Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DIARE
Menurut World Health Organization (WHO), penyakit diare adalah suatu
penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang lembek
sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih dari biasa,
yaitu 3 kali atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai dengan muntah atau
tinja yang berdarah.

a.
b.
c.
d.

Menurut WHO (2005) diare dapat diklasifikasikan kepada:


Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari.
Disentri, yaitu diare yang disertai dengan darah.
Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.
Diare yang disertai dengan malnutrisi berat

Tabel 1. Bentuk klinis diare

DIAGNOSIS

DIDASARKAN PADA KEADAAN

hari

Diare cair akut

Kolera

Diare lebih dari 3 kali sehari berlangsung kurang dari 14

Tidak mengandung darah

Diare air cucian beras yang sering dan banyak dan cepat
menimbulkan dehidrasi berat, atau

Diare dengan dehidrasi berat selama terjadi KLB kolera,

atau

Diare dengan hasil kultur tinja positif untuk V. cholerae O1


atau O139

Disenteri

Diare berdarah (terlihat atau dilaporkan)

Diare persisten

Diare berlangsung selama 14 hari atau lebih

Diare dengan gizi buruk

Diare jenis apapun yang disertai tanda gizi buruk

Diare terkait antibiotik

Mendapat pengobatan antibiotik oral spektrum luas

Dominan darah dan lendir dalam tinja

Massa intra abdominal (abdominal mass)

Tangisan keras dan kepucatan pada bayi.

Invaginasi

Selama anak diare, terjadi peningkatan hilangnya cairan dan elektrolit (natrium,
kalium dan bikarbonat) yang terkandung dalam tinja cair anak. Dehidrasi terjadi bila
hilangnya cairan dan elektrolit ini tidak diganti secara adekuat, sehingga timbulah
kekurangan cairan dan elektrolit. Derajat dehidrasi diklasifikasikan sesuai dengan
gejala dan tanda yang mencerminkan jumlah cairan yang hilang.

Tabel 2. Klasifikasi tingkat dehidrasi anak dengan Diare

Pada umumnya, anak-anak dengan dehidrasi sedang/ringan harus diberi larutan


oralit, dalam waktu 3 jam pertama di klinik saat anak berada dalam pemantauan dan
ibunya diajari cara menyiapkan dan memberi larutan oralit.

Tatalaksana

Pada 3 jam pertama, beri anak larutan oralit dengan perkiraan jumlah sesuai
dengan berat badan anak. Namun demikian, jika anak ingin minum lebih
banyak, beri minum lebih banyak.

Lakukan pemeriksaan rutin jika timbul masalah


o Jika anak muntah, tunggu selama 10 menit; lalu beri larutan oralit
lebih lambat (misalnya 1 sendok setiap 2 3 menit)
o Jika kelopak mata anak bengkak, hentikan pemberian oralit dan beri
minum air matang atau ASI.

Nasihati ibu untuk terus menyusui anak kapan pun anaknya mau.

Nilai kembali anak setelah 3 jam untuk memeriksa tanda dehidrasi yang
terlihat sebelumnya.
o Jika tidak terjadi dehidrasi, ajari ibu mengenai empat aturan untuk
perawatan di rumah

beri cairan tambahan.

beri tablet Zinc selama 10 hari

lanjutkan pemberian minum/makan

kunjungan ulang jika terdapat tanda berikut ini:

anak tidak bisa atau malas minum atau menyusu

kondisi anak memburuk

anak demam


o Jika

anak

terdapat darah dalam tinja anak


masih

mengalami

dehidrasi

sedang/ringan,

ulangi

pengobatan untuk 3 jam berikutnya dengan larutan oralit, seperti di


atas dan mulai beri anak makanan, susu atau jus dan berikan ASI
sesering mungkin
o Meskipun belum terjadi dehidrasi berat tetapi bila anak sama sekali
tidak bisa minum oralit misalnya karena anak muntah profus, dapat
diberikan infus dengan cara: beri cairan intravena secepatnya. Berikan
70 ml/kg BB cairan Ringer Laktat atau Ringer asetat (atau jika tak
tersedia, gunakan larutan NaCl) yang dibagi sebagai berikut :

UMUR

Pemberian 70 ml/kg selama

Bayi (di bawah umur 12 bulan)

5 jam

Anak (12 bulan sampai 5 tahun)

2,5 jam

Periksa kembali anak setiap 1-2 jam.

