Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
Kejahatan seksual (sexual offense), merupakan salah satu bentuk dari
kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, mempunyai
kaitan yang erat dengan Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Kedokteran Forensik;
yaitu didalam upaya pembuktian bahwasanya kejahatan tersebut memang telah
terjadi. Adanya kaitan antara Ilmu Kedokteran dengan kejahatan seksual dapat
dipandang sebagai konsekuensi dari pasal-pasal didalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) serta Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), yang memuat ancaman hukuman serta tata cara pembuktian pada
setiap kasus yang termasuk didalam pengertian kasus kejahatan seksual.
Visum et Repertum yang dihasilkan mungkin menjadi dasar untuk
membebaskan terdakwa dari penuntutan atau sebaliknya untuk menjatuhkan
hukuman. Di Indonesia pemeriksaan korban persetubuhan yang diduga
merupakan tindak kejahatan seksual umumnya dilakukan oleh dokter ahli Ilmu
Kebidanan dan Penyakit Kandungan, kecuali di tempat yang tidak ada dokter ahli
sedemikian, dokter umum lah yang harus melakukan pemeriksaan itu.
Pemeriksaan kasus-kasus persetubuhan yang merupakan tindak pidana
hendaknya dilakukan dengan teliti dan waspada. Pemeriksa harus yakin akan
semua bukti-bukti yang ditemukannya karena berbeda dengan di klinik, pemeriksa
tidak lagi mempunyai kesempatan untuk melakukan pemeriksaan ulang guna
memperoleh lebih banyak bukti.
Tetapi dalam pelaksanaan kewajiban itu, dokter jangan sampai meletakkan
kepentingan si korban di bawah kepentingan pemeriksaan. Terutama bila korban
masih anak-anak hendaknya, pemeriksaan itu tidak sampai menambah trauma
psikis yang sudah dideritanya.
Sebagai ahli klinis yang perhatian utamanya tertuju pada kepentingan
pengobatan penderita, memang agak sukar untuk melakukan pemeriksaan yang
berhubungan dengan kejahatan. Sebaliknya korban kejahatan seksual dianggap
sebagai orang yang telah mengalami cedera fisik atau mental, sehingga sebaiknya
1

pemeriksaan ditangani oleh dokter di klinik. Penundaan pemeriksaan dapat


memberikan hasil pemeriksaan yang kurang memuaskan.
Dengan demikian upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada
setiap kasus kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam upaya pembuktian
ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan,
maupun kejahatan seksual dalam bentuk homoseksual.

BAB II
KEJAHATAN SEKSUAL
2.1. Kejahatan seksual
Kejahatan seksual dalam arti luas sama dengan perbuatan cabul,
sedangkan kejahatan seksual dalam arti sempit sering dikaitkan dengan
persetubuhan.
Yang dimaksud dengan persetubuhan adalah masuknya alat
kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan, tetapi definisi
persetubuhan dalam KUHP tidak ada. Persetubuhan menurut Arrest Hooge
Raad atau pengadilan tinggi belanda adalah penyatuan atau penetrasi penis
ke dalam vagina, disertai dengan ejakulasi. Persetubuhan menurut Anglo
Saxon

atau

negara-negara

Inggris,

Amerika

dan

negara-negara

commonwealth atau bekas jajahan Inggris adalah penetrasi parsial, dimana


tidak perlu penetrasi utuh sepenuhnya masuk. Persetubuhan secara medis
merupakan penetrasi minimal yang dapat menyebabkan kehamilan.
Perbuatan cabul dalam arti sempit adalah melampiaskan atau usaha
untuk mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus melanggar kesusilaan
tetapi di luar persetubuhan. Syarat perbuatan cabul adalah dilakukan
dengan sengaja, merusak rasa susila.
Beberapa tipe kejahatan seksual.
Aspek legal dari kejahatan seksual berbeda tiap negara
1. Perkosaan.
Syarat terjadinya perkosaan adalah :
-

Terjadi

persetubuhan

yang

dilakukan

laki-laki

terhadap perempuan.
-

Harus dibuktikan adanya tanda-tanda kekerasan atau


ancaman kekerasan.

Dilakukan di luar nikah.

2. Pelecehan seksual.

Pelecehan seksual tidak dapat dibuktikan secara medis ataupun


dengan bukti lain.
Yang dapat dimasukkan ke dalam pelecehan seksual adalah pemerkosaan
yang tidak dapat dibuktikan sampai mencolek bagian tubuh perempuan misalnya
bokong.
2.2 Undang-Undang Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Seksual
Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh
undang-undang dapat dilihat pada pasal-pasal yang tertera pada Bab XIV KUHP,
yaitu Bab tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan; yang meliputi baik
persetubuhan di dalam perkawinan maupun persetubuhan di luar perkawinan.
Agar kesaksian seorang dokter pada perkara pidana mencapai sasarannya
yaitu membantu pengadilan dengan sebaik-baiknya, dia harus mengenal undangundang yang bersangkutan dengan tindak pidana tersebut dan dia harus
mengetahui unsur-unsur mana yang dibuktikan secara medik atau yang
memerlukan pendapat medik.
BW pasal 27
Dalam waktu yang sama, seorang laki hanya diperbolehkan
mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan
hanya satu orang laki sebagai suaminya.
KUHP pasal 284
(1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: 1a.
seorang pria yang telah kawin, yang melakukan gendak (overspel),
padahal diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku
baginya.
1b. seorang wanita yang telah kawin, yang melakukan gendak
(overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgerlyk
Wetboek) berlaku baginya.
2a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin

2b. Seorang wanita yang belum kawin yang turut serta melakukn
perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah
telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami atau istri
yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam
tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan untuk bercerai
atau pisah meja dan ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73 dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang
pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami istri itu berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak
diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian
atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur
menjadi tetap.
KUHP pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena
melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
KUHP pasal 286
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan,
padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
KUHP pasal 287
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan,
padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya
belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum
waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita
itu belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal
berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.

