana kedua tipe
perdarahan ini biasanya ditegakkan dan ditangani secara bersamaan. 8
Syok umumnya memberi gejala klinis kearah turunnya tanda vital tubuh,
seperti: hipotensi, takikardia, penurunan urin output dan penurunan kesadaran.
Kumpulan gejala tersebut bukanlah gejala primer tapi hanya gejala sekunder dari
gagalnya sirkulasi tubuh. Kumpulan gejala tersebut merupakan mekanisme
kompensasi tubuh, berkorelasi dengan usia dan penggunaan obat tertentu, kadang
dijumpai pasien syok yang tekanan darah dan nadinya dalam batas normal. Oleh
karena itu pemeriksaan fisik menyeluruh pada pasien dengan dilepas pakaiannya
harus tetap dilakukan. 8
Gejala umum yang timbul saat syok bisa sangat dramatis. Kulit kering,
pucat dan dengan diaphoresis. Pasien menjadi bingung, agitasi dan tidak sadar.
Pada fase awal nadi cepat dan dalam dibandingkan denyutnya. Tekanan darah
sistolik bisa saja masih dalam batas normal karena kompensasi. Konjungtiva
pucat, seperti yang terdapat pada anemia kronik. Lakukan inspeksi pada hidung
dan faring untuk melihat kemungkinan adanya darah. Auskultasi dan perkusi dada
juga dilakukan untuk mengevaluasi apakah terdapat gejala hematothoraks, dimana
suara nafas akan turun, serta suara perkusi redup di area dekat perdarahan. 8

Periksa pasien lebih lanjut dengan teliti dari ujung kepala sampai ujung
kaki, yang dapat mengarahkan kita terhadap kemungkinan adanya luka. Periksa
adakah perdarahan di kulit kepala, apabila dijumpai perdarahan aktif harus segera
diatasi bahkan sebelum pemeriksaan lainnya. Periksa juga apakah ada darah pada
mulut dan faring. 8
Periksa abdomen dari tanda perdarahan intra-abdominal, misal: distensi,
nyeri palpitasi, dan perkusi redup. Periksa panggul apakah ada memar/ekimosis
yang mengarah ke perdarahan retroperitoneal. Adanya distensi, nyeri saat palpasi
dan ekimosis mengindikasikan adanya perdarahan intra-abdominal. Palpasi pula
kestabilan tulang pelvis, bila ada krepitasi atau instabilitas mengindikasikan
terjadinya fraktus pelvis dan ini dapat mengancam jiwa karena perdarahan terjadi
pada rongga retroperitoneum. Kejadian yang sering dalam klinis adalah pecahnya
aneurisma aorta yang bisa menyebabkan syok tak terdeteksi. Tanda klinis yang
bisa mengarahkan kita adalah terabanya masa abdomen yang berdenyut,
pembesaran skrotum karena terperangkapnya darah retroperitoneal, kelumpuhan
ekstremitas bawah dan lemahnya nadi femoralis. 8
Fraktur pada tulang panjang ditandai nyeri dan krepitasi saat palpasi di dekat
fraktur. Semua fraktur tulang panjang harus segera direposisi dan digips untuk
mencegah perdarahan di sisi fraktur. Yang perlu diperhatikan t erutama fraktur femur,
karena dapat mengakibatkan hilangnya darah dalam jumlah banyak, sehingga harus
segera diimobilisasi dan ditraksi secepatnya. Tes diagnostik lebih jauh perlu
dilakukan untuk menyingkirkan perdarahan yang mungkin terjadi di intratorakal,
intra-abdominal,atau retroperitoneal.8
Jangan lupa pula untuk melakukan pemeriksaan rektum / rectal toucher.
Bila ada darah segar curiga hemoroid interna atau externa. Pada kondisi yang
sangat jarang curigai perdarahan yang signifikan terutama pada pasien dengan
hipertensi portal. Pasien dengan riwayat perdarahan vagina lakukan pemeriksaan
pelvis lengkap, dan lakukan tes kehamilan untuk menyingkirkan kemungkinan
kehamilan ektopik. 8

