Anda di halaman 1dari 56

PRESENTASI KASUS

SEORANG ANAK LAKI-LAKI 26 BULAN DENGAN GLOBAL DELAYED


DEVELOPMENT DENGAN STATUS GIZI BAIK

Oleh :

Annisa Inayati

G99141013 /L 2-2015

Rindy Saputri

G00151044/ A 11-2016

Sri Retnowati

G00151045/ A 12-2016
Pembimbing :

Dra. Suci Murti Karini, MSi

KEPANITERAAN KLINIK SMF / BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2015

BAB I
STATUS PENDERITA
I IDENTITAS PENDERITA
Nama

: An. H

Usia

: 2 tahun 2 bulan

Tanggal Lahir

: 8 Oktober 2013

Berat Badan

: 13 kg

Tinggi Badan

: 100 cm

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Alamat

: Sukoharjo

Tanggal Pemeriksaan: 30 Desember 2015

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tumbuh Kembang
1. Definisi
Tumbuh kembang mencakup 2 peristiwa yang saling berkaitan, yaitu
pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan berkaitan dengan masalah
perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ,
maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat, ukuran panjang,
umur tulang, dan keseimbangan metabolik. Perkembangan adalah
bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola
yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil proses pematangan.1
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan peristiwa yang terjadi
secara simultan. Berbeda dengan pertumbuhan, perkembangan merupakan
hasil interaksi kematangan susunan saraf
dipengaruhinya,

misalnya

perkembangan

pusat dengan organ yang


sistem

neuromuskular,

kemampuan bicara, emosi, dan sosialisasi. Kesemua fungsi tersebut


berperan penting dalam kehidupan manusia yang utuh.
Seiring dengan berjalannya waktu, anak akan terus mengalami proses
pertumbuhan dan perkembangan. Proses tumbuh kembang anak memiliki
ciri-ciri yang satu sama lainnya saling berkaitan. Ciri-ciri tersebut antara
lain

perkembangan

menimbulkan

perubahan,

pertumbuhan

dan

perkembangan pada tahap awal menentukan perkembangan selanjutnya,


pertumbuhan dan perkembangan mempunyai kecepatan yang berbeda,
perkembangan

berkorelasi

dengan

pertumbuhan,

perkembangan

mempunyai pola yang tetap, serta perkembangan memiliki tahap yang


berurutan. 6,7
Selain memiliki ciri-ciri yang khusus, proses tumbuh kembang anak
juga memiliki prinsip-prinsip yang saling berkaitan. Prinsip-prinsip dapat
digunakan sebagai kaidah atau pegangan dalam memantau pertumbuhan
dan perkembangan anak. Terdapat dua prinsip proses tumbuh kembang,

yaitu perkembangan merupakan hasil proses kematangan dan belajar, serta


pola perkembangan dapat diramalkan.6,7
2. Tahap Tumbuh Kembang
Tumbuh kembang anak berlangsung secara teratur, saling berkaitan
dan berkesinambungan yang dimulai sejak konsepsi hingga dewasa.
Tumbuh kembang anak terbagi dalam beberapa periode. Periode tumbuh
kembang anak adalah sebagai berikut6,8:
a.

Masa prenatal atau masa intra uterin


Masa ini dibagi menjadi 3 periode, yaitu:
1) Masa zigot/mudigah, sejak saat konsepsi sampai umur kehamilan 2
minggu.
2) Masa embrio, sejak umur kehamilan 2 minggu sampai 8/12
minggu. Ovum yang telah dibuahi dengan cepat akan menjadi suatu
organisme, terjadi diferensiasi yang berlangsung cepat, terbentuk
sistem organ dalam tubuh.
3) Masa janin/fetus, sejak umur kehamilan 9/12 minggu sampai akhir
kehamilan. Masa ini terdiri dari 2 periode, yaitu masa fetus dini,
sejak umur kehamilan 9 minggu sampai trimester ke-2 kehidupan
intra uterin. Pada masa ini terjadi percepatan pertumbuhan,
pembentukan jasad manusia sempurna. Alat tubuh telah terbentuk
serta mulai berfungsi.
4) Masa fetus lanjut, yaitu trimester akhir kehamilan. Pada masa ini
pertumbuhan berlangsung pesat disertai perkembangan fungsifungsi. Terjadi transfer immunoglobulin G (IgG) dari darah ibu
melalui plasenta. Akumulasi asam lemak esensial seri Omega 3
(Docosa Hexanoic Acid) dan Omega 6 (Arachidonic Acid) pada
otak dan retina.

b. Masa bayi (umur 0 11 bulan)


Masa ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu:
1) Masa neonatal (umur 0 28 hari)
Pada masa ini terjadi adaptasi terhadap lingkungan dan terjadi
2) Masa post (pasca) neonatal (umur 29 hari 11 bulan)
Pada masa ini terjadi pertumbuhan yang pesat dan proses
pematangan

berlangsung

secara

terus

menerus

terutama

meningkatnya fungsi sistem saraf.


Pada masa ini, kebutuhan akan pemeliharaan kesehatan bayi,
mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan penuh, diperkenalkan
kepada makanan pendamping ASI sesuai umurnya, diberikan
imunisasi sesuai jadwal, mendapat pola asuh yang sesuai. Masa
bayi adalah masa dimana kontak erat antara ibu dan anak terjalin,
sehingga dalam masa ini pengaruh ibu dalam mendidik anak sangat
besar.
c. Masa anak dibawah lima tahun (umur 12 59 bulan)
Pada masa ini, kecepatan pertumbuhan mulai menurun dan
terdapat kemajuan dalam perkembangan motorik (motorik kasar dan
motorik halus) serta fungsi ekskresi. Periode penting dalam tumbuh
kembang anak adalah pada masa balita. Setelah lahir, terutama pada 3
tahun pertama kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan sel-sel otak
masih berlangsung dan terjadi pertumbuhan serabut-serabut saraf dan
cabang-cabangnya. Jumlah dan pengaturan hubungan-hubungan antar
sel saraf ini akan sangat mempengaruhi segala kinerja otak, mulai dari
kemampuan belajar, berjalan, mengenal huruf, hingga bersosialisasi.
Perkembangan moral serta dasar-dasar kepribadian anak juga
dibentuk pada masa ini, sehingga setiap kelainan/penyimpangan
sekecil apapun apabila tidak dideteksi dan ditangani dengan baik, akan
mengurangi kualitas sumber daya manusia dikemudian hari.

d. Masa anak prasekolah (umur 60 72 bulan)


Pada masa ini, pertumbuhan berlangsung dengan stabil. Terjadi
perkembangan dengan aktivitas jasmani yang bertambah dan
meningkatnya keterampilan dan proses berpikir. Pada masa ini, selain
lingkungan di dalam rumah maka lingkungan di luar rumah mulai
diperkenalkan. Pada masa ini juga anak dipersiapkan untuk sekolah,
untuk itu panca indra dan sistem reseptor penerima rangsangan serta
proses memori harus sudah siap sehingga anak mampu belajar dengan
baik. Perlu diperhatikan bahwa proses belajar pada masa ini adalah
dengan cara bermain.
3. Penilaian Tumbuh Kembang
a. Anamnesis
Tahap pertama adalah melakukan anamnesis yang lengkap, karena
kelainan perkembangan dapat disebabkan oleh berbagai factor. Dengan
anamnesis yang teliti maka salah satu penyebabnya dapat diketahui.
b. Skrining gangguan perkembangan anak
Pada tahap ini dianjurkan digunakan instrument-instrumen untuk
skrining guna mengetahui kelainan perkembangan anak, misalnya
dengan menggunakan DDST (Denver Developmental Screening Test),
tes IQ, atau te psikologik lainnya
c. Evaluasi lingkungan anak
Tumbuh kembang anak adalah hasil interaksi antara factor genetic
dengan lingkungan bio-psiko-psikososial. Oleh karena itu untuk
deteksi dini, kita jika harus melakukan evaluasi lingkungan anak
tersebut.

Misalnya

dapat

digunakan

HSQ

(Home

Screening

Questionaire)
d. Evaluasi penglihatan dan pendengaran anak
Tes penglihatan untuk anak umur kurang dari 3 tahun dengan tes
fiksasi, umur 2 tahun-3 tahun dengan kartu gambar dari Allen dan di

atas umur 3 tahun dengan huruf E. Juga diperiksa apakah ada


strabismus dan selanjutnya periksa kornea dan retina.
Sedangkan skrining pendengaran anak, melalui anamnesis atau
menggunakan audiometer kalau ada alatnya. Disamping itu juga
dilakukan pemeriksaan bentuk telinga, hidung, mulut dan tenggorokan
untuk mengetahui adanya kelainan bawaan.
e. Evaluasi bicara dan bahasa anak
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui apakah
kemampuan anak berbicara masih dalam batas-batas normal atau tidak.
Karena kemampuan berbicara menggambarkan kemampuan SSP,
endokrin, ada/tidak adanya kelainan bawaan pada hidung, mulut dan
pendengaran, stimulasi yang diberikan, emosi anak dsbnya.
f. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik diperlukan agar diketahui apakah terdapat
kelainan fisik yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Misalnya berbagai sindrom, penyakit jantung bawaan, tanda-tanda
penyakit defisiensi dll.
g. Pemeriksaan neurology
Anamnesis masalah neurology dan keadaan-keadaan yang diduga
dapat mengakibatkan gangguan neurology, seperti trauma lahir,
persalinan yang lama, asfiksia berat dsbnya. Kemudian dilakukan
tes/pemeriksaan neurology yang teliti, maka dapat membantu dalam
diagnosis suatu kelainan, misalnya kalau ada lesi intracranial, palsi
serebralis, neuropati perifer, penyakit-penyakit degeneratif dsbnya
h. Evaluasi penyakit-penyakit metabolic
Salah satu penyebab gangguan perkembangan pada anak adalah
penyakit metabolic. Dari anamnesis dapat dicurigai adanya penyakit
metabolic, apabila ada anggota keluarga lainnya yang terkena penyakit
yang sama.adanya tanda-tanda klinis seperti ramput yang pirang
dicurigai adanya PKU (phenylketonuria), disamping itu diperlukan
pemeriksaan penunjang lainnya yang sesuai dengan kecurigaan kita.

i. Integrasi dari hasil penemuan


Berdasarkan dari hasil anamnesis dan semua pemeriksaan tersebut
di

atas,

dibuat

suatu

kesimpulan

diagnosis

dari

gangguan

perkembangan tersebut. Kemudiaan ditetapkan penatalaksanaannya,


konsultasi kemana dan prognosisnya.
4. Tes-Tes Perkembangan
a. Tes intelegensi individual (Tes IQ)
1) Tes Stanford-Binet
Fungsi : mengukur intellegensi dan sudah distandardisasi. Skor
tersedia dalam umur mental atau dalam bentuk angka IQ
Umur : 2-24 tahun
Catatan : tes diberikan secara individual dan ada korelasi yang
tinggi dengan kemampuan sekolah.
2) LIPS (The Leiter International Performance Scale)
Fungsi : mengukur intellegensi dan sudah distandardisasi
Umur : 2-18 tahun
Catatan : tes diberikan secara individual dan ada korelasi yang
tinggi dengan hasil tes Stanford-Binet
3) WISC (The Wechsler Intelligence Scale for Children )
Fungsi : mengukur intellegensi dan sudah distandardisasi. Skor IQ
tersedia dalam dalam kemampuan verbal dan skala penuh
Umur : 6- 17 tahun
Catatan : tes diberikan secara individual dan ada korelasi yang
tinggi dengan hasil tes Stanford-Binet dan LIPS
4) WPPSI (Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence)
Fungsi : Verbal, penampilan dan scala penuh IQ
Umur

: 4 6 tahun.

