Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN
Infeksi saluran pernapasan atas pada anak-anak merupakan hal yang paling sering dijumpai
oleh dokter umum. Keluhan seperti nyeri tenggorokan, infeksi saluran pernapasan bagian atas
yang sering disertai dengan masalah pada telinga, adalah hal yang banyak dikeluhkan oleh pasien
yang datang berkunjung ke pelayanan kesehatan, terutama anak-anak. Dari umur 5 tahun, anak
mulai sekolah dan menjadi lebih beresiko untuk tertular infeksi dari anak yang lain.1
Cincin Waldeyer yang tersusun dari jaringan limfoid berperan sebagai sistem pertahanan
lokal dan surveilen imun. Seperti halnya jaringan limfoid lain, jaringan limfoid pada cincin
Waldeyer menjadi hipertrofi pada masa kanak-kanak.2
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi di Indonesia pada tahun 1994
sampai 1996, prevelensi tonsilitis kronis tertinggi setelah nasofaringitis akut (4.6%) yaitu sebesar
3.78%.
Lokasi tonsil pada saluran pernapasan dan pencernaan menyebabkan ia tidak jarang terkena
infeksi/menjadi sarang (fokal) infeksi, serta bisa juga membesar dan mengganggu proses
menelan/pernapasan, sehingga tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering muncul
pada penyakit tenggorokan yang berulang.3,4
Radang kronis yang terjadi pada tonsil ini dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi baik
komplikasi ke daerah sekitar atau pun komplikasi jauh. Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis
adalah pembedahan pengangkatan tonsil.4,5
Pada responsi kali ini akan dibahas lebih lanjut mengenai tonsillitis kronis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tonsil
Tonsil merupakan suatu kumpulan limfonoduli permanen yang letaknya di bawah epitel
yang telah terorganisir sebagai suatu organ.4 Pada tonsil terdapat epitel permukaan yang
ditunjang oleh jaringan ikat retikuler dan kapsel jaringan ikat serta kripte di dalamnya.6,7
Berdasarkan lokasinya, tonsil dibagi menjadi :4
1. Tonsila lingualis, terletak pada radiks linguae.
2. Tonsila palatina (tonsil), terletak pada isthmus faucium antara arcus glossopalatinus dsan
arcus glossopharingicus.
3. Tonsila pharingica (adenoid), terletak pada dinding dorsal dari nasofaring.
4. Tonsila tubaria, terletak pada bagian lateral nasofaring di sekitar ostium tuba auditiva.
5. Plaques dari Peyer (tonsil perut), terletak pada ileum.
Dari kelima macam tonsil tersebut, tonsila lingualis, tonsila palatina, tonsila pharingica dan
tonsila tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran napas dan saluran
pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama Cincin Waldeyer.2,7,8 Kumpulan jaringan ini
melindungi anak dari infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada Cincin Waldeyer
menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada
usia 5 tahun, yang kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas.2,9
Jaringan limfoid pada Cincin Waldeyer berperan penting pada awal kehidupan, yaitu sebagai
daya pertahanan lokal yang setiap saat berhubungan dengan agen dari luar (makan, minum,
bernapas), dan sebagai surveilen imun. Fungsi ini didukung secara anatomis dimana di daerah
faring merupakan lengkungan yang dilalui oleh material yang melewati tonsil, disamping itu
bentuknya yang tidak datar, sehingga terjadi turbulensi udara saat terjadi proses pernapasan.
Dengan demikian kesempatan kontak berbagai agen yang ikut dalam proses fisiologis tersebut
pada permukaan penyusun Cincin Waldeyer itu semakin besar.3

