Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
Abses leher dalam merupakan kumpulan pus (nanah) yang terletak di dalam
ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran berbagai sumber
infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.
Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher
dalam yang terkena.1
Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronis atau percobaan multipel penggunan
antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi seseorang memiliki resiko
lebih tinggi terkena abses. Di Amerika insiden tersebut berkisar 30 kasus per 100.000
orang per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.2
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa karena
dapat menimbulkan berbagai komplikasi serius seperti obstruksi jalan napas dan
mediastinitis. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah di daerah pilar
tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior. Kuman penyebab
abses leher dalam biasanya terdiri dari kuman aerob, anaerob maupun campuran.2
Beberapa jenis abses leher dalam adalah abses intratonsilar, abses peritonsilar,
abses retrofaring, abses parafaring, dan abses submandibular. Abses intratonsilar
merupakan kumpulan pus pada kripta tonsil yang mengalami obstruksi dan sering
merupakan manifestasi lanjutan dari tonsilitis akut folikular. Sebuah studi kasus yang
dilakukan di Texas selama tahun 1982-1987 menunjukkan adanya 7 kasus abses
intratonsilar. Gejala yang muncul biasanya berupa demam, disfagia, odinofagia, dan
otalgia pada sisi yang terkena. Tanda klinis yang biasanya ditemukan berupa
pembengkakan dan kemerahan pada tonsil yang disertai adanya eksudat, trismus,
limfadenopati servikal, serta tidak adanya deviasi pada uvula dan perubahan suara.3
Pada responsi kali ini akan dibahas lebih lanjut mengenai abses intratonsilar.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Abses intratonsilar adalah akumulasi pus pada kripta tonsil yang mengalami
obstruksi.3
2.2 Anatomi
Tonsil merupakan bagian dari jaringan limfoid yang melingkari faring dan
secara kolektif dikenal sebagai cincin waldeyer. Cincin ini terdiri dari tonsil adenoid
atau faringeal, tonsil tuba Eustachius (Lateral band dinding faring), tonsil palatina,
dan tonsil lingualis.1
Tonsil dibatasi oleh pilar anterior yang berisi m. Palatoglossus, pilar posterior
yang berisi m. Palatopharingeus dan bagian lateral dibatasi oleh m. konstrictor
pharingeus superior.2
Tonsil berbentuk oval, tipis terletak pada bagian samping belakang orofaring
dalam fossa tonsilaris atau sinus tonsilaris. Bagian atas fossa tonsilaris kosong
dinamakan fossa supratonsiler yang merupakan jaringan ikat longgar. Berat tonsil
pada laki-laki berkurang dengan bertambahnya umur, sedangkan pada wanita berat
bertambah pada masa pubertas dan kemudian menyusut kembali.3
Permukaan lateral tonsil meletak pada fascia faring yang sering juga disebut
capsula tonsil. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai
celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel squamous yang
juga meliputi kriptus. Didalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel
yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Kripta pada tonsil palatina lebih besar,
bercabang dan berlekuk-lekuk dibandingkan dengan sistem limfoid lainnya, sehingga
tonsil palatina lebih sering terkena penyakit. Selama peradangan akut, kripta dapat
terisi dengan koagulum yang menyebabkan gambaran folikuler yang khas pada
permukaan tonsil.2

Gambar 2.1 Anatomi Tonsil4


2.3 Etiologi
Penyebab abses intratonsilar biasanya dikarenakan oleh bakteri yang sama
dengan tonsilitis dan abses leher dalam lainnya. Bakteri yang menginfeksi biasanya
campuran dari beberapa jenis bakteri. Baik bakteri aerob, anaerob maupun fakultatif
anaerob, antara lain5:
1) Bakteri aerob yang sering ditemukan adalah stafilokokus, Streptococcus sp,
Haemofilus influenza, Streptococcus Peneumonia, Moraxtella catarrhalis,
Klebsiell sp, Neisseria sp.
2) Bakteri anaerob yang sering adalah Peptostreptococcus, Fusobacterium dan
bacteroides sp. Pseudomanas aeruginosa merupakan kuman yang jarang
ditemukan
2.4 Patofisiologi
Tonsil palatina berlokasi pada lateral orofaring. M. palatoglossal membatasi
tonsil pada permukaan anterior dan m.palatofaringeal pada posterior. Pada bagian
medial dan kripta tonsilar ditutupi oleh epitel skuamosa non-keratinisasi. Jumlah
kripta tonsilar bervariasi mulai dari 8-20 buah. Kerusakan pada epitel kripta
menyebabkan adanya interaksi stimulus antigenik seperti bakteri dan virus dengan
limfosit tonsil. Isi dari kripta dikeluarkan oleh kontraksi otot tonsilofaringeal. Aktivasi
konstriktor

