Oleh :
Andi Sri Ayu Mentari
Abstrak
Negara Kesatuan Republik Indoenesia setelah pasca reformasi yang artinya bahwa
Indonesia adalah negara hukum yang menganut asas demokrasi. Untuk menjaga
keutuhan dan kedaulatan negara, UUD 1945 membentuk lembaga baru yang
bernama Mahkamah Konstitusi. Peran Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan
peradilan tata negara adalah untuk menegakkan keadilan sesuai kaidah dan
norma-norma hukum tertinggi yang terdapat dalam UUD 1945. Oleh karenanya,
seringkali peran peradilan tata negara disebut sebagai "the guardian of the
constitution". Dalam konstitusi negara modern, ditetapkan pula di dalamnya hakhak warga Negara, dan oleh karena hak-hak tersebut dicantumkan dalam
konstitusi maka statusnya menjadi hak-hak konstitusi warga negara yang secara
substantif harus ditegakkan pula oleh Peradilan Tata Usaha Negara. Oleh sebab
itu, Peradilan Tata Usaha Negara juga berfungsi sebagai "the guardian of
citizens."
Kata Kunci : Demokrasi dan Mahkamah Konstitusi
A. Pendahuluan
Konstitusi Indonesia, UUD 1945, menjelaskan bahwa Indonesia adalah
sebuah negara demokrasi. Presiden dalam menjalankan kepemimpinannya harus
memberikan pertanggungjawaban kepada MPR sebagai wakil rakyat. Oleh karena
itu secara hierachy rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi melalui sistem
perwakilan dengan cara pemilihan umum. Pada era Presiden Soekarno, Indonesia
sempat menganut demokrasi terpimpin tahun 1956. Indonesia juga pernah
menggunakan demokrasi semu(demokrasi pancasila) pada era Presiden Soeherto
hingga tahun 1998 ketika Era Soeharto digulingkan oleh gerakan mahasiswa.
Gerakan mahasiswa yang telah memakan banyak sekali harta dan nyawa dibayar
dengan senyum gembira dan rasa syukur ketika Presiden Soeharto mengumumkan
"berhenti sebagai Presiden Indonesua" pada 21 Mei 1998. Setelah era Seoharto
berakhir Indonesia kembali menjadi negara yang benar-benar demokratis mulai
saat itu. Pemilu demokratis yang diselenggarakan tahun 1999 dimenangkan oleh
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Pada tahun 2004 untuk pertama kali Bangsa Indonesia menyelenggarakan
pemilihan umum presiden. Ini adalah sejarah baru dalam kehidupan demokrasi
Indonesia.
Baca Pengantar Jimly Asshiddiquie dalam Mahkamah Konstitusi:Kompilasi Konstitusi, Undangundang dan Peraturan di 78 Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Universitas, tanpa tahun,
Hal.1
2
David P.Currie, The Constitution of the United States, A Primer for the People, Chicago and
London, The University of Chicago Press,1988, Hal.14; dan Lawrence M.Friedman, Amerikan Law
An Introduction, Secon Edition, terjemahan Wisnu Basuki, Jakarta:Tatanusa, Cet.1, 2001, Hal.251
3
Baca K.C.Wheare, Modern Constitutions, London: Oxford University Press,1975, Hal.67-136.
Dalam buku tersebut K.C.Wheare membagi cara perubahan konstitusi menjadi empat macam,
yaitu Formal amendement; some primary force; judicial interpretation; usage and convention.
4
Jimly Asshiddiquie, Op.Cit, Hal.2
5
Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, Jakarta : Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2008
Dari beragam konsep yang pernah diciptakan manusia, demokrasi adalah salah
satu konsep yang sangat sulit didefinisikan secara pasti. Dalam lanscap struktur
politik, 'demokrasi' mengambil berbagai macam bentuk, yang dari antaranya
kerap, nampak tidak ada kaitannya dengan konsep itu sendiri. Bekas Uni Sovyet
secara konsisten menegaskan bahwa ia menganut demokrasi. Mungkin Sovyet
tidak salah. Isu itu hanya akan terjawab manakala kita menguji konsep Sovyet
tentang sebuah demokrasi. Apakah Amerika Serikat adalah sebuah demokrasi?