5) McCarthy Scales of Childrens Abilities)


Fungsi : Indeks kognitif Umum (IQ ekivalen)
Skor untuk verbal, kuantitatif, memori, motorik
Umur:

2 - 8 tahun

b. Tes Prestasi
1) Gray oral reading test-revised (GORT-R)
Fungsi : Tes baca standar, yang hasilnya menunjukkan tingkat
terendah 1.4 atau gagal. Skor maksimum adalah tingkat sekolah
menengah.
Umur: kelas 1-12 (SD kelas 1 SMA kelas 3)
Catatan : diberikan secara individual dan hasilnya menunjukkan
korelasi yang tinggi dengan tingkatan sekolah.
2) WRAT (Wide Range Achievement Test)
Fungsi : untuk mengukur prestasi pelajar dalam bidang : berhitung,
mengeja, perbendaharaan kata-kata, dan pemahaman membaca.
Umur : 5 tahun dewasa
Catatan : Tes ini diberikan secara kelompok dan hasilnya
mempunyai korelasi dengan tingkat sekolah yang sebenarnya.
3) Peabody Individual Achievement Test
Fungsi :Untuk identifikasi kata-kata : mengeja, ilmu pasti,
membaca, dan informasi umum
Umur : 5-18 tahun
c. Tes Psikomotorik
1) Brazelton Newborn Behaviour Assesment Scale
Fungsi : Menaksir kondisi bayi, refleks dan interaksi
Umur : Neonatus
2) Uzgiris-Hunt Ordinal Scales
Fungsi : Menaksir stadium sensorimotor menurut Piaget
Umur : 0-2 tahun
3) Gesell Infant dan Catell Infant Scale
Fungsi : Terutama menaksir perkembangan motorik pada tahun
pertama dengan beberapa perkembangan sosial dan bahasa
Umur : 4 minggu 3 /6 tahun
4) Bayley Infant Scale of Development

Fungsi : Menaksir perkembangan motorik dan sosial


Umur : 8 minggu- 2 tahun
5) DDST (The Denver Developmental Screening Test)
Fungsi : Menaksir perkembangan personal social, motorik halus,
bahasa dan motorik kasar pada anak.
Umur : 1 bulan - 6 tahun
Catatan : Diberikan secara individual, dengan partisipasi aktif dari
orang tua dan pemeriksa
6) Yale Revised Developmental Test
Fungsi :Menaksir perkembangan motorik kasar, motorik halus,
adaptif, perilaku social dan bahasa
Umur : 4 minggu 6 tahun
7) Diagnostik Perkembangan fungsi Munchen tahun pertama
Fungsi : Menaksir perkembangan umur merangkak, duduk,
berjalan, memegang, persepsi, berbicara, pengertian bahasa dan
sosialisasi.
Umur : satu tahun pertama
Catatan : diberikan secara individual, dengan partisipasi aktif dari
orang tua dan pemeriksa\
8) Geometric Forms Test\
Fungsi : Menaksir perkembangan motorik halus dan intelektual
Catatan : Tes individual
9) Bender-Gestalt visual Motor Test
Fungsi : Menaksir anak yang dicurigai mempunyai masalah
persepsi motorik dari umur 5 tahun.
Umur : 4-12 tahun
Catatan :Tes individual
10) Draw-A-Man Test
Fungsi : Skrining IQ yang mudah dan cepat dengan menggunakan
norma Good enough pada anak dengan umur mental minimal 3
tahun 3 bulan.

Catatan :Tes individual


11) Picture-Vocabulary Subtest Stanford-Binet Test
Fungsi : Skrining yang mudah dan cepat pada anak umur 3-4
tahun tentang perbendaharaan kata-kata dan kemampuan artikulasi.
Catatan : Tes individual, kemampuan bahasa mempunyai korelasi
yang erat dengan intelegensi
12) Ammons Quick Test (Picture-Word Test)
Fungsi : Tes yang mudah dan cepat untuk mengukur kemampuan
bahasa nonverbal dari anak. Merupakan instrument yang sangat
baik untuk mengetahui disfasia ekspresif, dimana anak hanya bias
menunjuk benda.
Catatan : Tes individu (belum distandardisasi)
d. Tes Proyeksi
1) Symonds Picture Story Test
Fungsi :Respon anak dapat didiagnosis Dari perasaan yang
mendasarinya.
Catatan : Tes individual\
2) The Machover Human Figure Drawing Test
Fungsi : Suatu teknik proyeksi, gambar manusia yang dibuat oleh
anak adalah proyeksi dari dirinya. Bagian-bagian tubuh yang
dihilangkan atau ditonjolkan dapat merupakan petunjuk dalam
diagnostic.
Catatan : Tes Individual
3) The Animal Choice Test
Fungsi :Respon anak terhadap tes ini dapat sebagai diagnostic, dari
perasaan dan kehendaknya yang paling sederhana.
Catatan : Tes Individual
4) The Three Wishes Test
Fungsi : Mendapatkan keinginan-keinginan anak yang disadari
Catatan : Tes Individual
5) Childrens Apperception Test

Fungsi : untuk mengungkapkan perasaan-perasaan anak dibawah


sadar dengan menggambar binatang, yang tampak seperti situasi
keluarga.
Catatan : Tes Individual
6) The Rorschach Test
Fungsi : untuk mendapatkan perasaan-perasaan anak di bawah
sadar dari stimulus yang berasal dari noda tinta yang tidak
terbentuk.
Umur :3 tahun dewasa
Catatan : Tes Individual
e. Tes perilaku adaptif
1) Vineland Adaptive Behavior Scales
Fungs :Wawancara orang tua/ pengasuh anak dalam hal
komunikasi, kehidupan zaher-hari, social dan untuk anak yang
lebih muda ditanyakan juga perkembangan motoriknya.
Umur : 0 dewasa
2) Vineland Adaptive Behavior Scales (edisi kelas)
Fungsi : seperti di atas, tetapi melibatkan guru
Umur : 3 13 tahun
5. Denver Developmental Screening Test (Denver II)
a. Tujuan
Menemukan secara dini masalah perkembangan potensial anak yang
berumur kurang dari 6 tahun
b. Isi
Denver II berisi 125 item yang dibagi dalam 4 sektor dan berisi tes
perilaku untuk menilai tindak tanduk anak secara menyeluruh dan
memperoleh

taksiran

kasar

bagaimana

kemampuannya.
c. Pentingnya deteksi dini perkembangan

anak

menggunakan

Agar bisa dilakukan intervensi dini dengan latihan/stimulasi bila ada


penyimpangan sehingga anak dapat mencapai perkembangan normal
kembali sesuai umurnya.
d. Kegunaan Denver II
1) menilai tingkat perkembangan anak sesuai umurnya
2) memantau anak berumur 1-6 tahun
3) menjaring anak tanpa gejala terhadap kemungkinan adanya kelainan
perkembangan
4) memastikan apakah anak tanpa persangkaan ada kelainan benarbenar ada kelainan perkembangan
5) memonitor anak dengan risiko perkembangan
e. Fungsi-fungsi yang dideteksi pada Denver II
1) Sektor Personal Social (perilaku sosial)
Aspek

yang

berhubungan

dengan

kemampuan

mandiri,

bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.


2) Sektor Fine motor adaptive (gerakan motorik halus)
Aspek

yang

berhubungan

dengan

kemampuan

anak

untuk

mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagianbagian tubuh tertentu dan dilakukan otot-otot kecil tetapi
memerlukan koordinasi yang cermat.
3) Sektor Language (bahasa)
Kemampuan untuk memberikan respon terhadap suara, mengikuti
perintah dan berbicara spontan
4) Sektor Gross motor (gerakan motorik kasar)
Aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh

f. Prosedur Denver II
Dilakukan 2 tahap yaitu :
1) Tahap I : Secara periodik dilakukan pada anak yang berusia 3-6
bulan, 9-12 bulan, 18-24 bulan, 3 tahun, 4 tahun, 5 tahun.
2) Tahap II : dilakukan pada anak yang dicurigai ada hambatan
perkembangan pada tahap I kemudian dilakukan evaluasi diagnostik
yang lengkap.
g.

Penentuan Umur
Patokan : 1 bulan = 30 hari, 1 tahun = 12 bulan, umur kurang dari 15
hari dibulatkan ke bawah, umur lebih dari atau sama dengan 15 hari
dibulatkan ke atas. Bila anak lahir prematur dilakukan pengurangan
umur, misal : prematur 6 minggu dikurangi 1 bulan 2 minggu. Tetapi
bila anak lahir maju atau mundur 2 minggu tidak dilakukan
penyesuaian umur.
Contoh :
1) Tanggal test : 19 Oktober 2008
Tanggal lahir : 5 April 2006
Berarti umurnya : 2 tahun 6 bulan 14 hari dibulatkan menjadi 2
tahun 6 bulan
2. Tanggal test : 19 Oktober 2008
Tanggal lahir : 27 Desember 2004
Berarti umurnya 3 tahun 9 bulan 22 hari dibulatkan menjadi 3 tahun
10 bulan

h. Alat-alat yang diperlukan


1) Alat peraga : benang wol merah, manik-manik, kubus warna merahkuning-hijau-biru, permainan anak-anak, botol kecil, bola tennis,
bel kecil, kertas dan pensil, cangkir plastik, kertas kosong, cangkir
kecil dengan pegangan.
2) Lembar formulir DDST