Palatum mole
Uvula
Arkus Palatoglosal
Arkus Palatoparingeal
Tonsil Palatina

Gambar 2.1 Penampang Kavum Oris10

2.2 Embriologi Tonsila Palatina


Perluasan ke lateral dari kantong faringeal kedua diserap dan bagian dorsalnya tetap ada dan
menjadi epitel tonsila palatina. Pilar tonsil berasal dari arcus branchial kedua dan ketiga. Kripte
tonsiler pertama terbentuk pada usia kehamilan 12 minggu dan kapsul terbentuk pada usia
kehamilan 20 minggu.11
2.3 Anatomi Tonsila Palatina
Tonsila palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak pada
dinding lateral orofaring dalam fossa tonsilaris. Tiap tonsil ditutupi membran mukosa dan
permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannnya tampak berlubanglubang kecil yang berjalan ke dalam disebut cryptae tonsillares yang berjumlah 6-20 kripte. Pada
bagian atas permukaan medial tonsila terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan lateral
tonsil ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut capsula tonsila palatina, terletak berdekatan
dengan tonsila lingualis.9,11,12

Gambar 2.2 Belahan Tonsil10

Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsila palatina adalah :9,10,11


1. Anterior

: arcus palatoglossus

2. Posterior

: arcus palatopharyngeus

3. Superior

: palatum mole

4. Inferior

: 1/3 posterior lidah

5. Medial

: ruang orofaring

6. Lateral

: kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior oleh jaringan

areolar longgar. A. carotis interna terletak 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsila.
2.4 Vaskularisasi
Arteri terutama masuk melalui polus caudalis, tetapi juga bisa melalui polus cranialis.
Melalui polus caudalis: rr. tonsillaris a. dorsalis linguae, a. palatina ascendens dan a. fasialis.
Melalui polus cranialis: rr. tonsillaris a. pharyngica ascendens dan a. palatina minor. Semua
cabang-cabang tersebut merupakan cabang dari a. carotis eksterna.
Darah vena dari tonsil terutama dibawa oleh r. tonsillaris v. lingualis membentuk pleksus
venosus yang mempunyai hubungan dengan pleksus pharyngealis. Vena paratonsil dari palatum
mole menuju ke bawah melewati bagian atas tonsillar bed untuk menuangkan isinya ke dalam
pleksus pharyngealis.
Cairan limfe dituangkan ke lnn. submaksilaris, lnn. cervicalis superfisialis dan sebagian
besar ke lnn. servikalis profundus superior terutama pada limfonodi yang terdapat di dorsal
angulus mandibular (lnn. tonsil). Nodus yang paling penting pada kelompok ini adalah nodus
jugulodigastrikus yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae.4,9,12
2.5 Inervasi
Innervasi terutama dilayani oleh n. IX (glossopharyngeus) dan juga oleh n. palatina minor
(cabang ganglion sphenopalatina). Pemotongan pada n. IX menyebabkan anestesia pada semua
bagian tonsil.4,12
2.6 Imunologi
Tonsil merupakan organ yang unik karena keterlibatannya dalam pembentukan imunitas
lokal dan pertahanan imunitas tubuh. Imunoglobulin (Ig G, A, M, D), komponen komplemen,
interferon, lisosim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsillar. Infeksi bakterial kronis pada
tonsil akan menyebabkan terjadinya antibodi lokal, perubahan rasio sel B dan sel T.11,12

Efek dari adenotonsilektomi terhadap integritas imunitas seseorang masih diperdebatkan.


Pernah dilaporkan adanya penurunan produksi Imunoglobulin A nasofaring terhadap vaksin polio
setelah adenoidektomi atau adanya peningkatan kasus Hodgkins limfoma. 1 Namun
bagaimanapun peran tonsil masih tetap kontroversial dan sekarang ini belum terbukti adanya
efek imunologis dari tonsilektomi.11,12
2.7 Tonsilitis Kronis
2.7.1 Definisi
Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronis yang mengenai seluruh jaringan tonsil yang
umumnya didahului oleh suatu peradangan di bagian tubuh lain, seperti misalnya sinusitis,
rhinitis, infeksi umum seperti morbili, dan sebagainya.13,14
Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil
tampak sehat. Tapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan membesar disertai dengan
hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan bila tonsil ditekan akan keluar detritus.14
2.7.2 Etiologi
Etiologi berdasarkan Morrison yang mengutip hasil penelitian dari Commission on Acute
Respiration Disease yang bekerja sama dengan Surgeon General of the Army, dimana dari 169
kasus didapatkan :
-

25 % disebabkan oleh Streptokokus hemolitikus yang pada masa penyembuhan tampak


adanya kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam serum penderita.

