Anda di halaman 1dari 23

BAB I

LAPORAN KASUS
I.

II.

IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Alamat
Agama
Suku
Status
Tinggi Badan
Berat Badan
Golongan Darah
Tanggal Masuk

: Nn. Septiana Suyono


: 15 tahun
: Jl. Balai Rakyat V , Jakarta Utara
: Islam
: Jawa
: Pelajar
: 155 cm
: 50 kg
:O
: 6 Mei 2015

ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA : Nyeri perut kanan bawah
KELUHAN TAMBAHAN

:-

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 1 minggu
SMRS hilang timbul. Keluhan demam, batuk pilek , mual , dan muntah
disangkal. Riwayat buang air besar normal
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mempunyai riwayat asma sejak kecil. Pasien mengalami serangan
asma 2 jam sebelum operasi. Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan untuk
mengatasi serangan asma.
Riwayat diabetes, hipertensi dan jantung disagkal.

III.

Riwayat Alergi obat


Disangkal
PEMERIKSAAN FISIK
Tekanan darah
: 120/80 mmhg
Frekuensi nadi
: 88 x/menit
Frekuensi nafas
: 18x/menit
Suhu
: 36, 8 C
Sirkulasi
: Konjungtiva anemis -/-, BJ I & II reguler, murmur (-)
gallop (-), EKG sinus ritme, Foto Thorax dalam batas
Respirasi

normal.
: snv +/+, Rhonki -/- Wheezing -/-, Airway Clear,
Mallapati I, Gigi tanggal - , gigi goyang -

Saraf

: Kesadaran kompos mentis, GCS E4M6V5, pupil isokor

GIT

3mm/3mm,
Refleks cahaya +/+
: cembung, BU (+) normal. Nyeri tekan dan lepas Mc
Burney(+), Blumberg sign( -), Rovsing sign (-). Hasil
Appendikogram

dengan

kontras

Barium

didapatkan

kontras lancar mengisi caecum, colon ascenden, colon


transversum dan colon descenden. Appendiks terisi
Renal
IV.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hb
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
Masa perdarahan
Masa pembekuan
SGOT
SGPT
Ureum
Creatinin
Natrium
Kalium
Clorida
GDS

V.
VI.

VII.

VIII.

kontras, kaliber kecil dan permukaan irregular.


: BAK jernih, disuri (-), nyeri ketok ginjal -/-

: 14.4 g/dl
: 7.64 ribu/ul
: 40.3%
: 344 ribu/ul
: 3 Menit
: 12 Menit
: 13 U/L
: 15 U/L
: 24 mg/dl
: 0.8mg/dl
: 140,56 mmol/L
: 3,8 mol/L
: 102,08 mmol/L
: 110 mg/dl

ASA : 3
PENATALAKSANAAN
Rawat inap
Observasi Tekanan Darah, Frekuensi Nadi, dan Frekuensi Nafas
Periksa DL, SGOT, SGPT, Ureum, Creatinin, masa pembekuan, masa perdarahan
Rencana appendektomi
Pasang : 3 lpm
IVFD : RL I kolf + metil prednisolone 5 mg
Persiapan Pre-operasi
Surat persetujuan operasi dan anestesi
O2 2 4 lpm
IVFD RA (total cairan masuk 200 mL)
Di kamar operasi
1.Langkah Tindakan Anestesi
Persiapan:
A. Menyiapkan meja operasi dan aksesorisnya
B. Menyiapkan mesin dan alat anestesi
2

C. Menyiapkan obat-obat anesthesia yang diperlukan


D. Menyiapkan obat-obat resusitasi; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat, dll
E. Menyiapkan tiang infus, plester, dll
F. Memasang monitor, saturasi O2, tekanan darah dan EKG
2. Teknik anastesi:
1.Pasien posisi duduk di atas meja operasi
Dilakukan tindakan a-antiseptis
Ditusukkan jarum spinocam No. 26 pada L3-L4
LCS (+), jernih
2. dimasukkan Bupivacaine 0.5% 20 mg kemudian fentanyl 25 mcg di L3 L4
3. Medikasi
A. Propofol 380 mg
B. Ondansentron 4 mg
IX.

X.

Monitoring cairan yang masuk dan keluar


a. Cairan Masuk
i. Pre operasi
: RA 200 ml
ii. Durante Operasi
: RA 1050 ml
b. Cairan Keluar
i. Pre operasi
: 100 ml
ii. Durante operasi
:
1. Perdarahan
: Suction 200 ml + kasa besar 50 ml + kasa
kecil 40 ml
2. Urin
: 300 ml
Pemeriksaan Fisik Post Operasi
B1
: Airway paten , napas spontan, RR 16 x/menit, Rh (-), Wh (-)
B2
: Akral hangat, kering, kemerahan; nadi 88 x/menit, reguler, kuat angkat;
B3
B4
B5
B6

TD 110/70 mmHg; CRT< 2; S1S2 single regular, murmur (-)


: kontak (+), compos mentis
: terpasang kateter 16 fr, urin (+) 100cc warna kuning jernih
: BU (+), luka operasi bersih
: mobilitas (+), mampu menggerakkan kedua ekstremitas atas, sedangkan

ekstremitas bawah masih

belum bisa digerakkan , edema (-), sianosis (-),

anemis(-), ikterik (-), CRT<2detik


XI.

Post Operasi
Bila kesakitan inj. Tramadol 100 mg iv
Bila mual/muntah inj ondansentron 4g i.v
Makan/minum : boleh minum 1 sdm tiap 15 menit
Infus : RL/D 5% selama 24 jam
Monitor tekanan darah, frekuensi nadi dan pernafasan
Setelah post operasi : pasien tirah baring aja, boleh mika miki

BAB II
3

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pengelolaan pasien dengan penyakit asma selama pembedahan membutuhkan
terapi khusus berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium yang seksama untuk
mengurangi komplikasi selama dan pasca operasi. Masalah paru adalah penyebab
umum morbiditas dan mortalitas selama pembedahan. Berdasarkan frekuensinya,
1,2-4% pasien yang menjalani prosedur bedah mayor dilaporkan
penyakit

asma.