3) Ruangan periksa beserta meja, kursi, meja khusus untuk bayi


tiduran
i. Skoring Penilaian Item Test
1) L = Lulus/lewat = Passed = P
Anak melakukan item dengan baik atau ibu/pengasuh memberi
laporan (tepat/dapat dipercaya) bahwa anak dapat melakukannya
2) G = Gagal = Fail/F
Anak tidak dapat melaksanakan item tugas dengan baik atau
ibu/pengasuh memberi laporan anak tidak dapat melakukan dengan
baik
3) TaK = Tak ada Kesempatan = No Opportunity/NO
Anak tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan item karena
ada hambatan. Skor ini hanya digunakan untuk item yang ada kode
L/Laporang orang tua atau pengasuh anak. Missal pada anak
Retardasi Mental/Down Sindrom
4) M = Menolak = Refusal/R
Anak menolak melakukan tes oleh karena factor sesaat, missal :
lelah, menangis, mengantuk.
j. Interpretasi Penilaian Individual
1) Penilaian lebih (Advanced) = perkembangan anak lebih
Bila anak lulus pada uji coba item yang terletak di sebelah kanan
garis umur
2) Penilaian normal bila :
a) gagal/menolak tugas pada item yang terletak di sebelah kanan
garis umur
b) lulus atau gagal atau menolak pada item dimana garis umur
terletak diantara 25-75 %
3) penilaian Caution/peringatan bila

gagal atau menolak pada item dalam garis umur yang berada
diantara 75 %-90 %. Tulis C di sebelah kanan kotak
4)Penilaian Delayed/keterlambatan
Bila gagal/ menolak pada item yang berada di sebelah kiri garis
umur
5)Penilaian Tidak ada Kesempatan
Pada item tes yang orang tua melaporkan bahwa anak tidak ada
kesempatan untuk melakukan atau mencoba diskor sebagai Tak.
Item ini tidak perlu diinterpretasikan
k. Hasil Interpretasi Denver II
1. Normal
a. tidak ada delayed (keterlambatan)
b. paling banyak 1 caution (peringatan)
lakukan ulangan pemeriksaan pada control berikutnya
2. Suspect
Terdapat 2 atau lebih caution dan atau terdapat 1 atau lebih delayed
Lakukan uji ulang 1-2 minggu kemudian untuk menghilangkan
faktor sesaat
3. Untestable (tidak dapat diuji) :
a. Skor R pada 1 atau lebih item di sebelah kiri garis umur
b. Skor R pada 1 atau lebih item pada area 75-90 %
4. Referal considerations (rujuk ke ahli)
Setelah uji ulang ditemukan suspect atau untestable dengan
mempertimbangkan juga keadaan klinis
B. Global Developmental Delay
1. Definisi
Global
perkembangan

developmental

delay

global

merupakan

(KPG)

(GDD)atau
keadaan

keterlambatan
keterlambatan

perkembangan yang bermakna pada dua atau lebih ranah perkembangan.


Secara garis besar, ranah perkembangan anak terdiri atas motor kasar,
motor halus, bahasa / bicara, dan personal sosial / kemandirian. Sekitar 5
hingga 10% anak diperkirakan mengalami keterlambatan perkembangan.
Data angka kejadian keterlambatan perkembangan global belum
diketahui dengan pasti, namun diperkirakan sekitar 1-3% anak di bawah
usia 5 tahun mengalami keterlambatan perkembangan global.
Istilah keterlambatan perkembangan global dapat digunakan untuk
anak berusia di bawah 5 tahun, sedangkan retardasi mental umumnya
dipakai untuk anak yang lebih tua dimana tes IQ dapat memberikan hasil
yang lebih akurat dan dengan reliabilitas yang lebih baik. Anak dengan
gangguan perkembangan global tidak selalu mengalami retardasi mental
di kemudian hari.
2. Epidemiologi
Prevalensi KPG sekitar 5-10% pada anak di seluruh dunia,
sedangkan di Amerika Serikat angka kejadian KPG diperkirakan 1%-3%
dari anak-anak berumur<5 tahun.3 Penelitian oleh Suwarba dkk.4 di RS
Cipto Mangunkusumo Jakarta mendapatkan prevalensi KPG adalah 2,3
%. Etiologi KPG sangat bervariasi, sekitar 80% akibat sindrom genetik
atau abnormalitas kromosom, asfiksia perinatal, disgenesis serebral dan
deprivasi psikososial sedangkan 20% nya belum diketahui. Sekitar 42%
dari etiologi keterlambatan perkembangan global dapat dicegah seperti
paparan toksin, deprivasi psikososial dan infeksi intra uterin, serta
asfiksia perinatal.3
Menurut penelitian Deborah M dkk.5 prevalensi KPG di Poliklinik
Anak RSUP Sanglah adalah 1,8% dan sering ditemukan pada anak
berumur lebih dari 12 bulan (67%). Rasio laki-laki dan perempuan
hampir sama 1:1,12. Keluhan terbanyak adalah belum bisa berbicara
pada 16 (24%), belum bisa berbicara dan berjalan pada 14 (21%), serta
belum bisa berjalan pada 12 (18%) pasien. Didapatkan 20% BBLR dan

BBLSR, ibu berpendidikan menengah ditemukan pada 68% kasus.


Karakteristik klinis didapatkan 30% gizi kurang, 29% mikrosefali, 20%
dicurigai suatu sindrom. Evaluasi perkembangan menunjukkan 40 (60%)
terlambat pada seluruh sektor perkembangan. Etiologi ditemukan pada
61% dengan penyebab terbanyak adalah kelainan majemuk, hipotiroid,
serebral disgenesis, palsi serebral.
3. Etiologi
Penyebab

keterlambatan

perkembangan

umum

antara

lain

gangguan genetik atau kromosom seperti sindrom Down; gangguan atau


infeksi susunan saraf seperti palsi serebral atau CP, spina bifida, sindrom
Rubella; riwayat bayi risiko tinggi seperti bayi prematur atau kurang
bulan, bayi berat lahir rendah, bayi yang mengalami sakit berat pada awal
kehidupan sehingga memerlukan perawatan intensif dan lainnya.
KPG dapat merupakan manifestasi yang muncul dari berbagai
kelainan neurodevelopmental (mulai dari disabilitas belajar hingga
kelainan neuromuskular. Tabel berikut memberikan pendekatan beberapa
etiologi KPG :
Tabel 1. Penyebab KPG menurut Forsyth dan Newton, 2007 (dikutip dari
Walters AV, 2010)8
Kategori
Genetik
Sindromik

Komentar
atau

Teridentifikasi dalam
20% dari mereka yang
tanpa
tanda-tanda
neurologis,
kelainan
dismorfik, atau riwayat
keluarga

Sindrom
yang
diidentifikasi,
Sindrom Down

Penyebab genetik yang tidak


terlalu jelas pada awal masa
kanak-kanak,
misalnya
Sindrom Fragile X, Sindrom
Velo-cardio-facial
(delesi
22q11),Sindrom Angelman,
Sindrom Soto, Sindrom Rett,
fenilketonuria
maternal,

mudah
misalnya

mukopolisakaridosis, distrofi
muskularis tipe Duchenne,
tuberus
sklerosis,
neurofibromatosis tipe 1, dan
delesi subtelomerik.

Skrining universal secara


nasional neonatus untuk
fenilketonuria (PKU) dan
defisiensi
acyl-Co
A
Dehidrogenase rantai sedang.

Misalnya,
siklus/daur urea

Endokrin

Terdapat skrining universal


neonatus
untuk
hipotiroidisme kongenital

Traumatik

Cedera otak yang didapat

Anak-anak
memerlukan
kebutuhan dasarnya seperti
makanan,
pakaian,
kehangatan,
cinta,
dan
stimulasi
untuk
dapat
berkembang secara normal

Anak-anak tanpa perhatian,


diasuh dengan kekerasan,
penuh ketakutan, dibawah
stimulasi
lingkungan
mungkin tidak menunjukkan
perkembangan yang normal

Ini
mungkin
merupakan
faktor yang berkontribusi dan
ada
bersamaan
dengan
patologi lain dan merupakan
kondisi
yaitu
ketika
kebutuhan
anak
diluar
kapasitas orangtua untuk

Metabolik
Teridentifikasi dalam
1% dari mereka yang
tanpa
tanda-tanda
neurologis,
kelainan
dismorfik, atau riwayat
keluarga

Penyebab
lingkungan

dari

kelainan

dapat
menyediakan/memenuhinya
Malformasi serebral

Misalnya, kelainan migrasi


neuron

Palsi Serebral
Kelainan
Perkembangan
Koordinasi
(Dispraksia)

Kelainan
motorik
dapat
mengganggu perkembangan
secara umum

Perinatal, misalnya Rubella,


CMV, HIV

Meningitis neonatal

Fetus: Alkohol maternal atau


obat-obatan
saat
masa
kehamilan

Anak: Keracunan timbal

Infeksi

Toksin

dan

4. Deteksi Dini
Untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami KPG, perlu
data / laporan atau keluhan orang tua dan pemeriksaan deteksi dini atau
skrining perkembangan pada anak. Pemeriksaan skrining perkembangan
penting dilakukan dan harus dilakukan dengan menggunakan alat
skrining perkembangan yang benar. Dengan mengetahui secara dini,
maka dapat dicari penyebab keterlambatannya dan segera dilakukan
intervensi yang tepat.

5. Gejala Klinis
Mengetahui adanya KPG memerlukan usaha karena memerlukan
perhatian dalam beberapa hal. Padahal beberapa pasien seringkali merasa
tidak nyaman bila di perhatikan. Akhirnya membuat orang tua sekaligus

dokter untuk agar lebih jeli dalam melihat gejala dan hal yang dilakukan
oleh pasien tersebut. Skrining prosedur yang dilakukan dokter, dapat
membantu menggali gejala dan akan berbeda jika skrining dilakukan
dalam sekali kunjungan dengan skrining dengan beberapa kali kunjungan
karena data mengenai panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan atas
dan berat badan. Mengacu pada pengertian KPG yang berpatokan pada
kegagalan perkembangan dua atau lebih domain motorik kasar, motorik
halus, bicara, bahasa, kognitif, sosial, personal dan kebiasaan sehari-hari
dimana belum diketahui penyebab dari kegagalan perkembangan ini.
Terdapat hal spesifik yang dapat mengarahkan kepada diagnosa klinik
KPG terkait ketidakmampuan anak dalam perkembangan milestonesyang
seharusnya, yaitu10,11:
a.

Anak tidak dapat duduk di lantai tanpa bantuan pada umur 8 bulan

b.

Anak tidak dapat merangkak pada 12 bulan

c.

Anak memiliki kemampuan bersosial yang buruk

d.

Anak tidak dapat berguling pada umur 6 bulan

e.

Anak memiliki masalah komunikasi

f.

Anak memiliki masalah pada perkembangan motorik kasar dan halus


6. Diagnosis
a. Anamnesis
Dokter memulai anamnesis dengan mendengarkan penjelasan
orangtua secara seksama tentang perkembangan anaknya. Orang tua
dapat mencatat setiap keterlambatan perkembangan, perubahan tubuh
dan kurang responsifnya anak tersebut, sehingga perlu perhatian
khusus. Tiap orangtua tentunya memiliki daerah perhatian yang
berbeda. Penggalian anamnesis secara sistematis meliputi, resiko
biologi akibat dari gangguan prenatal atau perinatal, perubahan
lingkungan akibat salah asuh, dan akibat dari penyakit primer yang
sudah secara jelas terdiagnosis saat infant.

