Abstrak
Latar belakang: Meskipun mengalami kemajuan yang signifikan dalam
pembedahan, kontroversi berlanjut mengenai waktu apendektomi. Tujuan dari
penelitian observasional prospektif ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
interval waktu mulai timbulnya gejala pada usus buntu sampai apendektomi dan
komplikasi pasca operasi.
Metode: Setelah persetujuan dewan peninjau institusional, semua pasien dewasa
yang mengalami apendektomi darurat antara 1/9/2013 dan 1/12/2014 terdaftar
secara prospektif. Pengumpulan data meliputi demografi, open appendectomy vs
laparoscopic appendectomy, comprehensive complication index (CCI), dan 30
hari follow up. Untuk menentukan hubungan time-dependent antara penundaan
operasi dan komplikasi, semua pasien dikelompokkan menjadi subkelompok
berdasarkan interval waktu dalam 12 jam dari onset sakit perut sampai operasi.
Hasil primer adalah komplikasi per CCI dalam hubungan penundaan dari gejala
terhadap appendectomy. Hasil sekunder meliputi durasi operasi, lama perawatan
di rumah sakit (HLOS), dan timbulnya komplikasi dalam waktu 30 hari follow-
up.
Hasil: Sebanyak 266 pasien dengan usia rata-rata 35,4 ± 14,8 tahun memenuhi
kriteria inklusi. Secara keseluruhan, 83,1% pasien menjalani laparoskopi
appendectomy. Keterlambatan operasi pada 12-jam setelah gejala menunjukkan
peningkatan bertahap pada komplikasi per CCI (adj P = 0,037). Juga,
keterlambatan untuk appendectomy meningkatkan durasi pembedahan dan HLOS
masing-masing secara signifikan (adj. P <0,001 dan adj. P < 0,001). Secara
keseluruhan, pada 5,7% pasien infeksi berkembang di tempat operasi setelah
keluar dari rumah sakit.
Kesimpulan: Perpanjangan waktu dari onset gejala awal sampai appendectomy
berhubungan dengan peningkatan komplikasi per CCI, durasi pembedahan, dan
HLOS pada apendisitis akut. Apendektomi darurat diperlukan pada apendisitis
akut.
Pendahuluan
Apendektomi adalah pembedahan abomen darurat yang paling sering dilakukan
dengan resiko apendisits dalam hidup sebesar 9%. Meskipun ada kemajuan
signifikan dalam operasi dan terapi antimikroba, tetap banyak kontroversi dalam
pengelolaan apendisitis akut.
Banyak penelitian telah mengamati bahwa risiko perforasi bergantung
pada waktu dan perpanjangan waktu untuk operasi dengan keluaran yang buruk.
Namun, penelitian lain telah melaporkan bahwa resolusi spontan apendisitis
derajat rendah sering terjadi dan tatalaksana nonoperatif dalam kasus ini dapat
menghasilkan keluaran yang baik. Karena kekurangan data, kami menetapkan
penentuan secara prospektif hubungan antara interval waktu mulai timbulnya
gejala hingga pembedahan dan kejadian komplikasi dengan membandingkan
tingkat keparahan penyakit per histologi pada semua spesimen.
Hasil
Secara keseluruhan, selama periode penelitian 15 bulan, 270 apendektomi
dilakukan dan 266 (98,5%) pasien disertakan. Empat pasien menolak untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini.
Tabel 1 menggambarkan karakteristik demografi dan klinis kohort. Satu-
satunya perbedaan signifikan dalam profil demografis adalah usia rata-rata
kelompok studi yang masuk dalam model regresi logistik. Waktu pembedahan
rata-rata untuk operasi adalah 6,3 ± 5,7 jam dan tidak ada perbedaan secara
signifikan antara kelompok
Rata-rata WBC saat masuk adalah 13,1 ± 3,9 x 109/L dan CRP rata-rata
adalah 47,8 ± 71,9 mg / L. Secara keseluruhan, 88,6% pasien menjalani
pemeriksaan ultrasound dan 20,1% computed tomography scan, masing-masing
sebelum operasi.
Sebanyak 95,1% pasien menerima antibiotik intravena perioperatif
berdasarkan kebijaksanaan dokter yang merawat. Secara keseluruhan, 4,9% (n =
13) pasien tidak menerima antibiotik perioperatif. Dua dari 13 kasus (15%) pasien
tidak menerima antibiotik perioperative berkembang menjadi satu SSI superfisial
dan satu infeksi intra abdomen.