Komplikasi

pada

pasien

dengan

penyakit

mempunyai
paru

telah

didokumentasikan, hanya 3% dari pasien dengan pra operasi normal fungsi paru yang
akan berkembang menjadi atelektasis atau pneumonia, sedangkan 70% dari pasien
dengan penyakit paru obstruktif kronik dengan perubahan fungsi paru akan menemui
beberapa kesulitan. Shnider melaporkan bahwa 6,5%

pasien tanpa gejala asma

sebelumnya mengalami bronkospasme selama operasi. Gold dan Helrich menemukan


24% insiden dari operasi dan komplikasi pasca operasi pada populasi asma, sangat
berbeda kejadiannya dengan 14% dalam kelompok kontrol.
Asma merupakan kelainan yang banyak terjadi pada 5-7% populasi. Jenisnya
berupa inflamasi dan hipereaktivitas bronkus sebagai respon terhadap berbagai
macam stimulasi. Secara klinis, asma dimanifestasikan sebagai episode serangan
sesak nafas yang reversible akibat kontraksi otot polos bronkus, edema dan
peningkatan sekresi.
Gejala-gejala asma yang umum terjadi seperti sesak napas, batuk, whezing, dan
sampai sulit bernapas. Penyebab klasik yang memicu terjadinya asma antara lain:
substansi udara seperti polutan, serbuk sari, debu, dan beberapa uap kimia. Stimulasi
psikologi (seperti emosi, stres, cemas), cuaca, penggunaan obat NSAID (seperti
aspirin, ibuprofen), olah raga. Infeksi saluran napas oleh karena virus.2
Berdasarkan penyebabnya asma dapat dibagi menjadi dua macam, asma
ekstrinsik (asma alergi), asma intrinsik (asma yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik). Pada asma ekstrinsik biasanya pada anak-anak dan dipicu oleh alergen,
asma intrinsik dipicu oleh faktor-faktor non alergen seperti infeksi saluran napas oleh
virus, emosi, iritasi saluran napas, dan olah raga. Pada asma intrinsik umumnya pada
orang dewasa.
Asma dapat timbul pada semua kelompok umur. Terdapat peningkatan
prevalensi asma baik pada negara maju ataupun pada negara berkembang. Meskipun
angka kematian karena asma rendah tetapi penykit ini mempunyai dampak yang
4

cukup besar karena penderita asma sering mengalami serangan sehingga mengganggu
aktivitas kerja ataupun kehilangan hari sekolah.11
Pada umumnya pasien dengan gangguan fungsi paru derajat tertentu yang
mengalami pembedahan masih memiliki kemampuan toleransi terhadap gangguan
pernapasan pasca bedah. Tetapi pasien dengan penyakit paru memiliki peluang resiko
yang lebih tinggi terjadinya komplikasi paru pasca bedah dibandingkan pasien yang
normal, oleh karena itu diperlukan pengelolaan perioperatif yang memadai untuk
mencegah komplikasi tersebut.

BAB III
ISI

DEFINISI ASMA
Penyakit asma adalah penyakit kronik yang merupakan gangguan inflamasi
saluran pernafasan yang dihubungkan dengan hiperesponsif, keterbatasan aliran udara
yang reversible dan gejala pernafasan.
Menurut GINA (Global Initiative for Asma) asma didefinisikan sebagai gangguan
inflamasi kronik saluran napas respiratorik dengan banyak sel yang berperan, khususnya
sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan
episode wheezing berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya
malam hari atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan saluran
respiratorik yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel
baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan
hiperaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan.8
Asma adalah penyakit saluran napas kronik akibat terjadinya peningkatan
kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan. Pada penderita yang peka hal ini
menyebabkan munculnya serangan batuk, bunyi mengi, banyak dahak, sesak napas, dan
tidak enak didada terutama pada malam hari atau pagi hari.15
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensivitas cabangcabang tracheobronchial terhadap pelbagai jenis rangsang. Keadaan ini bermanifestasi
sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik dan reversibel akibat
bronkospasme. 15
Patofisiologi Asma
Pathofisiologi asma melibatkan pelepasan mediator kimiawi ke jalan napas dan
mungkin pula adanya aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf parasimpatis. Substansi
yang terhirup dapat menimbulkan bronkospasme melalui respon imun spencifik dan non
spencifik oleh daya degranulai sel mast bronkial. Pada asma alergi yang klasik antigen
berikatan dengan Ig E di permukaan sel mast dan menyebabkan degranulasi,
bronkokontriksi merupakan hasil dari pelepasan histamin berikutnya : bradiknin;
leukotrien C, D, dan E; platelet activating-factor, prostaglandin (PG), PGE2, PGF2 alfa,
dan PGD2; dan factor netrofil eosinofil kemotaktik.2 Sedikitnya ada 2 jenis T-helper
(Th), limpfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun
kedua jenis lifosit T mensekresi IL-3 dan granulocyte-macrophage colony-stimulating
factor (GM-CSF), Th1 terutama memproduksi IL-2, IF- dan TNF-. Sedangkan Th2
terutama memprodusi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13,
dan IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggung jawab atas terjadinya reaksi
hipersensivitas tipe lambat maupun yang cell mediated. Langkah pertama terbentuknya
6

respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel
aksesoris yaitu suatu proses yang melibatkan molekul MHC/major histocompatibility
complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada ael T CD8+). Sel
dendritik adalah merupakan antigen presenting cell yang utama dalam saluran napas. Sel
dendritik terbentuk perkusornya didalam sumsum tulang dan membentuk jaringan luas
dan sel-selnya saling berhubungan pada epitel saluran respiratorik. Kemudian sel-sel
tersebut bermigrasi kekumpulan sel-sel limfoid dibawah pengaruh GM-CSF yaitu sitokin
yang terbentuk oleh aktivitas sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag dan sel mast. Setelah
antigen ditangkap, sel dendritik berpindah menuju daerah yang banyak mengandung
limfosit. Dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai
antigen presenting cell (APC) yang efektif. Sel dendritik juga mendorong polarisasi selT
nave-Th0 menuju Th2 yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk pada
klaster kromosom 5q31-33 (IL-4 genecluster). 8
Pada asma baik dengan atau tanpa mekanisme alergi memiliki kelabilan
bronkus abnormal yang memudahkan penyempitan saluran napas oleh banyak faktor,
saluran napas ini seakan-akan merupakan persarafan -adrenergik yang tidak kompeten,
dan banyak bukti memberikan paling tidak secara fungsional terdapat hambatan partial
pada reseptor adrenergik pada penderita asma yang khas ini. Penyempitan saluran
respiratorik pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor. Penyebab utama penyempitan
saluran respiratorik adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan
agonis dari sel-sel inflamasi. Yang termasuk agonis adalah histamin, triptase,
prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast, neuropepetida dari saraf aferen
setempat dan asetilkolin dari saraf postganglionik. Kontraksi otot polos saluran
respirtorik diperkuat oleh penebalan dinding saluran napas akibat edema akut, infiltrasi
sel-sel inflamasi dan remondeling, hiperplasia dan hipertropi kronis otot polos, vaskuler
dan sel-sel sekretori serta deposisi matrik pada diding saluran respiratorik. Selain itu
hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak,
kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar
melalui mikrovaskuler bronkus dan debris seluler.16
Peran serotonin, suatu bronkokonstriktor, belum diketahui pada manusia.
Sistim saraf parasimpatik memainkan peran penting dalam menjaga tonus normal
bronkial. Aktifasi reflek vagal terjadi pada bronkokontriksi yang dimediasi oleh
peningkatan siklik guanosin monofosfat intraseluler (cGMP). 2
Selama serangan asma, bronkokontriksi, oedem mukosa, dan sekresi yang terjadi
akan meningkatkan tahanan aliran gas disetiap tempat jalan napas yang lebih rendah.
7

