Anda di halaman 1dari 10

BAB II

Tinjauan Pustaka

A. Definisi Difteria
Adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan
oleh Corynebacterium diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudo
membran pada kulit dan atau mukosa 1.
B. Etiologi
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae.
Berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul, mati
pada pemanasan 60 C, tahan dalam keadaan beku dan kering. Infeksi oleh
kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu
exotoxin. Toxin difteri ini, karena mempunayi efek patoligik meyebabkan
orang menjadi sakit. Kemampuan suatu strain membentuk atau memproduksi
toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh
Corynebacterium diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang
mengandung toxigene.
Secara umum dikenal tiga tipe utama dari Corynebacterium
diphtheriae yaitu tipe gravis, tipe intermedius, dan tipe mitis.
Corynebacterium diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan cara
bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6
termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas,
sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang virulen 1.
C. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
Kuman masuk melalui mukosa atau kulit, melekat serta berbiak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin
yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh
melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini merupakan suatu protein
dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2
fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal)
yang disatukan dengan ikatan disulfida. Fragmen B diperlukan untuk

melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang
sensitif. Perlekatan ini mutlak agar fragmen A dapat melakukan penetrasi ke
dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan efek toksik pada
sel. Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam
suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara
endositosis. Proses ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel.
Selanjutnya endosom yang mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan
mengandung toksin memudahkan toksin untuk melalui membran endosom ke
cytosol. Efek toksik pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan
pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari
penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang
menempati kedudukan P dan A dari pada ribosome. Bila rangkaian asam
amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk
polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi.
Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida
dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim translokase (Elongation faktor-2) yang aktif. Toksin diphtheria mula
mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan
selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim
translokase melalui proses :
NAD+ + EF2 (aktif) ---toksin---> ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 +
Nicotinamide ADP-ribosil-EF2 yang inaktif .
Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak
terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan
mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons
terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik
membentuk bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin
semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat
fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu
kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. selain fibrin,
membran juga terdiri dari sel-sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila
dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran

akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan. Kadang-kadang terjadi


infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran
dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. gangguan
pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring
atau cabang-cabang tracheobronchial. Toksin yang diedarkan dalam tubuh
bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan
ginjal. Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas
atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke
dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang
bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati toksik
biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi
setelah 3-7 minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis
dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada
jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot
dan sistem konduksi. Bila penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan
fibrosis interstisial. pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi
lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia,
kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut pada
ginjal 1,2,4.
D. Diagnosis
1. Anamnesis
- Panas sub febris 2 4 hari
- Batuk, pilek dan sakit telan
- Anak tidur ngorok yang sebelumnya tidak pernah ngorok
- Perubahan suara pada anak sampai bindeng
2. Pemeriksaan fisik
- Ditemukan bercak putih keabuan sukar diangkat serta mudah
-

berdarah
Pada kasus kasus berat dapat dijumpai tanda tanda sumbatan jalan
nafas. Tingkat keparahan sumbatan jalan nafas ini ditentukan sesuai
dengan derajat Jackson.
Jackson I
Ditandai dengan gejala sesak napas, stridor inspiratoir, retraksi
supasternal dan keadaan umum penderita masih baik.
Jackson II

Sama dengan gejala diatas dengan retraksi epigastrium, dan penderita


mulai gelisah.
Jackson III
Gejala Jackson II ditambah retraksi interkostal. Penderita berusaha
semaksimal mungkin untuk menghisap udara (air hunger). Biasanya
penderita sudah dalam keadaan syok. Dapat diketemukan bull neck,
disebabkan oleh edema jaringan lunak serta pembesaran kelenjar
daerah leher 3.
3. Laboratorium
Ditemukan kuman difteri pada pengecatan usapan dari bercaknya.
Biakan kuman difteri positif
Kombinasi keduanya 3.
E. Diagnosis banding
1. Difteria Hidung
Penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea (common cold,
sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues
kongenital)
2. Difteria Faring
Harus dibedakan dengan tonsilitis membrana mukosa akut yang
disebabkan oleh Streptokokus (tonsilitis akut, septic sore throat),
mononukleosis infeksiosa, tonsilitis membranosa non bakterial, tonsilitis
herpetika primer, moniliasis, blood dycrasia, pasca tonsilektomi.
3. Difteria Laring
Gejala difteria laring menyerupai laringitis, dapat menyerupai infectious
croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring,
dan benda asing dalam laring.
4. Difteria Kulit
Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh
streptokokus dan stafilokokus 1.
F. Penyulit
1. Obstruksi jalan nafas
Disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membran difteria
atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan
servikal.
2. Dampak toksin

Dampak toksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa


miokarditis yang dapat terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan
biasanya terjadi pada pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan
antitoksin. Pada umumnya penyulit miokarditis ini terjadi pada minggu
kedua tetapi bisa lebih dini pada minggu pertama atau lebih lambat pada
minggu ke-enam. Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardia, suara
jantung redup, terdengar bising jantung, atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal
jantung. Kelainan pemeriksaan elektrokardiogram dapat berupa elevasi
segmen ST, perpanjangan interval PR, dan heart block.
Penyulit pada saraf biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral,
terutama mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi
kelumpuhan pada palatum molle pada minggu ketiga, suara menjadi sengau,
terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya
terjadi pada minggu kelima, meskipun dapat terjadi antara minggu ke- 5 dan
ke- 7.
Paralisis ekstrimitas bersifat bilateral dan simetris disertai
hilangnya deep tendon reflexes, peningkatan kadar protein dalam likuor
serebrospinal. Paralisis diafragma dapat terjadi pada minggu ke- 5 dan ke- 7
sebagai akibat neuritis saraf frenikus. Hal ini dapat menyebabkan kematian
apabila tidak dibantu ventilator mekanik. Bila terjadi kelumpuhan pada ;usat
vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal jantung.
3. Infeksi sekunder bakteri
Setelah era penggunaan antibiotik secara luas, penyulit ini sudah
sangat jarang terjadi 1.
G. Penatalaksanaan
1. Isolasi dan Karantina :
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa
akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan
berikut terlaksana :
a. biakan hidung dan tenggorok
b. seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)
c. diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.

Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid
diphtheria.
Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi
Bila kultur (+)/Schick test (-) : pengobatan carrier
Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria +
penisilin
Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif)
2. Pengobatan :
Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi
toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar
penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk
mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit
diphtheria.
a. U m u m :
Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian
cairan serta diit yang adekwat. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar
nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
nebulizer. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan
yang progresif hal-hal tersebut merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
b. K h u s u s :
1. Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis
diphtheria.Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva
dahulu. Oleh karena pada pemberian ADS terdapat kemungkinan
terjadinya reaksi anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin
1 : 1000 dalam semprit.
Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam
larutan garam fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila
dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.
Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan
serum 1 : 10 dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan

garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala


konjungtivitis dan lakrimasi.
Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara
desensitisasi (Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas
negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan intravena.
Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris
berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung pada berat badan
penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000 KI.
Dosis ADS disesuaikan menurut derajat berat penyakit sebagai
berikut :
o 20.000 KI i.m. untuk diphtheria ringan (hidung, kulit,
konjungtiva).
o 40.000 KI i.v. untuk diphtheria sedang (pseudomembran terbatas
pada tonsil, diphtheria laring).
o 100.000 KI i.v. untuk diphtheria berat (pseudomembran meluas ke
luar tonsil, keadaan anak yang toksik; disertai "bullneck", disertai
penyulit akibat efek toksin).
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam
larutan 200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap
kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama
pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula
perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum
sickness).
2. Antibiotik
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk
menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000
KI/BB/hari selama 7-10 hari, bila alergi bisa diberikan eritromisin
40 mg/kg/hari.
3. Pemberian sedativa
Pemberian sedativa masih perlu mengistirahatkan penderita.
Diberikan Luminal 3 5 mg/kgBB/ hari dibagi dalam tiga dosis. Pada

kasus kasus yang berat, pemberian prednison 1 1,5 mg/kgBB/ 24


jam dapat mengurangi kemungkinan terjadinya miokarditis.
4. Imunisasi
Imunisasi perlu diberikan 3 bulan setelah dinyatakan sembuh,
karena penelitian menunjukkan bahwa setengah dari penderita yang
sudah sembuh dari difteri masih mungkin mengalami reinfeksi, karena
imunitas yang diperoleh setelah menderita penyakit ini belum
memadai.
5. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala
obstruksi saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit
miokardiopati toksik. Pada miokarditis diberikan kortikosteroid dosis
tinggi secara intravena (2-3 mg/KgBB/hari) selama 2 minggu
kemudian diturunkan dosisnya bertahap.
6.

Pengobatan penyulit
Pengobatan terutama ditujukan terhadap menjaga agar
hemodinamika penderita tetap baik oleh karena penyulit yang
disebabkan oleh toksin pada umumnya reversibel. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas, serta gangguan pernapasan yang progresif
merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

7. Pengobatan Carrier
Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan,
mempunyai reaksi Schick negatif tetapi mengandung basil diphtheria
dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral atau
suntikan, atau eritromisin selama satu minggu. Mungkin diperlukan
tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.
H. Tindak lanjut
1. Pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya komplikasi perlu dilakukan
2. EKG perlu dilakukan untuk mengetahui apakah ada komplikasi
miokarditis. Biasanya EKG dilakukan menjelang minggu kedua dari
sakitnya penderita. Bila diketemukan gambaran EKG mengarah pada

miokarditis, maka EKG diulang setiap hari untuk memantau


perkembangan miokarditisnya. Bila perlu, setelah penderita keluar dari
isolasi, dipindahkan ke ruang perawatan jantung.
3. Di samping EKG juga perlu pemeriksaan SGOT, SGPT, dan CKMB,
untuk memantau terjadinya kerusakan pada otot jantung.
4. Adanya perubahan suara anak, mungkin adanya paralise/ parase saraf di
daerah muka. Biasanya terjadi pada minggu keempat sampai keenam,
perlu konsultasi dengan bagian THT.
5. Pemeriksaan urine perlu dilakukan untuk memantau kemungkinan
terjadinya komplikasi ginjal.

I. Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan
memberikan pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak. Pada umumnya
setelah seorang anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat
rendah sehingga perlu imunisasi. Pencegahan secara khusus terdiri dari
imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat
imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi
tidak mempunyai antibodi terhadap organismenya. Keadaan demikian
memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria nasofaringnya (karier)
atau menderita difteria ringan 1.
J. Prognosis
1. Bila tidak ada komplikasi prognosisnya baik.
2. Prognosis memburuk bila penderita datang dengan komplikasi yang sudah
berlangsung lebih dari 48 jam 4.

DAFTAR PUSTAKA
1. IDAI. 2008., Difteri. Dalam : Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 312 312
2. Long SL. Diphtheria (Corynebacterium diphtheriae) in : Behrman RE,
Kliegman RM, Jelson HB, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 16th ed
Philadelphia London New York St. Louis Sydney Toronto : WB Saunders,
2000; 817-20
3. Hartantyo, I, Susanto, Rudi, dkk. 1997., Difteri. Dalam Pedoman
Pelayanan Medik. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 10
14
4. Wharton M. In : Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL, eds. Krugmans

Infectious Diseases of Children. 11th ed St. Louis : The Mosby Co, 2004 :
85-96

Anda mungkin juga menyukai