25 % disebabkan oleh Streptokokus lain yang tidak menunjukkan kenaikan titer


Sreptokokus antibodi dalam serum penderita.

Sisanya adalah Pneumokokus, Stafilokokus, Hemofilus influensa.13

Ada pula yang menyebutkan etiologi terjadinya tonsilitis sebagai berikut :11
1.

Streptokokus hemolitikus Grup A

2.

Hemofilus influensa

3.

Streptokokus pneumonia

4.

Stafilokokus (dengan dehidrasi, antibiotika)

5.

Tuberkulosis (pada immunocompromise)

2.7.3 Faktor Predisposisi


1.

Rangsangan kronis (rokok, makanan)

2.

Higiene mulut yang buruk

3.

Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)

4.

Alergi (iritasi kronis dari alergen)

5.

Keadaan umum (gizi jelek, kelelahan fisik)

6.

Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.6,13,15

2.7.4 Patologi
Proses keradangan dimulai pada satu atau kebih kripte tonsil. Karena proses radang
berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan
jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripte
akan melebar. Secara klinis kripte ini akan tampak diisi oleh detritus (epitel yang mati, sel
leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat berwarna kekuningkuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan
jaringan sekitar fossa tonsil. Pada anak, proses ini dapat disertai dengan pembesaran kelenjar
submandibula.6,13,15
2.7.5 Manifestasi Klinis
Pasien mengeluh ada penghalang di tenggorokan, terasa kering dan pernapasan berbau, rasa
sakit terus menerus pada kerongkongan dan sakit waktu menelan.6,13,15
Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil yang mungkin tampak :
1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan sekitar, kripte
yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau seperti keju.
2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam di
dalam tonsillar bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang melebar dan ditutupi eksudat
yang purulen.5,13
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara
kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi
pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :12
T0

: Tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat

T1

: < 25 % volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring

T2

: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring

T3

: 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring

T4

: >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring

2.7.6 Diagnosis
1. Anamnesa
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting, karena hampir 50 % diagnosa dapat
ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada
tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, napas bau busuk, malaise, sakit pada sendi,
kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher.6,13,15
2. Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian kripte
mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari kripte-kripte tersebut. Pada
beberapa kasus, kripte membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul yang terlihat pada
kripte. Gambaran klinis lain yang sering tampak adalah dari tonsil yang kecil, biasanya membuat
lekukan dan seringkali dianggap sebagai kuburan dimana tepinya hiperemis dan sejumlah kecil
sekret purulen yang tipis terlihat pada kripte.5,13
3. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi kuman dari sediaan apus tonsil (swab). Biakan
swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat keganasan yang rendah,
seperti Streptokokus hemolitikus, Streptokokus viridans, Stafilokokus, Pneumokokus.13,15
2.7.7 Diagnosa Banding
Diagnosa banding dari tonsilitis kronis adalah :
1. Penyakit-penyakit yang disertai dengan pembentukan pseudomembran yang menutupi
tonsil (tonsilitis membranosa)
a. Tonsilitis difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang yang terinfeksi
oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam darah. Titer
antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas.

Gejalanya terbagi menjadi 3 golongan besar, umum, lokal dan gejala akibat eksotoksin. Gejala
umum sama seperti gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan,
badan lemah, nadi lambat dan keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil
membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk
pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah.
Gejala akibat eksotoksin dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung
dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan
kelumpuhan otot palatum dan otot pernapasan serta pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria.

Gambar 2.3 Tonsilitis difteri10

b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)


Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39C), nyeri di mulut, gigi dan kepala, sakit
tenggorok, badan lemah, gusi mudah berdarah dan hipersalivasi. Pada pemeriksaan tampak
membran putih keabuan di tonsil, uvula, dinding faring, gusi dan prosesus alveolaris. Mukosa
mulut dan faring hiperemis. Mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibula membesar.
c.

Mononukleosis infeksiosa
Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membran semu yang menutup ulkus
mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan
regio inguinal. Gambaran darah khas, yaitu terdapat leukosit mononukleosis dalam jumlah besar.
Tanda khas yang lain adalah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah
merah domba (Reaksi Paul Bunnel).
2. Penyakit kronik faring granulomatus

a.