Tahanan jalan napas kembali normal pertama kali pada jalan napas yang lebih besar
(bronki utama, lobar, segmental dan sub segmental), kemudian baru perifer. Laju
ekspirasi menurun melampaui kapasitas vital paksa (force vital capacity) tetapi pada
pemulihan serangan laju rata-rata ekspirasi menurun hanya pada volume paru rendah.
Volume residu (RV), TLC, FRC semua menurun. PaCO2 normal atau tinggi
menunjukkan bahwa pasien tidak dapat mempertahankan kerja napas lagi dan hal ini
sering merupakan tanda adanya gagal napas (impending). Pulsus paradoksus dan
gambaran EKG renggangan ventrikel kanan (perubahan ST, deviasi aksis kanan, dan
RBBB) menunjukan obstruksi jalan napas berat.2

Gambar 1. Patogenesis Asma

Gambar 2. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik

Etiologi Asma
Herediter
Kebiasaan : polusi udara, stress, makanan
Alergi : rokok, udara dingin, anjing, kucing, debu
8

Obat : obat nyeri seperti NSAID

Gejala dan tanda asma


Mengi saat ekspirasi
Batu berat pada malam hari dada sesak yang terjadi berulang dan nafas tersengal

sengal.
Hambatan pernafasan yang reversibel secara bervariasi selama siang hari.
Adanya peningkatan gejala pada saat olah raga, infeksi virus, paparan terhadap

alergan, dan peruahan musim.


Terbangun malam hari dengan gejala tersebut diatas.

Klasifikasi Asma
Berdasarkan etiologi :
Asma intrinsik
Asma yang tidak disebabkan oleh faktor lingkungan.
Asma ekstrinsik
Penyakit asma yang berhubungan dengan atopi, predisposisi genetik yang
berhubungan dengan IgE sel mast dan respon eosinofil terhadap alergan.
Ditinjau dari berat ringannya penyakit
DERAJAT

GEJALA

GEJALA MALAM FUNGSI PARU

ASMA
INTERMITEN Gejala < 1x/minggu
Mingguan
Tanpa gejala di luar serangan
Serangan singkat
Fungsi paru asimtomatik dan

< 2 kali sebulan

VEP1 atau APE >


80%

normal di luar serangan.


PERSISTEN
RINGAN
Mingguan

Gejala > 1x/minggu tapi <

1x/hari
Serangan dapat mengganggu

> 2 kali
seminggu

VEP1 atau APE >


80%
normal

aktivitas dan tidur.


PERSISTEN
SEDANG
Harian

Gejala harian
> sekali
Menggunakan obat setiap hari seminggu
Serangan mengganggu aktivitas

dan tidur
Serangan 2x/minggu, bisa

VEP1 atau APE >


60% tetapi < 80%
normal

berhari hari
PERSISTEN
BERAT

Gejala terus menerus

Sering

VEP1 atau APE <


80% normal

Kontinu

Aktivitas fisik terbatas

Sering serangan

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di


Indonesia, 2004
Ditinjau Dari Gejala Klinis
1. Serangan asma ringan : dengan gejala batuk, mengi dan kadang-kadang sesak, Sa
O2 95% udara ruangan, PEFR lebih dari 200 liter per menit, FEV 1 lebih dari 2 liter,
sesak nafas dapat dikontrol dengan bronkodilator dan faktor pencetus dapat
2.

dikurangi, dan penderita tidak terganggu melakukan aktivitas normal sehari-hari.


Serangan asma sedang : dengan gejala batuk, mengi dan sesak nafas walaupun
timbulnya periodik, retraksi interkostal dan suprasternal, SaO2 92-95% udara
ruangan, PEFR antara 80-200 liter per menit, FEV1 antara 1-2 liter, sesak nafas

3.

kadang mengganggu aktivitas normal sehari-hari.


Serangan asma berat : dengan gejala sesak nafas telah mengganggu aktivitas
sehari-hari secara serius, disertai kesulitan untuk berbicara dan atau kesulitan untuk
makan, bahkan dapat terjadi serangan asma yang mengancam jiwa yang dikenal
dengan status asmatikus. Asma berat bila SaO 2 91%, PEFR 80 liter per menit, FEV 1
0,75 liter dan terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas berat seperti pernafasan
cuping hidung, retraksi interkostal dan suprasternal, pulsus paradoskus 20 mmHg,
berkurang atau hilangnya suara nafas dan mengi ekspirasi yang jelas.

Terapi :
Non Farmakologi yaitu melalui pencegahan
Farmakologi dengan menggunakan obat
o Short acting 2 agonsts (salbutamol, terbutalin)
o Antiklinergik
o Kortikosteroid
PENANGANAN ANESTESI PREOPERATIF
Evaluasi Preoperatif
Evalusi pasien asma sebelum tindakan anestesi dan pembedahan sangat penting
untuk mencegah ataupun mengendalikan kejadian asma attack, baik intraoperatif
maupun postoperatif. Maka diperlukan evaluasi yang meliputi riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan fungsi paru-paru, dan analisa gas darah,
foto rontgen thorax.16
1. Riwayat Penyakit
Meliputi lama penyakitnya, frekwensi serangan, lama serangan atau berat
serangan, faktor-faktor yang memperngaruhi serangan, riwayat penggunaan obat-obatan
10