KUHP pasal 291


(1) kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 288
dan 290 itu berakibat luka berat, dijatuhkan hukuman penjara selamalamanya dua belas tahun.
(2) Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286,
287, 289. dan 290 itu berakibat matinya orang dijatuhkan hukuman
selama-lamanya lima belas tahun.
KUHP pasal 294
Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya
atau anak piaraannya, anak yang dibawah pengawasannya, orang dibawah
umur yang diserahkan kepadanya untuk dipelihara, dididiknya atau
dijaganya, atau bujangnya atau orang yang dibawah umur, dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
2.3. Pembuktian Terhadap Kejahatan Seksual
2.3.1. Pembuktian adanya persetubuhan
Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke
dalam vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau
tanpa disertai ejakulasi.
Hasil upaya pembuktian dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain :
1. Besarnya penis dan derajat penetrasinya.
2. Bentuk dan elastisitas selaput dara (hymen).
3. Ada tidaknya ejakulasi dan keadaan ejakulat.
4. Posisi persetubuhan.
5. Keaslian barang bukti serta waktu pemeriksaan.

Dengan demikian, tidak terdapatnya robekan pada hymen, tidak dapat


dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi, sebaliknya adanya robekan
hymen hanya merupakan pertanda adanya suatu benda (penis atau benda lain),
yang masuk ke dalam vagina.

Melihat robekan hymen, dibagi menjadi dua :


1. Robekan lama (sudah ada penyembuhan berupa jaringan ikat, terbentuk dalam
kurang lebih tujuh hari).
2. Robekan baru (ada bekuan darah di sekitar hymen).
Jenis robekan hymen dibagi menjadi tiga bentuk :
1. Inkomplit.
Superfisial bila mengenai kurang dari setengah tebal hymen, dan profunda bila
mengenai lebih dari setengah tebal hymen.
2. Komplit.
Mengenai seluruh lapisan hymen mulai dari permukaan sampai dasar.
3. Komplikasi.
Disamping adanya robekan hymen, juga disertai robekan jaringan disekitarnya
(sering terjadi pada kasus-kasus kejahatan kesusilaan).
Robekan pada hymen dapat menyebabkan beberapa komplikasi antara lain
1. Infeksi, terutama GO atau bakteri vagina yang lain.
2. Perdarahan, bisa berlanjut menjadi rectovaginal fistula yang menyebabkan
kematian.
3. Ruptura fornix posterior, yang bila menyembuh akan menyebabkan striktur.
Apabila pada persetubuhan disertai dengan ejakulasi dan ejakulat tersebut
mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang vagina merupakan
tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila ejakulat tidak mengandung sperma
maka pembuktian adanya persetubuhan dapat diketahui dengan melakukan
pemeriksaan terhadap ejakulat tersebut.
Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah
enzim asam fosfatase, kholin, dan spermin. Baik enzim asam fosfatase, kholin

maupun spermin bila dibandingkan dengan sperma nilai pembuktiannya lebih


rendah oleh karena ketiga komponen tersebut tidak spesifik. Walaupun demikian
enzim asam fosfatase masih dapat diandalkan, oleh karena kadar asam fosfatase
yang terdapat dalam vagina (berasal dari wanita sendiri), kadarnya jauh lebih
rendah bila dibandingkan dengan asam fosfatase yang berasal dari kelenjar
prostat.
Dengan demikian apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan
persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan sendirinya
pembuktian adanya persetubuhan secara Kedokteran Forensik tidak mungkin
dapat dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya dokter tidak dapat secara
pasti pula menentukan bahwa pada wanita tidak terjadi persetubuhan; maksimal
dokter harus mengatakan bahwa pada diri wanita yang diperiksanya itu tidak
ditemukan tanda-tanda persetubuhan, yang mencakup dua kemungkinan :
I. Tidak ada persetubuhan.
II. Persetubuhan ada tapi tidak ditemukan tanda-tandanya.
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti, maka perkiraan
saat terjadinya persetubuhan harus ditentukan, hal ini menyangkut masalah alibi
yang sangat penting di dalam proses penyidikan.
Sperma dalam liang vagina masih dapat bergerak dalam waktu 4-5 jam
post koital; sperma masih dapat ditemukan tidak bergerak sampai sekitar 24-36
jam post koital, dan bila wanitanya mati masih dapat ditemukan 7 - 8 hari.
Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga dapat ditentukan dari proses
penyembuhan dari selaput dara yang robek, yang pada umumnya penyembuhan
tersebut akan dicapai dalam waktu kurang lebih 7-10 hari.
2.3.2. Pembuktian adanya kekerasan
Pembuktian adanya kekerasan pada tubuh wanita korban tidak sulit, dalam
hal ini perlu diketahui lokasi luka-luka yang sering ditemukan, yaitu : daerah
mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan tangan, pangkal paha serta
disekitar alat genital. Luka-luka akibat kekerasan pada kejahatan seksual biasanya
berbentuk luka-luka lecet bekas kuku, gigitan (bite marks) serta luka-luka memar.

