STATUS PASIEN
A. Identitas
a. Nama/Jenis Kelamin/Umur
b. Alamat
c. Pekerjaan
d. Pendidikan
I.
B.
ANAMNESIS
I. Keluhan Utama:
Bengkak pada perut dan kaki sejak 3 bulan.
II. Riwayat Penyakit Sekarang : (autoanamnesa)
Sejak 3 bulan yang lalu, pasien awalnya mengeluh bengkak pada
kedua kelopak mata, mata dirasa menjadi lebih sipit, namun pasien maupun
ibunya tidak menghiraukannya. Sekitar 2 minggu kemudian timbul bengkak di
kaki, bengkak diperut, pasien juga mengeluhkan badannya terasa berat dari
biasanya. Tidak ada mual dan muntah. Demam dirasakan juga, demam tidak
terlalu tinggi, demam hilang timbul. Kemudian pasien dibawa berobat di
dokter spesialis anak dan dilakukan pemeriksaan laboratorium dan dokter
tersebut mengatakan kalau ginjal pasien bocor.
1 minggu sebelum kepuskesmas, penderita mengeluh sembab diseluruh
tubuh, demam ada, demam tidak terlalu tinggi, demam hilang timbul, mual
muntah tidak ada, nyeri perut ada, batuk berdahak ada, BAB biasa, BAK
sedikit- sedikit, warna biasa dan nyeri saat BAK. Air urin seperti cucian
daging (-), nyeri pinggang (-).
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
1. Keadaan sakit
2. Kesadaran
3. Suhu
4. Nadi
5. Tekanan Darah
6. Pernafasan
- Frekuensi
- Irama
- Tipe
7. Kulit
- Turgor
- Lembab / kering
- Lapisan lemak
:
: sakit sedang
: compos mentis
: 37,1C
: 82 x/menit
: 110 / 70 mmHg
: 22 x/menit
: reguler
: abdominotorakal
: baik
: lembab
: ada
8. Berat badan
: 19 kg
9. Tinggi badan
: 120 cm
Pemeriksaan Organ
1. Kepala
Bentuk
Simetri
2. Mata : Palpebra
: normocephal
: simetris
: edema
: tidak anemis
Sklera
: tidak ikterik
: 3 mm/3 mm
: isokor, normal
: jernih
: simetris
Sekret
: tidak ada
Serumen
: minimal
Nyeri
: tidak ada
4. Hidung : Bentuk
: simetris
: tidak ada
Sekret
: tidak ada
5. Mulut : Bentuk
: normal
Bibir
Gusi
6. Lidah :
Bentuk
: normal
Pucat/tidak
: tidak pucat
Tremor/tidak
: tidak tremor
Kotor/tidak
: tidak kotor
Warna
: kemerahan
7. Faring : Hiperemi
Edema
: tidak ada
: tidak ada
Membran/pseudomembran : (-)
8. Tonsil : Warna
: kemerahan
Pembesaran
: tidak ada
Abses/tidak
: tidak ada
Membran/pseudomembran : (-)
9. Leher :
Vena Jugularis : Pulsasi
Tekanan
: tidak terlihat
: tidak meningkat
: tidak ada
Kaku kuduk
: tidak ada
Masa
: tidak ada
Tortikolis
: tidak ada
10. Thorak :
a. Dinding dada/paru :
Inspeksi : Bentuk
Palpasi
: simetris
Retraksi
: tidak ada
Dispnea
: tidak ada
Pernafasan
: thorakal
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : Suara Napas Dasar : Suara napas vesikuler
Suara Napas Tambahan : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
b. Jantung :
Inspeksi : Iktus
: tidak terlihat
Palpasi
: tidak teraba
: Apeks
Thrill
: tidak ada
Batas atas
Auskultasi :
Suara dasar
: S1 dan S2 tunggal
Bising
: tidak ada
4
2. Abdomen
Inspeksi: Bentuk
: cembung
Palpasi : Hati
: tidak teraba
Lien
: tidak teraba
Ginjal
: tidak teraba
Masa
: tidak ada
Undulasi
: (+)
Perkusi
D.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Rutin
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
11,4 g/ dl
Hematokrit
36%
Kolesterol
339 mg/dl
GDS
135 mg/dl
Urin Rutin
Makroskopis
Warna : kuning muda jernih
Mikroskopis
5
Protein
Bilirubin
:-
Epitel
:-
Leukosit
: 0 4 / LPB
Eritrosit
: 0 1 / LPB
E.USULAN PEMERIKSAAN
Kadar albumin serum
Kadar ureum dan kreatinin
USG Ginjal dan Abdomen
F.DIAGNOSA KERJA
Sindrom Nefrotik
G.DIAGNOSA BANDING
Gagal Ginjal Akut
Gromeluronefritis Akut Pasca Streptokokus
H.PROGNOSIS
Dubia ad bonam
III. Manajemen
Promotif
harus dilakukan.