Mungkin saja tidak, dalam pengertian yang tebih ketat, pemerintahan perwakilan
Amerika Serikat lebih dekat pada apa yang oleh orang Yunani klasik disebut
aristokrasi ("pemerintahan oleh yang terbaik") dari pada sebuah demokrasi
("pemerintahan oleh rakyat").
Sebagai konsep dan praktik, demokrasi bermuasal dari masyarakat Yunani
klasik dan bertahan hingga akhir periode arkaik. Penemuan sosial yang paling
berpengaruh dari masyarakat Yunani Klasik adalah polis atau negara kota. Polis
pada esensinya adalah suatu pusat urban yang menguasai daerah-daerah
sekitarnya. Karena wilayahnya yang kecil, pollis tersebut terbuka bagi
eksperimentasi politik yang dinamis. Ketika polis-potis itu mulai matang, orang
Yunani beralih pada suatu model potilik yang diikuti oleh semua orang kala itu,
monarki. Tapi, mereka kemudian lelah dengan raja mereka dan mulai mengkreasi
berbagai macam bentuk struktur pemerintahan yang berbeda beda : oligarki
(pemerintahan oleh yang sedikit), timokrasi (pemerintahan oleh yang kaya),
aristokrasi (pemerintahan oleh yang terbaik), tirani (pemerintahan oleh seorang
tirani), dan, pada akhirnya, demokrasi (pemerintahan oleh demos atau rakyat).
Demokrasi Yunani tidak mandeg, namun secara pemerintahan berkembang
merespon berbagai terpaan krisis. Dari negara-kota yang menciptakannya pertama
kali, bentuk paling lengkap dari demokrasi ditemukan di Athena. Pada
perkembangannya, demokrasi secara perlahan hanya diciptakan sebagai suatu
kontrol atas kekuasaan para elite. Untuk membatasi penyimpangan para elite dan
golongan kaya, kekuasaan mulai dilimpahkan kepada sebuah Majelis, yang
beranggotakan semua warga laki-laki Athena yang merdeka. Pada saat itu, satusatunya pemerintahan di Athena adalah Majelis. Periode ini, disebut era Athena,
berumur sangat singkat. Itulah negara demokratis pertama dalam sejarah manusia.
Ketika dikatakan "pemerintahan oleh rakyat, " artinya sungguh-sungguh
"pemerintahan oleh rakyat"; demokrasi Yunani bukanlah pemerintahan
perwakilan, ia adalah pemerintahan yang diselenggarakan oleh warga negara lakilaki merdeka dari negara-kota. Seluruh keputusan dan perundang-undangan
penting pemerintah dibuat oleh Majelis. Yang paling mendekati sistem itu dalam
era kita sekarang adalah sistem "inisiatif dan referendum" di mana legislasi
dipetisi oleh rakyat dan kemudian divoting secara langsung oleh para pemilih.
Negara demokratis Yunani mengelola seluruh pemerintahannya dengan sistem
semacam itu. Tidak semua anggota dari suatu negara-kota dilibatkan dalam
pemerintahan: budak, orang asing, dan perempuan dikeluarkan dari proses
demokrasi. Maka, dalam kenyataannya, Negara kota demokratis lebih mirip
sebagai oligarki suatu minoritas yang memerintah negara -tepatnya, sebuah
minoritas yang sangat besar, namun demikian tetap saja minoritas.
Samuel Huntington, The Third Wave : Democratization in The Late of Twentieth Century,
Okhlama: Oklahama: University of Oklahama Press, 1991, hlm. 5.
7
Ibid, hlm. 7
kekhawatiran bahwa ada dua hal yang mungkin bisa hilang dari demokrasi jika ia
semata diterapkan sebagai prosedur. Kedua hal itu adalah kebenaran dan
perlindungan terhadap individu.
Di Barat, demokrasi hanya dipahami sebagai demokrasi prosedurat.