Tabel 3 temuan histologi dan distribusi oleh skor keparahan penyakit (G1-G5)
semua pasien
Tabel 5 Lama perawatan di rumah sakit dan follow up 30 hari pada semua pasien
Diskusi
Kami berhipotesis bahwa tertundanya gejala dengan perpanjangan interval waktu
dari onset sakit perut sampai operasi dapat meningkatkan komplikasi pasca-
appendectomy. Penelitian ini membuktikan hipotesis kami dan menunjukkan
bahwa komplikasi pasca appendektomi berhubungan dengan perpanjangan
interval waktu keseluruhan dari gejala pertama sampai operasi. Juga, semua kasus
DSS lanjut (G4 dan G5) ditemukan di subkelompok pasien dengan apendisitis
yang mengalami apendektomi melewati 36 jam sejak timbulnya gejala.
Beberapa penelitian sebelumnya telah mengevaluasi dampak interval
waktu dari masuk rumah sakit hingga operasi pada pasien dengan apendisitis akut.
Busch dkk. mengamati bahwa penundaan di rumah sakit > 12 jam meningkatkan
risiko perforasi dan kejadian buruk. Juga, Teixeira dan rekannya dalam analisis
4529 appendektomi mencatat bahwa penundaan di rumah sakit > 6 jam secara
independen meningkatkan risiko infeksi di tempat bedah. Demikian juga, dalam
sebuah penelitian oleh Udgiri dkk., penundaan di rumah sakit untuk operasi
melebihi 10 jam secara signifikan meningkatkan kejadian komplikasi. Meski
demikian, beberapa penelitian telah menemukan hasil yang berlawanan. Dalam
sebuah penelitian oleh Shin dan rekanan, tidak ada perbedaan hasil yang
signifikan yang dicatat antara subkelompok yang menunggu operasi kurang dari 8
jam dibandingkan dengan yang lebih dari 8 jam. Dalam studi besar lain oleh
Drake dan rekannya, tidak ada hubungan antara waktu di rumah sakit sebelum
operasi dan perforasi apendiks yang terdeteksi. Beberapa penelitian lain
menemukan penundaan < 24 jam masih dalam batas aman.
Studi kami mendokumentasikan secara prospektif keseluruhan segmen
waktu sejak awal gejala pertama, saat masuk ke rumah sakit, saat operasi
berikutnya. Sangat sedikit penelitian sebelumnya yang mengevaluasi interval
waktu total dari onset gejala hingga operasi. Sebuah studi retrospektif besar oleh
Ditillo dkk. menunjukkan bahwa tingkat keparahan histologi dan tingkat
komplikasi bergantung pada waktunya dan keterlambatan usus buntu dikaitkan
dengan keluaran yang buruk. Para peneliti ini mencatat bahwa risiko patologi
appendicular lanjutan meningkat 13 kali lipat bila interval waktu total lebih besar
dari 71 jam. Dua studi retrospektif lainnya menganalisis efek keterlambatan
pembedahan pada keluaran. Sadot dkk. menemukan bahwa interval waktu total
melebihi 48 jam secara signifikan meningkatkan risiko perforasi. Demikian juga,
Bickell et al. mengamati hasil yang sama ketika interval keseluruhan mulai masuk
ke operasi lebih dari 36 jam. Demikian pula, sebuah studi prospektif dengan,
bagaimanapun, sejumlah kecil pasien oleh Temple dkk. mengamati bahwa
penundaan munculnya gejala menyumbang sebagian besar perforasi. Namun
demikian, sebagian besar penelitian yang menganalisis interval waktu total
dibatasi oleh desain retrospektif dan juga penelitian ini menganalisis efek samping
pasca operasi. Berkenaan dengan HLOS, banyak penelitian telah menunjukkan
bahwa interval yang lebih lama atau penundaan dalam rumah sakit meningkatkan
lama perawatan pasca apendektomi.
Secara keseluruhan, hasil kami sesuai dengan studi yang disebutkan di atas
yang mendokumentasikan hasil yang lebih buruk dengan interval waktu yang
diperpanjang, sejak masuk rumah sakit hingga operasi. Yang terpenting, kami
menggunakan CCI sebagai alat yang berguna untuk mengevaluasi komplikasi
post-appendectomy. Dalam penelitian ini, CCI menunjukkan peningkatan yang
bertahap dalam kaitannya dengan peningkatan waktu 12 jam dari gejala hingga
operasi. Selain itu, HLOS post-appendectomy dan durasi operasi menunjukkan
peningkatan yang signifikan dengan pemanjangan waktu untuk operasi. Demikian
juga, dengan waktu yang semakin lama untuk operasi, penempatan drainase
intraoperatif lebih sering dilakukan pada penelitian ini (adj. P < 0,001). Namun,
penempatan drainase merupakan kontroversial dan mungkin terkait dengan HLOS
yang berkepanjangan.