dan hasilnya, riwayat perawatan dirumah sakit, riwayat alergi (makanan, obat,
minuman), Riwayat serangan terakhir, beratnya, dan pengobatannya. 4 Bila baru-baru ini
mendapat infeksi saluran napas atas dan menimbulkan serangan maka operasi elektif
sebaiknya ditunda 4-5 minggu untuk mencegah reaktifitas jalan napas.3
2. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan napas yang
terjadi. Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak, sianosis, ekspirasi
memanjang, Palpasi takicardi. Perkusi hipersonor, auscultasi whezing, ronchi. 4 Tandatanda serangan asma berat meliputi penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, tidak
mampu berhenti napas pada saat bicara, sianosis, sedikit atau tidak ada whezing (jalan
napas tertutup, sedikit gerakan udara, dan whezing menurun).5
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pada asma eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah eosinofil ini
selain untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi kortikosteroid dan dapat juga untuk
membedakan asma dengan bronchitis khronis. Pada pemeriksaan sputum selain
didapatkan eosinofil, juga dapat ditemukan adanya kristal charcat leyden, spiral
churschman dan mungkin juga miselium aspergilus fumigates.4
4. Pemeriksaan Rontgen Thorax
Pada umumnya hasil normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut umumnya
dilakukan bila ada kecurigaan adanya proses patologi diparu atau adanya komplikasi
asma seperti pneumothorax, pneumomediastinum, atelektasis, pneumonia. Kadang
didapatkan gambaran air trapping, diafragma datar karena hiperinflasi, jantung mengecil
dan lapang paru yang hiperluscen.5
5. Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri)
Untuk mengetahui kondisi klinis pasien asma perlu dilakukan pengukuran aliran
udara ekspirasi yaitu volum ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) dan arus puncak
ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila dibandingkan dengan hasil pengukuran
sebelumnya. Normalnya nilai volum ekspirasi paksa (FEV1) untuk laki-laki adalah lebih
dari 3 liter dan lebih 2 liter untuk wanita. Nilai normal arus puncak ekspirasi (PEFR)
adalah lebih dari 200 L/.mnt ( pada laki-laki dewasa muda lebih dari 500 L/mnt). Nilai
PEFR kurang dari 200 L/mnt pada pria ( < 150 L/mnt pada wanita) menunjukkan
gangguan efektivitas batuk dan akan meningkatkan komplikasi pasca bedah. Hasil FEV1
atau PEFR < 50% menunjukan asma sedang sampai berat. Nilai PEFR < 120 l/mnt atau
FEV1 1 liter menujukan obstruksi berat. Pemeriksaan ini penting dilakukan karena
sering terjadi ketidaksesuaian gambaran klinis asma dengan fungsi paru. Penderita yang
11

baru sembuh dari serangan akut atau penderita asma kronik sering tidak mengeluh, tetapi
setelah diperiksa ternyata obstruksi saluran napas. Pemeriksaan ini diindikasikan pada
pasien-pasien yang menderita penyakit paru-paru sedang sampai berat yang menjalani
operasi yang berdampak pada sistem respirasi.Pemeriksaan ini juga dapat memprediksi
terhadap resiko komplikasi paru postoperatif dan memprediksi kebutuhan bantuan
ventilasi dan respon pengobatan (Bronkodilator).2
Hubungan asma dengan pemeriksaan spirometri :
Keadaan Klinik

% FEV/FVC

Normal

80-100

Asma Ringan

75-79

Asma Sedang

50-74

Asma Berat

35-49

Status Asmatikus

<35

6. Pemeriksaan Analisa gas darah


Pemeriksaaan analisa gas darah biasanya dilakukan pada penderita dengan
serangan asma yang berat. Keadaaan ini bisa terjadi hipoksemia, hiperkapnia, dan
asidosis respiratorik. Kondisi yang berat akan meningkatkan resiko komplikasi paruparu.4
7. Fisioterapi dada.
Merupakan istilah umum yang dipakai untuk membersihkan jalan napas. Indikasi
fisoterapi dada dapat akut dan sebagai profilaksis. Keadaan akut untuk dilakukan
fisioterapi adalah pada pasien- pasien dengan retensi sputum yang berlebihan atau
abnormal akibat batuk yang terus menerus atau pada pasien yang batuknya sangat
lemah.3
Pengelolaan preoperatif
Langkah pertama persiapan penderita dengan gangguan pernapasan yang
menjalani pembedahan adalah menentukan reversibilitas kelainan. Proses obstruksi yang
reversible adalah bronkospasme, sekresi terkumpul dan proses inflamasi jalan napas.
Obstruksi yang tidak reversible dengan bronkodilator misalnya adalah empisema, tumor.3
Pasien dengan bronkospasme yang frekuen harus diobati dengan preparat bronkodilator
yang berisi -adenergik agonis, dosis terapi teopilin dan kortikosteroid. 2 Pada pasien
12

dengan serangan asma balans cairan dan elektrolit perlu dipelihara, pada kondisi ini
pasien sering mengalami dehidrasi.5
Terapi medis
Preparat yang digunakan untuk asma adalah sebagai berikut :
a. Simpatomimetik, atau beta 2 adrenergik agonis, menyebabkan bronkodilatasi melalui
relaksasi otot polos yang diperantarai oleh Cyclic adenosine monophosphate (cAMP).
Obat-obat ini juga menghambat antihistamin dan juga neurotransmiter kolinergik.
1)
Obat dengan selective beta 2 adrenergik. Misalnya albuterol(ventolin) 2 puffs
atau lebih dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam.
Salmeterol(serevent)

puff

dengan

MDI

setiap

12

jam

dan

metaproterenol(Alupent) 2 atau lebih puffs dengan MDI setiap 3-4 jam atau
0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam. Pasien-pasien yang menggunakan terapi bloker hendaknya bloker yang tidak menimbulkan spasme bronkus seperti
2)

atenolol atsumetropolol atau esmolol.3


Obat dengan campuran beta 1 dan beta 2 adrenergik meliputi epinefrin
(adrenalin) dan isoproteronol. Potensi kronotropik dan aritmogenik obat-obat ini
perlu diperhatikan pada pasien dengan penyakit jantung. Pemberian intervena
dosis kecil epinefrin (1g/mt) dipertimbangkan pada pasien bronkospasme. Pada
dosis 0,25-1g/mt efek agonis beta 2 dominan, dengan meningkatkan denyut
jantung akibat stimulasi betal adrenergik. Pada dosis tinggi epinefrin, efek alfa

adrenergic menjadi dominan, dengan peningkatan tekanan darah sistemik.


b. Parasimpatolitik
Mempunyai efek bronkodilatasi langsung dengan memblok kerja asetilkolin pada
second messenger seperti cGMP. Obat-obat ini meningkatkan FEV1 pada pasien
PPOK bila diberikan secara inhalasi.
Ipratropium bromide, merupakan obat aksi singkat yang diberikan dengan inhaler

dosis terukur atau dengan nebulizer.