Akibatnya, demokrasi hanya menjadi legitimasi terhadap kuasa majority. Dalam
bahasa saya, demokrasi prosedural adalah legitimasi bagaimana mayoritas
membunuh minoritas. hal itu, tentu saja, sangat berbahaya. Mengenai bahaya
tirani mayoritas ini, Tocqueville mengingatkan :
If ever freedom is lost in America, blame will have to be laid at the door of the
omnipotence of the majority, which will have driven minorities to despair and
will have forced them to appeal to physical force. Then one will see anarchy
whichwill come as a consequence of despotism.8
Oleh karenanya, demokrasi yang kita. anut harustah demokrasi in substance
dan demokrasi as value. Demokrasi sebagai nitai dibangun di atas tiga pilar.
Pertama, kebebasan. Demokrasi harus didukung oleh kebebasan individu dalam
mengekspresikan gagasan dan kreativitasnya. Karena demokrasi menuntut
kebebasan berpendapat, maka tidak akan ada sensor terhadap pendapat.
Demokrasi juga harus ditopang pitar kedua, yakni pturatisme. Kebebasan
pertu diiringi dengan penghargaan atas keragaman dan penghormatan terhadap
kemajemukan. Tetapi, dua pilar itu tidak cukup. Kebebasan dan pluratisme tidak
akan memadai untuk membentuk masyarakat (society). Yang ada hanyalah
kumpulan kelereng. Mereka bebas satu sama Lain atas kebebasannya. Tidak ada
ikatan apapun.
Jack Snyder dilam penelitiannya (2000) menggambarkan bagaimana
demokratisasi seringkali membangkitkan nasionalisme yang haus perang dan
konflik SARA yang gawat". la mengatakan bahwa beberapa bekas negara otoriter
yang baru bangkit menyongsong demokrasi seringkali mengatami perpecahan
hebat sesaat setelah pemilu demokratis ditangsungkan. Pada tahun 1993,
misalnya, lembaga-lembaga donor internasional memaksa para pemimpin
Burundi, sebuah negara kecil di Afrika Tengah, untuk melaksanakan pemilihan
umum yang luber. Latu, hanya dalam setahun, seldtar 50.000 warga suku Hutu
dan Tutsi terbunuh dalam kerusuhan SARA di sana. Pada saat rapat-rapat
pembahasan UUD di MPR tahun 1999 - 2002, satah satu perdebatan terpanas
adalah soal pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Mereka yang berkeberatan
terhadap mekanisme pernilihan secara langsung nampaknya ingin mengantisipasi
kekhawatiran teriadinya fenomena yang digambarkan Snyder di muka. Pada
praktiknya, kekhawatiran itu memang tidak terwujud. Namun, sedikit banyak ia
muncul dalam beberapa pemilihan kepala daerah.
Demokrasi harus disesuaikan dengan situasi obyektif dan subyektif
masyarakat bersangkutan. Mekanisme penerapannya harus beradaptasi dengan
kultur masyarakat. Di Kanada, misalnya, selama bertahun-tahun terjadi perebutan
antara bahasa Inggris dan Perancis. Hal yang sama terjadi di Belgia. Di sana,
bahasa resminya ada dua; Belanda dan Perancis. Di Mahkamah Konstitusi-nya
8
Alexis de Tocqueville, Democracy in America And Two Essay on America, London : Penguin
Books, 2003, hlm. 304
pun, dari 18 orang jurntah hakimnya, ada yang berbicara dengan bahasa Perancis,
Belanda, bahkan Jerman. Struktur pemerintahan daerah paling rumit, menurut
saya, juga ada di Belgia. Negara itu mempunyai penmrintahan daerah dan apa
yang disebut sebagai Komunitas (community). Yang terakhir ini sernacarn unit
etnisitas. Pemerintahan daerah mengatur witayah, sernentara Koinunitas mengatur
rakyatnya. Kornunitas ini jangkauannya lebih kuat daripada pemerintahan daerah.
Namun, karena rantai demokrasinya berkembang, hal itu tidak menjadi sesuatu
yang rumit.