Tabel 2. Anamnesis Keterlambatan Perkembangan Global menurut


First Lewis dan Judith, 199410

Contoh, dari pandangan biologi, infant dengan berat badan lahir


rendah seringkali beresiko terhadap angka kejadian perdarahan
intraventrikel, sepsis atau meningitis, gangguan metabolik, dan defisit
nutrisi yang dapat secara langsung memengaruhi perkembangan otak.
Anak dengan resiko lingkungan termasuk didalamnya ibu yang masih
muda dan tidak berpengalaman serta ibu yang tidak sehat secara
individu atau kekurangan finansial. Anak yang hidup dalam keluarga
bermasalah akibat obat-obatan terlarang, minuman keras dan
kekerasan sering menyebabkan hasil buruk. Anak dengan faktor resiko
kondisi medis seperti myelomeningocele, sensorineural deafness, atau
trisomy 21 diketahui memiliki hubungan dengan keterlambatan
perkembangan anak. Perhatian saat ini sering pula akibat dari infeksi
virus HIV. Kurangnya motorik milestones, peubahan perilaku, atau

kognitif buruk serta perubahan fungsi serebelum dalam tahun pertama


sering dihubungkan dengan HIV.10,11
b. Pemeriksaan Fisik
Faktor risiko untuk keterlambatan dapat dideteksi dari
pemeriksaan fisik. Pengukuran lingkar kepala (yang mengindikasikan
mikrosefali

atau

makrosefali)

adalah

bagian

penting

dalam

pemeriksaan fisik. Perubahan bentuk tubuh sering dihubungkan


dengan kelainan kromosom, atau faktor penyakit genetik lain sulit
dilihat

dalam

pemeriksaan

yang

cepat.10

Sebagai

tambahan,

pemeriksaan secara terstruktur dari mata, yaitu fungsi penglihatan


dapat dilakukan saat infant, dengan menggunakan pemeriksaan
sederhana seperti meminta mengikuti arah cahaya lampu. Saat anak
sudah memasuki usia pre-school, pemeriksaan yang lebih mendalam
diperlukan seperti visus, selain itu pemeriksaan saat mata istirahat
ditemukan adanya strabismus. Pada pendengaran, dapat pula
dilakukan test dengan menggunakan brain-stem evoked potentials
pada infant. Saat umur memasuki 6 bulan, kemampuan pendengaran
dapat dites dengan menggunakan peralatan audiometri. Pada usia 3-4
tahun, pendengaran dapat diperiksa menggunakan audiometer
portable. Pemeriksaan telinga untuk mencari tanda dari infeksi otitis
media menjadi hal yang penting untuk dilakukan karena bila terjadi
secara kontinyu akan menyebabkan gangguan pendengaran ringan.
Pemeriksaan kulit secara menyeluruh dapat dilakukan untuk
mengidentifikasi penyakit ektodermal seperti tuberous sklerosis atau
neurofibromatosis yang dihubungkan dengan delay. Pemeriksaan fisik
juga harus meliputi pemeriksaan neurologi yang berhubungan dengan
perkembangan seperti adanya primitive reflek, yaitu moro reflex,
hipertonia atau hipotonia, atau adanya gangguan tonus.10,11
c. Pemeriksaan Penunjang
Secara umum, pemeriksaan laboratorium untuk anak dengan
kemungkinan gangguan perkembangan tidak dibedakan dengan tes

skrining yang dilakukan pada anak yang sehat. Hal ini penting dan
dilakukan dengan periodik. Adapun beberapa pemeriksaan penunjangnya
antara lain11,12:
1) Skrining metabolik
Skrining metabolik meliputi pemeriksaan: serum asam amino, serum
glukosa, bikarbonat, laktat, piruvat, amonia, dan creatinin kinase.
Skrining metabolik rutin untuk bayi baru lahir dengan gangguan
metabolisme tidak dianjurkan sebagai evaluasi inisial pada KPG.
Pemeriksaan metabolik dilakukan hanya bila didapatkan riwayat dari
anamnesis atau temuan pemeriksaan fisik yang mengarah pada suatu
etiologi yang spesifik. Sebagai contohnya, bila anak-anak dicurigai
memiliki masalah dengan gangguan motorik atau disabilitas kognitif,
pemeriksaan asam amino dan asam organik dapat dilakukan. Anak
dengan gangguan tonus otot harus diskrining dengan menggunakan
kreatinin phospokinase atau aldolase untuk melihat adanya kemungkin
penyakit muscular dystrophy.
2) Tes sitogenetik
Tes sitogenetik rutin dilakukan pada anak dengan KPG meskipun tidak
ditemukan dismorfik atau pada anak dengan gejala klinis yang
menunjukkan suatu sindrom yang spesifik. Uji mutasi Fragile X,
dilakukan bila adanya riwayat keluarga dengan KPG. Meskipun
skrining untuk Fragile X lebih sering dilakukan anak laki-laki karena
insiden yang lebih tinggi dan severitas yang lebih buruk, skrining pada
wanita juga mungkin saja dilakukan bila terdapat indikasi yang
jelas.Diagnosis Rett syndrome perlu dipertimbangkan pada wanita
dengan retardasi mental sedang hingga berat yang tidak dapat
dijelaskan.
3) Skrining tiroid
Pemeriksaan tiroid pada kondisi bayi baru lahir dengan hipotiroid
kongenital perlu dilakukan. Namun, skrining tiroid pada anak dengan

KPG hanya dilakukan bila terdapat klinis yang jelas mengarahkan pada
disfungsi tiroid.
4) EEG
Pemeriksaan EEG dapat dilakukan pada anak dengan KPG yang
memiliki riwayat epilepsia tau sindrom epileptik yang spesifik (LandauKleffner). Belum terdapat data yang cukup mengenai pemeriksaan ini
sehingga belum dapat digunakan sebagai rekomendasi pemeriksaan
pada anak dengan KPG tanpa riwayat epilepsi.
5) Imaging
Pemeriksaan imaging direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin pada
KPG (terlebih bila ada temuan fisik berupa mikrosefali). Bila tersedia
MRI harus lebih dipilih dibandingkan CT scan jika sudah ditegakkan
diagnosis secara klinis sebelumnya.
7. Diagnosis Banding
a. Retardasi Mental
Suatu keadaan yang dimulai saat masa anak-anak yang ditandai
dengan keterbatasan dalam intelegensi dan kemampuan adaptasi.
Menurut kriteria DSM-IV, retardasi mental adalah fungsi intelektual
yang di bawah rata-rata, terdapat gangguan fungsi adaptasi, onset
sebelum umur 18 tahun. Untuk mengetahui adanya gangguan fungsi
intelegensi, digunakan tes IQ (akurat diatas umur 5 tahun), dengan
klasifikasi hasil:
1) Ringan , yaitu IQ 50-70
2) Sedang, yaitu IQ 40-50
3) Berat, yaitu IQ 20-40
4) Sangat berat, yaitu IQ <20
b. Palsi Serebral atau Cerebral palsy (CP)
Membedakan antara CP dengan KPG, pada CP, ada tiga faktor
resiko awal yaitu bayi lahir prematur (semakin kecil usia, semakin
tinggi faktor risiko), bayi lahir dengan ensefalopati sedang hingga berat

(semakin berat keluhan semakin berat risiko), dan bayi yang lahir
dengan faktor risiko paling ringan. Dua faktor risiko awal tersebut harus
ditunjang dengan MRI untuk melihat gambaran otak. Bila terdapat
gangguan bahasa, penglihatan, pendengaran dan epilepsi, dapat
dicurigai hal tersebut adalah suatu gambaran CP. Selain itu, diagnosis
palsi serebral dapat dilakukan berdasarkan kriteria Levine (dikutip dari
Soetjiningsih, 19957), yaitu pola gerak dan postur; pola gerak oral;
strabismus; tonus otot; evolusi reaksi postural dan kelainannya yang
mudah dikenal; refleks tendon, primitif dan plantar.
c.

Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)


ADHD merupakan suatu gangguan yang terjadi sangat awal dari
kelahiran bayi, yang dinamis, serta tergantung dengan perkembangan
korteks. Tanda ADHD yaitu development delay, nilai akademik yang
rendah, serta permasalahan sosial. Penggunaan milestones pada tahun
ke-3 mudah mengarahkan diagnosis ADHD.

d.

Autism Spectrum Disorder (ASD)


Tanda awal untuk membedakan antara ASD dengan KPG.
Beberapa kata kunci adalah gangguan bersosial. Pada tahun pertama
akan sulit membedakan antara ASD dengan KPG, yaitu ciri tidak
berespon ketika nama dipanggil, afek kurang, berkurangnya interaksi
sosial, dan sulit untuk tersenyum. Pada tahun kedua dan ketiga, bahasa
tubuh yamg tidak lazim dan sangat ekspresif. Perilaku lain yakni
motorik, sensorik dan beberapa domain lain.

8. Penatalaksanaan
Pengobatan bagi anak-anak dengan KPG hingga saat ini masih
belum ditemukan. Hal itu disebabkan oleh karakter anak-anak yang unik,
dimana anak-anak belajar dan berkembang dengan cara mereka sendiri
berdasarkan kemampuan dan kelemahan masing-masing. Sehingga
penanganan KPG dilakukan sebagai suatu intervensi awal disertai

penanganan

pada

faktor-faktor

yang

beresiko

menyebabkannya.

Intervensi yang dilakukan, antara lain6,9,12:


a. Speech and Language Therapy
Speech and Language Therapy dilakukan pada anak-anak dengan
kondisi CP, autism, kehilangan pendengaran, dan KPG. Terapi ini
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berbicara, berbahasa dan
oral motoric abilities. Metode yang dilakukan bervariasi tergantung
dengan

kondisi

dari

anak

tersebut.

Salah

satunya,

metode

menggunakan jari, siulan, sedotan atau barang yang dapat membantu


anak-anak untuk belajar mengendalikan otot pada mulut, lidah dan
tenggorokan. Metode tersebut digunakan pada anak-anak dengan
gangguan pengucapan. Dalam terapi ini, terapis menggunakan alatalat yang membuat anak-anak tertarik untuk terus belajar dan
mengikuti terapi tersebut.
b. Occupational Therapy
Terapi ini bertujuan untuk membantu anak-anak untuk menjadi lebih
mandiri dalam menghadapi permasalahan tugasnya. Pada anak-anak,
tugas mereka antara bermain, belajar dan melakukan kegiatan seharihari seperti mandi, memakai pakaian, makan, dan lain-lain. Sehingga
anak-anak yang mengalami kemunduran pada kemampuan kognitif,
terapi ini dapat membantu mereka meningkatkan kemampuannya
untuk menghadapi permasalahannya.
c. Physical Therapy
Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan motorik kasar
dan halus, keseimbangan dan koordinasinya, kekuatan dan daya
tahannya. Kemampuan motorik kasar yakni kemampuan untuk
menggunakan otot yang besar seperti berguling, merangkak, berjalan,
berlari,

atau

melompat.

