Biogas Dari Kotoran Sapi
Biogas Dari Kotoran Sapi
Biogas Dari Kotoran Sapi
Tak hanya itu, limbah cair dari kotoran sapi yang diproses menjadi
biogas itu dapat digunakan untuk pupuk organik. "Lumayan sejak
mengolah biogas dari kotoran sapi ini. Kebutuhan bahan bakar dan pupuk
dapat terpenuhi semuanya dari hasil pengolahan kotoran sapi itu
menjadi biogas," jelasnya, Kamis (27/7).
Namun, daur ulang kotoran ternak menjadi biogas yang menghasilkan
manfaat cukup banyak ini baru dijalankan oleh Slamet Supriyadi (43)
dan istrinya, Sukamti, dari seluruh petani di Kabupaten Purworejo.
Untuk pertama kalinya Slamet mengaku mengenal teknologi pengolahan
kotoran sapi menjadi biogas ini dari seorang petani di Kulon Progo, DI
Yogyakarta.
Dengan bantuan sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Purworejo yang
peduli terhadap pertanian, Slamet dapat mempelajari dan membangun
sistem pengolahan kotoran sapi menjadi biogas. Meski untuk itu, ongkos
yang dikeluarkan mencapai Rp 9 juta lebih. Dan sistem pengolahan
biogas itu ia bangun di belakang rumahnya, berdekatan dengan kandang
sapi.
Di bawah tanah seluas lebih dari 40 meter persegi, dibangun dua ruang
berbentuk mangkuk terbalik. Ruang pertama dipergunakan sebagai ruang
penampungan kotoran sapi dan ruang kedua dipergunakan sebagai ruang
kontrol volume kotoran sapi dan volume limbah cair yang dihasilkan.
Slamet menjelaskan, setiap hari ruang penampungan kotoran sapi itu
dapat menampung kotoran sapi sebanyak apa pun. Hal ini karena sistem
pengolahan biogas dari kotoran sapi ini dibangun dengan sistem saling
berhubungan antara ruang penampungan dengan ruang kontrol.
"Kalau sampai terjadi kelebihan volume, kotoran sapi itu akan mengalir
ke ruang pengontrol. Dari situ ketahuan kalau volume di ruang
penampung sudah penuh," ungkapnya.
Dari hasil pengolahan biogas ini, Slamet memang dapat mempergunakan
limbah kotoran ternak semaksimal mungkin. Apalagi semua limbah organis
dari rumah tangga juga dapat dimasukkan ke dalam pengolahan biogas
ini.
Ia mengatakan, pengolahan biogas dari kotoran sapi ini sepenuhnya
menguntungkan petani. Selain memberikan energi rumah tangga secara
gratis, dapat memperoleh pupuk sekaligus. (Madina Nusrat)
Nusantara
Sabtu, 12 Januari 2008
Baru satu tangki reaktor biogas superbesar yang telah dibangun dan berfungsi di Desa Tarumajaya saat ini.
Terdapat empat reaktor biogas raksasa lainnya yang kini masih dalam tahap pembangunan. Tak hanya itu,
puluhan reaktor biogas kecil lainnya dimiliki secara perseorangan. Kebanyakan penerapan daya guna
biogas itu adalah bantuan dari program yang digulirkan pemerintah Provinsi Jabar dan Pemkab Bandung.
"Perasaan waswas atas keamanannya sih pasti ada. Apalagi tangkinya berada tepat di depan rumah. Namun,
setelah dua tahun berjalan, sama sekali tak ada masalah, sampai sekarang," kata Noneng yang memiliki dua
belas sapi perah itu. Dia menggunakan energi biogas itu untuk masak sehari-hari, termasuk memanaskan
susu yang baru diperah. Saking berlimpahnya energi biogas dari tangki komunal itu, dia dapat
memanfaatkanya untuk menyalakan generator jika suatu saat listrik dari PLN mendadak padam.