Perlu diketahui didalam hal pembuktian adanya kekerasan bahwa tidak


selamanya kekerasan itu meninggalkan jejak atau bekas yang berbentuk luka.
Dengan demikian jika tidak ditemukannya luka tidak berarti bahwa pada wanita
korban tidak terjadi kekerasan; disini kembali pentingnya atau alasan mengapa
dokter harus menggunakan kalimat tanda-tanda kekerasan didalam setiap VR
yang dibuat, oleh karena tidak ditemukannya tanda-tanda kekerasan mencakup
dua pengertian.
Oleh karena tindakan pembiusan dikategorikan sebagai tindakan
kekerasan, maka diperlukan pemeriksaan untuk menentukan ada tidaknya obatobat atau racun yang dapat membuat wanita menjadi pingsan; ini menimbulkan
konsekuensi bahwa pada setiap kasus kejahatan seksual pemeriksaan toksikologi
menjadi prosedur yang rutin.
2.3.3. Homoseksual Sebagai Salah Satu Bentuk Kejahatan Seksual
Dalam pasal 292 KUHP, terdapat ancaman hukuman bagi seseorang yang
cukup umur yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama
kelaminnya yang belum cukup umur.
Dengan demikian kasus homoseksual dan lesbian jelas merupakan
kejahatan seksual, bila pasangannya belum dewasa, yang secara yuridis belum 21
tahun atau kurang dari 21 tahun tapi sudah pernah kawin, secara yuridis pasangan
tersebut dinyatakan sudah dewasa.
Jika kasus yang dihadapi adalah kasus homoseks, antara dua pria, maka
pembuktian secara kedokteran forensik tidak sulit, oleh karena yang perlu
dibuktikan adalah: perkiraan umur, adanya sperma serta air mani baik dalam
dubur atau mulut korban, perlu juga diperiksa bentuk dubur, bagi yang telah
sering melakukan persetubuhan melalui dubur, bentuk dari dubur akan mengalami
perubahan, dubur terbuka berbentuk corong, otot spingter tidak berfungsi dengan
baik.
Pada kasus lesbian, selain perkiraan umur maka perlu dicari apakah
terdapat kelainan yang diakibatkan oleh manipulasi genital dengan tangan atau
alat bantu.

2.4.

Pemeriksaan

2.4.1. Yang Harus Diperhatikan Sebelum Pemeriksaan


Setiap pemeriksaan untuk pengadilan harus berdasarkan permintaan
tertulis dari penyidik yang berwewenang.
Korban harus diantar oleh polisi karena tubuh korban merupakan benda
bukti. Kalau korban datang sendiri dengan membawa surat permintaaan
dari polisi, jangan diperiksa, suruh korban kembali kepada polisi.
Setiap Visum et Repertum harus dibuat berdasarkan keadaan yang
didapatkan pada tubuh korban pada waktu permintaan Visum et
Repertum diterima oleh dokter.
Bila dokter telah memeriksa seorang korban yang datang di rumah sakit,
atau di tempat praktek atas inisiatif sendiri, bukan atas permintaan polisi,
dan beberapa waktu kemudian polisi mengajukan permintaan untuk
dibuatkan Visum et Repertum, maka ia harus menolak, karena segala
sesuatu yang diketahui dokter tentang diri korban sebelum ada
permintaan untuk dibuatkan Visum et Repertum merupakan rahasia
kedokteran yang wajib disimpannya (KUHP pasal 332). Dalam keadaan
seperti itu dokter dapat meminta kepada polisi supaya korban dibawa
kembali kepadanya dan Visum et Repertum dibuat berdasarkan keadaan
yang ditemukan pada waktu permintaan diajukan. Hasil pemeriksaan
yang lalu tidak diberikan dalam bentuk Visum et Repertum, tetapi dalam
bentuk surat keterangan.
Hasil pemeriksaan sebelum diterimanya surat permintaan pemeriksaan
dilakukan terhadap pasien dan bukan sebagai corpus dilicti (benda
bukti).
Ijin tertulis untuk pemeriksaan ini dapat diminta pada korban sendiri
atau jika korban adalah seorang anak, dari orang tua atau walinya.
Jelaskan terlebih dahulu tindakan-tindakan apa yang akan dilakukan
pada korban dan hasil pemeriksaan akan disampaikan ke pengadilan. Hal
ini perlu diketahui walaupun pemeriksaan dilakukan atas permintaan
10