Faringitis tuberkulosa

Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien buruk karena anoreksi
dan odinofagi. Pasien mengeluh nyeri hebat di tenggorok, nyeri di telinga (otalgia) dan
pembesaran kelenjar limfa leher.
b.

Faringitis luetika
Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder atau tersier. Pada
penyakit ini dapat terjadi ulserasi superfisial yang sembuh disertai pembentukan jaringan ikat.
Sekuele dari gumma bisa mengakibatkan perforasi palatum mole dan pilar tonsil.

c.

Lepra
Penyakit ini dapat menimbulkan nodul atau ulserasi pada faring kemudian menyembuh dan
disertai dengan kehilangan jaringan yang luas dan timbulnya jaringan ikat.

d.

Aktinomikosis faring
Terjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri, bisa mengalami ulseasi
dan proses supuratif. Blastomikosis dapat mengakibatkan ulserasi faring yang ireguler,
superfisial, dengan dasar jaringan granulasi yang lunak.
Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri tenggorok dan
kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan jaringan atau
kultur, X-ray dan biopsi.6,15
2.7.8 Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah sekitar atau
secara hematogen/limfogen ke organ yang jauh dari tonsil.6,14,15,16
1.

a.

Komplikasi sekitar tonsil


Peritonsilitis
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus dan abses.
b. Abses Peritonsilar (Quinsy)
Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi berasal
dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil
dan penjalaran dari infeksi gigi.

Gambar 2.4 Abses Peritonsiler10

c. Abses Parafaringeal
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening atau
pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal, adenoid,
kelenjar limfe faringeal, mastoid dan os petrosus.
d.

Abses Retrofaring
Merupakan pengumpulan pus (nanah) dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi
pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi
kelenjar limfe.
e. Krista Tonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa dan
ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih atau berupa
cekungan, biasanya kecil dan multipel.
f. Tonsilolith (kalkulus dari tonsil)
Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan tonsil
membentuk bahan keras seperti kapur.
2.

Komplikasi ke organ jauh


a. Demam rematik dan penyakit jantung rematik
b. Glomerulonefritis
c. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
d. Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura

e. Artritis dan fibrositis


2.7.9 Penatalaksanaan
Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan dengan pengangkatan tonsil.
Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis atau yang konservatif
gagal untuk meringankan gejala-gejala. Penatalaksanaan medis termasuk pemberian penisilin
yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk membersihkan kripte tonsil dengan
alat irigasi gigi (oral). Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi kronis
maupun berulang.5
Tonsilektomi merupakan suatu prosedur pembedahan yang diusulkan oleh Celsus dalam De
Medicina (10 Masehi), tindakan ini juga merupakan tindakan pembedahan yang pertama kali
didokumentasikan oleh Lague dari Rheims (1757).10
Indikasi untuk dilakukan tonsilektomi yaitu :1
1. Obstruksi :

Hiperplasia tonsil dengan obstruksi.

Sleep apnea atau gangguan tidur.

Kegagalan untuk bernapas.

Cor Pulmonale.

Gangguan menelan.

Gangguan bicara.

Kelainan orofacial atau dental yang menyebabkan jalan napas sempit.

2. Infeksi

Tonsilitis kronis (sering berulang).

Tonsilitis dengan :

Abses peritonsiler.

Abses kelenjar limfe leher.

Obstruksi jalan napas akut.


Gangguan klep jantung.
Tonsilitis yang persisten dengan :

Sakit tenggorok yang persisten.

Tonsilolithiasis Carrier Streptococcus yang tidak respon terhadap terapi.

Otitis Media Kronis yang berulang.

3. Neoplasia atau suspek neoplasia benigna / maligna.


Indikasi tonsilektomi secara garis besar terbagi 2, yaitu :
1. Indikasi absolut
a. Tonsilitis akut/kronis yang berulang-ulang.
b. Abses peritonsiler.
c. Karier Difteri.
d. Hipertrofi tonsil yang menutup jalan napas dan jalan makanan.
e. Biopsi untuk menentukan kemungkinan keganasan.
f. Cor Pulmonale.
2. Indikasi relatif
a. Rhinitis yang berulang-ulang.
b. Ngorok (snorring) dan bernapas melalui mulut.
c. Cervical adenopathy.
d. Adenitis TBC.
e. Penyakit-penyakit

sistemik

karena Streptokokus hemolitikus seperti demam

rematik. Penyakit jantung rematik, nefritis, dll.


f. Radang saluran napas atas berulang-ulang.
g. Pertumbuhan badan kurang baik.
h. Tonsil besar.
i. Sakit tenggorokan berulang-ulang.
j. Sakit telinga berulang-ulang.