Banyak orang mengatakan bahwa demokrasi liberal itu menonjolkan individu,
menganut penghargaan atas hak-hak individu. Tapi, pernahkah orang berpikir
bahwa demokrasi yang hanya liberal itu justru tidak meiindungi individu" ia
malah membahayakan bahkan menghilangkan individu.
Demokrasi yang dianut di Indoensia yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila,
masih dalam tahap perkembangan dan mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinya
terdapat berbagai tafsiran serta pandangan. Tetapi yang tidak dapat disangkal ialah
bahwa beberapa nilai pokok dari demokrasi konstitusional cukup jelas tersirat
dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang belum diamandemen. Selain itu UUD
kita menyebut secara eksplisit dua prinsip yang menjiwai naskah itu dan yang
dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945 mengenai Sistem Pemerintahan Negara
yaitu :
1. Indonesia ialah negara yang beradasarkan atas hukum (Rechtsstaat).
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan
atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).
2. Sistem konstitusional.
Pemerintahan berdasarkan atas Sistem Konstitusi (Hukum Dasar), tidak
bersifat absolitisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Berdasarkan dua istilah Rechtsstaat dan sistem konstitusi, maka jelas bahwa
demokrasi menjadi dasar dari Undang-Undang Dasar 1945 yang belum
diamandemen ialah demokrasi konstitusional. Di samping itu corak khas
demokrasi Indonesia yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan dimuat dalam pembukaan UUD.
Demokrasi pada intinya adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat.9
Demokrasi sebagai dasar kehidupan bernegara memberi pengertian bahwa
pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok
mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara, karena
kebijkan tersebut menentukn kehidupan rakyat.10
Pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi tersendiri, yaitu demokrasi
Pancasila. Dalam demokrasi Pancasila, pelaksanaan kedaulatan rakyat dilakukan
melalui mekanisme perwakilan. Rakyat memilih wakil-wakilnya yang dipercaya
untuk menentukan kebijaksaan dalam berbagai segi kehidupan politik
negaranya. 11 Walaupun demokrasi perwakilan yang dianut dalam pelaksanaannya
tidak menafikan demokrasi langsung partisipatoris.
9
Adalah jelas bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah suatu negara
yang menganut sistem demokrasi, yang berarti bahwa kedaulatan sepenuhnya ada
di tangan rakyat, sedangkan pelaksanaan atau realisasinya sebagian melalui
saluran perwakilan dan sebagian lainnya melalui demokrasi langsung.
Dalam hal ini keberadaan lembaga kekuasaan kehakiman (pengadilan)
memegang peran penting untuk menjaga tetap terlaksananya kemauan rakyat
selaku pemegang kedaulatan rakyat yang dalam beberapa hal realisasinya
dilakukan oleh lembaga perwakilan.
Menafsir Demokrasi Pada Pasal UUD 1945
Salah satu persoalan yang menjadi perhatian saya dalam perumusan perubahan
UUD 1945 dalarn rapat PAH I BP MPR adalah rumusan Pasal 1 Ayat (2) UUD
1945 yang ada sekarang. Rumusan Pasal I Ayat (2) tersebut berbunyi:
"Kedautatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar." Implikasi dari bertakunya Pasal I Ayat (2) tersebut adalah perubahan
struktur lembaga-lembaga negara setelah perubahan UUD 1945. Sekarang tidak
tagi dikenal lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara. Yang ada adalah
lembaga-lembaga negara yang memiliki fungsi perwakilan dan yang tidak
memilikinya.
Pasal I Ayat (2) tersebut memuat dua prinsip. Pertama, prinsip kedautatan
rakyat atau demokrasi, yang terdapat dalam kalimat "kedaulatan ada di tangan
rakyat." Kedua, prinsip negara hukum atau konstitusionalisme, yang tersirat dalam
kalimat "dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Paduan dari kedua
prinsip tersebut menjelaskan bahwa kedaulatan rakyat di dalam pelaksanaan
sebuah sistem kenegaraan harus ada koridor dan batas-batasnya. Tanpa itu,
kedautatan rakyat bisa digunakan secara sewenang-wenang.