Juga beri oralit (kira-kira 5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum.

Periksa kembali bayi sesudah 6 jam atau anak sesudah 3 jam. Klasifikasikan
Dehidrasi. Kemudian pilih rencana terapi yang sesuai (A, B, atau C) untuk
melanjutkan penanganan.

Beri tablet Zinc


o Di bawah umur 6 bulan: tablet (10 mg) per hari selama 10 hari
o 6 bulan ke atas: 1 tablet (20 mg) per hari selama 10 hari

ILEUS PARALITIK
Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan dimana usus gagal
melakukan kontraksi peristaltic utnuk menyalurkan isinya.Ileus merupakan suatu
penyakit primer melainkan akibat dari penyakit primer, tindakan operasi yang
berhubungan dengan rongga perut, obat obatan dan toksin yang dapat mempengaruhi
kontraksi otot polos usus.
Ileus paralitik hampir selalu dijumpai pada pasien pasca operasi abdomen. Akan
tetapi penyakit yang menimbulkan ileus paralitik dapat dikasifikasikan sebagai
berikut:

Neurogenik

: Pasca operasi, kerusakan medulla spinalis, kolik ureter,


iritasi persarafan spalanikus, pancreatitis.

Metabolik : Hipokalemia, uremia, komplikasi DM, SLE, Sklerosis Multipel.

Obat-obatan

: Narkotik, antikolinergik, katekolamin.

Infeksi

: Pnemonia, empiema, urosepsis, peritonitis.

Etiologi
Ileus paralitik ini sering terjadi akibat penyakit lainnya, seperti tindakan
operasi yang berhubungan dengan rongga perut, toksin dan obat-obatan yang dapat
mempengaruhi otot polos. Di Indonesia ileus obstruksi paling sering disebabkan oleh
hernia inkarserata, sedangkan ileus paralitik sering disebabkan oleh peritonitis. Ilues
paralitik bersifat primer bila tidak terdapat penyebab lain yang berkontribusi dan
disebut sekunder bila adanya penyakit lain ikut berkontribusi terjadinya ileus.

Gerakan usus merpakan kondisi yang terkoordinasi dengan baik dan


dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keadaan otot polos usus, hormon intestinal,
sistem saraf simpatik dan parasimpatik, keseimbangan elektrolit dan lain-lain. Ileus
paralitik biasanya dijumpai pada pasien pasca operasi yang tergantung dari lamanya
operasi, beratnya anastesi dan manipulasi yang dilakukan terhadap usus. Keadaan ini
biasanya berlangsung antara 24-72 jam sampai ada juga yang menyebutkan sampai 5
hari. Pencemaran rongga peritoneum oleh asam lambung, isi kolon, enzim pankreas,
darah, dan urin menimbulkan paralisis usus.
Ileus paralitik dapat disebabkan beberapa hal seperti iritasi peritoneum. Iritasi
peritoneum dapat disebabkan melalui peritonitis yang menyebabkan radang pada
dinding usus kemudian hilangnya stimulus kontraksi ileus, penyebab lain yang
merangsang iritasi peritoneum yaitu adanya kolesistitis akut, appendisitis akut, dan
post laparotomi yang lama. Hal kedua yaitu melalui penyebab ekstra peritoneal
seperti trauma abdomen menyebabkan perdarahan intra peritoneal menyebakan ileus
paralitik,