polisi, belum tentu korban akan menyetujui pemeriksaan itu dan tidak
menolaknya. Selain itu bagian yang akan diperiksa merupakan the most
private part dari tubuh seorang wanita.
Seorang perawat atau bidan harus mendampingi dokter pada waktu
pemeriksaan korban.
Pemeriksaan dilakukan secepat mungkin jangan ditunda terlampau lama.
Hindarkan korban dari menunggu dengan perasaan was-was dan cemas
dikamar periksa. Apalagi bila korban adalah seorang anak. Semua yang
ditemukan harus dicatat, jangan tergantung pada ingatan semata.
Visum et Repertum diselesaikan secepat mungkin. Dengan adanya
Visum et Repertum perkara cepat dapat diselesaikan. Seorang terdakwa
dapat cepat dibebaskan dari tahanan bila ternyata ia tidak bersalah.
Kadang-kadang dokter yang sedang berpraktek pribadi diminta oleh
seorang ibu atau ayah untuk memeriksa anak perempuannya, karena ia
merasa sangsi apakah anaknya masih perawan atau karena ia merasa
curiga kalau-kalau atas diri anaknya baru terjadi persetubuhan.
Dalam hal ini sebaiknya ditanyakan dahulu maksud pemeriksaan,
apakah sekedar ingin mengetahui saja, atau ada maksud untuk
melakukan penuntutan. Bila dimaksudkan akan melakukan penuntutan
maka sebaiknya dokter jangan memeriksa anak itu. Katakan bahwa
pemeriksaan harus dilakukan berdasarkan permintaan polisi dan
biasanya dilakukan di rumah sakit. Mungkin ada baiknya dokter
memberikan penerangan pada ibu atau ayah anak itu, bahwa jika umur
anaknya sudah 15 tahun, dan jika persetubuhan terjadi tidak dengan
paksaan maka menurut undang-undang, laki-laki yang bersangkutan
tidak dapat dituntut. Pengaduan mungkin hanya akan merugikan
anaknya saja. Lebih baik lagi jika orang tua dianjurkan untuk minta
nasehat dari seorang pengacara.
Jika orang tua hanya sekedar ingin mengetahui, maka dokter dapat
melakukan pemeriksaan. Tetapi jelaskan lebih dahulu bahwa hasil
pemeriksaan tidak akan dimuat dalam bentuk surat keterangan, karena
11

kita tidak mengetahui untuk apa surat keterangan itu. Mungkin untuk
melakukan penuntutan atau untuk menuduh seseorang yang tidak
bersalah. Dalam keadaan demikian umumnya anak tidak mau diperiksa,
sebaliknya orang tua malah mendesaknya. Sebaiknya dokter meminta
ijin tertulis untuk memeriksa dan memberitahukan hasil pemeriksaan
kepada orangtuanya.
2.4.2

Data dalam bagian pendahuluan Visum et Repertum kejahatan


kesusilaan.
Yaitu Instansi Polisi yang meminta pemeriksaan, nama dan pangkat

polisi yang mengantar korban, nama, umur, alamat dan pekerjaan korban
seperti tertulis dalam surat permintaan, nama dokter yang memeriksa, tempat,
tanggal dan jam pemeriksaan dilakukan serta nama perawat yang menyaksikan
pemeriksaan.
Pada umumnya anamnesis yang diberikan oleh orang sakit dapat
dipercaya, sebaliknya anamnesis yang diperoleh dari korban tidak selalu
benar.
Terdorong oleh berbagai maksud atau perasaan, misalnya maksud
untuk memeras, rasa dendam, menyesal atau karena takut pada ayah atau ibu,
korban mungkin mengemukakan hal-hal yang tidak benar.
Anamnesis merupakan suatu yang tidak dapat dilihat atau ditemukan
oleh dokter sehingga bukan merupakan pemeriksaan yang obyektif, sehingga
seharusnya tidak dimasukkan dalam Visum et Repertum. Anamnesis dibuat
terpisah dan dilampirkan pada Visum et Repertum dengan judul keterangan
yang diperoleh dari korban. Dalam mengambil anamnesis, dokter meminta
pada korban untuk menceritakan segala sesuatu tentang kejadian yang
dialaminya dan sebaiknya terarah. Anamnesis terdiri dari bagian yang bersifat
umum dan khusus.
Anamnesis umum meliputi pengumpulan data tentang umur, tanggal
dan tempat lahir, status perkawinan, siklus haid, untuk anak yang tidak

12

diketahui umurnya, penyakit kelamin dan penyakit kandungan serta adanya


penyakit lain: seperti epilepsi, katalepsi, sinkope.
Cari tahu pula apakah pernah bersetubuh? Kapan persetubuhan yang
terakhir? apakah menggunakan kondom?
Hal khusus yang perlu diketahui adalah waktu kejadian, tanggal dan
jam. Bila waktu antara kejadian dan pelaporan kepada yang berwajib
berselang beberapa hari atau minggu, dapat diperkirakan bahwa peristiwa itu
bukan peristiwa perkosaan, tetapi persetubuhan yang pada dasarnya tidak
disetujui oleh wanita yang bersangkutan.
Karena berbagai alasan, misalnya perempuan itu merasa tertipu, cemas
akan menjadi hamil atau selang beberapa hari baru diketahui oleh ayah atau
ibu dan karena ketakutan mengaku bahwa ia telah disetubuhi dengan paksa.
Jika korban benar telah diperkosa biasanya akan segera melapor. Tetapi saat
pelaporan yang terlambat mungkin juga disebabkan karena korban diancam
untuk tidak melapor kepada polisi. Dari data ini dokter dapat mengerti
mengapa ia tidak dapat menemukan lagi spermatozoa, atau tanda-tanda lain
dari persetubuhan.
Tempat terjadinya peristiwa merupakan petunjuk dalam pencarian
trace evidence yang berasal dari tempat kejadian, misalnya rumput, tanah dan
sebagainya yang mungkin melekat pada pakaian atau tubuh korban.
Sebaliknya petugas pun dapat mengetahui di mana harus mencari trace
evidence yang ditinggalkan oleh korban atau pelaku.
Perlu diketahui apakah korban melawan. Jika korban melawan maka
pada pakaian mungkin ditemukan robekan, pada tubuh korban mungkin
ditemukan tanda-tanda bekas kekerasan dan pada alat kelamin mungkin
terdapat bekas perlawanan. Kerokan kuku mungkin menunjukkan adanya selsel epitel kulit dan darah yang berasal dari pemerkosa atau penyerang.
Cari tahu apakah korban pingsan. Adanya kemungkinan korban
menjadi pingsan karena ketakutan tetapi mungkin juga korban dibuat pingsan
oleh laki-laki pelaku dengan pemberian obat tidur atau obat bius. Dalam hal