Lakukan

pemeriksaan

sistematik

pada

pasien

trauma

termasuk

pemeriksaan penunjang primer dan sekunder. Luka multipel bisa terjadi dan harus
mendapat perhatian khusus, hati-hati perdarahan bisa menjadi pencetus syok
lainnya, seperti syok neurogenik. 8

Tabel 4. Perdarahan & tanda-tandanya 9


Perdarahan

< 750 ml

750-1500 ml

1500-2000 ml

>2000 ml

CRT

Normal

memanjang

memanjang

memanjang

Nadi

< 100

> 100

> 120

> 140

Tek. Sistolik

Normal

Normal

Menurun

Menurun

Nafas

Normal

20-30 x/m

> 30-40 x/m

>35 x/m

Kesadaran

Sedikit cemas

Agak cemas

Cemas, bingung

Bingung, lesu

Penderita yang mengalami perdarahan, menghadapi dua masalah yaitu


berapakah sisa volume darah yang beredar dan berapakah sisa eritrosit yang
tersedia untuk mengangkut oksigen ke jaringan.

G. Kompartemen Cairan Tubuh


Tubuh orang dewasa terdiri dari: zat padat 40 % berat badan dan zat cair
60% berat badan; zat cair terdiri dari: cairan intraselular 40 % berat badan dan
cairan ekstraselular 20 % berat badan; sedangkan cairan ekstraselular terdiri dari :
cairan intravaskular 5 % berat badan dan cairan interstisial 15 % berat badan.

Gambar 1. Distribusi Cairan Tubuh


Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan
kompartemen ekstraselular.

Cairan intraselular
Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular. Pada

orang dewasa, sekitar dua pertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di
intraselular (sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat
badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi hanya setengah dari berat
badannya merupakan cairan intraselular. Cairan intraseluler terlibat dalam
proses metabolik yang menghasilkan energi yang berasal dari nutrien-nutrien
dalam cairan tubuh.7

Cairan ekstraselular
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Cairan

ekstraseluler berperan dalam mempertahankan sistem sirkulasi, mensuplai


nutrient ke dalam sel, dan membuang zat sisa yang bersifat toksik. Jumlah
relatif cairan ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir,
sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular.
Cairan ekstraselular dibagi menjadi :9
o Cairan Interstitial

Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial,


sekitar 11- 12 liter pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam
volume interstitial.
o Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah
(contohnya volume plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar
5-6L dimana 3 liternya merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah
merah, sel darah putih dan platelet.
o Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu
seperti serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan
sekresi saluran pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan
transeluler adalah sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam jumlah banyak dapat
masuk dan keluar dari ruang transeluler.9
H. Jenis Cairan
1) Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF).
Indikasi penggunaan antara lain untuk resusitasi defisit cairan di ruang
interstitiel pada pasien syok hipovolemik, kasus kasus perdarahan
memerlukan cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali
jumlah darah yang hilang ) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan
koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan
kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.
Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, mudah di dapat, tidak
perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi, menurunkan
viskositas darah, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama. Efek
samping pemberian sejumlah cairan kristaloid dapat mengakibatkan timbulnya
edema perifer dan edema paru. Selain itu, pemberian cairan kristaloid

berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan


intra kranial.
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak
digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang
hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan
tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat.
2) Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut plasma
substitute atau plasma expander. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan
yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang
menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam)
dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk
resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik
atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein
yang banyak (misal luka bakar). Kerugian dari plasma expander yaitu mahal
dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat
menyebabkan gangguan pada cross match. Berdasarkan pembuatannya,
terdapat 2 jenis larutan koloid:
a) Koloid alami
Yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan 2,5 % ).
Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60C selama 10
jam untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein
plasma selain mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin
dan beta globulin. Prekallikrein activators (Hagemans factor fragments)
seringkali terdapat dalam fraksi protein plasma dibandingkan dalam
albumin. Oleh sebab itu pemberian infuse dengan fraksi protein plasma
seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.
b) Koloid sintesis yaitu:
A. Dextran:
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran
70 (Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh
10

bakteri Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa.