Menjelaskan kepada orang tua pasien bahwa penyakit yang diderita
Preventif
garam
serta
mengkonsumsi
makanan
yang
banyak
sekunder.
Kuratif
Non Farmakologi
Bedrest total
Rehabilitatif
Perlu diperhatikan sanitasi dan hygiene lingkungan untuk mencegah
terjadinya infeksi sekunder.
Segera rujuk ke Rumah Sakit untuk mendapatkan pemeriksaan dan perawatan
lebih lanjut.
XI.RESEP
Dinas Kesehatan Kota Jambi
Puskesmas III Pakuan Baru
Dokter : Rully Dwi Saputra
SIP
: No.388/SIP/2013
R/ Paracetamol 500 mg
STR : No.883/STR/2013
Tanggal 17 Januari 2014
No V
3 dd tab
R/ Deksametason 0,5 mg No V
1 dd tab
R/ Furosemid 40 mg No V
1 dd tab
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidmiologi
SN lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1) dan kebanyakan
terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling muda pada anak
umur 6 bulan dan paling tua pada dewasa. Di Indonesia dilaporkan 6 kaus per
100.000 anak per tahun. Angka kejadian SN pada anak dibawah usia 18 tahun
diperkirakan berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset tertinggi
terjadi pada usia 2-3 tahun. Hampir 50% penderita mulai sakit saat berusia 1-4 tahun,
75% sebelum berusia 10 tahun.2,3,4
2.3 Etiologi
Secara klinis SN dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:1,3,4,8
1. Sindrom nefrotik primer (idiopatik)
Dikatakan SN primer oleh karena terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu
sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada
anak. Termasuk dalam SN primer adalah SN kongenital, salah satu jenis SN
yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.
Sekitar 90% anak dengan SN meruakan SN idiopatik. SN idiopatik terdiri dari
3 tipe secara histologis. SN kelainan minimal, glomerulonepritis proliferarif
(mesangial proliferation), dan glomerulosklerosis fokal segmental. Ketiga
gangguan ini mewakili suatu spektrum dari satu penyakit tunggal.
Patologi:
Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) (85% dari kasus SN pada
anak), glomerulus terlihat normal atau memperlihatkan peningkatan minimal
pada
sel
mesangial
dan
matrixnya.
Penemuan
pada
mikroskop
electron, dapat dilihat jaringan parut segmental pada glomerular tuft disertai
dengan kerusakan pada lumen kapiler glomerulus. Lesi serupa dapat terlihat
pula pada infeksi HIC, reflux vesicoureteral, dan penyalahgunaan heroin
intravena. Hanya 20% pasien dengan FSGS yang berespon terapi dengan
prednison. Penyakit ini biasanya bersifat progresif, pada akhirnya dapat
melibatkan semua glomeruli, dan mennyebabkan penyakit ginjal stadium
akhir pada kebanyakan pasien.
2. Sindrom nefrotik sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab
yang sering dijumpai adalah: penyakit metabolik atau kongenital (DM,
amiloidosis, sindrom Alport, miksedema). Infeksi: hepatitis B, malaria, lepra,
sifilis, streptokokus, AIDS. Toksin dan alergen: logam berat (Hg),
penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular. Penyakit sistemik
imunologik: SLE, purpura Henoch-Schinlein, sarkoidosis. Neoplasma: tumor
2.4
2. Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan oelh hilangnya albumin melalui urin dan
penigkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam
urin), tetapi mungkin normal atau menurun.
3. Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onktik plasma sehingga cairan bergeser dari intavaskular ke jaringan intertitium
dan terjadi edem. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya
cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan
meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini kan
memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengekserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.
Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat
sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan
ginjal akan menambah retensi natrium dan edema akibat teraktivasinya sistem
renin-angiotensin-aldosteron terutama kenaikan konsentrasi hormon aldosteron
yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium
sehingga ion natrium (natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi kenaikan
aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang menyebabkan
tahanan atau resisten vaskuler glomerulus meningkat, hal ini menngakibatkan
penurunan LFG dan kenaikan desakan starling kapiler peritubular sehingga
terjadi penurunan ekskresi natrium.
4. Hiperlipidemia
Kolestrol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein
(LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat
meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid
di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran
lipoprotein, VLDL, kilomikon dan intermediae density lipoprotein dari darah).
11
Disorders,
Focal
Segmental
Glomerulosclerosis,
Glomerulonephritis
13
ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan
dengan kemampuan pasien.1,2
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan. Bahkan sekarang dianggap
kontraindikasi, karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus.
Sehingga cukup diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA (Recommended
Daily Allowences) yaitu 2g/kgBB/hari. Diet rendah protein akan menyebabkan
malnutrisi energi protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak. Diet rendah garam
(1-2 g/hari) hanya diperlukan jika anak menderita edem.
a. Pengobatan Inisial
Sesuai ajuran ISKDC pengobatan inisial pada SN dimulai dengan pemberian
prednison dosis penuh 60 mg/m 2 LPB/hari (maksimal 80 mg/hari), dibagi
dalam 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung
berdasarkan BB ideal (BB terhadap TB). Prednison dalam dosis penuh inisial
diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka
pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan
dosis 40
mg/m2 LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang hari), 1 kali sehari
setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh,
tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resiten steroid.
b. Pengobatan Relaps
Pengobatan relaps diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal
4 minggu) dilanjutkan dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu.