13

ini jangan lupa untuk mengambil urin dan darah untuk pemeriksaan
toksikologik.
Apakah terjadi penetrasi dan ejakulasi, apakah setelah kejadian, korban
mencuci, mandi dan mengganti pakaian.
2.4.3

Pemeriksaan Pakaian
Perlu dilakukan dengan teliti. Pakaian diteliti helai demi helai,

apakah terdapat : Robekan lama atau baru sepanjang jahitan atau


melintang pada pakaian, kancing terputus akibat tarikan, bercak darah,
sperma, lumpur, pasir, tanah dan sebagainya, yang berasal dari tempat
kejadian.
Apakah pakaian dalam keadaan dalam keadaan rapi atau tidak,
benda-benda yang melekat dan pakaian yang mengandung trace evidence
dikirim ke laboratorium kriminologi untuk pemeriksaan lebih lanjut.
2.4.4

Pemeriksaan Fisik Korban

2.4.4.1 Pemeriksaan umum


Penampilan (rambut dan wajah), rapi atau kusut, keadaan
emosional, tenang atau sedih atau gelisah dan sebagainya. Tanda-tanda
bekas kehilangan kesadaran atau diberikan obat tidur atau bius, apakah
ada needle marks. Bila ada indikasi jangan lupa untuk ambil urin dan
darah.
2.4.4.2

Luka-luka pada wanita


Terutama di mulut, hidung, pergelangan tangan kaki, luka bagian
belakang, punggung, dada, sekitar pusat dan paha bagian dalam.
Jumlah luka lecet bisa memperkirakan pelaku, arah luka bisa
memperkirakan sebab seperti ke arah bawah samping diperkirakan
pemerkosaan sedangkan ke arah atas diperkirakan bekas garukan.

2.4.4.3 Perubahan genitalia wanita

14

Meliputi ada tidaknya rambut kemaluan yang saling melekat


menjadi satu karena sperma yang mengering, cari pula bercak sperma
di sekitar alat kelamin.
Pada vulva, teliti adanya tanda-tanda bekas kekerasan, seperti
hiperemi, udem, memar dan luka lecet.
Pada hymen, teliti adanya kerusakan hymen, ada luka ruptur atau
tidak. Bila ada ruptur tentukan lama atau baru maupun lokasi ruptur
tersebut. Robekan karena penis biasanya luka di dasar (jam enam),
kalau robekan bukan karena penis biasanya robekan berbentuk ireguler
maupun bisa juga terdapat robekan pada vagina.
Robekan bisa juga terjadi oleh karena berbagai hal seperti
ulserasi akibat berbagai penyakit yang menyerang membran seperti
difteri, akibat peralatan medis (operasi), akibat pengobatan (iritasi
karena salep), akibat masturbasi dan higienis yang buruk.
Harus diingat bahwa persetubuhan tidak harus disertai dengan
robekan hymen. Pada ruptur yang lama, sudah terdapat jaringan parut
dibawahnya, dan bila sudah sembuh tidak dapat dikenali lagi.
2.4.5

Pemeriksaan Laboratorium Korban Kejahatan Seksual


1. Tujuan : menentukan adanya sperma
Bahan pemeriksaan : Cairan vagina
Metode : - Tanpa pewarnaan, satu tetes cairan vaginal ditaruh pada
gelas objek dan kemudian ditutup; pemeriksaan
dibawah mikroskop dengan pembesaran 500x.
Hasil yang diharapkan :
Sperma yang masih bergerak.
- Dengan pewarnaan: Malacite green
Buat sediaan apus dari cairan vaginal pada gelas objek,
keringkan di udara, fiksaso dengan api, warnai dengan
malachite-green 1% dalam air, tunggu 10 15 menit,
cuci dengan air, warnai dengan eosin-yellowish 1%