faringeal

superior

menyebabkan

adanya

stimulasi

konstraksi

tonsilofaringeus. Kegagalan pembersihan debris didalam kripta baik oleh karena


3

masalah struktural atau adanya kondisi lokal menyebabkana adanya inflamasi dan
infeksi di dalam tonsil. Abses intratonsilar dapat terjadi melalui dua mekanisme.
Pertama, penderita menderita tonsilitis akut dan kemudian pus terakumulasi didalam
kripta tonsilar. Inflamasi pada tonsil menghasilkan oklusi dan pembentukan abses.
Tonsilitis folikular akut muncul ketika organisme virulen memasuki kripta tonsilar
dan memulai replikasi di dasar kripta. Hal ini menyebabkan munculnya respon
terhadap proliferasi bakteri berupa edema lokal, influks neutrofil dan eksfoliasi kripta.
Secara klinis hal ini nampak sebagai adanya kemerahan, tonsil yang membengkak
disertai eksudat. Abses tonsilar biasanya terbentuk sebagai sekuele tonsilitis folikular
akut. Oklusi kripta dianggap sebagai fundamental terjadinya abses tonsilar dimana
kripta yang teroklusi ini terjadi oleh karena reaksi inflamasi lokal dari infeksi
mononukleosis. Penjalaran infeksi tonsil memungkinkan adanya supurasi pada daerah
peritonsilar. Kedua, abses intratonsilar dapat timbul akibat tonsil yang terinfeksi
melalui aliran darah atau sistem limpatik.3
2.5 Diagnosis
Diagnosis

abses

intratonsilar

dapat

ditegakkan

melalui

anamnesis,

pemeriksaaan fisik dan apabila perlu dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium.


Penderita dengan abses intratonsilar pada umumnya datang ke dokter dengan keluhan
nyeri pada sisi yang terkena, demam, odinofagia, disfagia, dan otalgia.3
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pembengkakan (hipertrofi) tonsil
unilateral dengan eritema, eksudat, trismus, kelainan letak uvula, dan servikal
limfadenopati. Pada abses intratonsilar jarang terjadi perubahan suara.3,5,6
Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk membantu penegakkan
diagnosis sekaligus penatalaksanaan pasien. Beberapa pemeriksaan laboratorium yang
dapat dilakukan yaitu7 :
1.

Darah lengkap
Untuk mengetahui apakah terdapat leukositosis sebagai penanda infeksi.

2.

Rontgen servikal lateral


Dapat memberikan gambaran adanya pembengkakan jaringan lunak pada daerah
prevertebra, adanya benda asing, gambaran udara di subkutan, air fluid levels,
erosi dari korpus vertebre.

3.

Rontgen Panoramiks
Dilakukan pada kasus abses leher dalam yang dicurigai berasal dari gigi.
4

4.

Rontgen toraks
Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis, pendorongan
saluran nafas, pneumonia yang dicurigai akibat aspirasi dari abses.

5.

Tomografi Komputer (TK)


Pemeriksaan TK toraks diperlukan jika dicurigai adanya perluasan abses ke
mediastinum.

6.

Bakteriologi
Untuk mengetahui jenis bakteri yang menginfeksi tonsil.

7.

Uji kepekaan antibiotik


Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab, uji
kepekaan perlu dilakukan. Jenis kuman yang bervariasi menyulitkan dalam
pemberian antibiotik tanpa adanya uji kepekaan tersebut.

