Anda di halaman 1dari 15

I.

DEFINISI
Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium
Tuberculosis), yang disebut juga basil tahan asam. Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
II. EPIDEMIOLOGI
Sejak akhir tahun 1990-an, dilakukan deteksi terhadap beberapa penyakit yang
kembali muncul dan menjadi masalah terutama di negara maju. Salah satu diantaranya adalah
TB. World health organization memperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia (2 miliar
orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan angka tertinggi di Afrika, Asia, dan
Amerika Latin.
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di
negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu
penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas, baik di negara berkembang maupun
di negara maju.
III.

PREVALENSI

Morbiditas dan mortalitas


Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan. Diperkirakan jumlah kasus TB anak
per tahun adalah 5-6% dari total kasus TB. Berdasarkan laporan tahun 1985, dari 1261 kasus
TB anak berusia <15 tahun, 63% di antaranya berusia <5 tahun. Pada survey nasionai di
Inggris dan Wales selama setahun pada tahun 1983, didapatkan bahwa 452 anak berusia <15
tahun menderita TB (MRCT-CDU, 1988). Dari Alabama, Amerika, dilaporkan bahwa selama
II (tahun 1983-993) didapatkan 171 kasus TB anak usia <15 tahun. Di negara berkembang,
TB pada anak berusia < 15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara
maju, angkanya lebih rendah, yaitu 5-7%.
Pada tahun 1989, WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 1,3 juta kasus
baru TB anak, dan 450.000 anak usia <15 tahun meninggal dunia karena TB. Kasus baru
diperkirakan akan meningkat setiap tahun, dari 7,5 juta kasus (143 kasus per 100.000
penduduk) pada tahun 1990, menjadi 8,8 juta kasus (152 kasus per 100.000 penduduk) pada
tahun 1995, menjadi 10,2 juta kasus (163 kasus per 100.000 penduduk) pada tahun 2000, dan
akan mencapai 11,9 juta kasus pada tahun 2005.
Total insidens TB selama 10 tahun, dari tahun 1990-1999, diperkirakan sebanyak
88,2 juta penyandang TB, 8 juta di antaranya berhubungan dengan infeksi HIV. Pada tahun

2000 terdapat 1,8 juta kematian akibat TB, 226.000 di antaranya berhubungan dengan HIV.
Selama tahun 1985-1992, peningkatan TB paling banyak terjadi pada usia 25-44 tahun
(54,5%), diikuti oleh usia 0-4 tahun (36,1%), dan 5-12 tahun (38,1%). Pada tahun 2005,
diperkirakan kasus TB naik 58% dari tahun 1990, 90% di antaranya terjadi di negara
berkembang.
Di Amerika Serikat dan Kanada, peningkatan TB pada anak berusia 0-4 tahun adalah
19%, scdangkan pada usia 5-15 tahun adalah 40%. Di Asia Tenggara, selama 10 tahun,
diperkirakan bahwa jumlah kasus baru adalah 35,1 juta, 8% di antaranya (2,8 juta) disertai
infeksi HIV. Menurut WHO (1994), Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam jumlah
kasus baru TB (0,4 juta kasus baru), setelah India (2,1 juta kasus) dan Cina (1,1 juta kasus).
Sebanyak 10% dari seluruh kasus terjadi pada anak berusia < 15 tahun.
IV.

FAKTOR RESIKO
Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun timbulnya

penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor resiko infeksi dan faktor
resiko progresi infeksi menjadi penyakit (resiko penyakit).
1.

Resiko infeksi TB
Faktor resiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang
dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang
tidak sehat (higiene dan sanitasi yang tidak membaik), tempat penampungan umum (panti
asuhan, penjara atau panti perawatan lain) yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien
dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas,
produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan
yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang kurang baik.
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di sekitarnya.
Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien
anak. Hal tersebut karena:
a.

Jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas
anak masih lemah jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan sakit.

b.

Lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya
terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi
sputum.

c.

Sedikitnya atau tidak ada produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di
daerah parenkim menyebabkan jarangnya gejala batuk pada TB anak.

2.