Follow up 30 hari menunjukkan bahwa 5,7% pasien berkembang menjadi
SSI setelah keluar dari urmah sakit, yang dianggap tinggi (Tabel 5).
Penelitian sebelumnya oleh Garst dan kawan-kawan mencatat sebuah
distribusi DSS G1 pada 62,4%, G2 pada 13%, G3 pada 18,7%, G4 pada 4,4%, dan
G5 pada 1,5% dalam studi kohort yang melubakan 918 pasien dengan apendisitis,
yang dapat dibandingkan dengan penelitian kami. Pada penelitian kami, normal
apendik ditemukan pada 8,3% kasus dan insidennya sama dengan histologi
apendikular yang normal antara 3,1 dan 15,4% telah dilaporkan pada seri
sebelumnya. Jadi kami percaya bahwa populasi penelitian kami menggambarkan
populasi umum dengan apensitis akut.
Beberapa studi melaporkan bahwa resolusi spontan apendisitis sering
terjadi dan tatalaksana non operatif dapat terjadi. Bagaimanapun, studi kami
menunjukkan bahwa kasus grade lanjut dari apendisitis berada pada kelompok
perpanjangan waktu untuk pembedahan. Hanya empat apendisitis perforasi (G3)
yang diobservasi dalam sub kelompok kurang dari 24 jam dan pada semua kasus
G4 dan G5, waktu pembedahan melebihi 36 jam. Sehingga kami menyarankan
bahwa apendisitis akut mungkin sebuah proses yang bergantung waktu, namun
penelitian prospektif lainnya masih dibutuhkan.
Insidensi malignansi pada specimen appendicular dilaporkan sekitar 1%
dalam literature. Kami mengobservasi insiden malignansi pada specimen
appendicularpenelitian kami yaitu 1,1% (n=3). Menariknya, hanya ada satu dari
tiga kasus, ahli bedah secara klinis memperikarakan malignansi selama
pembedahan. Sejingga setiap specimen appendicular senaiknya dikirim ke bagian
histologi karena sulitnya membedakan specimen benigna dan non beningna.
Secara keseluruhan 4,9% (n=13) pada kohort tidak menerima antibiotic
perioperatif dan menunjukkan kualitas perbaikan dini pada situs penelitian. Dua
pasien tidak menerima antibiotic perioperative berkembang menjadi satu
superfisial SSI dan satu organ atau ruang SSI tidak membutuhkan intervensi
pembedahan.
Tatalaksana non operatif pada akut appendicitis dengan terapi antimikroba
telah dievaluasi pada beberapa tahun belakangan ini dengan beberapa kesuksesan.
Namun, pada studi terbaru oleh Salminen dan kawan-kawan, penelitian lain yang
sama, 27,3% pasien yang menerima terapi antimikroba mengalami apendektomi
subsekuen dengan periode follow up 1 tahun. Metaanalisis Cochrane terdiri dari
lima studi randomisasi prospektif akut appendicitis dengan operasi versus terapi
antibiotic disimpulkan bahwa keluaran pada kohort yang diberi antibiotic tidak
meyakinkan. Sehingga institusi kami masih mempertimbangkan appendektomi
sebagai tatalaksana gold standard untuk appendicitis akut.
Sepengetahuan kami, ini adalah penelitian observasional prospektif
pertama yang menyelidiki keseluruhan interval waktu dari gejala awal sampai
follow up 30 hari pasca operasi. Namun demikian, penelitian kami dibatasi oleh
jumlah pasien yang mengakibatkan kegagalan untuk menunjukkan peningkatan
bertahap dalam komplikasi per klasifikasi CD di antara time-stratified cohort.
Kedua, terapi antimikroba diberikan atas pertimbangan dokter yang mungkin
menyebabkan potensi bias pada hasil; Namun, pengaturan tunggal yang berfungsi
per prinsip antibiogram tunggal menyeimbangkan bias potensial.
Perpanjangan interval waktu dari onset gejala ke operasi dikaitkan dengan
peningkatan durasi pembedahan, kebutuhan terapi antibiotik pasca operasi,
komplikasi bedah, dan HLOS. Apendektomi yang darurat pada apendisitis akut
diperlukan.