Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengertian dari hak asasi manusia (HAM) itu sendiri yaitu
hak dasar yang telah dimiliki oleh manusia sejak dari dalam
kandungan. Hak dasar ini merupakan karunia dari Tuhan Yang
Maha Esa. HAM (Hak Asasi Manusia) juga dapat diartikan
dengan suatu hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak
sebelum dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat
diganggu gugat siapa pun. Perlu diingat bahwa dalam hal
pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup
bersosialisasi

dengan

orang

lain.

Jangan

sampai

kita

melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha


perolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita sendiri.
Terdapat berbagai lembaga penegak Hak Asasi Manusia.
Beberapa Lembaga tersebut seperti Komisi Nasional HAM
(KOMNAS HAM), Pengadilan HAM, Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi. Sesuai dengan
nama lembaganya, lembaga lembaga ini bertujuan untuk
menegakkan dan melindungi setiap hak asasi manusia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Pengadilan HAM ?
2. Apa yang dimaksud Pengadilan HAM Ad Hoc ?
3. Apa yang dimaksud Komisi Nasional HAM ?
4. Apa yang dimaksud Komisi Perlindungan Anak Indonesia ?
5. Apa yang dimaksud Komisi Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan ?
6. Apa yang dimaksud Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Pengadilan HAM ?
2. Untuk mengetahui Pengadilan HAM Ad Hoc ?
3. Untuk mengetahui Komisi Nasional HAM ?
4. Untuk mengetahui Komisi Perlindungan Anak Indonesia ?
5. Untuk mengetahui Komisi Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan ?
6. Untuk mengetahui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGADILAN HAM
Pengertian Pengadilan HAM
Pasal 1 angka 3 menentukan bahwa yang dimaksud dengan
pengadilan

hak

asasi

manusia

adalah

pengadilan

khusus

terhadap pelanggaran HAM yang berat.


Jika apa yang dimaksud dengan pengadilan HAM seperti yang
ditentukan didalam pasal 1 angka 3 dikaitkan dengan pasal 2
yang

menentukan

bahwa

pengadilan

HAM

merupakan

pengadilan khusus yang berada dilingkungan peradilan umum,


dan pasal 4 yang menentukan bahwa pengadilan HAM bertugas
dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran
HAM yang berat, maka menjadi jelas bahwa yang dimaksud
dengan

pengadilan

dilingkungan

HAM

peradilan

adalah

umum

pengadilan

yang

hanya

yang

berada

bertugas

dan

berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran


HAM yang berat saja.

Latar Belakang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi


Manusia
Pada

merupakan

hakikatnya,
hak

dasar

hak

asasi

yang

manusia

dimiliki

oleh

tersebut
setiap

adalah
manusia

semenjak dia lahir dan merupakan anugerah dari Tuhan Yang


Maha Esa. Dengan demikian, hak asasi manusia bukanlah
merupakan hak yang bersumber dari Negara dan hukum. Oleh
karena itu, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya yang

diperlukan dari Negara dan hukum hanyalah pengakuan dan


jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut.
Dalam

masyarakat

internasional

hak

asasi

manusia

tersebut telah diakui secara resmi, dengan di deklarasikannya


suatu piagam oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
dikenal

dengan

Universal

Declaration

of

Human

Right

(Pernyataan sejagat tentang Hak Asasi Manusia), pada tanggal


10 Desember 1948. Lebih lanjut, hak-hak asasi manusia tersebut
dijabarkan dalam berbagai hukum akttiv Perserikatan Bangsabangsa (PBB) dalam bentuk konvensi internasional tentang hak
asasi manusia. Konvensi ini mengikat setiap Negara yang ikut
menandatanganinya dan setelah diratifikasi oleh masing-masing
Negara, maka konvensi tersebut akan mengikat secara langsung
setiap warga Negara dari Negara yang bersangkutan.
Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia,
tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan secara nasional,
tetapi

juga

memenuhi

tuntutan

masyarakat

internasional.