Resiko sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut ini adalah
faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB.
a. Usia
Anak berusia 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi
menjadi sakit TB karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna (imatur).
Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang secara bertahap seiring dengan
pertambahan usia. Anak berusia < 5 tahun memiliki risiko lebih tinggi mengalami TB
diseminata (seperti TB milier dan meningitis TB). Pada bayi, rentang waktu antara
terjadinya infeksi dan timbulnya sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan biasanya
timbul gejala yang akut.
a. Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi
positif) dalam 1 tahun terakhir.
b. Sosial ekonomi yang rendah, kepadatan hunian, penghasilan yang kurang, pengangguran,
pendidikan yang rendah.
c. Faktor lain yaitu malnutrisi, imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV, keganasan,
transplantasi organ dan pengobatan imunosupresi).
d. Virulensi dari M. Tuberculosis dan dosis infeksinya.

V. PATOGENESIS DAN PERJALANAN ALAMIAH


Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil, kuman TB dalam droplet nuclei yang terhirup setelah melewati barier
mukosa basil TB akan mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan
seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respon imunologis
spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada
individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman
TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan
akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di tempat
tersebut yang dinamakan fokus ghon (fokus primer).
Melalui saluran limfe kuman akan menyebar menuju kelenjar limfe regional, yaitu
kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini
2

menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe


(limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di bawah atau tengah, kelenjar limfe
yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahiler, sedangkan jika fokus primer terletak di
apek9s paru, yang akan terlibat adalah kelnjar para trakeal. Gabungan antara fokus primer,
limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer.
Masa inkubasi (waktu antara masuknya kuman dengan terbentuknya komplek primer
secara lengkap) bervariasi antara 4-8 minggu. Pada saat terbentuknya komplek primer inilah,
infeksi TB primer terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein yaitu timbulnya respon positif terhadap uji tuberkulin.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru dapat mengalami
salah satu hal sebagai berikut, mengalami resolusi secara sempurna, atau membentuk fibrosis
atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis pengkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe
regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya
tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Komplek primer dapat juga mengalami komplikasi yang disebabkan oleh fokus di
paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis dan pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis pengkejuan yang berat, bagian tengah
lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru
(kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal saat awal
infeksi akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu yaitu obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal yang akan
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru. Dapat juga terjadi obstruksi total yang
menyebabkan atelektasis.
Selama masa inkubasi sebelum terbentuknya imunitas seluler dapat terjadi
penyebaran secara hematogen dan limfogen. Pada penyebaran limfogen kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk komplek primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen,
kuman TB masuk kedalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh dan disebut
penyakit sistemik. Penyebaran hematogen sering tersamar (occult hematogenic spread)
sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai
organ di seluruh tubuh dan biasanya yang dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi
baik terutama apek paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut kuman TB akan
bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan

membatasi pertumbuhannya, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman dan bisa terjadi
reaktivasi jika daya tahan tubuh pejamu turun.
Bagan patogenesis tuberkulosis.

Gambar. Pathogenesis tuberkulosis


Catatan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenic spread).
Kuman TB kemudian membuat focus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang
baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), lirntangitis (2), dan limladenitis regional
(3).
3. TB primer adalah proses masuknya kuman TB, terjadinya penyebaran hematogen,
terbentuknya kompleks primer dan imunitas selular spesifik, hingga pasien mengalami
infeksi TB dan dapat menjadi sakit TB primer.
4. Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena mekanismenya bisa melalui
proses reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder dan
seterusnya) oleh kuman TB dari luar (eksogen).
4

Gambar. Kalender perjalanan penyakit tuberculosis primer


VI.

DIAGNOSIS
Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan menemukan M.TB pada pemeriksaan sputum

atau bilasan lambung, cairan cerebrospinal, cairan pleura atau pada biopsi jaringan.
Kesulitan pertama, Jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit
daripada dewasa karena lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di kelenjar limfe
hilus dan parenkim paru bagian perifer. Selain itu tingkat kerusakan parenkim paru tidak
seberat pada dewasa. Kuman BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling
sedikit 5.000 kuman dalam 1 ml dahak.
Kesulitan kedua, pengambilan spesimen/sputum sulit dilakukan. Pada anak, walaupun
batuknya berdahak, biasanya dahak akan ditelan sehingga diperlukan bilasan lambung yang
diambil melalui NGT. Dahak yang representatif untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis
adalah dahak yang kental dan purulen, berwarna hijau kekuningan dengan volume 3-5 ml.
Karena alasan di atas, diagnosis TB anak bergantung pada penemuan klinis dan
radiologis yang keduanya seringkali tidak spesifik. Kadang-kadang TB anak ditemukan
karena adanya TB dewasa di sekitarnya. Diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan
gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin positif, dan foto paru yang
mengarah pada TB (sugestif TB) merupakan bukti kuat yang menyatakan anak telah sakit TB.