Secara umum dapat disebutkan indikasi tonsilektomi adalah:


1. Infeksi berulang 3 kali dalam setahun selama 3 tahun, 5 kali setahun selama 2 tahun, 7 kali
atau lebih dalam setahun atau tidak masuk kerja/sekolah lebih dari 2 minggu dalam 1 tahun
karena penyakitnya itu,
2. Hipertrofi sehingga menyebabkan obstruksi saluran napas atas (obstruksi,sleep apnea),
3. Abses peritonsiler,

4. Kemungkinan keganasan, baik pembesaran unilateral atau mencari sumber primer yang tidak
diketahui,
5. Hipertrofi yang menyebabkan masalah pencernaan,
6. Tonsilitis rekuren yang menyebabkan kejang demam,
7. Karier difteri.
Sedangkan kontraindikasi dari tonsilektomi adalah :
1.

2.

Kontraindikasi relatif
a.

Palatoschizis,

b.

Radang akut, termasuk tonsilitis,

c.

Poliomielitis epidemika,

d.

Umur kurang dari 3 tahun.

Kontraindikasi absolut
a.

Diskariasis darah, leukemia, purpura, anemia aplastik, hemofilia,

b.

Penyakit sistemis yang tidak terkontrol seperti diabetes melitus, penyakit jantung,
dan sebagainya.2,5,6,11,17

Gambar Keadaan penderita sebelum dan setelah dilakukan Tonsilektomi 18

BAB III
LAPORAN KASUS
1.1 Identitas Pasien
Nama

: IWSP

Umur

: 17 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Pekerjaan

: Pelajar

Agama

: Hindu

Suku

: Bali

Bangsa

: Indonesia

Alamat

: Tarukan, Pejeng, Gianyar

Tanggal Pemeriksaan

: 6 April 2015

1.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Demam dirasakan sejak 5 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli THT RSUD Sanjiwani Gianyar pada tanggal 6 April 2015,
dikonsulkan dari poli Penyakit Dalam dengan diagnosis sementara Tonsilo Faringitis Akut.
Keluhan utama yang dirasakan berupa

demam yang dirasakan terus menerus tidak

berkurang dengan pemberian obat penurun panas. Pada saat pemeriksaan, pasien juga
mengeluhkan sakit tenggorokkan dan terasa ada yang mengganjal di tenggorokkan. Keluhan
nyeri tenggorok timbul pada saat pasien menelan dan sudah dirasakan sejak 2 hari yang lalu.
Keluhan ini menyebabkan nafsu makan pasien berkurang, sehingga pasien merasa lemas.
Pasien sempat mengkonsumsi makanan pedas sehari sebelum timbul keluhan demam.
Keluhan nyeri telinga dan pilek disangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami keluhan nyeri tenggorokkan + 7 bulan yang lalu. Pasien
pernah mengalami amandel pada saat SMP dan pasien tidak pernah menjalani tonsilektomi.
Pasien menyangkal adanya riwayat hipertensi dan diabetes.
Riwayat Alergi

Pasien menyangkal adanya alergi terhadap obat, makanan maupun bahan tertentu.
Riwayat Pengobatan
Dari poli Penyakit Dalam pasien diberikan parasetamol 500 mg 3x sehari namun
demam tidak membaik. Pasien juga mendapatkan tablet vitamin.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Pasien menyangkal adanya riwayat keluhan yang sama yang dialami oleh
keluarganya.
Riwayat Pribadi dan Sosial
Penderita merupakan pelajar SMK. Pasien menyatakan senang mengkonsumsi
makanan pedas dan makan ringan. Pasien mengatakan tidak mengonsumsi alkohol maupun
merokok.
1.3 Pemeriksaan Fisik
3.3.1 Status Present
Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 84 x/menit