Pada SN yang mengalami proteinuria 2+ kembali terapi tanpa edema,
sebelum dimulai pemberian prednison terlebih dahulu dicari pemicunya,
biasanya infeksi saluran napas atas. Bila ada infeksi diberikan antibiotik 5-7
hari, dan bila setelah pemberian antibiotik proteinuria menghilang tidak perlu
diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria 2+
disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps dan diberikan pengobatan
relaps.
c. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid
Ada 4 pilihan yaitu:
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
14
2.8 Komplikasi
Ada beberapa komplikasi yaitu:2
1. Infeksi
15
Pada SN mudah terjadi dan paling sering adalah selulitis dan peritonitis. Hal
ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan komplemen fakor B dan D di
urin. Bila terjadi penyult infeksi bakterial (pneumona penumokokal atau
peritonitis, selulitis, sepsis, ISK) diberikan antibiotik yang sesuai dan dapat
disertai pemberian IgG intravena. Untuk mencegah infeksi digunakan vaksin
pneumokokus.
2. Hiperlipidemia
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar kolesterol LDL,
VLDL, trigliserida, lipoprotein a, sedangkan kolesterol HDL menurun atau
normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik. Pada SN sensitif
steroid, karena penignkatan zat-zat tersebut bersifat sementara, cukup dengan
pengurangan diet lemak.
3. Hipokalsemia
Terjadi hipokalsemia karena penggunaan steroid jangka panjang yang
menimbulkan osteoporosis dan osteoponia, dan terjadi kebocoran metabolik
vitamin D. Oleh karena itu pada SN relaps sering dan SN steroid dianjurkan
pemberian suplementasi kalsium 500 mg/hari dan vitamin D. Bila terjadi
tetani, diobati dengan kalsium glukonas 50 mg/kgBB intravena.
4. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan Sn relaps dapat
menyebabkan hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardi, ekstremitas
dingin dan sering disertai sakit perut.
Penyulit lain yang dapat terjadi diantaranya hipertensi, syok hipovolemik,
gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah5-15 tahun).
3.9 Prognosis
Prognosis baik bila penderita SN memberikan respon baik terhadap
pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Pada umumnya sebagian
besar (+80%) SN primer memberi respon yang baik terhadap pengobatan awal
dengan steroid, tetapi kira-kira 50% diantaranya akan relaps berulang dan
sekitar 10% tidak memberi respon lagi dengan pengobatan steroid.2,3
16
BAB III
ANALISA KASUS
PENDEKATAN HOLISTIK
ANALISIS SECARA HOLISTIK
a. Hubungan anamnesis, diagnosis dengan keadaan rumah :
Sejak 3 bulan yang lalu, pasien awalnya mengeluh bengkak pada
kedua kelopak mata, mata dirasa menjadi lebih sipit, namun pasien maupun
ibunya tidak menghiraukannya. Sekitar 2 minggu kemudian timbul bengkak di
kaki, bengkak diperut, pasien juga mengeluhkan badannya terasa berat dari
biasanya. Tidak ada mual dan muntah. Demam dirasakan juga, demam tidak
terlalu tinggi, demam hilang timbul. Kemudian pasien dibawa berobat di
dokter spesialis anak dan dilakukan pemeriksaan laboratorium dan dokter
tersebut mengatakan kalau ginjal pasien bocor.
17
pada anak ini merupakan tipe sekunder sesuai teori di dapatkan ada riwatat
infeksi sebelumnya. Pasien mengeluh batuk berdahak, dan didapat gejala
nyeri berkemih dengan panas tinggi. Sebenarnya untuk lebih memastikan tipe
dari SN ini adalah dengan melakukan biopsi ginjal
d.
19
DAFTAR PUSTAKA
1.
Dadiyanto DW, dkk. Sindrom Nefrotik dalam buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak.
2.
3.
4.
5.
2007.
Gunawan AC. Sindrom Nefrotik: Patogenesis dan Penatalaksanaan. Jakarta:
6.
7.
2000.
Pardede SO. Sindrom Nefrotik Infantil. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran.
2002. Hal 32-37.
20
8.
9.
Markum, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: FKUI. 2002.
Pusponegoro HD, dkk. Sindrom Nefrotik dalam Standar pelayanan medis
kesehatan anak. Edisi1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2004. Hal 189-191.
10. Price SA, Wilson LM. Buku Ajar Patofisiologi. Jilid 2. Edisi 4. Jakarta: EGC.
1995. Hal 645-648.
LAMPIRAN
21
22