PENDAHULUAN
Kejahatan seksual (sexual offense), merupakan salah satu bentuk dari
kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, mempunyai
kaitan yang erat dengan Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Kedokteran Forensik;
yaitu didalam upaya pembuktian bahwasanya kejahatan tersebut memang telah
terjadi. Adanya kaitan antara Ilmu Kedokteran dengan kejahatan seksual dapat
dipandang sebagai konsekuensi dari pasal-pasal didalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) serta Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), yang memuat ancaman hukuman serta tata cara pembuktian pada
setiap kasus yang termasuk didalam pengertian kasus kejahatan seksual.
Visum et Repertum yang dihasilkan mungkin menjadi dasar untuk
membebaskan terdakwa dari penuntutan atau sebaliknya untuk menjatuhkan
hukuman. Di Indonesia pemeriksaan korban persetubuhan yang diduga
merupakan tindak kejahatan seksual umumnya dilakukan oleh dokter ahli Ilmu
Kebidanan dan Penyakit Kandungan, kecuali di tempat yang tidak ada dokter ahli
sedemikian, dokter umum lah yang harus melakukan pemeriksaan itu.
Pemeriksaan kasus-kasus persetubuhan yang merupakan tindak pidana
hendaknya dilakukan dengan teliti dan waspada. Pemeriksa harus yakin akan
semua bukti-bukti yang ditemukannya karena berbeda dengan di klinik, pemeriksa
tidak lagi mempunyai kesempatan untuk melakukan pemeriksaan ulang guna
memperoleh lebih banyak bukti.
Tetapi dalam pelaksanaan kewajiban itu, dokter jangan sampai meletakkan
kepentingan si korban di bawah kepentingan pemeriksaan. Terutama bila korban
masih anak-anak hendaknya, pemeriksaan itu tidak sampai menambah trauma
psikis yang sudah dideritanya.
Sebagai ahli klinis yang perhatian utamanya tertuju pada kepentingan
pengobatan penderita, memang agak sukar untuk melakukan pemeriksaan yang
berhubungan dengan kejahatan. Sebaliknya korban kejahatan seksual dianggap
sebagai orang yang telah mengalami cedera fisik atau mental, sehingga sebaiknya
1
BAB II
KEJAHATAN SEKSUAL
2.1. Kejahatan seksual
Kejahatan seksual dalam arti luas sama dengan perbuatan cabul,
sedangkan kejahatan seksual dalam arti sempit sering dikaitkan dengan
persetubuhan.
Yang dimaksud dengan persetubuhan adalah masuknya alat
kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan, tetapi definisi
persetubuhan dalam KUHP tidak ada. Persetubuhan menurut Arrest Hooge
Raad atau pengadilan tinggi belanda adalah penyatuan atau penetrasi penis
ke dalam vagina, disertai dengan ejakulasi. Persetubuhan menurut Anglo
Saxon
atau
negara-negara
Inggris,
Amerika
dan
negara-negara
Terjadi
persetubuhan
yang
dilakukan
laki-laki
terhadap perempuan.
-
2. Pelecehan seksual.
2b. Seorang wanita yang belum kawin yang turut serta melakukn
perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah
telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami atau istri
yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam
tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan untuk bercerai
atau pisah meja dan ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73 dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang
pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami istri itu berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak
diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian
atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur
menjadi tetap.
KUHP pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena
melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
KUHP pasal 286
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan,
padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
KUHP pasal 287
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan,
padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya
belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum
waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita
itu belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal
berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.
2.4.
Pemeriksaan
polisi, belum tentu korban akan menyetujui pemeriksaan itu dan tidak
menolaknya. Selain itu bagian yang akan diperiksa merupakan the most
private part dari tubuh seorang wanita.
Seorang perawat atau bidan harus mendampingi dokter pada waktu
pemeriksaan korban.
Pemeriksaan dilakukan secepat mungkin jangan ditunda terlampau lama.
Hindarkan korban dari menunggu dengan perasaan was-was dan cemas
dikamar periksa. Apalagi bila korban adalah seorang anak. Semua yang
ditemukan harus dicatat, jangan tergantung pada ingatan semata.
Visum et Repertum diselesaikan secepat mungkin. Dengan adanya
Visum et Repertum perkara cepat dapat diselesaikan. Seorang terdakwa
dapat cepat dibebaskan dari tahanan bila ternyata ia tidak bersalah.