2.6 Diagnosis Banding


1. Abses Peritonsil
Pada abses peritonsil didapatkan gejala demam, nyeri tenggorok, nyeri
menelan, hipersalivasi, nyeri telinga dan suara bergumam. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan arkus faring tidak simetris, pembengkakan di
daerah peritonsil, uvula terdorong ke sisi yang sehat, dan trismus. Tonsil
hiperemis, dan kadang terdapat detritus. Abses ini dapat meluas ke daerah
parafaring.7
2. Abses Retrofaring
Pada anak biasanya abses terjadi mengikuti infeksi saluran nafas atas
dengan supurasi pada kelenjar getah bening yang terdapat pada daerah
retrofaring. Kelenjar getah bening ini biasanya mengalami atropi pada usia
3-4 tahun. Pada orang dewasa abses retrofaring sering terjadi akibat adanya
trauma tumpul pada mukosa faring, perluasan abses dari struktur yang
berdekatan. Gejala klinis berupa demam, nyeri tenggorok, pergerakan leher
terbatas, sesak nafas, odinofagi maupun disfagi. Pada pemeriksaan
didapatkan pembengkakan dinding posterior faring.7
3. Abses Parafaring
Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi,
parotis, atau kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses parafaring
merupakan perluasan dari abses leher dalam yang berdekatan seperti; abses
5

peritonsil, abses submandibula, abses retrofaring maupun mastikator.


Gejala abses parafaring berupa demam, trismus, nyeri tenggorok, odinofagi
dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah
parafaring, pendorongan dinding lateral faring ke medial, dan angulus
mandibula tidak teraba. Pada abses parafaring yang mengenai daerah
prestiloid akan memberikan gejala trismus yang lebih jelas.7
4. Abses Submandibula
Pasien biasanya akan mengeluh nyeri di rongga mulut dan air liur banyak.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah submandibula,
fluktuatif, lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang, angulus
mandibula dapat diraba. Pada aspirasi didapatkan pus. Ludwigs angina
merupakan sellulitis di daerah sub mandibula, dengan tidak ada fokal abses.
Biasanya akan mengenai kedua sisi submandibula, air liur yang banyak,
trismus, nyeri, disfagia, massa di submandibula, sesak nafas akibat
sumbatan jalan nafas oleh lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke
belakang.7
2.7 Komplikasi
Ruptur abses, baik spontan atau akibat manipulasi, dapat mengakibatkan
terjadinya pneumonia, abses paru maupun empiema.6,7
2.8 Penatalaksanaan
Penanganan abses intratonsilar adalah dengan pemberian antibiotik spektrum
luas, insisi dan drainase abses, serta tonsilektomi.1,5
2.8.1 Antibiotik
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotika adalah
efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi kuman minimal,
toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja yang lebih lama. Pemberian
antibiotik berdasarkan hasil biakan kuman dan tes kepekaan antibiotik terhadap
kuman penyebab infeksi. Biakan kuman membutuhkan waktu yang lama untuk
mendapatkan hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera diberikan. Sebelum hasil
kultur kuman dan uji sensitifitas keluar, diberikan antibiotik kuman aerob dan anaerob
secara empiris. Yang SW melaporkan pemberian antibiotik kombinasi pada abses
6

leher dalam, yaitu; Kombinasi penesilin G, klindamisin dan gentamisin, kombinasi


ceftriaxone dan klindamisin, kombinasi ceftriaxone dan metronidazole, kombinasi
cefuroxime dan klindamisin, kombinasi pinisilin dan metronidazole, masing-masing
didapatkan angka perlindungan (keberhasilan) 67,4%, 76,4%, 70,8%, 61,9%.8
Penesilin G merupakan obat terpilih untuk infeksi kuman streptokokus dan
stafilokokus yang tidak menghasilkan enzim penecilinase. Gentamisin menunjukkan
efek

sinergis

dengan

pinisilin.

Klindamisin

efektif

terhadap

streptokokus,

pneumokokus dan stafilokokus yang resisten terhadap penisilin. Lebih khusus


pemakaian klindamisin pada infeksi polimicrobial termasuk Bacteroides sp maupun
kuman anaerob lainnya pada daerah oral. Antibiotik yang dianjurkan beberapa penulis
secara empiris8:
Penulis
Sakaguchi dkk (97)

Antibiotik
Penesilin & Klindamisin

Umur
D

Parhischar, Har-El (01) Penesilin G & Oxacillin atau Nafcilin A&D


Gates (83)

Penesilin, lactamase resistant drug

DTV

Chen dkk (98)

penesilinG, Klindamisin, Gentamisin

Plaza, Mayor (01)