Walaupun Dextran 70 merupakan volume expander yang lebih baik
dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki
aliran darah lewat sirkulasi mikro karena dapat menurunkan kekentalan
(viskositas) darah. Selain itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang
dapat mengurangi platelet adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII,
meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah. Pemberian
Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross match, waktu
perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan
memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.
B. Hydroxylethyl Starch (HES)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 1.000.000,
rata-rata

71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30

mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan
46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari.
Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat
meningkatkan kadar serum amilase ( walau jarang). Low molecullar
weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu
mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan
dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma
volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak
mengganggu koagulasi maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk
resusitasi cairan pada penderita gawat.
C. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat
molekul rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3
macam gelatin, yaitu:
1. Modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
11

2. Urea linked gelatin


3. Oxypoly gelatin
Merupakan plasma expanders dan banyak digunakan pada penderita
gawat. Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang) terutama
dari golongan urea linked gelatin. Keuntungan gelatin tidak terlalu mahal,
dapat disimpan 2 3 tahun pada suhu ruangan, dampak pada system
koagulasi tidak terlalu menonjol, aman bagi fungsi ginjal. Kerugian gelatin
cepat diekskresi melalui urin, meningkatkan viskositas darah dan
memudahkan agregasi eritrosit, terjadi reaksi anafilaksis.

I. Resusitasi Pada Syok Hemoragik


Pada pasien dengan perdarahan akut terapi yang menjadi prioritas adalah
menghentikan perdarahan secepat mungkin. Syok hemoragikadalah keadan
patologi dimana volume intravascular dan transport oksigen terganggu.
Selama perdarahan tidak bisa dikendalikan, seorang dokter harus menjaga
oksigenasi untuk membatasi jaringan yang hipoksia, inflamasi, dan disfungsi
organ. Prosedur ini meliputi resusitasi cairan, penggunaan vasopresor dan
transfuse darah untuk mencegah atau mengoreksi traumatic koagulopati.
Dengan demikian pemilihan cairan untuk resusitasi, target hemodinamik yang
ingin dicapai untuk mengontrol perdarahan serta pencegahan traumatic
koagulopati yang optimal sangat diperlukan.1
1. Resusitasi cairan
Resusitasi cairan merupakan intervensi awal pada pasien syok
hemoragik akibat trauma. Telah didiskusikan jenis cairan yang akan
diberikan pada pasien-pasien syok hemoragik tetapi tidak ada bukti atau
tidak ada literatur yang mendukung jenis cairan yang terbaik pada pasien
trauma. Keuntungan yang dimiliki oleh cairan koloid dibanding kristaloid
yaitu koloid lebih lama berada di plasma karena memiliki molekul yang

12

lebih luas sehingga meningkatkan tekanan onkotik dan dapat dengan cepat
memperoleh kebutuhan di sirkulasi. Tetapi cairan kristaloid lebih murah,
beberapa peneliti menemukan tidak ada keuntungan yang diberikan saat
menggunakan cairan koloid. Bagaimanapun, resusitasi cairan kristaloid
dengan volume yang besar dapat mengakibatkan edema jaringan,
meningkatnya insidens abdominal compartment syndrome. 1
Groeneveld, dkk menunjukkan adanya gangguan koagulasi dan
gagal ginjal akut sering terjadi pada pasien yang menerima cairan HES.
Perner, dkk menunjukkan peningkatan resiko kematian pada pasien
dengan sepsis berat yang telah di resusitasi dengan cairan HES. European
guidelines merekomendasikan penggunaan kristaloid untuk terapi awal
pasien perdarahan akibat trauma dan koloid sebagai tambahan harus
dipertimbangkan pada pasien-pasien yang hemodinamiknya tidak stabil.
Diantara koloid, HES atau gelatin harus digunakan. 1
Cairan hipertonis merupakan alat yang menarik pada pasien
hemoragik akibat trauma. Cairan ini memiliki banyak keuntungan yaitu
cepat mengganti cairan di intravaskuler dengan pemberian dalam volume
yang kecil khususnya jika digunakan dengan cairan koloid. Selain itu
cairan hipertonis dapat digunakan sebagai agen hiperosmolar untuk
menurunkan tekanan intracranial. Namun, cairan ini tidak menurunkan
mortalitas. 1
2. Agen vasoaktif
Resusitasi cairan merupakan strategi awal untuk mengembalikan
mean arterial pressure (MAP) pada pasien syok hemoragik. Dengan
demikian, agen vasopressor juga dibutuhkan untuk memperpanjang
kehidupan dan menjaga perfusi jaringan pada keadaan hipotensi. 1
Norepinefrin, sering digunakan untuk mengembalikan MAP pada
pasien