Respirasi

: 20 x/menit

Temperatur axilla

: 36,8 0C

3.3.2 Status General


Kepala

: Normocephali

Mata

: Anemis -/- , ikterus -/-, Refleks pupil (+) isokor

THT

: Sesuai status lokalis

Leher

: Pembesaran kelenjar getah bening (-)/(-)


Pembesaran kelenjar tiroid (-)/(-)

Thoraks

: Cor

: S1, S2, tunggal, reguler, murmur (-)

Pulmo : vesikuler (+)/(+), ronki (-)/(-), wheezing (-)/(-)


Abdomen : Distensi (-), Bising usus (+) normal, hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas

: Akral hangat

Edema

3.3.3 Status Lokalis THT


Telinga
Daun telinga

Liang telinga (KAE)

Kanan
Bentuk : Normal

Kiri
Bentuk : Normal

Nyeri Tarik Aurikuler (-)

Nyeri Tarik Aurikuler (-)

Nyeri Tekan Tragus (-)


Lapang

Nyeri Tekan Tragus (-)


Lapang

Serumen : (-)

Serumen : (-)

Cairan : (-)
(-)
Intak
(-)

Cairan : (-)
(-)
Intak
(-)

Kanan
Bentuk : Normal

Kiri
Bentuk : Normal

Sekret
Membran Timpani
Tumor
Tes Pendengaran :
Weber

: Tidak dievaluasi

Rinne

: Tidak dievaluasi

Schwabach : Tidak dievaluasi


Hidung
Hidung Luar
Mukosa
Septum
Sekret
Tumor
Konka

Hiperemi minimal
Deviasi : (-)
(-)
(-)
Dekongesti

Tenggorokan
Dispneu
Sianosis
Mukosa
Dinding Belakang Faring
Stridor
Suara
Tonsil
Ukuran
Mukosa Hiperemia
Kripta
Detruitus
Pus
Peritonsil

Hiperemi minimal
(-)
(-)
Dekongesti

Tidak ada
Tidak ada
Merah Muda
Merah Muda, Post Nasal Drip (-)
(-)
Normal
Kanan
Kiri
T2
T2
Hiperemi minimal (+)
Hiperemi minimal (+)
(+)
(+)
(-)
(-)
(-)
(-)
Mukosa : Merah Muda
Mukosa : Merah Muda

Uvula
Palatum Molle

Pus
: (-)
Pus
: (-)
Hiperemia (-), Edema (-), Letak Medial, Deviasi (-)
Hiperemia (-), Edema (-)

Gambar 3.1. Abses Intratonsilar Pasien

Gambar 3.2. Tonsil Kanan Pasien


3.3.4

Pemeriksaan Penunjang

Darah Lengkap (6 April 2015)

Parameter
WBC
Lymph
Gran#
RBC
HGB
MCV
MCH
PLT

Hasil
6,1
35,4
3,2
5,27
14,9
78,9
28,3
210

Satuan
10 x 3/uL
%
10 x 3/uL
10 x 6/uL
g/dL
fL
Pg
10 x 3/L

Remarks
Tinggi
Rendah
Tinggi

Referensi
4.0 - 10.0
20.0 - 40.0
2.0 7.0
3.50 5.50
11.0 16.0
82.0 95.0
27.0 31.0
150 450

3.5 Diagnosis Kerja


Tonsilitis kronis eksaserbasi akut
3.6 Penatalaksanaan
Terapi Farmakologis :
-

Cefadroxil 2x500 mg tab

Ambroxol 3x1 tab

Tremenza 3x1 tab

Vitamin C 1x50 mg tab

Non-Medikamentosa :
KIE kepada pasien mengenai penyakit, perjalanan penyakit dan komplikasi yang

mungkin terjadi.
Pasien disarankan untuk menghindari konsumsi makanan dan minuman yang dingin,

berminyak seperti gorengan maupun masakan pedas.


Pasien disarankan beristirahat dengan cukup untuk mempercepat proses penyembuhan.
Pasien diberikan edukasi mengenai pengobatan yang diterima, tujuan pemberian, dosis

serta cara pemberian.