Kebijakan PBB dalam upaya perlindungan terhadap hak asasi


manusia

secara

universal

memberi

kewenangan

melalui

kepada

PBB

beberapa
untuk

instrumennya

terlibat

secara

langsung dalam suatu Negara yang berdaulat, dengan hukum


untuk melindungi hak asasi manusia.
Di samping itu, pembentukan pengadilan hak asasi manusia
di Indonesia, juga dalam rangka memenuhi salah satu syarat
negara hukum. Walaupun kita mengetahui tidak satu pasal pun
dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan secra
tegas, bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum,
tetapi didalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar 1945

ditegaskan bahwa negara Indonesia adalah merupakan negara


hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat).
1. Lingkup Kewenangan Absolut
Mengenai lingkup kewenangan absolut atau kompetensi
absolut dari Pengadilan HAM, oleh Pasal 4 ditentukan
bahwa Pengadilan HAM mempunyai tugas dan wewenang
untuk memeriks dan memutus perkara pelanggaran HAM
yang berat dan sudah tentu yang dimaksud dengan
perkara pelanggaran HAM yang berat ini adalah perkara
pelanggaran

HAM

yang

berat

yang

terjadi

sesudah

berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 pada


tanggal 23 November 2000.

2. Lingkup Kewenangan Relatif


Di samping menentukan tentang tempat kedudukan dari
Pengadilan, pasal 3 ayat (1) menentukan bahwa lingkup
kewenangan relatif atau kompetensi relatif dari pengadilan
HAM yaitu daerah hukum Pengadilan HAM meliputi daerah
hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Sampai
sekarang belum dibentuk Pengadilan HAM pada setiap
Pengadilan Negeri.1

B. PENGADILAN HAM Ad hoc


Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak ada
ketentuan yang menyebutkan apa yang di maksud dengan
pengadilan HAM ad hoc, tidak seperti halnya apa yang dimaksud
1 R. Wiyono. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Kencana Prenada
Media Group, Jakarta. 2006. Hlm. 19

dengan pengadilan HAM yang oleh pasal 1 angka 3 ditentukan


bahwa

yang

dimaksud

dengan

pengadilan

HAM

adalah

pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang berat.


Tetapi jika ketentuan yang terdapat dalam pasal 1 angka 3
tersebut, kemudian dikaitkan dengan pasal 43 ayat (1) yang
menentukan bahwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi
sebelum di undangkannya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000
diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc, maka dapat
diketahui bahwa apa yang dimaksud dengan pengadilan HAM ad
hoc adalah pengadilan khusus yang memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran HAM yang berat, yang terjadi sebelum
diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 pada
tanggal 23 november 2000.
Dalam

pertimbangan

@okum

dari

putaran

Mahkamah

Konstitusi Nomor 18 /PUU-V/2007 disebutkan bahwa pengadilan


HAM ad hoc merupakan kekhususan dari pengadilan HAM dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ruang lingkup
pengadilan HAM yang diatur dalam Bab VIII UU Nomor 26 Tahun
2000.
Pasal 43 (2) menentukan bahwa pengadilan HAM ad hoc
dibentuk atas ususl DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan
keputusan presiden.
Sedangkan penjelasan pasal 43 ayat (2) menyebutkan
dalam hal DPR mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad
hoc,

DPR

mendasarkan

pada

pelanggaran HAM yang berat

dugaan

telah

terjadinya

yang dibatasi pada locus dan

tempus deliciti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya


Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

Dari ketentuan yang terdapat dalam pasal 43 ayat (1) jo.