Kadang-kadang dokter yang sedang berpraktek pribadi diminta oleh
seorang ibu atau ayah untuk memeriksa anak perempuannya, karena ia
merasa sangsi apakah anaknya masih perawan atau karena ia merasa
curiga kalau-kalau atas diri anaknya baru terjadi persetubuhan.
Dalam hal ini sebaiknya ditanyakan dahulu maksud pemeriksaan,
apakah sekedar ingin mengetahui saja, atau ada maksud untuk
melakukan penuntutan. Bila dimaksudkan akan melakukan penuntutan
maka sebaiknya dokter jangan memeriksa anak itu. Katakan bahwa
pemeriksaan harus dilakukan berdasarkan permintaan polisi dan
biasanya dilakukan di rumah sakit. Mungkin ada baiknya dokter
memberikan penerangan pada ibu atau ayah anak itu, bahwa jika umur
anaknya sudah 15 tahun, dan jika persetubuhan terjadi tidak dengan
paksaan maka menurut undang-undang, laki-laki yang bersangkutan
tidak dapat dituntut. Pengaduan mungkin hanya akan merugikan
anaknya saja. Lebih baik lagi jika orang tua dianjurkan untuk minta
nasehat dari seorang pengacara.
Jika orang tua hanya sekedar ingin mengetahui, maka dokter dapat
melakukan pemeriksaan. Tetapi jelaskan lebih dahulu bahwa hasil
pemeriksaan tidak akan dimuat dalam bentuk surat keterangan, karena
11
kita tidak mengetahui untuk apa surat keterangan itu. Mungkin untuk
melakukan penuntutan atau untuk menuduh seseorang yang tidak
bersalah. Dalam keadaan demikian umumnya anak tidak mau diperiksa,
sebaliknya orang tua malah mendesaknya. Sebaiknya dokter meminta
ijin tertulis untuk memeriksa dan memberitahukan hasil pemeriksaan
kepada orangtuanya.
2.4.2
polisi yang mengantar korban, nama, umur, alamat dan pekerjaan korban
seperti tertulis dalam surat permintaan, nama dokter yang memeriksa, tempat,
tanggal dan jam pemeriksaan dilakukan serta nama perawat yang menyaksikan
pemeriksaan.
Pada umumnya anamnesis yang diberikan oleh orang sakit dapat
dipercaya, sebaliknya anamnesis yang diperoleh dari korban tidak selalu
benar.
Terdorong oleh berbagai maksud atau perasaan, misalnya maksud
untuk memeras, rasa dendam, menyesal atau karena takut pada ayah atau ibu,
korban mungkin mengemukakan hal-hal yang tidak benar.
Anamnesis merupakan suatu yang tidak dapat dilihat atau ditemukan
oleh dokter sehingga bukan merupakan pemeriksaan yang obyektif, sehingga
seharusnya tidak dimasukkan dalam Visum et Repertum. Anamnesis dibuat
terpisah dan dilampirkan pada Visum et Repertum dengan judul keterangan
yang diperoleh dari korban. Dalam mengambil anamnesis, dokter meminta
pada korban untuk menceritakan segala sesuatu tentang kejadian yang
dialaminya dan sebaiknya terarah. Anamnesis terdiri dari bagian yang bersifat
umum dan khusus.
Anamnesis umum meliputi pengumpulan data tentang umur, tanggal
dan tempat lahir, status perkawinan, siklus haid, untuk anak yang tidak
12
13
ini jangan lupa untuk mengambil urin dan darah untuk pemeriksaan
toksikologik.
Apakah terjadi penetrasi dan ejakulasi, apakah setelah kejadian, korban
mencuci, mandi dan mengganti pakaian.
2.4.3
Pemeriksaan Pakaian
Perlu dilakukan dengan teliti. Pakaian diteliti helai demi helai,
14
15
16
Metode : -
17
18
19
20
BAB III
KESIMPULAN
Kejahatan seksual (sexual offense), merupakan salah satu bentuk dari
kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, mempunyai
kaitan yang erat dengan Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Kedokteran Forensik.
Beberapa tipe kejahatan seksual meliputi perkosaan dan pelecehan seksual.
Setiap pemeriksaan untuk pengadilan harus berdasarkan permintaan
tertulis dari penyidik yang berwewenang. Setiap Visum et Repertum harus dibuat
berdasarkan keadaan yang didapatkan pada tubuh korban pada waktu permintaan
Visum et Repertum diterima oleh dokter.
Anamnesis merupakan suatu yang tidak dapat dilihat atau ditemukan oleh
dokter sehingga bukan merupakan pemeriksaan yang obyektif, sehingga
seharusnya tidak dimasukkan dalam Visum et Repertum.