dengan

sepsis

dan

syok

hemoragik.

Dan

sekarang
13

direkomendasikan sebagai agen pilihan pada pasien syok sepsis.


Norepinefrin adalah agen simpatomimetik dengan efek vasokontriksi yang
kuat. Norepinefrin menstimulasi alfa adrenergic pada pembuluh darah
arteri maupun vena. 1
Poloujadoff, dkk meneliti pada hewan yang mengalami perdarahan
yang tidak di kontrol menyarankan bahwa pemberian norepinefrin
mengurangi kebutuhan jumlah cairan untuk memperoleh target MAP dan
mengurangi kehilangan darah serta meningkatkan angka harapan hidup.
Dengan demikian penggunaan norepinefrin dapat digunakan sedini
mungkin dan membatasi resusitasi cairan untuk mencegah hemodilusi
akibat pemberian cairan yang berlebihan. 1
Kesimpulannya yaitu agen vasopressor berguna untuk menjaga
tekanan arteri dan memelihara perfusi jaringan pada keadaan hipotensi.
Selain itu pemberian vasopressor sedini mungkin dapat membatasi
resusitasi

cairan

dan

mencegah

hemodilusi.

Jika

menggunakan

norepinefrin perlu dicatat bahwa direkomendasikan bahwa penggunaan


obat tersebut digunakan saat tekanan sistolik arteri 80-100 mmHg. Selain
itu dosis norepinefrin harus dititrasi sampai mencapai tekanan sistolik
arteri. 1
3. Transfusi untuk mencegah traumatik koagulopati
Koreksi dan pencegahan traumatik koagulapati merupakan tujuan
utama pada manajemen resusitasi awal syok hemoragik. Beberapa
mekanisme yang berkontribusi terjadinya traumatik koagulapati :2
Lesi pada jaringan
Semua lesi akibat trauma mengakibatkan kerusakan pada
jaringan walaupun keparahan dari lesi jaringan bervariasi. Crush
injury sering disertai dengan kerusakan jaringan yang maksimal.
Tingkat keparahan berhubungan erat dengan derajat koagulopati.
14

Jaringan yang rusak mengakibatkan aktifnya system pembekuan


dan system fibrinolitik. Kerusakan endothelial yang terjadi akibat
trauma jaringan mengakibatkan aktifasi system koagulasi yang
mengakibatkan terpaparnya faktor jaringan dan subendoteal
kolagen tipe 3 yang akan mengaktifkan koagulasi protease
sehingga terjadi pembentukan thrombin dan fibrin pada daerah
yang terpapar.
Politraumatik

injury

mengakibatkan

faktor

jaringan

thromboplastin terlepas dari sel yang rusak. Traumatic koagulopati


terjadi lebih dini dan akibat dari hipoperfusi jaringan dan jaringan
yang rusak. Koagulopati disertai dengan traumatic brain injury
terjadi akibat peranan beberapa faktor, Karena tingginya
konsentrasi faktor jaringan di jaringan otak. Diyakini bahwa
Traumatik Brain Injury merupakan faktor penyebab tingginya
koagulopati dibandingkan dengan lesi dibagian tubuh yang
lainnya.
Hipoperfusi
Peranan penting dalam akut traumatik koagulopati yang
paling sering adalah adanya hipoperfusi jaringan yang terjadi
akibat adanya syok dan hipotensi. Ada hubungan langsung antara
derajat hipotensi dan profil koagulasi pada pemeriksaan
laboratorium.
Hipoperfusi pada pasien trauma disertai dengan penurunan
aktifitas factor koagulasi II, VII, IX, X dan XI, dan sangat
mengurangi aktifitas factor koagulasi V yang sangat berhubungan
dengan keparahan syok. Mekanisme yang mendasari penurunan
aktifitas faktor V mungkin karena teraktifasinya protein C.
Hemodilusi