Ayat

(2)

beserta

penjelasannya

dapat

diketahui

lingkup

kewenangan dari pengadilan HAM ad hoc, sebagai berikut :


1. Lingkup kewenangan absolut
Lingkup kewenangan absolut atau kompetensi absolut dari
pengadilan HAM ad hoc, sebagai berikut :
a. Memeriksa dan memutus pelanggaran HAM yang berat
terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26
Tahun 200 pada tanggal 26 November 2000.
b. Pelanggaran HAM yang berat tersebut terbatas hanya
yang terjadi pada tempat atau tempat-tempat dan waktu
yang ditentukan dalam keputusan presiden tentang
pembentukan pengadilan HAM ad hoc.
2. Lingkup kewenangan relatif
Lingkup kewenangan relatif atau kompetensi relatif dari
pengadilan HAM ad hoc adalah seperti yang ditentukan dalam
keputusan presiden tentang pembentukan pengadilan HAM ad
hoc tersebut.
Sebagai contoh mengenai lingkup kewenangan absolut dan
relatif dari pengadilan HAM ad hoc adalah dengan keputusan
Presiden Nomor 53 Tahun 2000 yang kemudian diubah dengan
keputusan presiden Nomor 96 Tahun 2001 telah dibentuk
pengadilan HAM ad hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Didalam keputusan presiden tersebut ditentukan bahwa
pengadilan HAM ad hoc pada pengadilan Negeri Jakarta Pusat
mempunyai

wewenang

untuk

memeriksa

dan

memutus

perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor


Timur dalam wilayah hukum liquica, Dill dan Soae pada bulan
April 1999 dan bulan September 1999 dan yang terjadi di
Tanjung Priok pada bulan September 1984.
C. KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Lembaga nasional hak asasi manusia merupakan sebuah


badan yang menangani persoalan-persoalan hak asasi manusia,
terutama dalam kerangka memajukan dan melindungi hak asasi
manusia. Secara internasional institusi ini dimaksudkan sebagai
rekan

kerja

Komisi

HAM

PBB

di

tingkat

nasional.

Maka,

sebagaimana Komisi HAM PBB lembaga nasional hak asasi


manusia

merupakan

salah

satu

mekanisme

pemajuan/perlindungan hak asasi manusia.


Di Indonesia, lembaga nasional tersebut adalah Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang pada awal
berdirinya dibentuk berdasarkan Keppres No. 50 tahun 1993 dan
dalam perkembangannya diperkuat dengan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Keberadaan lembaga ini secara internasional dipandu oleh
Prinsip-Prinsip Paris 1991, mengenai Status dan Fungsi Institusi
Nasional untuk Melindungi dan Memajukan Hak Asasi Manusia. Di
dalamnya

mencakup

yurisdiksi

lembaga,

kemandirian

dan

pluralitas yang harus tercermin dalam komposisi maupun cara


beroperasinya.

Prinsip-Prinsip Paris2
Baik di ranah masyarakat sipil maupun di pemerintahan

terdapat

banyak

lembaga

yang

pekerjaannya

menyentuh

persoalan hak asasi manusia, sama seperti Komisi Nasional Hak


Asasi Manusia (Komnas HAM). Dengan realitas demikian posisi
lembaga nasional hak asasi manusia harus berdiri di antara
pemerintah

dan

masyarakat

sipil,

suatu

lembaga

quasi

pemerintah.

2 Rhona K. M Smith dkk. Hukum Hak Asasi Manusia. PUSHAM UII,


Yogyakarta. 2008. Hlm. 283

Di satu pihak meskipun sebuah lembaga Negara, Komnas


HAM tidak menggantikan institusi pengadilan atau lembaga
legislatif melainkan melengkapi fungsi tersebut. Di pihak lain,
lembaga ini harus tetap independen dari eksekutif maupun
lembaga pemerintah lainnya. Sehubungan dengan hal itu pada
pertemuan internasional, lembaga nasional hak asasi manusia
tidak dapat berbicara atas nama pemerintahnya. Statusnya
dalam ranah internasional berbeda dengan status pemerintah
maupun organisasi non pemerintah.
Prinsip