Dalam konteks kedaulatan rakyat ini, ada dua hal yang harus dibedakan;
kedaulatan yang masih berada di tangan rakyat dan kedaulatan yang telah
dilimpahkan kepada atau dilaksanakan dalam kerangka Undang-Undang Dasar.
Sebagai sebuah potensi, kedaulatan ada di tangan rakyat" masih tetap eksis dalam
genggaman rakyat. Namun, begitu kedautatan dilaksanakan oleh lembagalembaga negara, maka lembaga-lembaga negara tersebut tidak boleh
melaksanakan kedaulatan itu tanpa batas. Batas-batasnya ditentukan oleh UUD.
Dengan demikian, demokrasi berjalan berdasarkan atas hukum. Terdapat dimensi
lain dalam kedaulatan rakyat dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (2). Mengacu pada
ketentuan tersebut, di dalam UUD 1945 dikenal dua macam kedautatan. Pertama,
kedaulatan langsung, di mana rakyat melakukan secara langsung kedaulatannya.
Kedua, kedaulatan yang dilakukan oleh badan-badan perwakilan. Terkait
kedaulatan langsung, dalam UUD telah diatur soal pemilihan umum (Pemilu).
Pemilu adalah wujud kedaulatan rakyat yang dilakukan secara langsung. Dalam
pemilu rakyat memilih anggota DPR/DPRD, DPD, dan juga Presiden dan Wakil
Presiden. Setelah dilaksanakan secara langsung, proses berikutnya, menurut
Konstitusi, kedaulatan dilakukan oleh badan perwakilan.
10
12
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Penyelenggaraan
Wewenang Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung. Dalam Perma tersebut antara lain
dutetapkan bahwa tata cara untuk mengajukan permohonan tentang menguji undang-undang
terhadap UUD, sengketa wewenang antarlembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945, memeriksa,mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa presiden dan wakil
presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 B
ayat (1) UUD 1945 dan perubahannya diajukan dalam bentuk permohonan.
13
Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan ketentuan hukum tertentu tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi antara UU Ketenaga-listrikan, UU Migas, dan Diskriminasi eks
PKI sebagai calon anggota legislative dalam UU Pemilu.
11
12
(KPU) . Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Mengenai
pengumuman hasil pemilu sebagaimana tersebut di atas dilakukan selambatlambatnya 30 hari setelah pemungutan suara (Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003. Sedangkan dalam hal terjadi perselisihan tentang hasil
pemilu sebagaimana dimaksud pasal 104, diperiksa dan diputuskan untuk tingkat
pertama dan terakhir oleh Mahkamah Konstitusi (Pasal 134 UU No.12 Tahun
2003).
Mengenai penetapan hasil rekapitulasi penghitungan suara dan
pengumuman hasil pemilu presiden dan wakil presiden, penetapan ini dilakukan
oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) selambat-lambatnya 30 hari sejak hari
pemungutan suara (Pasal 66 ayat 1 UU No.23 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden). Terhadap penetapan hasil pemilu Presiden
dan Wakil Presiden dapat diajukan keberatan hanya oleh pasangan calon kepada
Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lambat tiga hari setelah penetapan hasil
pemilu presiden dan wakil presiden oleh KPU. Keberatan tersebut hanya terhadap
hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
Dari rumusan pasal-pasal di atas dapat kita lihat bahwa Mahkamah
Konstitusi berwenang memeriksa dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu
pada semua tingkatan dan semua jenis pemilihan umum.
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi membatasi siapa saja yang berhak
menjadi pemohon dalam sengketa pemilu. Dalam pasal 74 ayat (1) UU
Mahkamah Konstitusi , yang dapat menjadi pemohon ada tiga. Pertama,
perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah;
kedua, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilu; dan ketiga,
partai politik peserta pemilu. Permohonan tersebut diajukan paling lambat 3x24
jam, terhitung sejak KPU mengumumkan hasil pemilu secara nasional.
Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan akibat keberatan tersebut
paling lambat 14 hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Mahkamah
Konstitusi ( Pasal 68 ayat 1 UU No.23 Tahun 2203 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden). Pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi tersebut dilakukan untuk tingkat pertama dan terakhir
(pasal 85 UU No.23 Tahun 2003).