kemudian

trauma

ginjal

menyebabkan

perdarahan

retriperitoneal

mengganggu persarafan, kolik ureter. Penyebab yang lain yaitu adanya gangguan
elektrolit seperti hipokalemi yang menyebabkan gangguan kontraksi otot polos, syok,
uremia, komplikasi dari DM, dan infeksi abdomen seperti peritonitis. Penyebab lain
yaitu neurogenik melalui lesi saraf, kerusakan medulla spinalis, pada fraktur vertebra,
atau fraktur costa bagian bawah, penyebab lain seperti adanya pemakaian obat-obatan
seperti opioid, antihipertensi, narkotika, dan obat lainnya.

Etiologi Ileus Paralitik :


1.Neurologik
-Pasca operasi
-Kerusakan medula spinalis
-Iritasi persarafan splanknikus
-Trauma pada tulang belakang
2.Metabolik
-Gangguan keseimbangan elektrolit (terutama hipokalemia)
-Uremia
-Komplikasi DM
-Penyakit sistemik
3.Obat-obatan
-Narkotik
-Antikolinergik
-Antihipertensi
4.Infeksi
-Urosepsis
-Peritonitis
-Infeksi sistemik berat lainnya

a. Gejala Klinik
Pasien ileus paralitik mengeluh perutnya kembung, (abdominal distention), anoreksia,
mual , dan obstipasi. Muntah mungkin ada, mungkin pula tidak ada. Kleuhan perut
kembung pada ileus paralitik harus dibedakan dengan keluhan pada ileus obstruktif.
Pasien ileus paralitik mempunyai keluhan perut kembung tidak diesrtai nyeri kolik
abdomen yang paroksismal.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya distensi abdomen, perkusi timpani dengan
bising ususyang lemah dan jaraang bahkan dapat tidak terdengar sama sekali. Pada
palpasi pasien merasakan perasaan tidak enak apada perutnya. Tidak ditemukan
reaksi peritoneal.

b.

Radiologi
Untuk mendiagnosis pasien Ileus paralitik , perlu dilakukan pemeriksaan radiologi
sebagai berikut :

Ileus Paralitik :
Ileus Paralitik merupakan gangguan aktivitas motorikus sehingga udara dan cairan
berkumpul dalam usus yang data mengakibatkan distensi abdomen. Ditemukan
dilatasi usus (usus halus > 3 cm, usus besar > 8 cm) tanpa titik transisi, terlihat airfluid level. Bersifat akut, kronik, atau intermitten. Dengan etiologi seperti gangguan
neural, humoral, metabolik, trauma, pendarahan retroperitoneal, dan fraktur spinal
atau pelvis. Adapun gambaran radiologis yang bisa didapatkan pada ileus paralitik
adalah sebagai berikut:

Gambar. Foto Polos

Abdomen.

Dilatasi usus halus

dan usus besar

sampai

disertai

udara

rektum
dan

cairan

yang

retensi
banyak.

Air-fluid level yang panjang-panjang dan cenderung tidak bertingkat. Tidak ada
herring-bone appearance.

a. Diagnosis Banding
a) Small Bowel Obstruction
Obstruksi usus halus menyebabkan dilatasi usus halus dan akumulasi dari udara dan
cairan pada bagian proksimal dari titik terjadinya obstruksi. Sedangkan bagian distal
dari titik terjadinya obstruksi tidak mengalami dilatasi/kolaps. Perubahan foto
radiografi polos biasanya mulai muncul tiga sampai lima jam dari onset terjadinya
obstruksi total. Pada obstruksi yang belum total, kelainan radiologik baru dapat
muncul beberapa jam hingga beberapa hari . Loop loop usus halus yang dilatasi
(diameter maksimal dari usus halus <3 cm) mengandung cairan dan/atau udara yang
dapat dilihat pada foto polos abdomen posisi supine. Pada foto posisi erect dapat
dilihat air-fluid level yang multipel yang bersifat tidak spesifik yang dapat dijumpai
pada ileus paralitik, gastroenteritis, divertikulosis jejunal, dll.
Gambaran herring bone muncul pada obstruksi usus halus karena adanya struktur
valvula konniventes pada usus halus (duodenum, jejunum, dan ileum). Pada saat
terjadi dilatasi usus halus (> 3 cm) struktur ini akan terlihat memberikan gambaran