independensi

juga

diatur

dalam

ketentuan

perundang-undangan mengenai hak asasi manusia yaitu pada


penjelasan Pasal 1 butir 7 Undang- Undang Nomor 39 Tahun
1999 yang menyatakan bahwa: Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat
dengan lembaga @okum@ lainnya yang berfungsi melaksanakan
pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi
hak asasi manusia.
Dalam hubungan antara pemerintah dan masyarakat sipil
Komnas HAM memiliki posisi yang unik. Meskipun instansi ini
didirikan oleh Pemerintah/ Negara, Komnas HAM tetap tidak
memihak kepadanya. Demikian pula dengan masyarakat sipil,
Komnas HAM harus dapat melepaskan diri dari pengaruh
Pemerintah, maupun pengaruh pihak-pihak lain yang minta
perlindungan dan penegakan hak asasinya kepada Komnas HAM.
Prinsip independensi Komnas HAM memiliki @okum@@t yang
luas. Di antaranya adalah yang terletak pada anggota Komnas
HAM itu sendiri. Komnas HAM membutuhkan anggota dengan
integritas yang tidak diragukan, yang dapat bersikap independen
terhadap berbagai kekuasaan terutama kekuasaan negara.

Termasuk di dalamnya jauh dari adanya konflik kepentingan


pribadi.
Prinsip
Komposisi

Pluralisme.
lembaga

Prinsip-prinsip

nasional

dan

Paris

menyatakan

penunjukan

anggota-

anggotanya, baik melalui pemilihan atau cara lain, harus


dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang memuat semua
jaminan yang diperlukan untuk memastikan perwakilan yang
beragam dari kekuatan @okum@ yang terlibat dalam pemajuan
dan perlindungan hak asasi manusia.
Prinsip ini harus tercermin dalam keanggotaan Komnas
HAM dengan latar belakang yang beragam. Keragaman ini
penting untuk menjaga legitimasi publik, legitimasi politik,
independensi dan representasi masyarakat. Anggota Komnas
HAM, misalnya tidak dapat berasal dari mereka yang berlatar
belakang

aparat

Negara

semata.

Keragaman

juga

harus

dicerminkan dalam keterwakilan perempuan. Meski demikian


keragaman tidak dapat menghilangkan kualitas dari anggota
yang bersangkutan. Salah satu cara untuk menjamin keragaman
dan kualitas yang baik adalah dengan melakukan proses
pemilihan anggota secara terbuka dan demokratis.

Tujuan dan Fungsi KOMNAS HAM


Dalam upaya pemberian perlindungan terhadap hak asasi manusia, di
samping diperlukan instrumen hukum, baik instrumen hukum internasional
(berupa konvensi) maupun instrumen hukum nasional (berupa peraturan
perundang-undangan), juga diperlukan instrumen yang bersifat kelembagaan.3
Tujuan dibentuknya Komnas HAM adalah untuk:
a. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan Hak Asasi
Manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 dan

3 Rozali Abdullah, dkk. Perkembangan HAM Dan Keberadaan Peradilan


Ham di Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta. 2002. Hlm 28.

10

Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa, serta Deklarasi Universal Hak


Asasi Manusia dan
b. Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna
berkembangnya

pribadi

manusia

Indonesia

seluruhnya

dan

kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan (pasal


75 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999)4
Untuk mencapai tujuan tersebut, Komnas HAM melakukan
empat (4) fungsi pokok, yaitu:
1.
2.
3.
4.