Sejak masyarakat Desa Tarumajaya yang terletak di hulu Sungai Citarum itu memanfaatkan biogas,
kebutuhan akan minyak tanah menurun drastis. Meskipun dibutuhkan, paling hanya untuk menutupi
kekurangan energi biogas yang digunakan. "Di sini harga minyak tanah mencapai Rp 4.000,00 per liter.
Alhamdulillah, sejak tujuh bulan lalu saya tak pernah beli minyak tanah, apalagi masuk ke hutan untuk
mencari kayu bakar," tutur Atep Solihin (27), warga pengguna biogas di Kp. Lembangsari, Desa
Tarumajaya.
Kelestarian lingkungan adalah salah satu pengaruh positif lainnya sejak penggunaan biogas ini. Data
berbagai penelitian menyebutkan, Sungai Citarum sudah tercemar hanya beberapa ratus meter dari
sumbernya. Kotoran sapi yang dibuang langsung ke sungai adalah penyebabnya. Sejak dilakukan
pengolahan biogas, kotoran sapi tak lagi dibuang ke sungai melainkan dapat langsung dimanfaatkan
menjadi pupuk pertanian.
"Bahkan, kotoran sisa biogas itu dapat dicampur dengan dedak menjadi pakan ikan. Pencemaran pun dapat
direduksi," kata Dede Juhari, Ketua Kelompok Masyarakat Peduli Sumber Air (MPSA). Dede bersama
kelompoknya adalah salah satu penggagas reaktor biogas komunal sekaligus membuat sejumlah kolam
resapan yang ditanami ikan air tawar. Selain untuk perbaikan lingkungan, kolam resapan itu juga dijadikan
sumber pendapatan alternatif masyarakat yang semula perambah hutan.
Menurut Dede, peternak sapi perah di Kertasari sekitar 3.500 orang dengan jumlah populasi sapi perah
mencapai 6.000 ekor. Sayangnya, reaktor biogas hanya mampu menampung sedikit kotoran yang
diproduksi tiap hari. Sebagai gambaran, satu ekor sapi perah dewasa dapat memproduksi sekitar 14 kg
kotoran setiap hari. Karena tak tertampung dalam biogas, peternak tetap membuangnya ke sungai.
"Tak kurang dari 40 ton kotoran sapi masuk ke Sungai Citarum setiap hari. Kita masih membutuhkan lebih
banyak lagi reaktor biogas untuk masyarakat," ucap Dede.
Jadi, nggak ada minyak tanah, nggak masalah, kan? (Deni Yudiawan/"PR"/Usep Usman Nasrulloh)***
Penulis:
Back
2007 - Pikiran Rakyat Bandung
Biogas Pertama Srigading: Slamet Sulap Kotoran Sapi Jadi Bahan Bakar
Published Date: January 2nd, 2008
Category: Penyediaan Jasa Lingkungan, Berita ESP, ESP Jawa Timur
Di Mendek, pahlawan yang dielu-elukan bukan tokoh super yang bisa terbang. Tapi
seseorang yang membuktikan bahwa kegiatan menyelamatkan lingkungan dan
menghemat energi dapat berjalan bersama
Malang. Slamet, 37, adalah warga dusun Mendek di desa Srigading yang memiliki
kegigihan dan keuletan yang sedang menjadi pembicaraan desa berpenduduk 4.780
orang itu.
Seperti daerah pedesaan lain di Indonesia, Srigading sangat terpukul dengan naiknya
harga minyak tanah dan untuk memasak kini mereka terpaksa menggunakan kayu bakar.
Slamet dan istrinya tak punya pilihan kecuali mendaki tebing-tebing terjal Pegunungan
Tengger demi mendapatkan ranting kering untuk memasak. Bukan hanya lelah yang
didapat, tuduhan sebagai perambah hutan yang merusak lingkungan sering dialamatkan
kepada mereka.