Cefotaxime, Metronidazole

Simo dkk (98)

Flucloxacine, Metronidazole

Nagy dkk (97)

Ceftriaxone , Klindamisin

A&D

Mc Clay dkk (03)

Cefuroxime, Klindamisin

Sichel dkk (02)

Amoksillin-Asam klavulanik

A&D

Brondbo dkk (83)


Penesilin G, Metronidazole
A=Anak, D=Dewasa DTV=Data tidak valid

2.8.2 Insisi dan drainase


Tujuan utama tindakan ini adalah mendapatkan drainase abses yang adekuat
dan terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada
pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah paling
berfluktuasi. Pada penderita yang sadar, tindakan dapat dilakukan dengan posisi
duduk menggunakan anestesi lokal. Anestesi lokal dapat dilakukan pada cabang
tonsilar dari nervus glossofaringeus (N.IX) yang memberikan inervasi sensoris
mayoritas pada daerah ini, dengan menyuntikkan lidokain melalui mukosa ke dalam
fosa tonsil. Pada penderita yang memerlukan anestesi umum, posisi penderita saat
tindakan adalah kepala lebih rendah (trendelenberg) menggunakan ETT (Endotrakeal
tube). Anestesi topikal dapat berupa xylocaine spray atau menggunakan lidokain 47

5% atau tetrakain 2% untuk mencegah keterlibatan jaringan tonsil yang lain. Lokasi
insisi biasanya dapat diidentifikasi pada pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil
atau dipalpasi pada daerah yang paling fluktuatif.9
Insisi diperdalam dengan klem dan pus yang keluar langsung dihisap dengan
menggunakan alat penghisap.Tindakan ini (menghisap pus) penting dilakukan untuk
mencegah aspirasi yang dapat mengakibatkan timbulnya pneumonitis. Biasanya bila
insisi yang dibuat tidak cukup dalam, harus lebih dibuka lagi dan diperbesar. Setelah
cukup banyak pus yang keluar dan lubang insisi yang cukup besar, penderita
kemudian disuruh berkumur dengan antiseptik dan diberi terapi antibiotika.
Umumnya setelah drainase terjadi, rasa nyeri akan segera berkurang. Pus yang keluar
juga sebaiknya diperiksakan untuk tes kultur dan sensitifitas, biasanya diambil saat
aspirasi (diagnosis).8,9
2.8.3 Tonsilektomi
Tindakan pembedahan pada abses intratonsiler pada umumnya sama dengan
abses peritonsilar. Tindakan tonsilektomi pada abses dilakukan untuk mencegah
kekambuhan sehingga dilakukan pengangkatan kedua tonsil. Sedangkan insisi dan
drainase abses merupakan tindakan yang paling sering dilakukan sebagai terapi utama
untuk abses intratonsilar.Waktu pelaksanaan tonsilektomi9 :
1. Tonsilektomi a chaud: dilakukan segera / bersamaan dengan drainase abses.
2. Tonsilektomi a tiede : dilakukan 3-4 hari setelah insisi dan drainase.
3. Tonsilektomi a froid : dilakukan 4-6 minggu setelah drainase.
Beberapa keuntungan dari tonsilektomi adalah penanganan penderita
dilakukan dalam satu tahap pada saat sakit, memberikan drainase pus yang lengkap,
mengurangi waktu perawatan (bila penderita dirawat inap di rumah sakit) dan
mengurangi rasa sakit dengan segera. Sedangkan kerugiannya adalah dapat terjadinya
perdarahan pada saat tindakan tonsilektomi, dapat terjadi trombosis, sinus kavernosus,
aspirasi paru, dan meningitis.9