Pemantauan.
Penelitian/pengkajian.
Mediasi.
Pendidikan.
Sejak itu pelaksanaan empat fungsi tersebut dibagi

dalam 4 sub komisi yaitu Sub Komisi Pemantauan, Sub Komisi


Penyuluhan, Sub Komisi Pengkajian/ Penelitian dan Sub Komisi
Mediasi. Dalam hubungan keluar Komnas HAM bertindak
sebagai satu kesatuan dan anggota sub komisi dapat
bertugas di sub komisi yang lain.
D. KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA (KPAI)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah lembaga
independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka
meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (yang selanjutnya akan
disebut dengan KPAI) dibentuk untuk merespon berbagai laporan
tentang

adanya

kekerasan,

penelantaran

dan

belum

terpenuhinya hak-hak dasar anak di Indonesia. Keputusan politik


untuk

membentuk

dorongan

dunia

KPAI

juga

tidak

internasional.

dapat

dilepaskan

Komunistas

dari

internasional

4 Ibid hlm 29

11

menyampikan keprihatinan mendalam atas kondisi anak di


Indonesia.
Banyaknya kasus pekerja anak, anak dalam area konflik,
pelibatan anak dalam konflik senjata (childs soldier) seperti yang
terjadi di Aceh, tingginya angka putus sekolah, busung lapar,
perkawinan di bawah umur, trafficking, dan lain sebagainya telah
memantik perhatian komunitas internasional untuk menekan
pemerintah Indonesia agar membuat lembaga khusus yang
bertugas memantau kondisi perlindungan anak di Indonesia.
Tekanan internasional ini didasari

oleh kondisi bahwa

Konvensi tentang Hak Anak (Convention on the Righs of Child)


adalah salah satu @okum@@tiv hak asasi manusia internasional
yang paling cepat dan paling banyak diratifikasi oleh berbagai
@okum@ di dunia. Dalam waktu yang sangat dingkat Konvensi
tentang Hak Anak diratifikasi oleh seluruh @okum@ anggota PBB,
kecuali Amerika

Serikat dan Somalia. Oleh karenanya, banyak

kalangan yang mengatakan bahwa Konvensi tentang Hak Anak


bersifat universal, @okum@ menyamai universalitas Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Dorongan
memaksa

komunitas

pemerintah

internasional

Indonesia

di

tersebut

bawah

kemudian

kepemimpinan

Soeharto untuk mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 tahun


2002

tentang

Perlindungan

Anak

yang

mengamanatkan

pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).


Secara teknis, amanat pembentukan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia ditindaklanjuti dengan pembuatan Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990 dan terakhir dengan Keputusan
Presiden Nomor 77 Tahun 2003.
Tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah :

12

1. Melakukan

sosialisasi

seluruh

ketentuan

peraturan

perundang- undangan yang berkaitan dengan perlindungan


anak,

mengumpulkan

pengaduan

data

dan

masyarakat,

pemantauan,

evaluasi,

informasi,

melakukan
dan

menerima
penelaahan,

pengawasan

terhadap

penyelenggaraan perlindungan anak;


2. Memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan
kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. KPAI
terdiri dari 9 orang berupa 1 orang ketua, 2 wakil ketua, 1
sekretaris,

dan

anggota

yang

terdiri

dari

unsur

pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi


@okum@, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi,
lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha dan kelompok
masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.
Salah satu keunikan KPAI adalah lembaga ini diperkenankan
oleh

peraturan

perundang

undangan

untuk

membentuk

kelompok kerja di masyarakat dan juga membentuk perwakilan


di daerah yang keduanya ditetapkan oleh Ketua KPAI. KPAI
bertanggungjawab

langsung

kepada

Presiden

dan

masa

kenggotaannya adalah selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat


kembali untuk satu kali masa jabatan. Mekanisme kerja Komisi.
Perlindungan

Anak

Indonesia

didasarkan

pada

prinsip

pemberdayaan, kemitraan, akuntabilitas, kredibilitas, efektifitas,


dan efisiensi.
E. KOMISI

NASIONAL

ANTI

KEKERASAN

TERHADAP

PEREMPUAN
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau sering
disingkat sebagai Komnas Perempuan adalah sebuah institusi hak asasi manusia
yang dibentuk oleh negara untuk merespon isu hak-hak perempuan sebagai hak
asasi manusia, khususnya isu kekerasan terhadap perempuan. Karena mandatnya