UUD 1945 setelah perubahan membedakan fungsi-fungsi kenegaraan
antara yang satu dengan yang lain. namun sebagaimana tetah diuraikan
sebelumnya pelaksana fungsi tersebut tidak setalu dilaksanakan oleh satu lembaga
negara saja. oleh karenanya menjadi sangat penting pengaturan kewenangan
tembaga negara tersebut oleh UUD. Aturan UUD yang berisikan kewenangan
lembaga negara merupakan salah satu substansi yang penting dari UUD atau dapat
dikatakan menjadi kandungan hukum materil dari UUD tersebut. Dalam
hubungannya kewenangan lembaga negara yang diatur dalam UUD tepat kiranya
dikutip disini pendapat Strong yang menyatakan,
A true constitution will have the following fact about It clearly marked:
flrst, haw the various agencies are organized; secondly, what power Is to
13
14
Mahkamah Konstitusi, adanya batasan waktu yang begitu sempit dalam memutus
setiap sengketa yang dimohonkan, terbatasnya jumlah hakim konstitusi yang
menangani sengketa ini., dan tentu saja euforia demokrasi yang akan
meningkatkan kuantitas tuntutan masyarakat yang dengan menggunakan setiap
instrumen hukum yang ada untuk memuaskan hak-haknya.
Namun begitu, Mahkamah Konstitusi tetap harus dapat menjalankan tugas
dan fungsi ini secara maksimal, dengan harapan institusi ini dapat memenangkan
demokrasi pada setiap jenis pemilu, pada setiap tingkatan pemilu, dan pada setiap
pemilu. Mengingat pemilu merupakan pintu utama menuju pemerintahan yang
demokratis.
D. Penutup
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. UUD 1945 setelah perubahan ketiga, telah menegaskan bahwa Indonesia
adalah negara hukum yang menganut asas demokrasi.
2. Dalam menjaga tegaknya konstitusi, UUD 1945 membentuk lembaga baru
yang bernama Mahkamah Konstitusi.
3. Peran Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan peradilan tata negara adalah
untuk menegakkan norma-norma hukum tertinggi yang terdapat dalam UUD
1945. Oleh karenanya, seringkali peran peradilan tata negara disebut sebagai
"the guardian of the constitution.
4. Dalam konstitusi negara modern, ditetapkan puta di dalamnya hak-hak warga
Negara, dan oleh karena hak-hak tersebut dicantumkan dalam konstitusi maka
statusnya menjadi hak-hak konstitusi warga negara yang secara substantif
harus ditegakkan pula oleh peradilan tata Negara. Oleh sebab itu, peradilan
tata negara juga berfungsi sebagai "the guardian of citizens."
Daftar Pustaka
Alexis de Tocqueville, Democracy in America And Two Essay on America,
London : Penguin Books, 2003.
Colin Leys, Market-Driven Politics: Neoliberal Democracy and the public
Interest, London: Verso, 2001.
David P.Currie, The Constitution of the United States, A Primer for the People,
Chicago and London, The University of Chicago Press,1988
Fareed Zakaria, Masa depan Kebebasan: Penyimpangan Demokrasi Amerika dan
Negara Lain (Terjemahan Ahmad Lukman), Jakarta: Ina Publikatama,
2003.
Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bansa, Jakarta : Sekretarisat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2008.
15
Jimly Asshiddiquie dalam Mahkamah Konstitusi:Kompilasi Konstitusi, Undangundang dan Peraturan di 78 Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara,
2010.
K.C.Wheare, Modern Constitutions, London: Oxford University Press, 1975
Margarito Kamis, Jalan Panjang Konstitusionalisme Indonesia, Setara Press,
2014
Maruarrar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Sinar Grafika, 2011
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, 2010
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat), Refika Aditama, 2011
Pusat Kajian Konstitusi Universitas Kanjuruhan Malang, Jurnal Konstitusi,
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010
Samuel Huntington, The Third Wave : Democratization in The Late of Twentieth
Century, Oklahama: University of Oklahama Press, 1991.
Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana,
2011
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, 2014
16