Pasien disarankan untuk segera melapor atau berkonsultasi bila selama pengobatan timbul
gejala alergi atau keluhan dirasakan memberat.

3.7 Prognosis
Ad vitam
Ad functionam
Ad sanationam

: Dubius ad bonam
: Dubius ad bonam
: Dubius ad bonam

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini didapatkan pasien wanita berusia 41 tahun dengan diagnois Abses
Intratonsilar pada Tonsil Palatina Dextra. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Dari hasil anamnesis diketahui pasien
mengeluh adanya keluar cairan berupa nanah bercampur darah dan nyeri pada telinga (lebih
berat pada sisi kanan) hingga kepala berdenyut sesaat sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga
menyatakan sempat mengalami demam sebelum keluhan muncul. Pasien memiliki riwayat
adanya nyeri menelan, kurang nafsu makan dan badan lemas 6 hari yang lalu. Nyeri dirasakan
tajam, seperti ditusuk-tusuk, dan menetap sepanjang hari. Pasien sempat memeriksakan diri ke
Puskesmas dan mendapat pengobatan berupa tablet paracetamol dan vitamin namun tidak
mengalami perbaikan. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa keluhan yang
biasanya muncul pada pasien abses intratonsilar adalah adanya demam, odinofagia, disfagia dan
otalgia pada sisi ipsilateral selama lebih dari 5 hari.1
Beberapa hari setelah keluhan nyeri menelan timbul dan tidak membaik, pasien
mengeluhkan adanya keluar cairan berupa nanah bercampur darah. Hal ini dapat terjadi karena
adanya abses yang pecah secara spontan seperti yang dikemukakan pada literatur bahwa abses
merupakan kumpulan dari pus (nanah) dan memiliki resiko untuk pecah secara spontan. Hal ini
dapat mengakibatkan munculnya keluhan keluar nanah, perdarahan, aspirasi paru, hingga
piemia.2
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien ini berupa pemeriksaan tanda vital, status
general dan status THT. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan pasien dalam kondisi normal.
Suhu tubuh pasien adalah 36,8C. Hal ini dapat disebabkan karena pasien sudah mendapatkan
penanganan terhadap keluhannya seperti antipiuretik maupun antibiotik. Pada pemeriksaan status
generalis ditemukan pasien dalam kondisi normal. Pada pemeriksaan status THT didapatkan
kondisi hidung dan telinga dalam kondisi normal, namun pada pemeriksaan tenggorokan
didapatkan suara normal, tonsil berukuran T3/T1, mukosa hiperemia, kripta (+), detruitus (-),
pus (+), fluktuasi (-), mukosa dinding belakang faring berwarna merah muda, dan uvula terletak
tepat di medial tanpa deviasi. Hal ini sesuai dengan literatur yang mengemukakan bahwa pada
pemeriksaan fisik abses intratonsilar dapat ditemukan pembesaran tonsil unilateral dengan
eritema, eksudat dan uvula yang terletak pada medial serta tidak adanya perubahan suara. Hal ini