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama

: NWR
8

Umur

: 41 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Agama

: Hindu

Suku

: Bali

Bangsa

: Indonesia

Alamat

: Tegal Tugu

Tanggal Pemeriksaan

: 24 Maret 2015

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Keluar nanah bercampur darah sejak 2 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke UGD RSUD Sanjiwani Gianyar tanggal 22 Maret 2015
dengan keluhan keluar nanah bercampur darah sesaat sebelum masuk rumah
sakit. Awalnya pasien merasakan nyeri pada tenggorokan sejak tanggal
17 Maret 2015. Keluhan nyeri tenggorokan timbul saat pasien menelan.
Pasien menyatakan rutin mengonsumsi makanan dan minuman dingin beberapa
hari sebelum keluhan nyeri muncul. Nyeri dirasakan tajam, seperti ditusuk-tusuk
dan berlangsung terus menerus sepanjang hari. Keluhan ini menyebabkan nafsu
makan pasien menurun sehingga pasien merasa lemas. Pasien telah berobat ke
puskesmas dan mendapat beberapa obat namun keluhan tidak membaik. Pada
tanggal 22 Maret 2015 pasien merasakan nyeri semakin bertambah dan tiba-tiba
keluar nanah cair bercampur darah dari mulut. Pasien juga mengalami demam
sebelumnya. Pasien menyatakan adanya nyeri pada telinga, lebih berat pada sisi
kanan hingga kepala terasa berdenyut saat nanah dikeluarkan. Pasien menyangkal
adanya batuk dan pilek. Akhirnya pasien datang ke Rumah Sakit Umum Daerah
Sanjiwani Gianyar untuk mendapat pengobatan. Pasien disarankan untuk rawat
inap dan saat ini keluhan sudah dirasakan berkurang. Pasien menyatakan nanah
yang keluar sudah lebih sedikit.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Pasien
menyatakan pernah menderita tonsilitis ketika kelas 6 SD dan tidak pernah
kambuh dalam 6 bulan terakhir. Pasien tidak pernah menjalani tonsilektomi.
Pasien menyangkal adanya riwayat hipertensi dan diabetes.
9

Riwayat Alergi
Pasien menyangkal adanya alergi terhadap obat, makanan maupun bahan
tertentu.
Riwayat Pengobatan
Pasien menyatakan sudah pernah berobat ke Puskesmas saat keluhan nyeri
menelan muncul dan diberikan obat berupa tablet paracetamol dan vitamin.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Pasien menyatakan anaknya pernah mengalami tonsilitis namun sudah
dilakukan tonsilektomi.
Riwayat Pribadi dan Sosial
Penderita bekerja sebagai seorang ibu rumah tangga. Pasien menyatakan
sering mengonsumsi makanan dan minuman dingin sejak beberapa minggu
terakhir. Pasien mengatakan tidak mengonsumsi alkohol maupun merokok.
3.3 Pemeriksaan Fisik
3.3.1 Status Present
Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 84 x/menit

Respirasi

: 20 x/menit

Temperatur axilla

: 36,8 0C

3.3.2 Status General


Kepala

: Normocephali

Mata

: Anemis -/- , ikterus -/-, Refleks pupil (+) isokor

THT

: Sesuai status lokalis

Leher

: Pembesaran kelenjar getah bening (-)/(-)


Pembesaran kelenjar tiroid (-)/(-)

Thoraks

: Cor

: S1, S2, tunggal, reguler, murmur (-)

Pulmo : vesikuler (+)/(+), ronki (-)/(-), wheezing (-)/(-)


Abdomen : Distensi (-), Bising usus (+) normal, hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas

: Akral hangat

10

Edema

3.3.3 Status Lokalis THT


Telinga
Daun telinga

Liang telinga (MAE)

Kanan
Bentuk : Normal

Kiri
Bentuk : Normal

Nyeri Tarik Aurikuler (-)

Nyeri Tarik Aurikuler (-)

Nyeri Tekan Tragus (-)


Lapang

Nyeri Tekan Tragus (-)


Lapang

Serumen : (-)

Serumen : (-)

Cairan : (-)
(-)
Intak
(-)

Cairan : (-)
(-)
Intak
(-)

Kanan
Bentuk : Normal

Kiri
Bentuk : Normal

Sekret
Membran Timpani
Tumor
Tes Pendengaran :
Weber

: Tidak dievaluasi

Rinne

: Tidak dievaluasi

Schwabach : Tidak dievaluasi


Hidung
Hidung Luar
Liang telinga
Septum
Sekret
Tumor
Konka

Lapang
Deviasi : (-)
(-)
(-)
Dekongesti

Tenggorokan
Dispneu
Sianosis
Mukosa
Dinding Belakang Faring
Stridor
Suara
Tonsil
Ukuran
Mukosa Hiperemia
Kripta
Detruitus
Pus