15

dalam air, tunggu 1 menit, cuci dengan air, keringkan


dan diperiksa dibawah mikroskop.
Hasil yang diharapkan:
Bagian basis kepala sperma berwarna ungu, bagian
hidung merah muda.
2. Tujuan : Menentukan adanya sperma
Bahan pemeriksaan : Pakaian
Metode : - Pakaian yang mengandung bercak diambil sedikit pada
bagian tengahnya (konsentrasi sperma terutama di bagian
tengah),
- Warnai dengan pewarnaan BAEECHI selama 2 menit.
- Cuci dengan Hcl 100%
- Dehidrasi dengan alkohol 70%, 85% dan alkohol absolut
- Bersihkan dengan Xylol
- Keringkan dan letakkan pada kertas saring
- Dengan jarum, pakaian yang mengandungn bercak diambil
benangnya 1-2 helai, kemudian diurai sampai menjadi
serabut-serabut pada gelas objek,
- Teteskan canada balsem, ditutup dengan gelas penutup lihat
dibawah mikroskop dengan pembesaran 500 kali.
Hasil yang diharapkan :
Kepala sperma berwarna merah, bagian ekor biru muda;
kepala sperma tampak menempel pada serabut-serabut
benang.
Pembuatan pewarnaan BAEECHI :
-

Acid-fuchsin 1 % ( 1 tetes atau 1 ml)

Methylene-blue 1% (1 tetes atau 1 ml)

HCL 1% (40 tetes atau 40 ml)

3. Tujuan menentukan adanya air mani (asam fosfatase)


Bahan pemeriksaan : cairan vaginal

16

Metode : -

Cairan vaginal ditaruh pada kertas Whatman, diamkan


sampai kering

Semprot dengan reagensia

Perhatikan warna ungu yang timbul dan catat dalam


berapa detik warna ungu tersebut timbul.

Hasil yang diharapkan:


Warna ungu timbul dalam waktu kurang dari 30 detik, berarti
asam fosfatase berasal dari prostat, berarti indikasi besar;
warna ungu timbul kurang dari 65 detik, indikasi sedang.
Pembuatan reagensia :
Bahan-bahan yang dibutuhkan :
1. Sodium chloride 23 gram
2. Glacial acetit acid ml
3. Sodium acetate tryhidrate 2 gram
4. Brentaminefast Blue B 50 mg
5. Sodium alpha naphtyhil phosphate 50 mg
6. Aquadest 90 ml
7. Kertas Whatman no.1 serta alat penyemprot (spray)
Bahan no 1, 2 dan 3 dilarutkan dalam aquadest menjadi larutan
buffer dengan pH sekitar 5. Bahan no.4 dilarutkan dengan sedikit
larutan buffer dan kemudian bahan no.5 dilarutkan dalam sisa buffer.
Selanjutnya bahan no.4 yang sudah dilarutkan tersebut dimasukkan ke
dalam larutan sodium alpha-napthyl-phospate dan dengan cepat
disaring dan dimasukkan ke dalam botol yang gelap (reagensia ini
biasa di simpan dalam lemari es dapat tahan beberapa minggu).
Adapun dasar reaksi ini adalah asam fosfatase akan menghidrolisir
alpha aphthylphosphate dan alpha napthol yang dibebaskan akan
bereaksi dengan gentamine dengan memberikan warna ungu.

17

4. Tujuan : Menentukan adanya air mani (kristal kholin)


Bahan pemeriksaan : cairan vaginal
Metode : - Florence
- Cairan vaginal ditetesi cairan yodium
- Kristal yang terbetuk dilihat di bawah mikroskop
Hasil yang diharapkan :
Kristal-kristal kholin-peryodida tampak berbentuk jarumjarum yang berwarna coklat.
5. Tujuan : Menentukan adanya air mani (kristal spermin)
Bahan Pemeriksaan : Cairan vaginal
Metode : - Berberio
- Cairan vaginal di tetesi larutan asam pikrat kemudian
dilihat di bawa mikroskop
Hasil yang diharapkan :
Kristal-kristal spermin pikrat akan berbentuj rhombik atau
jarum kompas yang berwarna kuning kehijauan.
6. Tujuan : Menentukan adanya air mani.
Bahan Pemeriksaan : Pakaian
Metode : a. Inhibisi asam fosfatase dengan L(+) asam tartrat
b. Reaksi dengan asam fosfatase
c. Sinar UV : visual, taktil dan penciuman
a. Inhibisi asam fosfatase dengan L(+) asam tartrat
- Pakaian yang diduga mengandung bercak air mani dipotong kecil
dan di ekstraksi dengan beberapa tetes aquadest.
- Pada dua helai kertas saring di teteskan masing-masing satu tetes
ekstraks : kertas saring pertama disemprot dengan reagen 1,
kertas saring dua di semprot dengan reagen 2.
- Bila pada kertas saring 1 timbul warna ungu dalam waktu 1 menit
sedangkan yang ke 2 tidak terjadi warna ungu maka dapat di
simpulkan bahwa bercak pada pakaian yang diperiksa adalah
bercak air mani.