pula yang membedakan abses intratonsilar dengan abses peritonsilar dimana pada abses
peritonsilar didapatkan adanya suara gumam (hot potato voice), serta uvula yang terdorong ke
sisi kontralateral.3
Pada pasien ini diberikan penanganan berupa masuk rumah sakit, terapi farmakologi serta
terapi non-farmakologi. Pasien diberikan IVFD NaCl 0.9% sebanyak 20 tetes per menit,
antibiotik berupa cefotaxime 1 g IV setiap 8 jam dan metronidazole 500 mg IV setiap 8 jam,
serta metilprednisolone 4 mg setiap 8 jam sebagai anti-inflamasi. Pada pasien ini tidak dilakukan
insisi abses karena pada saat datang pasien sudah dalam kondisi abses pecah dan telah dilakukan
penanganan saat di UGD. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa penanganan
abses intratonsilar berupa insisi dan drainase abses bila belum pecah, pemberian antibiotik
spektrum luas sambil menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis dan tes sensitifitas antibiotik.
Apabila kondisi pasien sudah baik dapat dilakukan tonsilektomi.1
Penanganan non-medikamentosa yang diberikan adalah KIE berupa penyampaian informasi
kepada pasien mengenai penyakitnya, gambaran umum serta komplikasi yang mungkin terjadi.
Selain itu pasien disarankan untuk berbaring pada posisi tredelenburg untuk mencegah terjadinya
aspirasi nanah ke mediastinum sehingga menyebabkan terjadinya mediastinitis. Pasien juga
disarankan untuk berkumur menggunakan cairan yang mengandung desinfektan sebanyak 3 kali
sehari untuk menjaga kebersihan rongga mulut. Pasien juga disarankan untuk mengurangi
konsumsi makanan dan minuman yang dingin, pedas maupun berminyak seperti gorengan.
Pasien diharapkan mengikuti pengobatan secara teratur, serta berkonsultasi bila gejala dirasakan
memberat atau timbul reaksi alergi selama terapi berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA
1. Brodsky, L & Poje, C (2001). Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. Dalam : Bailey,
BJ. Head & Neck Surgery Otolaryngology, Vol 1, third ed. Lippincott Milliams & Wilkins.
2. Pracy, R. et al (1974) Pelajaran Ringkas THT, penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
3. Sudana, W., Indikasi Tonsiloadenoidektomi, Lab/UPF THT FK UNUD RSUP, Denpasar.
4. Karmaya, N.M.; Sana, I.G.N.P. & Sukardi, E. (1979), Tonsilla Palatina, Anatomi,
Pertumbuhan dan Perkembangannya, dalam : Masna, P.W. (ed) Tonsilla Palatina dan
Permasalahannya, FK UNUD, Denpasar
5. Adams, G.L. (1997), Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring,dalam Harjanto, E. dkk
(ed) Boies Buku Ajar Penyakit THT, edisi ke6, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
6. Rusmarjono & Soepardi, E.A. (2001), Penyakit Serta Kelainan Faring dan Tonsil, dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta.
7. Wirawan, S. & Puthra, I.G.A.G. (1979), Arti Fungsionil dari Elemen-elemen Histologis
Tonsil, dalam : Masna, P.W. (ed) Tonsilla Palatina dan Permasalahannya, FK UNUD,
Denpasar..
8. Rusmarjono & Kartosoediro, S. (2001), Odinofagi, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta
9. Snell, R.S. (1991) Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3, edisi 3, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
10. Rukmini S. & Herawati S.(1999), Teknik Pemeriksaan Telinga Hidung & Tenggorok, edisi 1,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
11. Anonim (2003) The Oral Cavity, Pharynx & Esophagus dalam Lee, K.J. (eds) Essential
Otolaryngology Head & Neck Surgery, McGraw Hill Medical Publishing Division, USA.
12. Masna, P.W., Tonsilitis, Tonsilektomi dan Adenoidektomi, Lab/UPF THT FK UNUD RSUP,
Denpasar
13. Oka, I.B. (1979), Tonsillitis, dalam : Masna, P.W. (ed) Tonsilla Palatina dan
Permasalahannya, FK UNUD, Denpasar.
14. Masna, P.W. (1992) Tonsilitis Kronis, dalam Pedoman Diagnosa dan terapi Ilmu Penyakit
THT RSUP Denpasar, Lab/UPF THT FK UNUD RSUP, Denpasar.

15. Mansjoer, A. dkk (2001) Kapita Selekta Kedokteran, edisi ke3, Jilid pertama, penerbit Media
Aesculapius, FKUI, Jakarta.
16. Suardana, W. (1979), Komplikasi Peradangan Menahun Tonsil, dalam : Masna, P.W. (ed)
Tonsilla Palatina dan Permasalahannya, FK UNUD, Denpasar.
17. Masna, P.W. (1979), Tonsillectomy & Adenoidectomy, dalam : Masna, P.W. (ed) Tonsilla
Palatina dan Permasalahannya, FK UNUD, Denpasar.
18.

Maryland Medical Center Programs (2004), Aftercare-Tonsillectomy, Akses 12 Mei


2006, Available at www.umm.edu/surgeries/graphics/tonsillectomy_4.jpg</TITLE

Anda mungkin juga menyukai