Selain itu, manifestasi klinis TB sangat bervariasi tergantung padaa beberapa faktor
yaitu jumlah kuman, virulensi kuman dan daya tahan tubuh host. Manifestasi klinis TB dibagi
2 yaitu manifestasi klinis dan manifestasi spesifik organ. Yang termasuk manifestasi klinis
antara lain; 1) deman lebih dari 2 minggu dengan penyebab yang tidak jelas yang dapat
disertai keringat malam hari, 2) nafsu makan tidak ada (anoreksia) yang dapat disertai
penurunan berat badan, 3) batuk lama lebih dari 3 minggu, 4) malaise dan 5) diare persisten
yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare. Sedangkan yang termasuk manifestasi
spesifik organ antara lain; 1) TB kelenjar superfisial yang paling banyak mengenai kelenjar
kolli, 2) Tuberkulosis otak dan saraf (menigitis Tb dan tuberkuloma), 3) tuberkulosis skeletal
(spondilitis, gonisitis), 4) tuberkulosis kulit (skrodulodermal).
Kesulitan dalam mendiagnosis TB anak karena gejalanya tidak khas, dibuatlah sistem
skoring yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pembobotan
tertinggi ada pada uji tuberkulin dan adanya kontak TB dengan BTA positif, karena
berdasarkan penelitian akan menularkan sekitar 65% orang di sekitarnya.
Berikut tabel sistem skoring gejala dan pemeriksaan penunjang TB
Parameter
Kontak TB

0
Tidak

1
-

jelas

2
Laporan

3
BTA (+)

keluarga,
BTA (-),
tidak
tahu/tidak

Uji tuberkulin

Negatif

jelas
-

Positif

(10

mm, atau 5
mm

pada

keadaan
Berat badan/keadaan gizi

BB/TB

imunosupresi)
gizi
-

Klinis

<90% atau buruk BB/TB

Demam

tanpa

yang jelas
Batuk
Pembesaran

BB/U

<70%

BB/U < 60%


-

sebab

<80%
2 minggu

kelenjar

3 minggu
1
cm,

atau

limfe

koli,

aksila,

jumlah >1,

inguinal
Pembengkakan
tulang/sendi

panggul,

lutut, falang
Foto rontgen toraks

tidak nyeri
Ada

pembengka
Normal/

kan
Kesan TB

Tidak jelas
Keterangan : anak didiagnosis TB jika jumlah skor 6, ( skor maksimal 13).
VII.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Uji Tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik yang kuat.
Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB (telah ada
kompleks primer dalam tubuhnya dan telah terbentuk imunitas selular terhadap TB), maka
akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Indurasi ini terjadi karena vasodilatasi
lokal, edema, endapan fibrin dan terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah suntikan.
Ukuran indurasi dan bentuk reaksi tuberkulin tidak dapat menentukan tingkat aktivitas dan
beratnya proses penyakit.
Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-232TU
atau PPD S 5TU, secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48
72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan
hiperemi/eritemanya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi
indurasi, ditandai dengan pulpen, kemudian diameter transversal indurasi diukur dengan alat
pengukur transparan, dan hasilnya dinyatakan dalani milimeter. Jika tidak timbul indurasi
sama sekali, hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm, jangan hanya dilaporkan sebagai negative.
Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi > 10 mm dinyatakan positif
tanpa menghiraukan penyebabnya.
Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 1015 mm dinyatakan
uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin
disebabkan oleh BCGnya. Akan tetapi, bila ukuran indurasi >15 mm, hasil positif ini sangat
mungkin karena infeksi TB alamiah. Pada keadaan tertentu, yaitu tertekannya sistem imun
(imunokompromais), maka cut off-point hasil positif yang digunakan adalah 5 mm.
Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut:
7

1. Infeksi TB alamiah
a. infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)
b. infeksi TB dan sakit TB
c. TB yang telah sembuh.
2. lmunisasi BCG (infeksi TB buatan).
3. Infeksi mikobakterium atipik.
Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada tiga keadaan berikut:
1. Tidak ada infeksi TB.
2. Dalam masa inkubasi infeksi TB.
3. Anergi.
2. Radiologis
Gambaran foto toraks pada TB tidak khas; kelainan-kelainan radiologis pada TB dapat juga
dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya, foto toraks yang normal (tidak terdetek secara
radiologis) tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan pemeriksaan penunjang
lain mendukung. Secara umum gambaran radiologis yang sugestif TB adalah : pembesaran
kelenjar hilus dengan/tanpa infiltrate, konsolidasi segmental, milier, kalsifikasi dengan
infiltrate, atelektasis, infiltrate, efusi pleura, tuberkuloma.
3. Mikrobiologis
Diagnosis pasti TB ditegakkan bila ditemukan kuman TB pada pemeriksaan mikrobiologis.
pemeriksaan mikrobiologis yang dilakukan terdiri dari dua macam: pemeriksaan
mikrobiologis apusan langsung untuk BTA dan pemeriksaan biakan kuman M. tubercuosis
VIII. TATALAKSANA TB PADA ANAK
Beberapa hal penting dalam penatalaksanaan TB anak adalah:

Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan dalam monoterapi

Pemberian gizi yang kuat

Mencari penyakit penyerta dan jika ada ditatalaksana secara simultan.


Tatalaksana medikamentosa TB anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan profilaksis
(pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB
diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer atau anak yang terinfeksi TB tanpa
sakit TB (profilaksis sekunder)).
Paduan Obat Terapi TB Anak

Prinsip dasar terapi TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu
relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan (4 bulan kecuali pada TB berat). Pemberian
paduan obat ini ditujukan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh
kuman intraseluler dan ekstraseluler. Sedangkan pemberian obat jangka panjang selain untuk
membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan. OAT
diberikan setiap hari dengan paduan obat yaitu rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Pada
fase intensif diberikan rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Sedangkan pada fase lanjutan
diberikan rifampisin dan isoniazid. Untuk kasus TB tertentu yaitu : TB milier, efusi pleura
TB, perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB diberikan
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi 3 dosis. Lama pemberian
kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan taffering off dalam jangka
waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid adalah untuk mengurangi proses inflamasi dan
mencegah terjadinya perlekatan jaringan.
Isoniazid
Isoniazid (isonikotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang sangat
efektif saat ini, bersifat bakterisid,

sangat efektif

terhadap

kuman

dalam

keadaan

metabolic aktif (kuman yang sedang berkembang), dan bersifat bakteriostatik terhadap
kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke
dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan pleura,

cairan

asites,

jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang (adverse reaction) yang sangat
rendah.
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 515mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid
yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100mg dan 300mg, dan dalam bentuk sirup
100mg/5ml. Sediaan dalam bentuk sirup biasanya tidak stabil, sehingga tidak dianjurkan
penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai
dalam 1-2 jam, dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme
melalui asetilasi di hati. Terdapat dua kelompok pasien berdasarkan kemampuannya
melakukan asetilasi, yaitu asetilator cepat dan asetilator lambat. Asetilator cepat lebih
sering terjadi pada orang Afrika-Amerika dan Asia daripada orang kulit putih. Anak-anak
mengeleminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa. Isoniaizd terdapat pada air

susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar
obat yang mencapai janin/bayi tidak membahayakan.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik, dan neuritis perifer.
Keduanya jarang pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang
meningkat

dengan bertambahnya

menggunakan

isoniazid

usia.

Sebagian

besar

pasien

anak

yang

mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang tidak

terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat.
Tiga hingga sepuluh persen pasien akan mengalami peningkatan kadar transaminase
darah yang cukup tinggi, tetapi hepatotoksisitas yang bermakna secara klinis sangat jarang
terjadi. Hal tersebut lebih mungkin terjadi apada remaja atau anak-anak dengan TB yang
berat. Idealnya, perlu pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tapi karena
jarang menimbulkan hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan,
kecuali bila ada gejala dan tanda klinis. Hepatotoksisitas akan meningkat apabila isoniazid
diberikan bersama dengan rifampisin dan pirazinamid. Penggunaan isoniazid bersama
fenobarbital atau fenitoin juga

dapat meningkatkan

resiko

terjadinya

hepatotoksik.

Pemberian isoniazid tidak dilanjutkan bila kadar transaminase serum naik lebih lima kali
harga normal, atau tiga kali disertai ikterus dan/atau manifestasi klinis hepatitis berupa mual,
muntah, dan nyeri perut.
Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme piridoksin.
Manifestasi klinis neuritis perifer yang sering adalah mati rasa atau kesemutan pada
tangan dan kaki. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan isoniazid, tapi
manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak diperlukan pemberian piridoksin tambahan.
Akan tetapi, remaja dengan diet yang tidak adekuat, anak-anak

dengan asupan susu

yang kurang, malnutrisi, serta bayi yang hanya minum ASI, memerlukan piridoksin
tambahan. Piridoksin diberikan 25-50mg satu kali sehari, atau 10mg piridoksin setiap
100mg isoniazid.
Manifestasi alergik atau reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh isoniazid sangat
jarang terjadi. Kadang-kadang isoniazid berinteraksi dengan teofilin, sehingga diperlukan
penyesuaian dosis. Efek samping yang jarang terjadi antara lain adalah pellagra, anemia
hemolitik pada pasien dengan defisiensi enzim glucose-6-phosphate dehydrogenase
(G6PD), dan reaksi mirip lupus yang disertai dengan ruam dan artritis.
Rifampisin