13

yang spesifik terhadap isu kekerasan terhadap perempuan Dan pelanggaran hakhak perempuan maka ada yang mengkategorikan Komnas Perempuan sebagai
sebuah insitusi hak asasi manusia yang spesifik,444 berbeda dengan Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang bersifat lebih umum
mencakupi seluruh aspek dari hak asasi manusia.
Komnas Perempuan didirikan pada tahun 1998 berdasarkan Keputusan
Presiden No. 181 tahun 1998, sebagai jawaban pemerintah atas desakan kelompok
perempuan terkait dengan peristiwa yang dikenal sebagai tragedy Mei 1998--di
mana terjadi perkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa di beberapa
daerah di Indonesia.445 Pada saat itu, negara dianggap telah gagal memberi
perlindungan kepada perempuan korban kekerasan. Oleh karena itu, negara,
dalam hal ini pemerintah yang diwakili oleh Presiden RI, Habibie, menganggap
bahwa negara harus bertanggungjawab kepada korban dan kemudian melakukan
upaya yang sistematis untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan.

Mandat Komnas Perempuan


Berdasarkan Keputusan Presiden No. 181 tahun 1998 yang

diperbaharui dalam Peraturan Presiden (PerPres) No. 65 tahun


2005, maka keberadaan. Komnas Perempuan bertujuan untuk :
1. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan
segala

bentuk

kekerasan

terhadap

perempuan

dan

penegakan hak-hak asasi perempuan di Indonesia;


2. Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Dalam mencapai tujuan tersebut, Perpres No. 65 tahun 2005
meletakkan

tugas

yang

harus

dijalankan

oleh

Komnas

Perempuan, yang meliputi penyebarluasan pemahaman, kajian


dan

penelitian,

pemantauan,

rekomendasi

dan

kerjasama

regional dan internasional dengan penjabaran sebagai berikut:


1. Menyebarluaskan

pemahaman

atas

segala

bentuk

kekerasan terhadap perempuan (KTP) Indonesia dan upaya-

14

upaya pencegahan dan penanggulangan serta penghapusan


segala bentuk KTP;
2. Melakukan Kajian
peraturan
berbagai

dan

perundang@okum@@tiv

penelitian
undangan

terhadap
yang

internasional

yang

berbagai

berlaku

serta

berlaku

serta

@okum@@tiv internasional yang relevan bagi perlindungan


hak asasi manusia perempuan;
3. Melaksanakan pemantauan termasuk pencarian fakta dan
pendokumentasian

tetang

pelanggaran

asasi

hak

segala

bentuk

manusia

KTP

perempuan

dan
serta

penyebarluasan hasil pemantauan kepada @okum@ dan


pengambilan

langkah-langkah

yang

mendorong

pertanggungjawaban dan penanganan;


4. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah,
lembaga

@okum@@tive

dan

yudikatif

serta

organisasi-

organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan


pengesahan

kerangka

@okum

dan

kebijakan

yang

mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan


segala bentuk KTP Indonesia serta perlindungan, penegakan
dan pemajuan hak asasi manusia perempuan;
5. Mengembangkan kerjasama regional dan internasional guna
meningkatkan
penanggulangan

upaya-upaya
segala

bentuk

pencegahan
KTP

Indonesia

dan
serta

perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia


perempuan.
Sebagai lembaga hak asasi manusia nasional, maka dalam
menjalankan tugasnya Komnas Perempuan bersandar pada
pengakuan

internasional

dan

standar-standar

internasional

tentang hak asasi manusia dan pendekatan hak asasi manusia


baru yang integral di mana Hak Asasi Perempuan merupakan
Hak Asasi Manusia dan Kekerasan terhadap Perempuan adalah
Pelanggaran HAM.