Lapang
(-)
(-)
Dekongesti

Tidak ada
Tidak ada
Merah Muda
Merah Muda, Post Nasal Drip (-)
(-)
Normal
Kanan
T3
(+)
(+)
(-)
(+), fluktuasi (-)
11

Kiri
T1
(-)
(+)
(-)
(-)

Peritonsil

Mukosa : Merah Muda

Uvula
Palatum Molle

Mukosa : Merah Muda

Pus
: (-)
Pus
: (-)
Hiperemia (-), Edema (-), Letak Medial, Deviasi (-)
Hiperemia (-), Edema (-)

Gambar 3.1. Abses Intratonsilar Pasien

Gambar 3.2. Tonsil Kanan Pasien


3.3.4

Pemeriksaan Penunjang

Darah Lengkap (22 Maret 2015)


Parameter
WBC

Hasil
20.1

Satuan
10 x 3/uL
12

Remarks
Tinggi

Referensi
4.0 - 10.0

3.4

Lymph
Gran#
RBC
HGB
MCV
MCH
PLT

8.7
16.9
4.50
13.9
84.5
30.9
233

%
10 x 3/uL
10 x 6/uL
g/dL
fL
Pg
10 x 3/L

Rendah
Tinggi

20.0 - 40.0
2.0 7.0
3.50 5.50
11.0 16.0
82.0 95.0
27.0 31.0
150 450

Parameter
Gula Darah

Hasil
98

Satuan
mg/L

Remarks
Normal

Referensi
70 125

Resume
Pasien perempuan berumur 41 tahun, Hindu, suku Bali datang dengan
keluhan keluar nanah bercampur darah, sesaat sebelum masuk rumah sakit. Pasien
juga mengeluhkan adanya demam sebelum keluhan ini muncul dan nyeri pada
telinga yang memberat pada sisi kanan hingga kepala berdenyut saat nanah
dikeluarkan. Sebelumnya pasien mengalami nyeri menelan yang dirasakan tajam
seperti ditusuk-tusuk dan menetap sepanjang hari. Pasien sempat berobat ke
Puskesmas namun keluhan tidak membaik. Pada pemeriksaan fisik umum
ditemukan tanda vital dan status generalis dalam kondisi baik. Pada pemeriksaan
fisik THT didapatkan keadaan hidung dan telinga dalam kondisi normal. Pada
pemeriksaan tenggorokan didapatkan suara pasien normal, tonsil berukuran
T3/T1, mukosa hiperemia, kripta (+), detruitus (-), pus (+), fluktuasi (-), mukosa
dinding belakang faring berwarna merah muda, dan uvula terletak tepat di medial
tanpa deviasi. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis dan gula
darah dalam batas normal.

3.5 Diagnosis Kerja


Abses Intratonsilar pada Tonsil Palatina Dekstra
3.6 Penatalaksanaan
Terapi Farmakologis :
-

IVFD NaCl 0.9% sebanyak 20 tetes per menit

Cefotaxime 1 g IV setiap 8 jam

Metronidazole 500 mg IV setiap 8 jam

Metilprednisolone 4 mg per oral setiap 8 jam


13

- Kumur dengan cairan yang mengandung desinfektan berupa povidone


iodine 1% tiap 8 jam
Non-Medikamentosa :
Posisi Tredelenburg
Pasien diberikan penjelasan mengenai gambaran umum penyakit, perjalanan
penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pasien disarankan untuk menghindari konsumsi makanan dan minuman yang
dingin, berminyak seperti gorengan maupun masakan pedas.
Pasien disarankan beristirahat dengan cukup untuk mempercepat proses
penyembuhan.
Pasien diberikan edukasi mengenai pengobatan yang diterima, tujuan
pemberian, dosis serta cara pemberian.
Pasien diberikan edukasi mengenai tujuan, kapan dan cara berkumur yang baik
dengan cairan antiseptik.
Pasien disarankan untuk segera melapor atau berkonsultasi bila selama
pengobatan timbul gejala alergi atau keluhan dirasakan memberat.
3.7 Prognosis
Ad vitam
Ad functionam
Ad sanationam