Untuk menambah pengetahuan masyarakat seputar perlindungan hutan dan mata air di
desa asal mata air Sumber Jengkol itu, ESP memulai program Sekolah Lapangan pada
Februari 2007. Sebagai salah seorang peserta, banyak ilmu seputar perlindungan hutan
dan mata air yang didapat oleh Slamet. Salah satunya seputar cara-cara kreatif untuk
mengurangi pencemaran lingkungan sekaligus menambah penghasilan. Contohnya,
menyulap kotoran sapi yang banyak terdapat di Mendek, menjadi biogas, bahan bakar
alternatif untuk memasak.
Biogas tidak merusak lingkungan karena CO2 yang dihasilkan langsung dapat diserap
tanaman sehingga emisi yang dihasilkan di atmosfer sangat sedikit.
Pengetahuan baru ini menginspirasi Slamet untuk meningkatkan taraf hidupnya tidak
hanya melalui susu tapi juga kotoran yang diproduksi dua ekor sapi miliknya. Bulan Juli
sampai Oktober, bersama 25 orang warga Mendek yang lain, Slamet mengunjungi desa
Toyomerto di Batu untuk belajar cara membuat biogas dari kotoran sapi. Desa Toyomerto
dikenal sebagai salah satu sentra biogas di Kota Batu dan memiliki populasi sapi 2.000,
alias dua kali lipat dari jumlah penduduknya.
Berbekal uang tabungan Rp. 1,2 juta, Slamet memulai konstruksi biodigester yang terdiri
dari dua bak untuk memproses kotoran sapi menjadi biogas. Untuk menghasilkan biogas
yang cukup dipakai memasak selama berhari-hari, Slamet memasukkan 40 kilogram
kotoran dari dua ekor sapi miliknya ke dalam bak penampung setiap dua hari sekali.
Kotoran tersebut kemudian dicampur dengan air dan didiamkan selama 6 hari sampai
membusuk. Campuran air dan kotoran sapi ini akan memproduksi gas yang dihubungkan
ke bak kedua dengan pipa PVC. Sebuah pipa yang lain akan mengalirkan gas dari bak
penampung ke kompor, dan biogas pun siap dipakai untuk memasak.
Enam hari setelah menyelesaikan konstruksi biodigesternya, Slamet berhasil menyalakan
api di kompor gasnya menggunakan gas alternatif tersebut. Kotoran sapi yang selama ini
terbuang percuma, kini memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Warga Srigading pun ramai
membicarakan proyek halaman belakang di rumah Slamet.
Yang bikin bangga, ternyata saya bisa juga menyulap kotoran sapi jadi api, kata Slamet
sambil tertawa.
Dalam beberapa minggu, Slamet mulai kebanjiran pesanan membuat biodigester dari
warga Srigading. Slamet menolak tawaran-tawaran itu karena merasa masih perlu banyak
belajar untuk menyempurnakan konstruksi biodigesternya sebelum menerima pesanan
dari orang lain.
Saya akan terus belajar, karena kelak saya akan memberi contoh kepada orang-orang
yang ingin membuat biodigester. Semakin bagus konstruksi saya, semakin besar
kemungkinan orang-orang di Srigading memiliki biodigester yang bagus.