Kemampuan

motorik

halus

yakni

menggunakan otot yang lebih kecil seperti kemampuan mengambil


barang. Dalam terapi, terapis akan memantau perkembangan dari anak
dilihat dari fungsi, kekuatan, daya tahan otot dan sendi, dan

kemampuan motorik oralnya. Pada pelaksanaannya, terapi ini


dilakukan oleh terapi dan orang-orang yang berada dekat dengan anak
tersebut. Sehingga terapi ini dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
d. Behavioral Therapies
Anak-anak dengan delay development akan mengalami stress pada
dirinya dan memiliki efek kepada keluarganya. Anak-anak akan
bersikap agresif atau buruk seperti melempar

barang-barang,

menggigit, menarik rambut, dan lain-lain. Behavioral therapy


merupakan psikoterapi yang berfokus untuk mengurangi masalah
sikap dan meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi. Terapi ini
dapat dikombinasikan dengan terapi yang lain dalam pelaksanaanya.
Namun, terapi ini bertolak belakang dengan terapi kognitif. Hal itu
terlihat pada terapi kognitif yang lebih fokus terhadap pikiran dan
emosional yang mempengaruhi sikap tertentu, sedangkan behavioural
therapy dilakukan dengan mengubah dan mengurangi sikap-sikap
yang tidak diinginkan. Beberapa terapis mengkombinasikan kedua
terapi tersebut, yang disebut cognitive-behavioural therapy.
9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada anak-anak dengan KPG, yakni
kemunduran perkembangan pada anak-anak yang makin memberat. Jika
tidak tertangani dengan baik, dapat mempengaruhi kemampuan yang
lain, khususnya aspek psikologi dari anak itu sendiri. Salah satunya, anak
akan mengalami depresi akibat ketidakmampuan dirinya dalam
menghadapi permasalahannya. Sehingga anak itu dapat bersikap negatif
atau agresif.
10. Prognosis
Prognosis KPG pada anak-anak dipengaruhi oleh pemberian terapi
dan penegakkan diagnosis lebih dini (early identification and treatment).
Dengan pemberian terapi yang tepat, sebagian besar anak-anak
memberikan respon yang baik terhadap perkembangannya. Walau
beberapa anak tetap menjalani terapi hingga dewasa. Hal tersebut karena

kemampuan anak itu sendiri dalam menanggapi terapinya. Beberapa anak


yang mengalami kondisi yang progresif (faktor-faktor yang dapat
merusak sistem saraf seiring berjalannya waktu), akan menunjukkan
perkembangan yang tidak berubah dari sebelumnya atau mengalami
kemunduran. Sehingga terapi yang dilakukan yakni meningkatkan
kemampuan dari anak tersebut untuk menjalani kesehariannya.6,9
C. Hidrocephalus
1. Definisi
Hidrosefalus

berasal

dari

kata hidro yang

berarti

air

dan chepalon yang berarti kepala. Hidrosefalus dapat didefinisikan secara


luas sebagai gangguan pembentukan aliran atau penyerapan LCS yang
menyebabkan peningkatan volume pada CNS.
Kondisi ini juga dapat didefinisikan gangguan hidrodinamik pada
LCS. Hidrosefalus akut dapat terjadi dalam beberapa hari. Sub akut
dalam mingguan dan yang kronik bulanan atau tahunan. Kondisi-kondisi
seperti atrofi serebral dan lesi destruktif fokal juga menyebabkan
peningkatan abnormal LCS dalam CNS. Pada situasi semacam ini,
kehilangan jaringan serebral meninggalkan ruangan kosong yang secara
pasif akan terisi dengan LCS. Kondisi semacam iu tidak disebabkan oleh
gangguan

hidrodinamik

sehingga

tidak

diklasifikasikan

sebagai

hidrosefalus.Istilah lain yang dulu digunakan untuk kondisi tersebut


adalah hidrosefalus ex vacuo.
2. Epidemiologi
Secara keseluruhan, Insidensi hidrosefalus antara 0,2-4 setiap 1000
kelahiran. Insidensi hidrosefalus kongenital adalah 0,5-1,8 pada tiap 1000
kelahiran dan 11%-43% disebabkan oleh stenosis aqueductus serebri.
Tidak ada perbedaan bermakna insidensi untuk kedua jenis kelamin, juga
dalam hal perbedaan ras.\
Hidrosefalus dapat terjadi pada semua umur. Pada remaja dan
dewasa lebih sering disebabkan oleh toksoplasmosis. Hidrosefalus

infantil; 46% adalah akibat abnormalitas perkembangan otak, 50%


karena perdarahan subaraknoid dan meningitis, dan kurang dari 4%
akibat tumor fossa posterior.
Secara internasional, insiden hidrosefalus yang didapat juga tidak
diketahui jumlahnya. Sekitar 100.000 shunt yang tertanam setiap tahun di
negara maju, tetapi informasi untuk negara-negara lain masih sedikit.
Kematian pada hidrosefalus yang tidak ditangani dapat terjadi oleh
karena herniasi tonsil sekunder yang dapat meningkatkan tekanan
intracranial, kompresi batang otak dan sistem pernapasan.
Pemasangan shunt telah dilakukan pada 75% dari semua kasus
hidrosefalus dan di 50% pada anak-anak dengan hidrosefalus komunikan.
Pasien dirawat di rumah sakit untuk merevisi shunt sesuai dengan jadwal
yang telah ditetapkan, untuk pengobatan komplikasi, atau kegagalan
shunt.
Kurangnya perkembangan fungsi kognitif pada bayi dan anak-anak,
atau hilangnya fungsi kognitif pada orang dewasa, dapat mejadi
komplikasi pada hidrosefalus yang tidak diobati. Hal ini dapat bertahan
setelah pengobatan. Kehilangan fungsi visual dapat menjadi komplikasi
pada hidrosefalus yang tidak diobati dan dapat menetap setelah
pengobatan.
3. Anatomi dan Fisiologi
CSS dibentuk di dalam system ventrikel serebrum, terutama oleh
pleksus koroideus. Masing-masing dari keempat ventrikel mempunyai
jaringan pleksus koroideus, yang terdiri atas lipatan vilosa dilapisi oleh
epitel dan bagian tengahnya mengandung jaringan ikat dengan banyak
pembuluh darah. Cairan dibentuk melalui sekresi dan difusi aktif.
Terdapat sumber CSS nonkonroid, tetapi aspek pembentukan cairan ini
masih belum diketahui sebelumnya.
Sistem ventrikel terdiri atas sepasang ventrikel lateral, masingmasing dihubungkan oleh akuaduktus Sylvii ke ventrikel keempat

tunggal yang terletak di garis tengah dan memiliki tiga lubang keluar,
sepasang foramen Luschka di sebelah lateral dan sebuah foramen
magendie di tengah. Lubang-lubang ini berjalan menuju ke sebuah
system yang saling berhubungan dan ruang subaraknoid yang mengalami
pembesaran fokal dan disebut sisterna.
Sisterna pada fosa posterior berhubungan dengan ruang subaraknoid
diatas konveksitas serebrum melalui jalur yang melintasi tentorium.
Ruang subaraknoid spinalis berhubungan dengan ruang subaraknoid
intrakranium melalui sisterna basalis.
Aliran CSS netto adalah dari ventrikel lateral menuju ventrikel
ketiga kemudian ke ventrikel keempat lalu ke sisterna basalis, tentorium,
dan ruang subaraknoid di atas konveksitas serebrum ke daerah sinus
sagitalis,

tempat

sistemik.Sebagian

terjadinya
besar

penyerapan

penyerapan

CSS

ke

dalam

terjadi

sirkulasi

melalui

vilus

araknoidalis dan masuk kedalam saluran vena sinus sagitalis, tetapi


cairan juga diserap melintasi lapisan ependim system ventrikel dan di
ruang subaraknoid spinalis.Pada orang dewasa normal, volume total CSS
adalah sekitar 150 mL, yang 25 % nya terdapat di dalam sistem ventrikel.
CSS

terbentuk

dengan

kecepatan

sekitar

20

mL/jam,

yang

mengisyaratkan bahwa perputaran CSSterjadi tiga sampai empat kali


sehari.
4. Patofisiologi
Produksi LCS normal berkisar antara 0,20-0,50 mL/menit. Sebagian
besar diproduksi oleh plexus choroideus yang terletak diantara sistem
ventrikuler terutama pada ventrikel lateral dan ventrikulus IV. Kapasitas
ventrikel laeral dan III pada orang sehat sekitar 20 ml. Total volume LCS
pada orang dewasa adalah 150 ml.
Tekanan intra kranial meningkat jika produksi melebihi absorbsi. Ini
terjadi jika adanya over produksi LCS, peningkatan tahanan aliran LCS,
atau peningkatan tekanan sinus venosus. Produksi LCS menurun jika

tekanan intrakranial meningkat. Kompensasi dapat terjadi melalui


penyerapan LCS transventrikuler dan juga dengan penyerapan pada
selubung akar saraf.
Lobus temporal dan frontal melebar lebih dulu, biasanya asimetris.
Ini dapat menyebabkan kenaikan corpus callosum, penarikan atau
perforasi septum pelucidum, penipisan selubung serebral, atau pelebaran
ventrikel tertius ke bawah menuju fosa hipofisis ( yang dapat
menyebabkan

disfungsi

hipofisis).

Gambar

1.

Aliran

LCS,

patofisiologi

hidrosefalus

Hidrosefalus timbul akibat terjadi ketidak seimbangan antara


produksi denganabsorpsi dan gangguan sirkulasi CSS. Adapun keadaankeadaan yang dapatmengakibatkan terjadinya ketidak seimbangan
tersebut

adalah:

a. Disgenesis serebri
Empat puluh enam persen hidrosefalus pada anak akibat malformasi otak
dan yang terbanyak adalah malformasi Arnold-Chiary. Berbagai
malformasi serebral akibat kegagalan dalam proses pembentukan otak
dapat menyebabkan penimbunan CSS sebagai kompensasi dari tidak

terdapatnya jaringan otak. Salah satu contoh jelas adalah hidroanensefali


yang terjadi akibat kegagalan pertumbuhan hemisferium serebri.
b. Produksi CSS yang berlebihan
Ini merupakan penyebab hidrosefalus yang jarang terjadi. Penyebab
tersering adalah papiloma pleksus khoroideus, hidrosefalus jenis ini dapat
disembuhkan.
c.