seperti herring bone appearance. Gambaran air-fluid level menunjukkan adanya


tingkat udara yang berdensitas lusen diatas cairan yang berde

nsitas intermediat.

Adanya obstruksi menunjukkan udara usus tidak sampai ke distal5. Beberapa dengan
lebar lebih dari 2,5 cm. pada kondisi ini, ada perbedaan tinggi vertikal lebih dari 2 cm
antara air-fluid level dalam loop usus yang sama (area dilingkari). Ada juga distensi
dari diameter usus halus lebih dari 2,5 cm dan rasio usus halus usus besar lebih dari
0,5.

Gambar Ileus Obstruktif Foto BNO


Pada posisi supine: distensi usus halus (> 3 cm) dengan sejumlah valvula koniventes
memberikan gambaran stack of coins atau herring bone appearance

b) Large Bowel Obstruction


Large bowel Obstruksi merupakan obstruksi yang terjadi di colon. Large bowel
obstruksi lebih jarang terjadi dibanding dengan small bowel obstruksi. Hanya 20%
dari angka kejadian obstruksi usus. Penyebab tersering dari large bowel obstruction
adalah keganasan 50-6%. Gambaran radiologik yang bisa didapatkan pada large
bowel obstruksi adalah distensi colon pada proksimal hingga pada lokasi obstruksi
dan kolaps pada bagian distal, seperti pada gambar berikut :

Gambar
Foto
Polos

Abdomen. posisi supine, tampak gambaran dilatasi loop-loop usus besar

daerah perifer dengan diameter usus > 5cm dan terlihat haustra yang tebal (a). Foto
polos abdomen posisi erect, tampak dilatasi loop-loop usus besar dan gambaran air
fluid level bertingkat-tingkat/ step ladder appearance.

GANGGUAN WICARA

Definisi
Kelainan bicara dan/atau bahasa adalah adanya masalah dalam komunikasi dan
bagian-bagian

yang

ber hubungan

dengannya

seperti

fungsi

organ

bicara. Keterlambatan dan kelainan mungkin bervariasi dari yang ringan atau tidak
ada pengaruhnya berhadap kehidupan sehari-hari dan sosialisasi, sampai yang
tidak mampu untuk mengeluarkan suara atau memahami dan mempergunakan
bahasa Hanya sebagian kecil anak-anak dengan kelainan bicara dan bahasa yang
termasuk sangat

berat.

Bagaimanapun,

karena

pentingnya

bahasa

dan

keterampilan berkomunikasi dalam kehidupan anak-anak, meskipun ringan atau


sedang kelainan atau gangguannya, hal tersebut dapat berpengaruh cukup berat
terhadap seluruh aspek kehidupan. Kadang-kadang mereka terisolasi dari temantemannya dan lingkungar pendidikannya. Kelainan komunikasi dan bahasa juga
dapat timbul sebagai dampak dari adanya kelainan kognitif, neurologis, dan fisik.
Definisi yang dikeluarkan oleh IDEA (the Individuals with Disabilities Education
Act) tentang anak-anak dengan kesulitan bahasa dan bicara adalah sebagai berikut
Anak-anak termasuk kategori ini apabila mereka mempunyai kelainan
komunikasi seperti gagap, kelainan artikulasi, kelainan bahasa atau kelainan suara,
yang secara nyata berpengaruh terhadap kinerja pendidikan mereka. The
American Speech - Language-Hearing Association (1993) mendefmisikan kelainan
komunikasi sebagai adanya kelainan dengan menunjukkan ketidakmampuan
menerima, menyampaikan, memproses, dan memahami konsep-konsep atau
simbol-simbol verbal, nonverbal dan gambar. Kelainan komunikasi ini mungkin
muncul dengan jelas pada proses mendengar, berbahasa, dan/atau berbicara