Dhina Mustikasari & Bintoro W. Prabowo, ESP Jawa Timur
Cara Membuat Biogas dari
Kotoran Hewan
Katakanlah, Tiadalah aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir, atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor,. (QS. AlAnam : 145)
Jika Allah telah mengharamkan najis, maka menggunakannya juga tidak diperbolehkan. Dengan
demikian, kotoran hewan tidak boleh digunakan untuk apapun. Sebab, ia adalah najis. Perhatikan
sabda Rasulullah SAW,
Janganlah kalian memanfaatkan bagian dari bangkai sedikitpun. (HR.Bukhari)
Sementara kita ketahui bahwa bangkai terkategori barang najis. Walhasil, karena kotoran
hewan adalah najis, maka pemanfaatan kotoran hewan untuk biogas termasuk perbuatan yang
memanfaatkan najis, yang terkategori haram. Lagipula, biogas tidak hanya dapat diperoleh
dengan pemanfaatan kotoran hewan (sapi), tetapi juga dapat dihasilkan dari pemanfaatan sampah
organik lain seperti biji jarak. Dengan demikian, sungguh memprihatinkan, ketika pengembangan
teknologi hanya memperhatikan sisi kemanfaatan saja tanpa mempertimbangkan status
hukumnya dalam Islam, boleh atau tidak. Dan ini semua tidak lepas dari standar kehidupan
sekarang yang tidak lagi menjadikan halal dan haram sebagai standar tapi hanya aspek manfaat
saja. Kalau standarnya saja sudah salah, maka perilaku masyarakatnya pun bisa dipastikan juga
salah. Apalagi ketika pemerintah membiarkan saja, akibatnya kesalahan (kemaksiatan) yang
terjadi merupakan kesalahan struktural (massal). Ambil contoh ketika pemerintah membiarkan
bahkan mengkoordinasikan pengembangan biogas dari kotoran hewan dan melibatkan banyak
pihak dari berbagai elemen masyarakat, maka ini berarti pihak-pihak yang bersedia diajak tadi
telah bergabung untuk melakukan kesalahan secara massal (struktural). Dan akan lebih fatal lagi
ketika pengembangan energi biogas yang merupakan salah satu energi alternatif ini dijadikan
sebagai fokus pengembangan energi. Karena sejatinya Indonesia masih memiliki cadangan energi
utama yang sangat mampu mencukupi kebutuhan energi dalam negeri. Sementara sudah menjadi
opini umum bahwa energi utama yang kita miliki (minyak bumi, gas alam, dll) telah dibiarkan
oleh pemerintah untuk dikuasai asing (92% nya). Maka, pengembangan biogas selain tetap harus
sesuai syariah (menggunakan bahan-bahan yang memang diperbolehkan) juga jangan sampai
pengembangan energi alternatif ini membuat bangsa kaya ini terlupakan/teralihkan dari energi
utama yang telah dimiliki, karena akar masalahnya bukan terletak pada ketiadaan energi (krisis
energi) tapi lebih kepada pengerukan sumber-sumber energi kita untuk kepentingan asing akibat
perizina pemerintah kepada mereka untuk memiliki dan mengelola sumber energi itu, sehingga
hasilnya pun dinikmati hanya untuk mereka dan bukan untuk RAKYAT. Itulah letak perbedaan
yang sangat signifikan antara pengurusan sistem sekarang dengan sistem Islam. Khilafah/sistem
Islam, selain mengatur dan menjaga masyarakatnya agar senantiasa terikat dengan segenap
aturan-aturan Islam, Khilafah Islamiyyah juga senantiasa membuat kebijakan yang tidak
menyakiti masyarakat malah justru mensejahterakan mereka. Pemberian hak pengelolaan assetasset rakyat, termasuk bidang energi kepada perusahaan-perusahaan swasta dan asing, tetapi
pengelolaannya hanya dilakukan oleh Negara untuk dikembalikan kepada rakyat secara utuh,
karena itu memang hak mereka. Oleh karenanya, saintis-saintis dalam sistem Khilafah akan
menjadi saintis-saintis yang betul-betul mengaplikasikan dan memberikan keilmuannya untuk
kesejahteraan masyarakat, bukan menjadi saintis oportunis yang mengakibatkan terjadinya
penyimpangan penggunaan keilmuannya tidak untuk kesejahteraan masyarakat. Melainkan
hanya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan asing baik disadari atau tidak, dan baik secara
langsung atau tidak secara langsung, karena sistem sekarang memang sangat mengakomodasi
penyimpangan hal tersebut.
[disnak Online]
Print Friendly Version