15

Hemodilusi mengakibatkan dilusi dari faktor koagulasi


yang mengakibatkan perubahan signifikan jumlah dari koagulopati
post trauma. Selama trauma dan syok terjadi penurunan tekanan
hidrostatik

dalam

ruang

intravaskuler

yang

menyebabkan

perpindahan cairan dari ruamg interstisial dan intraseluler kedalam


ruangan intravaskuler yang menyebabkan pengurangan faktor
koagulasi secara signifikan. Akibat hemodilusi ini bisa diberikan
cairan kristaloid dan koloid.
Hipotermi
Hipotermi biasanya terlihat pada pasien-pasien trauma
akibat paparan lingkungan, produksi panas berkurang akibat dari
menurunnya perfusi jaringan, terlalu banyak kehilangan darah,
pemberian cairan yang dingin. Secara klinik penurunan fungsi
platelet, agregasi dan aktifitas enzim terjadi pada saat suhu tubuh
berada di 330C dan dibawahnya. Suhu tubuh yang turun 1 derajat
Celsius disertai dengan penurunan fungsi platelet sebanyak 10 %.
Aktifitas tissue factor atau kompleks factor VIIa menurun
secara linear sesuai dengan suhu tubuh. Aktifitasnya menurun
sekitar 50% pada suhu tubuh 28 derajat Celsius. Pada suhu yang
rendah daya tarik antara von willebrand factor menurun
disebabkan adanya gangguan pada adhesi platelet. Dengan
demikian didalam batas suhu antara 33 sampai 36 derajat Celsius
biasanya terlihat pada pasien trauma.
Asidosis
Akibat adanya hipotensi dan hipoperfusi yang biasanya terlihat
pada pasien trauma. Ada asidemia yang terjadi secara signifikan
yang telah diberikan cairan yang berisi clorida secara berlebihan.
Menurunnya pH mengganggu fungsi plasma protease.
16

Penurunan pH dari 7.4 menjadi 7.0 mengurangi aktifitas factor


VIIa hampir 90% dan penurunan fungsi tissue factor hamper 60%.
Pemberian cairan buffer untuk mengoreksi asidosis tidak
menunjukkan perbaikan pada koagulopati yang telah terjadi.
Inflamasi
Injury yang massif mengakibatkan teraktifasinya system imun dan
memicu respon imunitas tubuh yang telah dikenal dengan
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS). Respon awal
terjadi karena adanya infeksi, iskemia, reperfusi atau pembedahan.
Inflamasi berubah menjadi mekanisme hemostatik berupa
thrombosis. Multiple mekanisme berperan termasuk regulasi dari
tissue factor yang menyebabkan terjadinya pembekuan, proses
pembekuan

semakin

membesar

yang

disebabkan

paparan

augmentasi dari posfolipid, penghambatan fibrinolisis dengan cara


meningkatkan plasminogen activator inhibitor dan penurunan jalur
antigoagulan, yang menyebabkan terganggunya regulasi jalur
antikoagulasi protein C.
Pemberian Red Blood Cells (RBC) dan Fresh Frozen Plasma (FFP)
sedini mungkin merupakan prioritas untuk menjaga arteri yang akan
membawa oksigen dan mengembalikan efektifitas dari koagulasi. Target
hemoglobin tergantung pada pasien (umur dan riwayat menderita penyakit
jantung) dan jenis trauma (ada atau tidaknya trauma pada otak). Pemberian
RBC sangat diperlukan ketika level hemoglobin kurang dari 7 gr/dl.
Rekomendasi ini berdasarkan hasil penelitian Transfusion Requirements In
Critical Care (TRICC). Pada kasus dimana terjadi perdarahan hebat dan
mengancam nyawa pasien bisa diberikan transfuse dengan darah O dengan
rhesus negative.1
Pada pemberian FFP seharusnya diberikan sesegara mungkin
bersaama dengan RBC untuk mengkompensasi adanya deficit factor
17

koagulasi.

