Anda di halaman 1dari 4

Difteria

Difteria ialah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman
corynebacterium diphttheriae. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas bagian
atas dengan tanda khas berupa pseudomembran dan dilepaskan nya eksotoksin yang dapat
menimbulkan gejala umum dan local. Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet,
selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari.

Etiologi

corynebacterium diphttheriae, bakteri Gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak, dan
tidak membentuk spora. Terdapat 3 jenis basil, yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius. Basil
dapat membentuk:

a. Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah, dan berdarah, dan berwarna putih
ke abu-abuan yang meliputi daerah yang terkena; terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan,
jaringan nekrotik, dan basil.
b. Eksotoksin yang sangat gans dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam
diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot
jantung, ginjang, dan jaringan saraf . Minimum lethal dose (MLD) toksin ini 0,02ml

Uji schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seorang telah mengandung
antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satua per millimeter darah cukuyp dapat menahan
infeksi difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan
dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml. pada seseorang yang tidak
mengandung antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan hilang setelah bebrapa
minggu. Pada yang mengandung titer antitoksin rendah, uji schick dapat positif; pada bekas
suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negative bila
tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan
imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi
terhadap protein antioksin yang akan menghilang 72 jam.
Patogenesis

Basil hidup dan berkembang biak pada saluran napas atas, terlebih-lebih bila terdapat
peradangan kronis pada tonsil,s sinus, dll. Basil dapat pula hidup pada vulva, telinga, dan
kulit. Pada tempat ini basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.

Klasifikasi

1. Infeksi ringan : pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fasial dengan
gejala hanya nyeri menelan
2. Infeksi sedang : pseudomembran menyebar lebih luas sampai ke dinding posterior
faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan
pengobatan konservatif.
3. Infeksi berat : disertai gejala sumbatan jalan napas yang berat, yang hanya dapat
diatasi dengan trakeostomi. Juga gejala komplikasi miokarditiss,
paralisis, atau pun nefritis dapat menyertainya.
Manifestasi Klinis
a. Difteri hidung : pilek dengan secret bercampur darah . gejala
konstitusi ringan
b. Difteri faring dan tonsil (fausial) : terdapat radang akut tenggorok, demam sampai
38,5ºC,takikardi, tampak lemah, napas berbau, timbul pembengkakan kelenjar
regional(bull neck). Membrane dapat berwarna putih,abu-abu kotor, atau abu kehijauan
dengan tepi yang sedikit terangkat. Bila membrane diangkat akan timbul perdarahan.
Tetapi, prosedur ini dikontradiksikan karena mempercepat penyerapan toksin.
c. Difteri laring : jenis yang terberat, terdapat afonia, sesak,stridor
inspirasi, demam sampai 40ºC, sangat lemah, sianosis, bull neck.
d. Difteri kutaneus dan vaginal : lesi ulseratif dengan pembentukan membrane. Lesi
persisten dan serinmg terdapat anestesi.

Pemeriksaan Penunjang
Dapat terjadi leukositosis ringan.
Diagnosis
Ditegakkan dengan ditemukannya corynebacterium diphttheriae pada preparat langsung
dengan pewarnaan biru metilen atau biru toluidin atau biakan dengan media loeffer.

Diagnosa Banding
Difteri nasal : perdarahan akibat luka dala hidung, korpus alienum, atau sifilis
congenital.
Difteri faring atau tonsil (fausial) : tonsillitis folikularis atau lakunaris, angina Plaut
Vincent, infeksi mononucleosis infeksiosa, blood dyscrasia.
Difteria laring : laryngitis akut, laringotrakeitis, laryngitis membranosa, benda asing pada
laring.

Penatalaksanaan
Dilakukan bila klinis menyokong kea rah difteria tanpa menunggu hasil pemeriksaan
penunjang. Tatalaksana umum dengan tirah baring, isolasi pasien, pengawasan ketat atas
kemungkinan komplikasi , antara lain pemeriksaan EKG setiap minggu. Pasien dirawat
selama 3-4 minggu. Sedangkan secara khusus.
a. Anti-Diphtheria Serum (ADS) diberikan dengan dosis 20.000-100.000 U bergantung
pada lokasi, adanya komplikasi, dan durasi penyakit. Sebelumnya lakukan uji kulit
(pengenceran 1: 100) atau mata (Pengenceran 1:10). Bila pasien sensitive, lakukan
desensitisasi cara besredka.
b. Antibiotik. Penisilin prokain 50.000 U/kgBB/hari sampai 10 hari. Bila alergi, alergi
eritromisin 40 mg/kgBB/hari. Bila dilakukan trakeostomi, tambahkan klorafenikol 75
mg/kgBB/hari dalam 4 dosis.
c. Kortikostreroid. Digunakan untuk mengurangi edema laring dan mencegah komplikasi
miokarditis. Diberikan prednisone 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu yang dihentikan
secara bertahap (tapering off)
d. Bila ada komplikasi paresis otot dapat diberikan striknin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg
setiap hari, 10 hari berturut-turut.
Komplikasi
1. Saluran napas : obstruksi jalan napas, bronkopneumonia, atelektasis paru.
2. Kardiovaskular : miokarditis akibat toksin kuman
3. Urogenital : nefritis
4. Susunan saraf : paralisis/paresis palatum mole (minggu I dan II), otot mata
(minggu III), dan umum (setelah minggu IV).

Pencegahan
1. Isolasi pasien. Isolasi dihentikan bila hasil pemeriksaan sediaan langsung C.
diphtheria 2 hari hari berturut-turut negatif.
2. Imunisasi
3. Pencarian dan pengobatan karier. Dilakukan dengan uji schick. Bila hasil negative
dilakukan apusan tenggorok. Jika ditemukan C. Diphtheria , harus diobati.

Prognosis

Prognosis lebih buruk pada pasien dengan usia yang lebih muda, perjalanan penyakit
yang lama, letak lesi yang dalam, gizi kurang, dan pemberian antitoksin yang terlambat.

Anda mungkin juga menyukai