Pembuktian pada pelaku dan korban kehajatan seksual biasanya
didapatkan pada pemeriksaan terhadap pakaian, cairan vagina, sperma.
Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh
undang-undang dapat dilihat pada pasal-pasal yang tertera pada Bab XIV KUHP,
yaitu Bab tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan antara lain BW pasal 27, KUHP
pasal 284, KUHP pasal 285, KUHP pasal 286, KUHP pasal 287, KUHP pasal 291,
KUHP pasal 294.
21
Contoh Kasus
Nama
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: 16 tahun
Kewarganegaraan
: Indonesia
Agama
: Islam
Pekerjaan
Alamat
Kaku mayat telah hilang di seluruh tubuh, kecuali pada jari-jari tangan.
Lebam mayat terdapat leher, bahu, punggung, bokong, lengan dan tungkai
belakang, berwarna merah keunguan, tidak hilang dengan penekanan.
Luka lecet pada kepala, lengan kanan, lengan kiri, tangan kanan, tungkai
kiri dan perut.
Luka memar pada kepala, dada, tangan kanan dan tungkai kiri.
22
Gigi geligi berjumlah dua puluh tujuh buah, gigi seri pertama kiri atas
patah, baru.
Pada selaput dara terdapat robekan baru pada arah jam sembilan dan jam
tiga.
Dalam rongga dada kanan tidak tampak kelainan dan kiri terdapat cairan
empat puluh mililiter.
Kandung jantung tampak sebelas sentimeter di antara kedua tepi paruparu, berisi cairan berwarna kemerahan sebanyak tiga puluh mililiter.
Kulit kepala bagian dalam terdapat resapan darah di puncak kepala, ukuran
lima belas kali tiga belas sentimeter dan tujuh sentimeter diatas telinga
kiri.
Tulang atap tengkorak di kiri empat setengah sentimeter dari garis tengah
kepala, tujuh setengah sentimeter dari puncak kepala terdapat peretakan.
Tulang dasar tengkorak pada bagian kiri tengah terdapat peretakan ukuran
dua setengah sentimeter kali dua sentimeter.
Otak besar berat seribu lima puluh dua gram, pada otak kanan terdapat
memar, ukuran tujuh sentimeter kali empat sentimeter, pada otak bagian
depan, terdapat memar ukuran empat sentimeter kali tiga sentimeter, pada
otak kiri terdapat memar ukuran enam sentimeter kali lima
Pemeriksaan laboratorium :
Ditemukan spermatozoa pada sediaan apus vagina.
23
Kesimpulan :
Telah dilakukan pemeriksaan luar dan dalam terhadap mayat seorang
perempuan (dewasa), berumur sekitar lima belas tahun, kebangsaan Indonesia,
warna kulit sawo matang, gizi cukup, panjang badan seratus lima puluh dua
sentimeter, berat empat puluh tiga kilogram.
Pada pemeriksaan luar didapatkan robekan hymen baru pada arah jam 3
dan jam 9.
Kematian orang tersebut di atas disebabkan adanya luka terbuka pada
kepala akibat benda tumpul yang menyebabkan adanya retakan pada atap dan
dasar tulang tengkorak kiri sehingga menimbulkan memar pada otak besar kanan.
Ditemukan
adanya
tanda-tanda
pasti
persetubuhan
yang
ditandai
oleh
Kaku mayat :
-
Lebam mayat :
-
dalam didapatkan disebabkan adanya luka terbuka pada kepala akibat benda
tumpul yang menyebabkan adanya retakan pada atap dan dasar tulang tengkorak
24
kiri sehingga menimbulkan memar pada otak besar kanan. Ditemukan pula adanya
tanda-tanda pasti persetubuhan yang ditandai oleh ditemukannya spermatozoa
pada sediaan apus vagina korban.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munim Idries, dr. 1997. Kejahatan Seksual dalam Pedoman
Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Binarupa Aksara, 215-241.
Knight, Bernard. 1991. Sexual Offences in Simpsons Forensic
Medicine. 11th edition. Hodder Headline PLC, Mill Road, Dunton
Green, Sevenoaks, Kent. Frome and London. 206-218.
Arif Budiyanto., Wibisana Widiyatmika., dkk. 1997. Pemeriksaan
Medik Pada Kasus Kejahatan Seksual dalam Ilmu Kedokteran
Forensik. Edisi I, cetakan kedua. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 147-158.
25