Obstruksi aliran CSS


Sebagian besar kasus hidrosefalus termasuk dalam kategori ini. Obstruksi
dapat terjadi di dalam atau di luar sistem ventrikel. Obstruksi dapat
disebabkan beberapa kelainan seperti: perdarahan subarakhnoid post
trauma atau meningitis, di mana pada kedua proses tersebut terjadi
inflamasi dan eksudasi yang mengakibatkan sumbatan pada akuaduktus
Sylvius atau foramina pada ventrikel IV.
Sisterna basalis juga dapat tersumbat oleh proses arakhnoiditis yang
mengakibatkan hambatan dari aliran CSS. Tumor fossa posterior juga
dapat menekan dari arah belakang yang mengakibatkan arteri basiliaris
dapat menimbulkan obstruksi secara intermiten, di mana obstruksi tersebut
berhubungan dengan pulsasi arteri yang bersangkutan.

d. Absorpsi CSS berkurang


Kerusakan vili arakhnoidalis dapat mengakibatkan gangguan absorpsi
CSS, selanjutnya terjadi penimbunan CSS. Keadaan-keadaan yang dapat
menimbulkan kejadian tersebut adalah:
-

Post meningitis

Post perdarahan subarachnoid

Kadar protein CSS yang sangat tinggi


e. Akibat atrofi serebri
Bila karena sesuatu sebab terjadinya atrofi serebri, maka akan timbul
penimbunan CSS yang merupakan kompensasi ruang terhadap proses atrofi
tersebut.Terdapat beberapa tempat yang merupakan predileksi terjadinya
hambatan aliran CSS :

1)

Foramen

Interventrikularis

Monroe

Apabila sumbatan terjadi unilateral maka akan menimbulkan pelebaran


ventrikel lateralis ipsilateral.
Akuaduktus

2)

Serebri

(Sylvius)

Sumbatan pada tempat ini akan menimbulkan pelebaran kedua ventrikel


lateralis dan ventrikel III.
Ventrikel

3)

IV

Sumbatan pada ventrikel IV akan menyebabkan pelebaran kedua ventrikel


lateralis, dan ventrikel III dan akuaduktus serebri
Foramen Mediana Magendie dan Foramina Lateralis Luschka

4)

Sumbatan pada tempat-tempat ini akan menyebabkan pelebaran pada


kedua ventrikel lateralis, ventrikel III, akuaduktus serebri dan ventrikel IV.
Keadaan ini dikenal sebagai sindrom Dandy-Walker.
Ruang Sub Arakhnoid di sekitar medulla-oblongata, pons, dan

5)

mesensefalon
Penyumbatan pada tempat ini akan menyebabkan pelebaran dari seluruh
sistem ventrikel. Akan tetapi apabila obstruksinya pada tingkat
mesensefalon maka pelebaran ventrikel otak tidak selebar seperti jika
obstruksi terjadi di tempat lainnya. Hal ini terjadi karena penimbunan CSS
di sekitar batang otak akan menekan ventrikel otak dari luar.
Produksi
Meningkat
-

Sirkulasi
Normal

Absorpsi
Normal

Terhambat

Menurun

Papiloma plexus

choroideus
Normal

Aquaductus Silvii
Foramen Magendi
Luscha

dan

( Sind. Dandy

Walker)
Ventrikel III
Ventrikel IV
Ruang Sub Arakhnoid

Trauma
SAH
Gangguan
pembentukan

arakhnoid
Post meningitis
Protein CSS >>

villi

5. Gejala Klinis
Gejala yang menonjol pada hidrosefalus adalah bertambah besarnya
ukuran lingkar kepala anak dibanding ukuran normal. Di mana ukuran
lingkar kepala terus bertambah besar, sutura-sutura melebar demikian
juga fontanela mayor dan minor melebar dan menonjol atau tegang.
Beberapa penderita hidrosefalus kongenital dengan ukuran kepala yang
besar saat dilahirkan sehingga sering mempersulit proses persalinan,
bahkan beberapa kasus memerlukan operasi seksio sesaria. Tetapi
sebagian besar anak-anak dengan hidrosefalus tipe ini dilahirkan dengan
ukuran kepala yang normal. Baru pada saat perkembangan secara cepat
terjadi perubahan proporsi ukuran kepalanya.
Akibat penonjolan lobus frontalis, bentuk kepala cenderung menjadi
brakhisefalik, kecuali pada sindrom Dandy-Walker di mana kepala
cenderung berbentuk dolikhosefalik, karena desakan dari lobus
oksipitalis akibat pembesaran fossa posterior.
Sering dijumpai adanya Setting Sun Appearance / Sign, yaitu adanya
retraksi dari kelopak mata dan sklera menonjol keluar karena adanya
penekanan ke depan bawah dari isi ruang orbita, serta gangguan gerak
bola mata ke atas, sehingga bola mata nampak seperti matahari terbenam.
Kulit kepala tampak tipis dan dijumpai adanya pelebaran vena-vena
subkutan. Pada perkusi kepala anak akan terdengar suara cracked pot,
berupa seperti suara kaca retak. Selain itu juga dijumpai gejala-gejala lain
seperti gangguan tingkat kesadaran, muntah-muntah, retardasi mental,
kegagalan untuk tumbuh secara optimal.
Pada pasien-pasien tipe ini biasanya tidak dijumpai adanya papil
edema, tapi pada tahap akhir diskus optikus tampak pucat dan
penglihatan kabur. Secara pelan sikap tubuh anak menjadi fleksi pada
lengan dan fleksi atau ekstensi pada tungkai. Gerakan anak menjadi
lemah,

dan

kadang-kadang

lengan

jadi

gemetar.

1.

Hidrosefalus pada bayi (Tipe congenital/infantil):


- Kepala membesar
- Sutura melebar
- Fontanella kepala prominen
- Mata kearah bawah (sunset phenomena)
- Nistagmus horizontal
- Perkusi kepala : cracked pot sign atau seperti semangka masak.
Ukuran rata-rata lingkar kepala berdasarkan umur:
Umur
0 bulan
3 bulan
6 bulan
9 bulan
12

Lingkar
Kepala
35 cm
41 cm
44 cm
46 cm
47 cm

bulan
18
bulan

48,5
cm

2. Tipe juvenile/adult (2-10 tahun) :


- Sakit kepala
- Kesadaran menurun
- Gelisah
- Mual, muntah
- Hiperfleksi seperti kenaikan tonus anggota gerak
- Gangguan perkembangan fisik dan mental
- Papil edema; ketajaman penglihatan akan menurun dan lebih lanjut
dapat mengakibatkan kebutaan bila terjadi atrofi papila N.II.
- Tekanan intrakranial meninggi oleh karena ubun-ubun dan sutura
sudah menutup, nyeri kepala terutama di daerah bifrontal dan
bioksipital. Aktivitas fisik dan mental secara bertahap akan menurun
dengan gangguan mental yang sering dijumpai seperti : respon

terhadap lingkungan lambat, kurang perhatian tidak mampu


merencanakan aktivitasnya.
6. Diagnosis
Selain dari gejala-gejala klinik, keluhan pasien maupun dari hasil
pemeriksaan fisik dan psikis, untuk keperluan diagnostik hidrosefalus
dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang, yaitu :
a. Rontgen foto kepala
b. Transiluminasi
c. Lingkaran kepala
d. Ventrikulografi
e. Ultrasonografi
f. CT Scan kepala
g. MRI Kepala
7. Penatalaksanaan
Terapi medikamentosa

Ditujukan untuk membatasi evolusi hidrosefalus melalui upaya


mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid atau upaya meningkatkan
resorpsinya. Dapat dicoba pada pasien yang tidak gawat, terutama pada
pusat-pusat kesehatan dimana sarana bedah saraf tidak ada.
Obat yang sering digunakan adalah:
a. Asetasolamid
25-100

mg/kg/bb/hari

Acetazolamide

bekerja

dengan

cara

merintangi enzym karboanhidrase di tubuli proksimal, sehingga


disamping karbonat, juga Na dan K dieksresikan lebih banyak,
bersamaan dengan air. Fungsi diuretiknya lemah.
Efek samping dari obat ini biasanya kebas pada jari tangan dan kaki
karena hipokalemia. Beberapa dapat mengalami pandangan yang kabur,
tapi biasanya hilang dengan penghentian obat. Acetazolamide juga
meningkatkan resiko batu ginjal kalsium oksalat dan kalsium fosfat.

Untuk mengurangi dehidrasi dan sakit kepala dianjurkan untuk minum


banyak cairan.
Kontraindikasi bagi mereka yang mempunyai sickle cell anemia,
alergi terhadap sulfa dan CA inhibitor, sakit ginjal atau hati, gagal
kelenjar adrenal, diabetes, ibu hamil dan menyusui.
b. Furosemid
Cara pemberian dan dosis; Per oral, 1,2 mg/kgBB 1x/hari atau
injeksi iv 0,6 mg/kgBB/hari.Furosemide bekerja sebagai loop diuretic
kuat pada transport Na K Cl loop henle thick ascending untuk
menghambat Na dan Cl reabsorbsi. Karena absorbsi Mg dan Ca pada
thick ascending tergantung konsentrasi Na dan Cl, loop diuretik juga
menghambat absorbsi ion tersebut. Dengan terganggunya reabsorbsi ion
ini loop diuretik mengganggu terbentuknya medula renal yang
hipertonik. Dengan tanpa adanya medula yang terkonsentrasi, air menjadi
kurang osmotik kemudian melalui collecting duct, sehingga berakibat
kenaikan produksi urin.
Diuretik ini mengurangi air yang direabsorbsi kembali ke darah
berakibat

pada

penurunan

volume

darah.

Loop

diuretik

juga

menyebabkan vasodilatasi vena pembuluh darah ginjal sehingga


menurunkan tekanan darah.
Efek samping lainnya dapat menyebabkan jaundice, tinitus,
fotosensitif, rash, pankreatitis, mual, sakit perut, pusing, anemia.
Terapi Pembedahan
1. Pada pusat-pusat kesehatan yang memiliki sarana bedah saraf
Terapi operasi langsung dikerjakan pada penderita hidrosefalus. Pada
penderita yang gawat dan sambil menunggu operasi penderita biasanya
diberikan:Mannitol (cairan hipertonik), dengan cara pemberian dan dosis:
per infus, 0,5-2 g/kg BB/hari yang diberikan dalam jangka waktu 10-30
menit.

2. Tidak terdapat fasilitas bedah saraf


a

Pasien tidak gawat


Diberi terapi medikamentosa, bila tidak berhasil, pasien dirujuk ke rumah
sakit terdekat yang mempunyai fasilitas bedah saraf.

Pasien dalam keadaan gawat


Pasien segera dirujuk ke rumah sakit terdekat yang mempunyai fasilitas
bedah saraf setelah diberikan mannitol.
Jenis Terapi Operatif pada Pasien Hidrosefalus
1. Third Ventrikulostomi/Ventrikel III
Lewat kraniotom, ventrikel III dibuka melalui daerah khiasma
optikum, dengan bantuan endoskopi. Selanjutnya dibuat lubang sehingga
CSS dari ventrikel III dapat mengalir keluar.
2. Operasi pintas/Shunting
Ada 2 macam :
- Eksternal
CSS dialirkan dari ventrikel ke luar tubuh, dan bersifat hanya sementara.
Misalnya: pungsi lumbal yang berulang-ulang untuk terapi hidrosefalus
tekanan normal.
- Internal

a. CSS dialirkan dari ventrikel ke dalam anggota tubuh lain.