15

F. KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI


Untuk Mempercepat proses menentukan kebenaran dan mewujudkan
rekonsiliasi nasional Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia memberikan alternatif penyelesaian perkara pelanggaran hak
asasi manusia yang berat, dilakukan di luar Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Menurut penjelasan Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(selanjutnya
alternatif

disingkat

KKR)

penyelesaian

bertujuan

pelanggaran

untuk

berat

memberikan

HAM

di

luar

pengadilan. Yang dimaksud dengan pelanggaran yang terjadi


pada masa lalu, yaitu sebelum undang-undang ini berlaku (Pasal
47 ayat (1)). Pasal 47 ayat (2) mengisyaratkan pembentukan KKR
dengan undang-undang. Sebagai acuan dari berbagai bentuk
KKR yang pernah dipraktekkan di @okum@ lain. KKR Indonesia
cenderung mengikuti model KKR
Menurut

Pasal

kelembagaan

yang

UUKKR

bersifat

KKR

public

mempunyai

untuk

mencari

fungsi
dan

mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran berat HAM dan


melaksanakan rekonsiliasi.

Untuk menjalankan fungsi tersebut

KKR mempunyai tugas:


1 Menerima pengaduan atau laporan dari pelaku, korban,
atau keluarga korban (ahli warisnya);
2 Melakukan penyelidikan dan klarifikasi atas pelanggaran
bera HAM;
5 Penjelasan umum UUKKR mempertegas proposisi ini: Undang-undang
ini tidak mengatur tentang proses penuntutan hukum, tetapi: (1)
pengungkapan kebenaran; (2) pemberian kompetensi , restitusi dan/atau
rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli
warisnya; dan (3) pertimbangan amnesti. Juga Pasal Pasal 3 tentang tujuan
KKR.

16

3 Memberikan rekomendasi kepada Presiden dalam hal


permohonan amnesti;
4 Menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah dalam
hal pemberian kompensasi dan/atau rehabilitasi;
5 Menyampaikan laporan tahunan dan laporan

akhir

tentang pelaksanaan tugas dan wewenang berkaitan


dengan perkara yang ditangninya kepada presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat dengan tembusan kepada
Mahkamah Agung. (Pasal 6 UUKKR)
Dalam rangka tugasnya KKR mempunyai kewenangan :
a Melaksanakan penyelidikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b Meminta keterangan kepada korban, ahli waris korban,
pelaku dan/atau pihak lain di dalam maupun di luar
negeri;
c Meminta dan mendapatkan dokumen resmi di instasni
sipil atau militer serta badan lain, baik yang ada di dalam
maupun luar negeri;
d Melakukan koordinasi dengan intansi terkait, baik di dalam
maupun di luar negeri untuk memberikan perlindungan
kepada korban, saksi,pelapor, pelaku, dan barang bukti;
e Memanggil setiap orang yang terkait untuk memberikan
f

keterangan dan kesaksian;


Memutuskan
pemberian,

kompensasi,

restitusi,

rehabilitasi
g Menolak permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi,
atau

amnesty

apabila

perkara

Pengadilan Hak Asasi Manusia.

sudah

didaftar

di

(Pasal 7 ayat (1)

UUKKR).
Permasalahan lebih bersifat teoritis yang diharapkan
mampu dipecahkan KKR ketimbang institusi peradilan

17

dikemukakan oleh Karlina Leksomo Supelli , berikut


ini :
Pengadilan hanya berpusat di kasus tertentu dengan tujuan
menunjukkan keterlibatan
tidak