Penyebab Terjadinya Kelainan Bicara dan Bahasa

Penyebab kelainan komunikasi adalah sangat kompleks. Meskipun kebanyakan


anak- anak dievaluasi dalam konteks sistem pendidikan mempunyai kelainan
komunikasi fungsional, tetapi pengenalan faktor-faktor penyebab lainnya yang
bersifat organik sangat penting diketahui oleh para guru. Penyebab dapat termasuk di
dalamnya ketidaknormalan sebelum lahir, kecelakaan prenatal, tumor, dan masalah
dengan sistem syaraf atau otot, otak, atau mekanisme bicara itu sendiri. Pengaruh
dari agen yang mempengaruhi embrio atau janin, termasuk sinar X, virus, obatobatan, dan racun lingkungan dapat juga menyebabkan kelainan yang dibawa sejak
lahir. Dalam enam minggu pertama sampai duabelas minggu kehidupan janin,
banyak organ tubuh sedang dibentuk. Apabila ada agen yang merusak satu organ,
maka dapat berpengaruh terhadap berbagai sistem perkembangan secara terus
menerus. Contoh untuk agen seperti itu adalah rubella (German measles). Ketika
terjadi kontraksi selama tiga bulan pertama dari kehamilan, agen yang mempengaruhi
janin ini dapat menyebabkan masalah kongenital yang majemuk seperti kelainan
jantung, katarak, microchepalus, kecebolan, ketunarunguan, dan berbagai patologi
bicara dan bahasa secara bersamaan (Northern, 1996).
Masalah komunikasi yang diakibatkan oleh penyakit atau akibat kecelakaan
setelah lahir adalah kelainan yang diperoleh. Kecelakaan yang mengakibatkan luka
otak sebagai akibat dari kecelakaan ketika mengendarai sepeda motor merupakan
contoh dari kelainan yang diperoleh yang sering mempunyai implikasi negatif
terhadap kemampuan bicara dan bahasa. Meningitis, suatu

penyakit

yang

mengakibatkan adanya iritasi pada lapisan otak, biasanya secara umum berhubungan
dengan kelainan pediatrik. Komplikasi dari meningitis ini dapat mengakibatkan
ketunarunguan dan disertai dengan kurangnya komunikasi.Masalah bicara dan
bahasa yang diakibatkan karena sakit juga termasuk kelainan komunikasi yang
diperoleh.

Artikulasi, kualitas suara, dan kefasihan dapat dipengaruhi oleh adanya


abnormalitas dalam pernafasan (aliran udara ke luar dan ke dalam paru-paru),
phonation (suara yang dihasilkan oleh larynx), dan resonansi suara (getaran di dalam
sistem vokal). Kelainan seperti ini sangat bervariasi dalam tingkatannya, dan dapat
terjadi secara tersendiri, bersama-sama dengan yang lain, atau hubungannya dengan
patologis bahasa lainnya. Neurofisiologi yang normal seperti adanya selaput dan otot
yang baik untuk pernafasan dan pengucapan, adalah sangat penting untuk
keterampilan bicara agar berkembang dengan baik. Adanya kelainan klinis berupa
adanya hambatan struktural dalam pengucapan termasuk di dalamnya bibir, gigi,
gerakan lidah yang terbatas, cleft up, dan/atau cleft palate merupakan sejumlah
sindrom yang sering menandai malformasi depan kepala. Ketunarunguan, kesulitan
belajar, dan ketunalarasan juga secara umum sering dihubungkan dengan kelainan
komunikasi dan mempunyai implikasi terhadap perkembangan bahasa dan bicara.