Therapy awal yang direkomendasikan dengan dosis 10-15

ml/kg. dosis tambahan tergantung pada hasil monitoring koagulasi. FFP


direkomendasikan ketika PT dan APTT 1.5 kali dari nilai normal.
Beberapa penelitian termasuk penelitian pada pasien trauma di militer
maupun di sipil menunjukkan pentingnya pemberian RBC dan FFP dengan
rasio 1 banding 1. Kashuk, dkk melakukan penelitian pada warga sipil
yang mengalami trauma dengan rasio pemberian RBC banding FFP
dengan rata-rata rasio 2 banding 1 menunjukkan angka hidup yang lebih
baik dibanding dengan pemberian RBC dan pemberian FFP yang rendah
dengan rerata rasio 4 banding 1. The Australia and New Zealand
mrekomendasikan untuk pemberian transfuse darah dengan rasio 2:1:1
yang berisi RBC : FFP : Platelet. Rekomendasi yang sama telah diberikan
oleh French Health Products Safety Agency. Rasio RBC dan FFP
merupakan hal yang sangat penting untuk mengganti RBC yang hilang dan
untuk resusitasi plasma. Pemberian RBC dan FFP sedini mungkin dapat
memberikan perbaikan pada pasien dengan syok hemoragik akibat trauma.
Dengan demikian sangat penting untuk memulai transfuse plasma secepat
mungkin. 1
Transfuse platelet direkomendasikan ketika jumlah platelet <50 x 109 /L.
jumlah platelet harus dijaga pada pasien dengan traumatic injury yaitu
100x109/L. 1
4. Pemberian Asam Traneksamat
Penelitian terakhir yang dilakukan pada 20211 pasien trauma yang
dilakukan pemberian as. Traneksamat dengan loading dose 1 gr selama 10
menit kemudian di infuse 1 gr selama 8 jam pada pasien dengan syok
hemoragik dapat menurunkan angka mortalitas tanpa meningkatkan
kejadian angka tromboemboli. 1
5. Terapi Adjuvant pada Syok Hemoragik

18

Syok hemoragik akibat trauma sering disertai dengan respon


inflamasi sistemik. Beberapa decade terakhir, banyak strategi terapi yang
telah dicoba untuk mengobati syok hemoragik seperti Rekombinan Human
Activated protein C, IL-1 reseptor antagonis, anti-TNF. Tetapi terapi ini
sangat tidak efektif dan kadang membahayakan pasien. 1
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa pemberian hidrokortison
pada pasien dengan trauma dapat menurunkan angka kejadian pneumonia
dan menurunkan durasi ventilasi mekanik. Tetapi pemberian hidrokortison
ini tidak menurunkan angka mortalitas. 1
Sulitnya suplai dan ketersediaan produk darah dengan resiko
infeksi dan imunomodulasi memberikan alasan untuk mengembangkan
pengobatan yang aman dan efektif yaitu Haemoglobin-Based Oxygen
Carriers (HBOCs). Generasi pertama dari HBOCs menyebabkan hipertensi
sistemik dan pulmonal dengan penurunan cardiac output, kerusakan
miokard, dan pengaruh lain. Generasi kedua dari HBOCs masih terus
dilakukan penelitian secara aktif. Agen ini dampaknya lebih baik karena
lebih dapat ditoleransi dan menimbulkan lebih sedikit komplikasi. HBOCs
dapat menjadi pilihan lain untuk tenaga kesehatan dalam melakukan
resusitasi pasien syok hemoragik. 1

19

Anda mungkin juga menyukai