memberi

langsung pelaku individual , tetapi

gambaran

pelanggaran/kejahatan

lebih
hak

besar
asasi

mengenai

yang

terjadi

pola
secara

sistematik dalam kurun waktu sangat panjang. Padahal , gambar


besar inilah yang diperlukan untuk memberikan pemahaman
tentang

politik

kekerasan

penguasa

yang

menyebabkan luka sangat dalam baik di tataran

telah
individu

maupun masyarakat.
KKR Indonesia terdiri dari 3 (tiga) subkomisi, yaitu : Subkomisi
Penyelidikan dan Klarifikasi atas Pelanggaran HAM yang Berat; Subkomisi
Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi; dan Subkomisi Pertimbangan Amnesti
(Pasal 16 UUKKR). Terkait dengan isu hukum penelitian ialah Subkomisi
Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi yang kewenangannya adalah sebagai
berikut :
1 Membuat pedoman pemberian kompensasi , restitusi , dan
atau rehabilitasi bagi korban datau keluarganya (ahli
waris);
2 Melakukan
kelengkapan

klarifikasi

kepada

syarat-syarat

korban

permohonan

dan

memeriksa

dalam

rangka

pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada


korban atau keluarganya (ahli waris);
3 Mengusulkan kepada Komisi bentuk-bentuk pemberian
kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang bersifat umum
untuk memulihkan hak dan martabat korban dan atau
keluarganya (ahli waris) (Pasal 20 UUKKR).
Ketentuan paling krusial ada di Pasal 27 UUKKR yang
berpotensi menciptakan ketidakadilan. Pembentuk undang18

undang

tidak

menyangkut

memahami

prinsip

konsep

tanggung

dan

gugat

teori

HAM

@okum@

atas

pelanggaran HAM sehingga Pasal 27 mengatur pemberian


kompensasi

dan

rehabilitasi

hanya

jika

permohonan

amnesti dikabulkan. A contrario, @okum@ terbebas dari


kewajiban reparasi jika tidak ada amnesti. Ketentuan ini
tidak mengantisipasi kemungkinan pelaku tidak dapat
bertanggung jawab atas perbuatannya atau ketika diajukan
ke pengadilan HAM (ad hoc) diputus tidak bersalah.
Solusinya ialah korban tidak dapat mengajukan uji materiil
ke MK terhadap pasal ini dikaitkan dengan Pasal 28I ayat
(4) UUD 1945 dan kewajiban internasional @okum@ untuk
melakukan reparasi (supra subjudul E pada Bab I).
Pasal

28

UUKKR

mengatur

bahwa

ketika

korban

pelanggaran berat HAM dan pelau telah saling memaafkan dan


melakukan

perdamaian,

KKR

dapat

mempertimbangkan

pemberian rekomendasi amnesty kepada presiden. Konsekuensi


yuridis jika amnesty dikabulkan presiden ialah pelaku tidak dapat
lagi diproses secara pidana maupun perdata. Menurut Pasal 44
UUKKR , terhadap pelanggaran berat HAM yang diselesaikan
melalui KKR, pengadilan ad hoc tidak mempunyai kewenangan
untuk memeriksa dan memutuskannya. Dibandingkan dengan
KKR Afrika Selatan, perbedaannya dengan KKR Indonesia adalah
tentang kewenangan di bidang amnesty. KKR Afrika Selatan
berwenang untuk memberikan amnesty; sementara di Indonesia,
sesuai dengan @okum@ konstitusional presiden (Pasal 6 huruf c,
Pasal

22

dan

Pasal

25

UUKKR).

Komparasi

dengan

KKR

memperjelas pemahaman terhadap problematik yang dihadapi


oleh KKR sebagai upaya hukum dalam rangka reparasi kepada
korban pelanggaran HAM.

19

BAB III

20

PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

21

R. Wiyono. 2006. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Kencana


Prenada Media Group
Abdullah, Rozali dkk. 2002. Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan
HAM di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Kurnia, Titon Slamet. 2005.

Reparasi (Reparation) Terhadap Korban

Pelanggaran HAM di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.


Riyadi, Eko dkk. 2007. Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian
Multiperspektif). Yogyakarta: PUSHAM UII
Smith, Rhona K.M dkk. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta:
PUSHAM UII

22

Anda mungkin juga menyukai