Sulfas atropine, 0,2-0,8 mg perlu diprtimbangkan karena dapat menyebabkan
takikardi.

c. Metilxantin
Menyebabkan bronkodilatasi melalui hambatan fosfodiesterase, suatu enzim yang
bertanggung jawab pada pemecahan cAMP. Efek pulmoner obat ini lebih komplek
termasuk pelepasan katekolamin, blockade pelepasan histamine, dan stimulasi
diafragma. Teofilin kerja panjang peroral digunakan pada pasien dengan gejala
nocturnal. Namun sayangya teofilin memiliki terapi range yang sempit, level terapi
13

dalam darah sekitar 10-20g/ml. level yang lebih rendah mungkin efektif. Aminofilin
merupakan satu-satu yang dapat diberikan secara intravena.
d. Kortikosteroid diberikan pada pasien yang tidak berespon terhadap bronkodilator.
Mekanisme kerjanya kemungkinan dengan menurunkan inflamasi, edema, sekresi
mukosa, kontriksi otot polos, stabilisasi membran mast sel. Meskipun sangat berguna
pada eksaserbasi akut, efek klinisnya membutuhkan waktu beberapa jam. Steroid
dapat diberikan melalui inhalasi. Steroid intravena yang sering digunakan meliputi
hidrokortisone 100 mg tiap 8 jam dan metilpredisolon 0,5 mg/kg setiap 6 jam pada
asma bronkiale dan dosis lebih besar pada eksaserbasi asma berat. Kortikosteroid
dapat meningkatkan efek langsung pada otot polos, kortikosteroid juga meningkatkan
jumlah reseptor beta 2 adrenergik dan responnya terhadap agonis beta 2 adrenergik.
e. Kromolin, merupakan obat inhalasi yang digunakan untuk profilaksis pada asma.
Bekerja dengan menstabilisasi membrane sel mast dan mengumpulkan pelesan akut
mediator bronkoaktif. Obat ini tidak berguna pada serangan akut bronkospasme.
f. Mukolitik
Asetilsitein, diberikan melalui nebulisasi, dapat menurunkan viskositas mucus
dengan memecahkan ikatan disulfide pada mukoprotein.
Premedikasi
Tujuan utama untuk menghilangkan cemas, meminimalkan reflek bronkonstriksi
terhadap iritasi jalan nafas.
a.

Beberapa jam sebelum operasi sedasi yang diinginkan pada pasien asma dapat
diberikan untuk operasi elektif pada pasien terutama penyakit yang memiliki
komponen emosional. Secara umum, benzodiazepin adalah agen yang paling aman
untuk premedication. Sedatif ( Benzodiazepin) adalah efektif untuk anxiolitik tetapi
pada pasien dengan asma berat dapat menyebabkan depresi pernapasan. Sedasi ini

b.

c.

penting diberikan pada pasien dengan riwayat asma yang dipicu oleh emosional.
Narcotik(Opioid). Penggunaan sebagai analgesia dan sedasi sebaiknya dipilih yang
tidak mempunyai efek pelepasan histamin misalnya fentanil, sufentanil14
Agen antikolinergik tidak diberikan kecuali pemberian dilakukan jika terdapat
sekresi berlebihan atau penggunaan ketamin sebagai agen induksi. Antikolinergik

d.

tidak efektif untuk mencegah reflek bronkospasme oleh karena tindakan intubasi.2
H2 antagonis (Cimetidin, Ranitidin) penggunaan agen pemblok H2 secara teori dapat
mengganggu, karena aktivasi reseptor H2 secara normal akan menyebabkan
bronkodilatasi dengan adanya pelepasan histamin, aktivitas H1 yang tanpa hambatan
dengan blokade H2 dapat menimbulkan bronkokonstriksi.2
14

e.

Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inheler atau kortikosteroid
inheler obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi. Dianjurkan pemberian
kortikosteroid parenteral ( Methilprednisolon 40-80 mg) 1-2 jam sebelum induksi
anestesi.6 Bronkodilator harus diberikan sampai proses pembedahan selesai, pasien
yang mendapatkan terapi lama glukokortikoid harus diberikan tambahan untuk
mengkompensasi supresi adrenal. Hidrokortison 50-100 mg sebelum operasi dan

f.

100mg/8 jam selama 1-3 hari post operasi.2,9


Pada penderita asma intubasi dapat diberikan lidocain 1-1,5 mg/kgBB atau Fentanyl
1-2 mcg/kgBB dapat menurunkan reaktifitas laring terhadap ETT. Pemberian
anestesi inhalasi menggunakan halothan/enfluran pada stadium dalam dapat
mengatasi spasme bronkial berat yang refrakter.9,10

PENANGANAN ANESTESI INTRAOPERATIF


Sesuai dengan bidang kecabangan anestesi, suatu pemahaman masalah
pathofisiologi yang mendasar adalah lebih penting pada pilihan tehnik anestesi khusus
atau obat. Pilihan tekhnik bisa regional anestesi saja, dengan pasien tetap sadar, mampu
mengontrol sistem napasnya sendiri, dan pada situasi lain diperlukan kombinasi general
anestesi dengan regional anestesi, karena pertimbangan atau untuk mengendalian nyeri
postoperatif.
A. Regional Anestesi
Spinal anestesi atau epidural adalah pilihan pada pembedah ektrimitas bawah.
Pada pasien asma pernapasannya tergantung pada penggunaan otot-otot tambahan
(intercostal untuk inspirasi, otot perut untuk ekspirasi paksa). Spinal anestesi dapat
memperburuk kondisi jika hambatan motorik menurunkan FRC, mengurangi
kemampuan untuk batuk dan membersihkan lendir atau memicu gangguan respirasi atau
bahkan terjadi gagal napas. Spinal tinggi atau epidural anestesi dapat memperburuk
bronkokontriksi karena terhambatnya tonus simpatis pada jalan napas bawah(T1-T4) dan
menyebabkan aktifitas parasimpatis tidak terhambat. Kombinasi tehnik epidural dan
anestesi umum dapat menjamin kontrol jalan napas, ventilasi adekuat, dapat mencegah
hypoxemia dan atelectasi. Pada prosedur pembedahan perifer yang panjang sebaiknya
dilakukan dengan general anestesi. Faktor-faktor penting yang menghalangi keberhasilan
penggunaan regional anestesi seperti pasien tidak tahan berbaring lama dimeja operasi