Karakteristik Anak dengan Kelainan Bicara dan Bahasa


Bahasa, termasuk patologi yang menyertainya, secara garis besar dapat
dibagi ke dalam dua bentuk dasar, yaitu bahasa reseptif atau kemampuan
memahami apa yang dimaksud dalam komunikasi lisan, dan bahasa ekspresif
atau kemampuan memproduksi bahasa yang dapat dipahami oleh dan berarti bagi
orang lain (Friend & Bursuck, 2002). Anak-anak dengan kelainan bahasa
mempunyai kesulitan dalam mengekspresikan pikirannya atau memahami apa yang
diucapkannya. Keterampilan bahasa ekspresif dan k emungkinan kesulitan yang
menyertainya, termasuk di dalamnya tata bahasa, struktur kalimat, kefasihan,
perbendaharaan kata, dan pengulangan. Bahasa reseptif kekurangannya biasanya
berhubungan dengan menanggapi,

mengabstraksikan,

menghubungkan,

dan

menggali pemikiran. Seorang siswa yang tidak mampu mengikuti perintah


secara efisien di dalam kelasnya mungkin dia mempunyai kelainan bahasa
reseptif. Seorang siswa yang tidak mampu berkomunikasi secara jelas karena tataba

hasanya jelek, perbendaharaan katanya kurang, atau masalah produksi seperti


kelainan artikulasi dia termasuk mempunyai kelainan bahasa ekspresif.

Pembelajaran bagi Anak dengan Kelainan Bicara dan Bahasa


Anak dengan kelainan bicara dan bahasa mungkin akan memperoleh
keuntungan dari intervensi akademik dan perilaku yang secara efektif diperuntukkan
bagi para siswa yang mempunyai masalah belajar dan perilaku, tetapi intervensi
para ahli tetap diperlukan. Beberapa siswa mungkin memerlukan terapi artikulasi,
sementara yang lainnya dibantu dengan mempergunakan alat bantu bicara dengan
benar, atau mungkin yang lainya akan lebih beruntung dengan adanya program
intensif yang dapat meningkatkan kesadaran fonem.
Menurut the American Speech-Language-Hearing Association (Kamhi,
2003), para ahli bicara/bahasa dapat menguatkan hubungan antara bahasa lisan
dan keterampilan pra pengenalan huruf, memberikan intervensi yang berhubungan
dengan kesadaran fonem dan ingatan, menganalisis penggunaan bahasa yang
ditemukan di dalam buku bacaan dan bahan-bahan sekolah lainnya serta media, dan
menganalisis bahasa siswa sehingga intervensi akan sesuai dengan kebutuhan anak.
Para ahli bicara/bahasa dapat memainkan peran dalam melakukan pencegahan,
intervensi dini, asesmen, terapi, pengembangan program. Mereka juga dapat
membantu dengan mendukung program pengenalan huruf baik pada tingkat daerah
maupun pusat. Para ahli bicara/bahasa harus berinisiatif untuk melakukan
pembicaraan dengan guru-guru untuk mendiskusikan kebutuhan siswa dan
langkah-langkah untuk intervensi. Dari semua itu, komunikasi yang jelas dan sering
sangat diperlukan.

Komunikasi dengan Mempergunakan Teknologi


Kebanyakan siswa dengan kelainan bicara dan bahasa dapat dibantu banyak
dengan penggunaan teknologi (Lund & Light, 2001). Perangkat keras dan
perangkat lunak komputer, PDA (personal digital assistants), dan berbagai
pilihan lainnya yang dewasa ini tersedia melalui internet dapat membantu siswa
berkomunikasi secara efektif dan memperaktekan keterampilan-keterampilan
mereka dalam belajar.

BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. Persisten diarrhea in children in developing countries. Memorandum from a


WHO meeting. Bull WHO. 1988;66:709-17.
2. Fauvean V, Henry FJ, Briend A, Yunus M, Chakraburty J. Persistent diarrhea
as a cause of childhood mortality in rural Bangladesh. Acta Pediatr Suppl.
1992;381:1214.
3. Victoria GG, Hutttly SR, Fuchs SC, Nobre LC, Barros FC. Deaths due to
dysentery, acute and persistent diarrhoea among brazilian infants. Acta
Pediatr Suppl. 1992;381;711.
4. Jacy AB, Andrade, Moreira C, FagundesNeto U. Persistent diarrhea.
Journal de Pediatrica. 2000;76:S119-26.
5. Bishop WP. Diarrhea. Dalam: Dawn RE, penyunting. Pediatric practice
gastroenterology. New York:McGraw Hill Medica;2010. h.41 54.
6. Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh IGM RG. Gangguan AbsorpsiSekresi; Sindrom Diare. Seri Gramik Gastroenterology Anak Edisi 2.
Surabaya:Graha

Masyarakat

Ilmiah

Kedokteran

(GRAMIK) Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo;1999. h.154-242


7. Soenarto, SY. Diarrhea case management: using research finding directly for
case management and eaching in a teaching hospital in Yogyakarta,
Indonesia, Amsterdam. 1997
8. Soenarto Y. Diare kronis dan diare persisten. Dalam: Juffrie M, Soenarto Y,
Oswari H,Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku Ajar
Gastroenterologi-Hepatologi

Jilid

1.

Cetakan

Kedua.

Jakarta:UKK

Gastroenterologi-Hepatologi IDAI;2011 .h.121-36.


9. Shankar R, Singh SP ,Tripathi CB. Persistent diarrhoea, approaches for the
management among under five children. Indian J Drew Soc Med. 2004;35:34.

10. Guarino A, De Marco G. Persistent Diarrhea. Walkers Pediatric


Gastrointestinal Disease. Volume One. BC Decker Inc Hailton;2008. h.26574.
11. World Heath Organization. Evaluation of an algorithm for the treatment of
persistent diarrhea : A multicenter study, International Working Group on
persistent diarrhea. World Health Organ Bull. 1996;74:479-89
12. Bellemare S, Harting L, Wiebe N. Oral rehydration versus intravenous
therapy for threating dehydration due to gastroenteritis in children. A metaanalysis of randomized controlled trials. BMC Med. 2004;15:2-11
13. Berni Canani R, Cirillo P, Terrin G,. Probiotics the treatment of acute
gastroenteritis: A randomized clinical trial with five different preparations.
BMJ. 2007;335:60
14. Gaon D, Garcia H,Winter L. Effect of Lactobacillus strains and
Saccharomyces boulardii on persistent diarrhea in children. Medicina (B
Aires). 2003;63;293-8.
15. Powell GK. Milk and soy induced enterocolitis of infancy. J Pediatr .
1978;93:553-60
16. Maglinte DD, Kelvin FM, Rowe MG, Bender GN, Rouch DM. Smallbowel obstruction: optimizing radiologic investigation and nonsurgical
management. Radiology. 2003;18 (1):3946.
17. Small bowel obstruction: treating bowel adhesions non-surgically clear
passage

treatment

center

online

portal.

Diunduh

dari

http://www.clearpassage.com..
18. Small bowel obstruction. The Eastern Association for the Surgery of
Trauma. Diunduh dari http:// www.east.org.
19. Evers BM. Small intestine. In:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM,
Mattox KL, penyunting. Sabiston Textbook of Surgery. 18th ed. St. Louis,
Mo:WB Saunders; 2008. h.105-129.
20. Fry RD, Mahmoud N, Maron DJ, Ross HM, Rombeau J. Colon and rectum.

In:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL, penyunting.


Sabiston Textbook of Surgery. 18th ed. St. Louis, Mo:WB Saunders; 2008.
h.134-154.

Anda mungkin juga menyukai