18

- Bila dalam angka waktu tersebut warna ungu timbul pada


keduanya, maka bercak pada pakaian bukan air mani, asam
fosfatase yang terdapat berasala dari sumber lain.
b. Reaksi dengan asam fosfatase
- Kertas saring yang sudah di basahi dengan aquadest, diletakkan p
ada pakaian atau bahan yang diperiksa selama 5-10 menit,
kemudian kertas saring diangkat dan dikeringkan.
- Semprot dengan reagensia, jika timbul warna ungu berarti
pakaian atau bahan tersebut mengandung air mani.
- Bila kertas saring tersebut diletakkan pada pakaian atau bahan
seperti semula, maka dapat diketahui letak air mani pada bahan
yang diperiksa.
c. Sinar UV : Visuil, Taktil dan Penciuman
- Pemeriksaan dengan sinar UV : Bahan yang akan diperiksa di
taruh dalam ruang yang gelap, kemudian disinari dengan sinar
UV, bila terdapat air mani terjadi fluoresensi.
- Pemeriksaan dengan visual, taktil dan penciuman tidak sulit
untuk dilakukan.
7. Tujuan : Menentukan adanya kuman N.gonorrheae (GO)
Bahan Pemeriksaan : Sekret uretra dan secret servik uteri
Metode : - Pewarnaan gram
Hasil yang di harapkan : Kuman N.gonorrheae
8. Tujuan : Menentukan adanya kehamilan
Bahan Pemeriksaan :Urine
Metode : - Hemagglutination inhibition test (pregnosticon)
- Aglutination inhibition test (Gravindex)
Hasil yang diharapkan : Terjadi aglutnasi pada kehamilan
9. Tujuan : Menentukan adanya racun (toksikologi)
Bahan Pemeriksaan : Darah dan urin
Metode : - TLC
- Mikrodifusi dan sebagainya

19

Hasil yang diharapkan :


Adanya obat yang dapat menurunkan atau menghilangkan kesadaran.
10. Tujuan : Penentun golongan darah
Bahan Pemeriksaan : Cairan vaginal yang berisi air mani dan darah
Metode : - Serologi (ABO grouping test)
Hasil yang diharapkan : Golongan darah dari air mani berbeda dengan
golongan darah dari korban
Pemeriksaan ini hanya dapat dikerjakan bila tersangka pelaku
kejahatan termasuk golongan secretor
2.4.6

Pemeriksaan Pada Pelaku Kejahatan Seksual


Tidak jarang pelaku kejahatan seksual segera dapat tertangkap,
dengan demikian dalam rangka pembuktian, pelaku tersebut harus
segera diperiksa secara kedokteran forensik; dimana pemeriksaan itu
sendiri sangat sederhana, yaitu: menemukan adanya sel epithel vagina
yang melekat pada penis. Tentunya hasil pemeriksaan ini hanya
membuktikan bahwa laki-laki tersebut yang baru diperiksa itu baru
bersetubuh, dengan siapa ia bersetubuh perlu dikonfirmasikan dengan
data-data lain.
Pemeriksaan pria tersangka dapat dilakukan terhadap pakaian,
catat adanya bercak semen maupun darah. Bercak semen tidak
mempunyai arti dalam pembuktian sehingga tidak perlu ditentukan.
Darah mempunyai arti yang lebih penting, disini penentuan golongan
darah penting dilakukan, mungkin dapat ditemukan tanda bekas
kekerasan akibat perlawanan oleh korban.
Tidak jarang dijumpai kasus kejahatan seksual dimana si pelaku
tidak sendiri atau kejahatan tersebut dilakukan dihadapan kekasih atau
suami korban. Pemeriksaan pergerakan sperma untuk alibi tidak
memberikan manfaat, oleh karena peristiwa kejahatan tersebut
berlangsung dalam waktu yang relatif sangat singkat. Si pelaku bisa

20

mengajukan dalih bahwa sperma yang terdapat pada wanita berasal


dari kekasih atau suami wanita itu sendiri dan bukan dari dia.
Untuk menghadapi kasus yang demikian, maka dapat ditempuh
cara untuk memecahkan permasalahan tersebut, yaitu dengan
melakukan pemeriksaan penentuan golongan darah dari sperma yang
didapatkan dan dibandingkan dengan golongan darah si pelaku dan
dari kekasih atau suami wanita yang menjadi korban kejahatan seksual.

BAB III
KESIMPULAN
Kejahatan seksual (sexual offense), merupakan salah satu bentuk dari
kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, mempunyai
kaitan yang erat dengan Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Kedokteran Forensik.
Beberapa tipe kejahatan seksual meliputi perkosaan dan pelecehan seksual.
Setiap pemeriksaan untuk pengadilan harus berdasarkan permintaan
tertulis dari penyidik yang berwewenang. Setiap Visum et Repertum harus dibuat
berdasarkan keadaan yang didapatkan pada tubuh korban pada waktu permintaan
Visum et Repertum diterima oleh dokter.
Anamnesis merupakan suatu yang tidak dapat dilihat atau ditemukan oleh
dokter sehingga bukan merupakan pemeriksaan yang obyektif, sehingga
seharusnya tidak dimasukkan dalam Visum et Repertum.
Pembuktian pada pelaku dan korban kehajatan seksual biasanya
didapatkan pada pemeriksaan terhadap pakaian, cairan vagina, sperma.
Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh
undang-undang dapat dilihat pada pasal-pasal yang tertera pada Bab XIV KUHP,
yaitu Bab tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan antara lain BW pasal 27, KUHP
pasal 284, KUHP pasal 285, KUHP pasal 286, KUHP pasal 287, KUHP pasal 291,
KUHP pasal 294.

21

Dengan demikian upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada


setiap kasus kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam upaya pembuktian
ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan,
maupun kejahatan seksual dalam bentuk homoseksual.