15

dalam waktu lama, batuk spontan dan tidak terkendali dapat membahayakan yaitu pada
tahap kritis pembedahan.
B. Anestesi Umum
Waktu paling kritis pada pasien asma yang dianestesi adalah selama
instrumentasi jalan napas. Nyeri, stress, emosional atau rangsangan selama anestesi
dangkal dapat menimbulkan bronkospasme. Obat-obatan yang sering dihubungkan
dengan pelepasan histamin (seperti curare, atracurium, mivacurium, morfin, meperidin)
harus dicegah atau diberikan dengan sangat lambat jika digunakan. Tujuan dari anestesi
umum adalah smooth induction dan kedalaman anestesi disesuaikan dengan stimulasi.
Pemilihan agen anestesi tidak sepenting dalam pencapaian anestesi yang dalam sebelum
intubasi dan stimulasi pembedahan.
Penggunaan laryngeal mask airway LMA) menurunkan bronkospasme, tapi tidak
menghilangkan resiko bronkospasme sebagai akibat dari tindakan laringkoskopi. Resiko
tambahan pada penggunaan LMA ketidak mampuan untuk ventilasi selama
bronkospasme karena tekanan inspirasi dapat menambah penutupan LMA pada laring.
Yang paling bagus LMA proseal yang dapat mengatasi keterbatasan itu.
1. Agent Inhalasi
Agent inhalasi anestesi seperti halothan akan menyebabkan bronkodilatasi dan
dapat digunakan untuk mencegah terjadinya bronkospasme. Halothan berpengaruh pada
diameter airway dengan cara memblok reflek airway dan efek langsung relaksasi otot
polos airway. Namun hati-hati dalam penggunaannya pada pasien dengan gangguan
jantung karena efek depresi miokardial dan efek aritmianya. Isofluran dan desfluran
dapat pula menimbulkan bronkodilator dengan derajat yang setara tetapi harus dinaikkan
secara lambat karena sifatrnya iritasi ringan di jalan napas. Sevofluran tidak terlalu
berbau (tidak menusuk) dan memiliki efek bronkodilator serta sifatnya tidak iritasi di
jalan napas. Agen inhalasi halothane lebih efektif sebagai bronkodilator dibandingkan
dengan isoflurane, namun bila dibandingkan dengan desfluran, desflurane dapat
menyebabkan batuk dan dapat mencetus bronkospasme. Namun halotan tidak ideal pada
pasien yang menderita kelainan jantung karena halotan dapat mengakibatkan disaritmia
karena efek katekolamin release. Alternatif lain untuk menurunkan reflek pada jalan
nafas dapat diberikan 1,5 mg/kg i.v 1-3 menit sebelum intubasi.
2. Obat-Obat Induksi Intravena
Untuk induksi anestesi dapat digunakan obat-obat yang mempunyai onset kerja
yang cepat. Contoh obat induksi yang dapat digunakan adalah thiopenton, propofol, dan
16

ketamin. Ketamin, satu-satunya agen intravena dengan kemampuan bronkodilatasi,


dengan menghambat re-uptake nonadrenalin pada ujung syaraf simpatis sehingga
berefek bronkodilatasi.
Tiopenton paling banyak digunakan untuk usia dewasa tetapi kadang-kadang
dapat menimbulkan bronkospasme karena adanya pelepasan histamin, beberapa hasil
penelitian menyebutkan bahwa thiopenton dapat menyebabkan bronkokonstriksi melalui
reseptor 2, menimbulkan kontraksi dan mengaktifkan mekanisme umpan balik negatif
dengan membatasi pelepasan ACH lebih lanjut akibat stimulasi yang terus berlangsung.
Oleh karena itu blok reseptor 2 dapat menghambat ACH dan potensiasi
bronkokonstriksi yang disebabkan aktivitas vagal (biasanya karena iritan) 14 propofol dan
ethomidat dapat sebagai alternatif.
Ketamin dan propofol dapat digunakan untuk mencegah dan mereverse
bronkokonstriksi melalui mekanisme utama penekanan neural dan melalui penekanan
langsung aktivitas otot polos airway. Dari hasil suatu penelitian, walaupun keduanya
terbukti dapat digunakan untuk terapi bronkokonstriksi, ketamin dikatakan lebih poten
daripada propofol.16 Propofol dengan dosis 2,5 mg/kgBB dapat menurunkan insidensi
whezing setelah intubasi dibanding dengan penggunaan metohexital dengan dosis setara
yaitu 6 mg/kgBB. Dibandingkan dengan benzodiazepin, propofol lebih menguntungkan
karena faktor onset yang cepat dan akhit cepat pula. 16 Ketamin mempunyai efek
bronkodilatasi selain efek analgesik untuk menghindari efek depresi respirasi, ketamin
diberikan dengan pelan-pelan, ketamin juga mempunyai efek meningkatkan sekresi
kelenjar saliva dan tracheobronchial. Efek ini dapat dicegah dengan menggunakan
antisialogogue seperti atropin ataupun gycopyrrolate.17
Reflek brokospasme dapat dicegah sebelum intubasi dengan pemberian tambahan
tiopenton 1-2 mg/kgBB, pasien diventilasi dengan 2-3 MAC agen volatil selama 5 menit
atau diberikan lidocain intravena atau intratracheal 1-2 mg/kgBB. Tetapi perlu di ingat
lidocain sendiri dapat memicu bronkospasme jika dosis tiopenton tidak adekuat. Dapat
juga dengan antikolinergic (atropin 2 mg atau glikoperolat 1 mg) tetapi dapat
menyebabkan takikardi.
Penggunaan morfin masih diperdebatkan karena aktivitas pelepasan histamine.
Opioid mempunyai efek analgesi dan sedasi, tapi penggunaannya sebaiknya dititrasi
untuk menghindari depresi respirasi, terutama pada pasien dengan disfungsi paru berat.
Kodein dan morfin pada dosis besar dapat mencetus pelepasan histamin.
3. Muscle Relaxant
17

Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam penggunan muscle relaxan adalah
perlu tidaknya mereverse kerjanya. Dengan menghambat penghancuran ACH endogen,
inhibitor cholinesterase seperti neostigmin dapat meningkatkan sekresi jalan napas dan
dapat menimbulkan bronkospasme. Efek ini dapat dicegah dengan penggunaan antagonis
muscarinik seperti atropin 1 mg atau glycopyrrolate 0,5 mg untuk meminimalkan efek
samping muskarinik. Alternatif lain dapat digunakan muscle relaxan short acting.
Meskipun suksinilkolin dapat menyebabkan pelepasan histamin tetapi secara umum
dapat digunakan dengan aman pada kebanyakan pasien asma. Obat muscle relaksan
selama maintenance sering digunakan adalah non depolarisasi, dimana dihindari obat
yang histamine release seperti atrakurium. Secara teori obat antagonis non depolarisasi
neuromuscular menghambat antikolinesterase yang akan mengakibatkan bronkospasme.