10

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua
jaringan, dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid.
Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1
jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin
diberikan

dalam bentuk

oral

dengan dosis

10-20mg/kgBB/hari, dosis maksimal

600mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersama isoniazid,
dosis rifampisin tidak melebihi

15mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10mg/kgBB/hari.

Seperti halnya isoniazid, rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan
tubuh, termasuk CSS.
otak

Distribusi rifampisin ke CSS lebih baik pada keadaan selaput

yang sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal. Eksresi rifampisin

terutama terjadi melalui traktus bilier. Kadar yang efektif juga dapat ditemukan di ginjal dan
urin.
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada isoniazid. Efek yang kurang
menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air
mata menjadi

warna

oranye kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah

gangguan gastrointestinal (mual dan muntah), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang


biasanya ditandai dengan peningkatan kadar transaminase

serum yang asimptomatik.

Jika

terjadi peningkatan

rifampisin

diberikan

bersama

isoniazid,

resiko

hepatotoksisitas yang dapat diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid
menjadi

maksimal

10mg/kgBB/hari.

Rifampisin

juga

dapat menyebabkan

trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat
berinteraksi

dengan beberapa obat termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofilin,

kloramfenikol, kortikosteroid, dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya tersedia dalam


sediaan kapsul 150mg, 300mg, dan 450mg, sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada
anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat dengan menggunakan
berbagai jenis zat pembawa, tapi sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian
makanan karena dapat timbul malabsorbsi.
Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat dari nikotamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan
tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, dan diresorbsi
baik pada saluran cerna. Pemberian
30mg/kgBB/ hari

pirazinamid

dengan dosis maksimal

secara

oral

sesuai

dosis 15-

2 gram/hari. Kadar serum puncak 45g/ml

dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik
11

diberikan pada suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman masih sangat

banyak.

Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10% orang dewasa yang diberikan
pirazinamid mengalami efek samping berupa atralgia, artritis atau gout akibat hiperurisemia,
tapi pada anak manifestasi klinis akibat hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek
samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi
hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500mg,
tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersama dengan makanan.
Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata.
Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika diberikan
dalam dosisi tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini
dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis
15-20mg/kgBB/hari, maksimal 1,25

etambutol adalah

gram/hari, dengan dosis tunggal. Kadar serum

puncak 5g dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250mg dan
500mg. Etambutol

ditoleransi

dengan baik

oleh orang dewasa dan anak- anak pada

pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP,
demikian juga pada keadaan meningitis.
Eksresi utama melalaui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan etambutol
tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optik dan buta warna
merah-hijau, sehingga penggunaannya dihindari pada anak yang belum diperiksa tajam
penglihatannya.
menyatakan

Rekomendasi WHO
etambutol dianjurkan

terakhir

mengenai

pelaksanaan

TB

anak

penggunaannya pada anak dengan dosis 15-

25mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB
resisten obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.

Berikut tabel dosis OAT yang biasa digunakan.


12

Nama obat

Dosis

harian

Dosis

Efek samping

(mg/kgBB/hari)

maksimal

Isoniazid

5-15

(mg/hari)
300

Hepatitis,

Rifampisin

10-20

600

hipersensitivitas
Gastrointestinal,
hepatitis,

neuritis
reaksi

perifer,
kulit,

trombositopenia,

peningkatan enzim hati, cairan


Pirazinamid

15-30

2000

tubuh berwarna oranye kemerahan.


Toksisitas
hepar,
artralgia,

Etambutol

15-20

1250

gastrointestinal
Neuritis optik, ketajaman mata
berkurang, buta warna merah hijau,

Streptomisin

15-40

1000

hipersensitivitas, gastriintestinal
Ototoksisk, nefrotoksik

DAFTAR PUSTAKA

13

Setyanto Budi,D., 2008. Buku Ajar Respirologi Anak Ed.1 . Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta

14

Anda mungkin juga menyukai