Contoh Kasus
Nama

: Nn. Yati binti Atma

Jenis kelamin

: Perempuan

Umur

: 16 tahun

Kewarganegaraan

: Indonesia

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Pembantu Rumah Tangga

Alamat

: Kp. Ranca Kembang, RT 02 RW 02, Ds. Banyu Sari, Kec.


Katapang, Kab. Bandung.

Pada pemeriksaan luar ditemukan :

Kaku mayat telah hilang di seluruh tubuh, kecuali pada jari-jari tangan.

Lebam mayat terdapat leher, bahu, punggung, bokong, lengan dan tungkai
belakang, berwarna merah keunguan, tidak hilang dengan penekanan.

Luka lecet pada kepala, lengan kanan, lengan kiri, tangan kanan, tungkai
kiri dan perut.

Luka memar pada kepala, dada, tangan kanan dan tungkai kiri.

Luka terbuka pada daerah kepala.

Kulit terkelupas pada kepala.

22

Gigi geligi berjumlah dua puluh tujuh buah, gigi seri pertama kiri atas
patah, baru.

Pada selaput dara terdapat robekan baru pada arah jam sembilan dan jam
tiga.

Pada pemeriksaan dalam ditemukan :

Kerongkongan kosong, selaput lendir berwarna merah kecoklatan, batang


tenggorok berisi buih halus, selaput lendir berwarna merah kecoklatan.

Dalam rongga dada kanan tidak tampak kelainan dan kiri terdapat cairan
empat puluh mililiter.

Kandung jantung tampak sebelas sentimeter di antara kedua tepi paruparu, berisi cairan berwarna kemerahan sebanyak tiga puluh mililiter.

Usus besar panjang seratus

lima puluh sentimeter, selaput lendir

berwarna bening, penggantung usus lima kali empat sentimeter, resapan


darah positif.

Kulit kepala bagian dalam terdapat resapan darah di puncak kepala, ukuran
lima belas kali tiga belas sentimeter dan tujuh sentimeter diatas telinga
kiri.

Tulang atap tengkorak di kiri empat setengah sentimeter dari garis tengah
kepala, tujuh setengah sentimeter dari puncak kepala terdapat peretakan.

Tulang dasar tengkorak pada bagian kiri tengah terdapat peretakan ukuran
dua setengah sentimeter kali dua sentimeter.

Otak besar berat seribu lima puluh dua gram, pada otak kanan terdapat
memar, ukuran tujuh sentimeter kali empat sentimeter, pada otak bagian
depan, terdapat memar ukuran empat sentimeter kali tiga sentimeter, pada
otak kiri terdapat memar ukuran enam sentimeter kali lima

Pemeriksaan laboratorium :
Ditemukan spermatozoa pada sediaan apus vagina.

23

Kesimpulan :
Telah dilakukan pemeriksaan luar dan dalam terhadap mayat seorang
perempuan (dewasa), berumur sekitar lima belas tahun, kebangsaan Indonesia,
warna kulit sawo matang, gizi cukup, panjang badan seratus lima puluh dua
sentimeter, berat empat puluh tiga kilogram.
Pada pemeriksaan luar didapatkan robekan hymen baru pada arah jam 3
dan jam 9.
Kematian orang tersebut di atas disebabkan adanya luka terbuka pada
kepala akibat benda tumpul yang menyebabkan adanya retakan pada atap dan
dasar tulang tengkorak kiri sehingga menimbulkan memar pada otak besar kanan.
Ditemukan

adanya

tanda-tanda

pasti

persetubuhan

yang

ditandai

oleh

ditemukannya spermatozoa pada sediaan apus vagina korban.


Pembahasan Kasus :
Kasus di atas merupakan kasus kematian dengan ditemukan tanda-tanda
kejahatan seksual terhadap seorang wanita berusia sekitar 15 tahun.
Menentukan saat kematian :

Kaku mayat :
-

Telah hilang di seluruh tubuh, kecuali pada jari-jari tangan kematian


lebih dari 24 jam.

Lebam mayat :
-

Terdapat pada leher, bahu, punggung, bokong, lengan dan tungkai


belakang, berwarna merah keunguan, tidak hilang dengan penekanan
kematian lebih dari 6 jam.

Kulit perut kanan bawah belum tampak warna biru kehijauan

Suhu tidak diukur


Perkiraan penyebab kematian pada pasien ini dari pemeriksaan luar dan

dalam didapatkan disebabkan adanya luka terbuka pada kepala akibat benda
tumpul yang menyebabkan adanya retakan pada atap dan dasar tulang tengkorak

24

kiri sehingga menimbulkan memar pada otak besar kanan. Ditemukan pula adanya
tanda-tanda pasti persetubuhan yang ditandai oleh ditemukannya spermatozoa
pada sediaan apus vagina korban.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munim Idries, dr. 1997. Kejahatan Seksual dalam Pedoman
Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Binarupa Aksara, 215-241.
Knight, Bernard. 1991. Sexual Offences in Simpsons Forensic
Medicine. 11th edition. Hodder Headline PLC, Mill Road, Dunton
Green, Sevenoaks, Kent. Frome and London. 206-218.
Arif Budiyanto., Wibisana Widiyatmika., dkk. 1997. Pemeriksaan
Medik Pada Kasus Kejahatan Seksual dalam Ilmu Kedokteran
Forensik. Edisi I, cetakan kedua. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 147-158.

25

Anda mungkin juga menyukai