Terapi Bronkospasme Intraoperatif


Bronkospasme pada intraoperatif ditunjukan dengan wheezing, munculnya
penurunan volume tidal ekshalasi atau munculnya suatu kenaikan pelan dari gelombang
dicapnograf, hal ini dapat diatasi dengan mendalamkan anestesinya. Jika tidak hilang
maka perlu dipikirkan hal lain seperti sumbatan tube endotracheal dari kekakuan, balon
yang terlalu keras, intubasi endobronchial, tarikan aktif karena anestesi dangkal, oedem
pulmo atau emboli dan pneumothorak semua dapat menyebabkan bronkospasme.2
Bronkospasme harus ditangani dengan suatu beta adrenergik agonist baik secara aerosol
atau inheler kedalam jalur inspirasi dari sirkuit napas (gas pembawa yang menggunakan
dosis

terukur

dapat

berinterferensi

dengan

pembacaan

massa

spectrometer).

Hidrokortison intervena (1,5-2 mg / kg) dapat diberikan, terutama pada pasien dengan
riwayat terapi glukokortikoid.2 Tehnik pemberian ini adalah secara matered dose inheler,
berikan 5-10 puff obat tersebut kedalam jalan napas bagian bawah. Asma sedang sampai
berat perlu diterapi dengan aminopillin intravena, terbutalin(0,25 mg) atau keduanya.
Pasien yang tidak menerima aminopillin preoperatif perlu diberikan aminopillin bolus 56 mg/kgBB intravena lebih dari 20 menit diberikan pemeliharaan 0,5-0,9 mg/kgBB.
Pasien asma dengan serangan asma berat sebaiknya diberikan ventilasi bantuan untuk
mempertahankan PaO2 dan PCO2 pada level normal, kecepatan ventilasi yang rendah
(6-10 napas/menit) volume tidal yang rendah dan waktu ekshalasi yang panjang.9
Apabila terjadi bronkospasme yang berat terjadi managemen yang harus dilakukan :
Oksigenasi dengan pemberian oksigen 100%
Mendalami anestesi dengan meningkatkan agen volatile
18

Aminophillyn 5-7 mg/kg i.v secara pelan-pelan


Ipratropium bromide 0,25 mg nebulizer, adrenalin bolus I.v (10g=0,1 ml),

ketamin 2 mg/kg magnesium 2 gr i.v secara lambat


Hidrokortison 200 mg i.v.
Penurunan diameter airway yang disebabkan bronkokontriksi yang berat dapat

mempengaruhi distribusi gas dalam paru. Dampak akibat penurunan ventilasi pada
beberapa unit paru-paru dengan rasio ventilasi dan perfusi yang lebih rendah dapat
menyebabkan hipoksemia arterial. Vasodilatasi pulmoner akibat pemberian beberapa
bronkodilator dapat memperberat rasio ventilasi perfusi yang sudah rendah ini. Oleh
karena itu pada pasien-pasien yang teranestesi, yang penting adalah meningkatkan
konsentrasi gas oksigen inspirasi menjadi 100% pada saat terjadi bronbkospasme. Hal ini
tidak hanya meminimalkan derajat hipoksia arteial tetapi juga meyakinkan tekanan
partial oksigen dalam alveoli.14
Pada akhir pembedahan sebaiknya pasien sudah bebas wheezing, aksi pelemas
otot nondepolarisasi perlu direvese dengan anticholin esterase yang tidak memacu
terjadinya bronkospasme, bila sebelumnya diberikan antikolinergik dengan dosis sesuai.
Ekstubasi dalam perlu dilakukan sebelum terjadi pulihnya reflek jalan napas normal
untuk mencegah brokospasme atau setelah pasien asma sadar penuh. Lidocain bolus 1,52 mg/ kgBB diberikan intravena atau dengan kontinue dosis 1-2 mg/ mnt dapat menekan
reflek jalan napas.2
PENANGANAN POST OPERATIF
Kontrol nyeri post operasi yang bagus adalah epidural analgesia. NSAID harus
dihindari karena dapat mencetus terjadinya bronkospasme. Oksigenasi harus tetap
diberikan. Pasien asma yang selesai menjalani operasi pemberian bronkodilator
dilanjutkan lagi sesegera mungkin pada pasca pembedahan. Pemberian bronkodilator
melalui nebulator atau sungkup muka. Sampai pasien mampu menggunakan MDI
(Meteroid Dose Inheler) sendiri secara benar.3,13
1.
2.
3.
4.
5.

Buka penutup dan pegang inheler tegak


Kocok inhaler
Angkat sedikit kepala kebelakang dan ekshalasi sampai frc
Tempatkan inheler memakai spacer (pemisah) antar aktuator dan mulut
Tekan kebawah (on) inheler sementara sambil menarik napas pelan dan dalam 3-5

detik
6. Tahan inspirasi paling sedikit 5-10 detik bila mungkin agar obat mencapai paru-paru

19

7. Ulangi inhalasi sebagai berikut tunggu 1 menit setelah inhalasi, bronkodilator bisa
membuat inhalasi berikutnya masuk lebih dalam ke paru-paru dan ini perlu untuk
memberikan dosis yang benar
8. Bilas mulut dan keluarkan setelah memakai inhaler
Pasien akan memperoleh manfaat dari terapi MDI specer bila memenuhi kriteria
sebagai berikut;3
1. Frekuensi pernapasan < 25 kali/menit
2. Mampu menahan napas selama 5 detik atau lebih
3. Kapasitas vital > 15 ml/kgbb
4. Mampu komunikasi verbal dan mengikuti instruksi
5. Koordinasi tangan-mulut-inspirasi memadai
6. PEFR 150 Lt/menit untuk wanita dan > 200 Lt/menit untuk pria
Pada akhir pembedahan pasien harus bebas whezing, Reversal pemblok
neuromuskular