-Ventrikulo-Sisternal, CSS dialirkan ke sisterna magna (Thor- Kjeldsen)
-Ventrikulo-Atrial, CSS dialirkan ke atrium kanan.
-Ventrikulo-Sinus, CSS dialirkan ke sinus sagitalis superior
-Ventrikulo-Bronkhial, CSS dialirkan ke Bronkhus
-Ventrikulo-Mediastinal, CSS dialirkan ke mediastinum
-Ventrikulo-Peritoneal, CSS dialirkan ke rongga peritoneum

Lumbo Peritoneal Shunt


CSS dialirkan dari Resessus Spinalis Lumbalis ke rongga peritoneum
dengan operasi terbuka atau dengan jarum Touhy secara perkutan.
Teknik Shunting
1. Sebuah kateter ventrikular dimasukkan melalui kornu oksipitalis atau
kornu frontalis, ujungnya ditempatkan setinggi foramen Monro.
2. Suatu reservoir yang

memungkinkan

aspirasi

dari

CSS

untuk

dilakukan analisis.
3. Sebuah katup yang terdapat dalam sistem Shunting ini, baik yang
terletak proksimal dengan tipe bola atau diagfragma (Hakim, Pudenz,
Pitz, Holter) maupun yang terletak di distal dengan katup berbentuk celah
(Pudenz). Katup akan membuka pada tekanan tertentu.
4. Ventriculo-Atrial Shunt. Ujung distal kateter dimasukkan ke dalam
atrium kanan jantung melalui v. jugularis interna .
5. Ventriculo-Peritoneal Shunt.
a. Slang silastik ditanam dalam lapisan subkutan.
b. Ujung distal kateter ditempatkan dalam ruang peritoneum.
Pada anak-anak, dengan kumparan silang yang banyak, memungkinkan
tidak
diperlukan adanya revisi walaupun badan anak tumbuh memanjang.
Komplikasi Shunting
a. Infeksi
Berupa peritonitis, meningitis atau peradangan sepanjang saluran
subkutan. Pada pasien-pasien dengan VA Shunt. Bakteri aleni dapat
mengawali

terjadinya Shunt

Nephritis yang

biasanya

disebabkan

Staphylococcus epidermis ataupun aureus, dengan risiko terutama pada


bayi. Profilaksis antibiotik dapat mengurangi risiko infeksi.
b. Hematoma Subdural

Ventrikel yang kolaps akan menarik permukaan korteks serebri dari


duramater. Pasien post operatif diletakkan dalam posisi terlentang
mengurangi risiko sedini mungkin.
c. Obstruksi
Dapat ditimbulkan oleh:
- Ujung proksimal tertutup pleksus khoroideus.
- Adanya serpihan-serpihan (debris).
- Gumpalan darah.
- Ujung distal tertutup omentum.
- Pada anak-anak yang sedang tumbuh dengan VA Shunt, ujung distal
kateter dapat tertarik keluar dari ruang atrium kanan, dan mengakibatkan
terbentuknya trombus dan timbul oklusi.
d. CSS yang rendah
Beberapa

pasien Post

shunting mengeluh

sakit

kepala

dan vomiting pada posisi duduk dan berdiri, hal ini ternyata disebabkan
karena tekanan CSS yang rendah, keadaan ini dapat diperbaiki dengan
jalan:
- Intake cairan yang banyak.
- Katup diganti dengan yang terbuka pada tekanan yang tinggi.
e. Asites oleh karena CSS
Asites CSS ataupun pseudokista pertama kali dilaporkan oleh Ames,
kejadian ini diperkirakan 1% dari penderita dengan VP shunt. Adapun
patogenesisnya masih bersifat kontroversial. Diduga sebagai penyebab
kelainan ini adalah pembedahan abdominal sebelumnya, peritonitis,
protein yang tinggi dalam CSS.
Asites CSS biasanya terjadi pada anak dengan tekanan intrakranial di
mana gejala yang timbul dapat berupa distensi perut, nyeri perut, mual

dan

muntah-muntah.

f. Kraniosinostosis
Keadaan

ini

terjadi

sebagai

akibat

dari

pembuatan shunt pada

hidrosefalus yang berat, sehingga terjadi penututupan dini dari sutura


kranialis.
8. Komplikasi
- Atrofi otak
- Herniasi otak yang dapat berakibat kematian
9. Prognosis
Pada hidrosefalus infantil dengan operasi shunt menunjukkan
perbaikan yang bermakna. Jika tidak diobati 50-60% bayi akan tetap
dengan hidrosefalus atau mengalami penyakit yang berulang-ulang. Kirakira 40% dari bayi yang hidup dengan intelektual mendekati normal.
Dengan pengobatan dan pembedahan yang baik setidak-tidaknya 70%
penderita dapat hidup hingga melampaui masa anak-anak, di mana 40%
diantaranya dengan intelegensi normal dan 60% sisanya mengalami
gangguan intelegensi dan motorik.
D. Kejang Demam
1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan-5
tahun. Menurut ILAE, Commission on Epidemiology and Prognosis
Epilepsi anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian
mengalami kejang demam tidak termasuk dalam kejang demam dan
kejang disertai demam yang terjadi pada bayi berumur kurang dari 1
bulan juga tidak termasuk dalam kejang demam. Bagian saraf anak
sepakat bahwa anak yang berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5

tahun mengalami kejang yang didahului demam, pikirkan kemungkinan


lain misalnya infeksi SSP atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama
demam.1
2. Manifestasi Klinis
Bangkitan kejang pada bayi dan anak-anak sering terjadi bersamaan
dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, biasanya
berkembang bila suhu tubuh mencapai 39C atau lebih, disebabkan oleh
infeksi di luar susunan saraf pusat (ISPA, OMA, dll). Serangan kejang
biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam. Kejang dapat bersifat
tonik-klonik, tonik, klonik, fokal, atau akinetik. Berlangsung singkat
beberapa detik sampai 10 menit, diikuti periode mengantuk singkat pasca
kejang. Kejang demam yang menetap lebih dari 15 menit menunjukkan
adanya penyebab organik seperti infeksi atau toksik dan memerlukan
pengamatan menyeluruh.2,3
3. Patofisiologi
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan
dalam (lipid) dan permukaan luar (ion). Dalam keadaan normal membran
sel neuron dapat dengan mudah dilalui oleh ion Kalium (K +) dan sangat
sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya kecuali Klorida
(Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K dalam sel neuron tinggi dan ion Na
rendah. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan luar sel
maka terdapat potensial membran sel neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan
enzim Na-K-ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan
potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya:
a. Perubahan konsentrasi ion di ekstraseluler.
b. Rangsangan mendadak berupa mekanis, kimiawi, atau aliran listrik
dari sekitarnya.
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri dari penyakit atau
keturunan.

Gambar 1. Patofisiologi Kejang


Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1C akan menaikan
metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%.
Pada seorang anak berusia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari
seluruh tubuh, dibandingkan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada
kenaikan suhu tubuh tertentu, dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel neuron,dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion K
maupun Na melalui membran. Perpindahan ini mengakibatkan lepas
muatan listrik yang besar, sehingga meluas ke membran sel lain melalui
neurotransmitter, dan terjadilah kejang.

Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda. Pada anak


dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38C.
Pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada
suhu 40C. Terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada anak
dengan ambang kejang yang rendah, sehingga dalam penanggulangannya
perlu diperhatikan pada suhu berapa penderita kejang.2

Gambar 2. Patofisiologi Kejang Demam

4. Klasifikasi Kejang Demam


Unit Kerja Koordinasi Neurologi IDAI 2006 membuat klasifikasi
kejang demam pada anak menjadi1,2:
a. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure) merupakan 80% di
antara seluruh kejang demam.
1) Kejang demam berlangsung singkat
2) Durasi kurang dari 15 menit

3)
4)
5)
6)

Kejang dapat umum, tonik, dan atau klonik


Umumnya akan berhenti sendiri.
Tanpa gerakan fokal.
Tidak berulang dalam 24 jam

b. Kejang Demam Kompleks (Complex Febrile Seizure)


1) Kejang lama dengan durasi lebih dari 15 menit.
2) Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial.
3) Berulang lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit
atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan anak
tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.
5. Langkah Diagnostik
Dari anamnesis yang harus ditanyakan adalah adanya kejang,
kesadaran, lama kejang, suhu sebelum/ saat kejang, frekuensi, interval,
keadaan pasca kejang, penyebab demam di luar susunan saraf pusat.
Riwayat perkembangan anak, riwayat kejang demam dalam keluarga,
epilepsi dalam keluarga. Pertanyaan juga harus menyingkirkan penyebab
kejang lainnya, misalnya tetanus.
Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan adalah kesadaran, suhu
tubuh, tanda rangsang meningeal, refleks patologis, tanda peningkatan
tekanan intrakranial, tanda infeksi di luar SSP.
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi untuk mencari
penyebab kejang demam, di antaranya:1,2,3
a) Pemeriksaan darah tepi lengkap, gula darah, elektrolit, kalsium serum,
urinalisis, biakan darah, urin atau feses.
b) Pungsi lumbal sangat dianjurkan pada anak berusia di bawah 12 bulan
(dimana symptom klinis susah dievaluasi), dianjurkan pada anak usia
12-18 bulan karena infeksi meningitis dapat muncul pada kelompok
anak dengan kelompok umur tersebut, dan dipertimbangkan pada anak
di atas 18 bulan yang dicurigai menderita meningitis (disesuiakan
dengan gejala klinis tanda kernig, Brudzinski dan kaku kuduk).

Pemeriksaan ini pada KDS masih kontroversial karena masih belum


ditemukan keefektifannya.
c) Foto X-ray dan pencitraan seperti CT -Scan atau MRI tidak
diindikasikan pada anak-anak dengan onset kejang demam simpleks
namun dapat diindikasikan pada keadaan riwayat atau tanda klinis
trauma, kemungkinan lesi struktural otak (mikrocephal, spastik),
adanya tanda peningkatan tekanan intrakranial, adanya kelainan
neurologik fokal yang menetap (hemiparesis), paresis N.VI, dan
papiledema..
d) EEG tidak dianjurkan untuk pada awitan awal kejang demam simplek,
EEG dipertimbangkan pada kejang demam yang tidak khas. Misalnya
kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang
demam fokal dan dengan kecurigaan tinggi suspek kasus epilepsi. Hasil
abnormal EEG juga tidak dapat digunakan sebagai patokan untuk
mengetahui dan memprediksi rekurensi kejang demam maupaun
epilepsy. Penggunaan EEG sebaiknya dilakukan 2 minggu setelah
awitan kejang demam hal ini untuk mencegah hasil EEG yang non
spesifik.5

Anak kejang

Diazepam rektal 0,5 -0,7mg/kgBB atau 5 mg jika BB<10kg, 10 mg jika BB10kg; boleh diulang setelah 5 menit

Kejang (bawa ke RS)


Diazepam IV 0,3-0,5 mg/kgBB

6. Terapi

Kejang
Fenitoin IV 10-20 mg/kgBB dengan kecepatan
1mg/kg/menit
1

Algoritma Penghentian Kejang Demam

Kejang berhenti
Kejang tidak berhenti
Lanjutkan dengan dosis 4-8 mg/kg/hari dimulai 12 jam setelah dosis awal
Rawat ICU

Gambar 3. Tatalaksana kejang demam


Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua dirumah adalah
diazepam rektal dengan dosis 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal untuk anak
dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk anak dengan berat badan
lebih dari 10 kg, atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah 3
tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun. Bila pada pemberian
diazepam rektal kejang belum berhenti, diazepam dapat diberikan lagi dengan
interval 5 menit. Bila masih gagal dianjurkan ke RS dan diberikan diazepam
intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.
Jika pasien datang ke rumah sakit dalam keadaan kejang, berikan
diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan
1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit dengan dosis maksimal 20 mg.
Bila masih belum berhenti berikan fenitoin secara IV dengan dosis awal
10-20 mg/kg/ kali dengan kecepatan 1mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit.

Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/ hari dimulai 12 jam
setelah dosis awal. Bila belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat
intensif.
Bila kejang berhenti, tentukan apakah anak termasuk dalam kejang demam
yang memerlukan pengobatan rumatan atau hanya memerlukan pengobatan
intermiten bila demam. Pengobatan rumatan adalah pengobatan yang diberikan
terus menerus

untuk waktu yang cukup lama, yaitu 1 tahun bebas kejang,

kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. Pengobatan rumatan


diberikan bila kejang demam menunjukkan salah satu atau lebih gejala berikut :
kejang lama >15 menit
1) anak mengalami kelainan neurologis yang nyata sebelum dan sesudah kejang
misalnya hemiparesis, Cerebral Palsy, retardasi mental.
2) Kejang fokal
3) Bila ada keluarga sekandung atau orang tua yang mengalami epilepsi
4) Pengobatan rumatan dipertimbangkan bila:
a) Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam
b) Kejang demam yang terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
c) Kejang demam 4 kali pertahun.
Pengobatan rumatan yang diberikan adalah:
1) Asam valproate 15-40 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis atau fenobarbital 3-4
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.
2) Pengobatan intermiten adalah pengobatan yang diberikan pada saat anak
mengalami demam, untuk mencegah terjadinya kejang demam. Terdiri dari
pemberian antipiretik (parasetamol 10-15 mg/kgBB/ kali diberikan 4 kali
sehari atau ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali diberikan 3-4 kali) dan
antikonvulsan (diazepam oral 0,3mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam
atau diazepam rektal 0,5-0,75 mg/kgBB setiap 8 jam pada suhu >38,5 C).
Tatalaksana di Emergensi :

U Gambar 4. Tatalaksana emergensi kejang demam


U
7. Komplikasi
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak
berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang
berlangsung lebih lama (>15 menit) biasanya disertai apnoe, hipoksemia,
hiperkapnea, asidosis laktat, hipotensi artrial, suhu tubuh makin
meningkat, metabolisme otak meningkat.
8. Prognosis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal
pada pasien yang awalnya normal.

Kejang demam dapat berulang di

kemudian hari atau dapat berkembang menjadi epilepsi di kemudian hari.


Faktor resiko berulangnya kejang pada kejang demam adalah:

a. Riwayat kejang demam dalam keluarga.


b. Usia di bawah 12 bulan.
c. Suhu tubuh saat kejang yang rendah.
d. cepatnya kejang setelah demam
Faktor resiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah:
a. kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama.
b. Kejang demam kompleks.
c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung.
9. Edukasi pada Orang Tua
Sebagai seorang dokter sebaiknya kita mengurangi kecemasan orang
tua dengan cara :
a. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya memiliki prognosis
yang baik
b. Memberitahukan cara penanganan kejang
c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
d. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi
harus diingat adanya efek samping obat.
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang
a. Tetap tenang dan tidak panik
b. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
c. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.
Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun
kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam
mulut.
d. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
e. Tetap bersama pasien selama kejang
f. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah
berhenti
g. Bawa ke dokter atau Rumah Sakit bila kejang berlangsung 5 menit
atau lebih

DAFTAR PUSTAKA
1. Alberto J Espay, MD. Hydrocephalus. Emedicine 2010 : 4 available
at www.emedicine.com di akses pada 26 November 2010
2. Caudate structural abnormalities in idiopathic normal
hydrocephalus. Acta Neurol Scand 2007: 116: pages 328332.

pressure

3. Dan Stranding S. Ventricular System and Cerebrospinal Fluid, in Grays


Anatomy The Anatomical Basis of Clinical Practice, thirty nine edition,
Churchill Livingstone, New York : 2005, 287-94

4. Darsono dan Himpunan dokter spesialis saraf indonesia dengan UGM.


2005. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: UGM Press.
Rudolph AM, dkk. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Edisi 20. Volume 3.
Jakarta:EGC, 2006. Hal 2053-57
5. Delia
R,
Nickolaus
dan
RN
Leanne
Lintula. HydrocephalusTherapy, Living with Hydrocephalus.Medtronic,
2004.
6. Fenichel GM. Psychomotor retardation and regression. Dalam: Clinical
Pediatric Neurology: A signs and symptoms approach. Edisi ke4.Philadelphia: WB Saunders; 2001.h.11747.
7. First LR, Palrey JS. Current Concepts: The Infant or Young Child with
Developmental Delay. The New England Journal of Medicine 1994; 7478483.
8. Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson,
Vol. 3, Edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000; XXVII :
2059 2060
9. Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu
Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM,
Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran No. 27. 1982 : 6 8.
10. http://www.ninds.nih.gov/disorders/hydrocephalus/hydrocephalus.htm
DeVito EE, Salmond CH, Owler BK, Sahakian BJ, Pickard JD. 2007.
11. IDAI (2006). Konsensus Penatalaksaan Kejang Demam. Jakarta: Balai
Penerbit IDAI
12. Kahle, Leonhardt, Platzer. Sistem Saraf Dan Alat-Alat Sensoris, dalam
Atlas Berwarna & Teks Anatomi Manusia jilid 3, edisi 6,. Hipokrates,
2005, 262-271
13. Katzung BG (2002). Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi ke 8. Jakarta:
Salemba Empat, pp: 485-486
14. Lutter RW (2009). How to Address The Public Health Problem of Liver
Injury Related to The Use of Acetaminophen in Both Over- The-Counter
(OTC) and Prescription (Rx) Products. Washington: FDA
15. Mangunatmadja I (2002). Kejang pada anak. Dalam: Trihono PP, Syarif
DR, Hegar B, Gunardi H, penyunting. Hottopics in pediatrics II.
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak FKUI XLV.
Jakarta18-19 Februari; 2002. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, h. 245-61.

16. Mansjoer Arif, Suprohaita, Wardhani Wahyu Ika, et al. Neurologi Anak,
dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media
Aesculapius FK Universitas Indonesia, Jakarta. 2000 : 48, 434 437.
17. Melati D, Windiani IGAT, Soetjiningsih. Karakteristik Klinis
Keterlambatan Perkembangan Global Pada Pasien di Poliklinik Anak
RSUP Sanglah Denpasar. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana Bali
18. Mengenal Keterlambatan Perkembangan Umum pada Anak. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Indonesia. [diunduh 19 Desember 2013]. [Available
from]:
URL:
http
//idai.or.id/public-articles/seputar-kesehatananak/mengenal-keterlambatan-perkembangan-umum-pada-anak.html.
19. Menkes JH. Textbook of Child Neurology. 4th. ed. Philadelphia: Lea &
Febiger 1990; 306-311.
20. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini Tumbuh
Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Departemen
Kesehatan RI. 2005.
21. Peter Paul Rickham. 2003. Obituaries. BMJ 2003: 327: 1408-doi: 10.1136/
bmj.327.7428.1408.
22. Price SA, Wilson LM. Vetrikel dan Cairan Cerebrospinalis,
dalamPatofiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 4, Penerbit
Buku Kedokteran EGC: Jakarta, 1994, 915-6
23. Pusponegoro Hardiono D, Widodo Dwi Putro, Ismael Sofyan. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Jakarta. 2006 : 1 14.
24. R.Sjamsuhidat, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC,
Jakarta : 2004, 809-810
25. Ropper, Allan H. And Robert H. Brown. 2005. Adams And Victors
Principles Of Neurology: Eight Edition. USA.
26. Rosenow F, Arzimanoglou A, Baulac M (2002). Recent development in
treatment of status epilepticus: a review. Epileptic Disord; 4:S1-11.
27. Saharso Darto. Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi
Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya. 2006 : 271
273.

28. Shevell M, Ashwal S, Donley D, Flint J, Gingold M, Hirzt D, dkk. Practice


parameter: Evaluation of the quality standards subcommittee of the
American Academy of Neurology and the practice committee of the child
neurology society. Neurology 2003;60:67-80.
29. Shevell MI. The evaluation of the child with a global developmental delay.
Seminar Pediatric Neurology. 1998;5:2126.
30. Soetjiningsih. Tumbuh kembang anak. Dalam: RanuhIGN, penyunting.
Tumbuh kembang anak. Jakarta: EGC; 1995. h. 1-32.
31. Sri M, Sunaka N, Kari K. Hidrosefalus. Dexamedia 2006; 19, 40-48.
32. Srour M, Mazer B, Shevell MI. Analysis of clinical features predicting
etiologic yield in the Assessment of global development delay. Pediatrics
2006;118:139-45.
33. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FKUI Jakarta. 1985 : 25, 847 855.
34. Suwarba IGN, Widodo DP, Handryastuti RAS. Profil klinis dan etiologi
pasien keterlambatan perkembangan global di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta. Sari Pediatri 2008;10:255-61.
35. Tendean S, Pusponegoro DH, Madiyanto B (2007). Perbandingan
Efektivitas Pengobatan Lorazepam Bukal Dengan Diazepam Rektal dalam
Tata Laksana awal Kejang pada Anak. Sari Pediatri 8 (4): 265-9
36. Walters AV. Development Delay: Causes and Identification. ACNR 2010;
10(2);32-4.
37. Widodo DP (2006). Algoritme penatalaksanaan kejang akut dan status
epileptikus pada bayi dan anak. Dalam: Pusponegoro HD, Handryastuti S,
Kurniati N., penyunting. Pediatric neurology and neuroemergency in daily
practice. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak
FKUI XLIX. Jakarta 27-28 Maret 2006. Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia, h. 63-9.
38. Wilmana PF dan Gan S (2007). Analgesik-Antipiretik Analgesik AntiInflamasi Nonsteroid dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. Dalam: Gan, S.,
Setiabudy, R., dan Elysabeth, eds. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5.
Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI
39. Young CC, Prielipp RC (2001). Benzodiazepines in the intensive care unit.
Crit Care Clin; 17:843-62.

Anda mungkin juga menyukai