nondepolarising

dengan

antikolinesterase

tidak

menimbulkan

brokospasme jika diberikan dosis antikolinergik yang tepat. Pasien yang teridentifikasi
resiko tinggi perlu dimasukkan ke unit monitoring post operatif, dimana fisioterapi dada
dan suction dapat dilakukan. Penanganan nyeri post operatif adalah hal yang penting
menurunkan bronkospasme.17 Masalah berikut yang terjadi pasca bedah adalah
penurunan volume paru akibat anestesi dan pembedahan. Secara fisiologi hal tersebut
oleh karena terjadi penurunan VA (Ventilasi Alveolar) dan FRC (Functional Residual
Capacity). Penurunan VA diaebabkan oleh penurunan volume semenit atau VE atau oleh
peningkatn dead speace (VD). Penurunan VE pada pasca bedah disebabkan pengaruh
anestesi, narkotik, sedasi, pelemas otot atau penyakit neuromuskuler, atau myesthenia
gravis, Guillain Barre, lesi pada medula spinalis servikalis, cedera pada neervus
phrenicus. Peningkatan VD terjadi oleh emboli paru, penurunan curah jantung,
bronkospasme. Penurunan FRC biasanya disebabkan oleh atelektasis, edema paru, dan
pneumonia. Penyebab atelektasis oleh karena ventilasi tidak adekuat,intubasi
endobronkhial, penekanan atau traksi pembedahan, pelemas otot, efusi pleura, cedera
nervus phrenicus. Penurunan FRC pada posisi tegak ke posisi terlentang merupakan
predisposisi timbulnya atelektasis sehingga mobilisasi dini akan menurunkan angka
kejadian komplikasi ini. Latihan napas dalam dan incentive spirometry merupakan cara
yang sama efektifnya untuk mengembangkan paru dan mempertahankan FRC atau
dengan continous positive airway pressure (CPAP) dapat menghindarkan atelektasis
20

sama baiknya dengan latihan napas dalam. Disamping itu pengendalian nyeri secara
adekuat sejak awal pasca bedah akan mengurangi hambatan batuk dan napas dalam serta
mempermudah mobilisasi.3
Adapun Kriteria untuk perawatan di ICU :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Pasien yang butuh bantuan Ventilatory Support


FEV atau PEV < 50%
PCO2 > 50 mmHg
PO2 < 50 mmHg
Pasien nampak bingung dan lemah
Pasien yang membutuhkan monitoring terapi, cairan dan farmakologis
Pasien dengan major trauma , multitrauma, dan luka bakar berat apalagi disertai

instabilitas hemodinamika
8. Pasien major trauma yang dilakukan prosedur Damage Control Surgery
9. Pasien yang menjalani major surgery.

BAB IV
KESIMPULAN
1. Asma adalah satu keadaan klinis yang ditandai dengan episode berulang penyempitan
bronkus yang reversible, biasanya diantara episode terdapat pernapasan yang lebih
normal.
2. Penilaian terhadap reversibilitas penyakit penting dilakukan evaluasi pasien dengan
anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi,
pemeriksaan AGD dan pemeriksaan tes fungsi paru-paru.
3. Pasien dengan riwayat asma frekuen atau kronis perlu dilakukan pengobatan sampai
tercapai kondisi yang optimal untuk dilakukan operasi atau kondisi dimana gejalagejala asma sudah minimal.
4. Pencegahan bronkospasme pada saat operasi penting dilakukan terutama pada saat
manipulasi jalan napas.

21

5. Pemilihan obat-obatan dan tindakan anestesi perlu dipertimbangkan untuk


menghindari penggunaan obat-obatan dan tindakan yang merangsang terjadinya
bronkospasme atau serangan asma.

BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1.

William R. Solomon, 1995 : Pathofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit hal :

2.

149-161
Morgan G.E, 2006 : Anestesi for patients with Respiratory Disease in Clinical

3.

Anaesthesiology third edition, page : 571-576.


Indro Mulyono, 2000 : Pengelolaan Perioperatif pada penderita gangguan

4.

Pernapasan dalam PIB X IDSAI diBandung, hal : 111-133.


Karnen B, 1999 : Asma Bronchial dalam Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit

5.

FKUI, Jakarta, hal : 21-39.


Oberoi G, Phillip G, 2000 : Management of some Medical Emergency Situation,

6.

Mc. Graw Hill, page : 315-318


Stoelting R.K, 1999 : Pharmacology in Pharmacology and Physiology in Anaesthetic
Practice, Fourth edition, Lippincott William & Wilkins, page : 253-418.
22

7.

Kevin C. Dennehy and Kenneth E. Shepherd, 2002 : Specifik Consideration with


Pulmonary Disease in Clinical Anaesthesia Prosedures of the Massachusetts General

8.
9.

Hospital, six edition Lippincott Williams & Wilkins page : 33-41


Lenfant C, Khaltaev N. GINA. NHLBI/WHO Workshop Report 2002.
Mark R. Ezekeil, MD,MS. Pulmonary disease, Handbook of Anesthesiology, Current

Clinical Strategies, 2004-2005 edition page : 34-35


10. St. Mulyata.2004 : Clinical Problem Solving In Postanesthesia Care Unit dalam
Konggres Nasional VII IDSAI di Makasar, hal : 305-306.
11. Faisal Y, 2002 : Terapi Controller pada Asma dalam Pertemuan Ilmiah Paru Milenium
2002, Surabaya hal : 1-6.
12. Taib S, 2002 : Peran Kortikosteroid pada Serangan Asma dalam Pertemuan Ilmiah Paru
Milenium Surabaya, hal : 1-16.
13. William R. Solomon, 2002 : Pathologi, Konsep Klinis Proses-prose Penyakit hal: 171186.
14. Gal, TJ, 2002, Reactive airway Disease: Anesthetic Perspective, IARS 2002
Review Course Lectures, USA.
15. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2004, Pedoman Diagnosis dan
penatalaksanaan Asma di Indonesia. Penerbit FKUI, Jakarta.
16. Bouquet J, Jeffery PK. Busse WW, Jhonson M, Vignola AM, Asthma. From
bronchocontriction to airwy remondelling. Am J Respir Crit Care Med, 2000
; 161:1720-45.
17. Epstein L,L,1999 : Spesific Consideration With Pulmonary Disaeae in Clinical
Anaesthesia Prosedure Of Massechusetts General Hospital,6 ed, LippinCott
Wlliam & Wilkins, page: 6, 33-41, 259-261.
18. Shirly Murphy, MD, October 1997 : Practical Guide for the Management of
Asthma, University of NewMaxico. Page 32, 35.
19. Allman KG., Wilson IH., 2003 Asthma in Respiratory desease Oxford Handbook of
Anesthesia: 57-60

23

Anda mungkin juga menyukai