: Dubius ad bonam
: Dubius ad bonam
: Dubius ad bonam

14

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini didapatkan pasien wanita berusia 41 tahun dengan diagnois
Abses Intratonsilar pada Tonsil Palatina Dextra. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Dari hasil anamnesis
diketahui pasien mengeluh adanya keluar cairan berupa nanah bercampur darah dan
nyeri pada telinga (lebih berat pada sisi kanan) hingga kepala berdenyut sesaat
sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga menyatakan sempat mengalami demam
sebelum keluhan muncul. Pasien memiliki riwayat adanya nyeri menelan, kurang
nafsu makan dan badan lemas 6 hari yang lalu. Nyeri dirasakan tajam, seperti ditusuktusuk, dan menetap sepanjang hari. Pasien sempat memeriksakan diri ke Puskesmas
dan mendapat pengobatan berupa tablet paracetamol dan vitamin namun tidak
mengalami perbaikan. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa
keluhan yang biasanya muncul pada pasien abses intratonsilar adalah adanya demam,
odinofagia, disfagia dan otalgia pada sisi ipsilateral selama lebih dari 5 hari.1
Beberapa hari setelah keluhan nyeri menelan timbul dan tidak membaik,
pasien mengeluhkan adanya keluar cairan berupa nanah bercampur darah. Hal ini
dapat terjadi karena adanya abses yang pecah secara spontan seperti yang
dikemukakan pada literatur bahwa abses merupakan kumpulan dari pus (nanah) dan
memiliki resiko untuk pecah secara spontan. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya
keluhan keluar nanah, perdarahan, aspirasi paru, hingga piemia.2

15

Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien ini berupa pemeriksaan tanda
vital, status general dan status THT. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan pasien
dalam kondisi normal. Suhu tubuh pasien adalah 36,8C. Hal ini dapat disebabkan
karena pasien sudah mendapatkan penanganan terhadap keluhannya seperti
antipiuretik maupun antibiotik. Pada pemeriksaan status generalis ditemukan pasien
dalam kondisi normal. Pada pemeriksaan status THT didapatkan kondisi hidung dan
telinga dalam kondisi normal, namun pada pemeriksaan tenggorokan didapatkan suara
normal, tonsil berukuran T3/T1, mukosa hiperemia, kripta (+), detruitus (-),

pus (+),

fluktuasi (-), mukosa dinding belakang faring berwarna merah muda, dan uvula
terletak tepat di medial tanpa deviasi. Hal ini sesuai dengan literatur yang
mengemukakan bahwa pada pemeriksaan fisik abses intratonsilar dapat ditemukan
pembesaran tonsil unilateral dengan eritema, eksudat dan uvula yang terletak pada
medial serta tidak adanya perubahan suara. Hal ini pula yang membedakan abses
intratonsilar dengan abses peritonsilar dimana pada abses peritonsilar didapatkan
adanya suara gumam (hot potato voice), serta uvula yang terdorong ke sisi
kontralateral.3
Pada pasien ini diberikan penanganan berupa masuk rumah sakit, terapi
farmakologi serta terapi non-farmakologi. Pasien diberikan IVFD NaCl 0.9%
sebanyak 20 tetes per menit, antibiotik berupa cefotaxime 1 g IV setiap 8 jam dan
metronidazole 500 mg IV setiap 8 jam, serta metilprednisolone 4 mg setiap 8 jam
sebagai anti-inflamasi. Pada pasien ini tidak dilakukan insisi abses karena pada saat
datang pasien sudah dalam kondisi abses pecah dan telah dilakukan penanganan saat
di UGD. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa penanganan abses
intratonsilar berupa insisi dan drainase abses bila belum pecah, pemberian antibiotik
spektrum luas sambil menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis dan tes sensitifitas
antibiotik. Apabila kondisi pasien sudah baik dapat dilakukan tonsilektomi.1
Penanganan non-medikamentosa yang diberikan adalah KIE berupa
penyampaian informasi kepada pasien mengenai penyakitnya, gambaran umum serta
komplikasi yang mungkin terjadi. Selain itu pasien disarankan untuk berbaring pada
posisi tredelenburg untuk mencegah terjadinya aspirasi nanah ke mediastinum
sehingga menyebabkan terjadinya mediastinitis. Pasien juga disarankan untuk
berkumur menggunakan cairan yang mengandung desinfektan sebanyak 3 kali sehari
untuk menjaga kebersihan rongga mulut. Pasien juga disarankan untuk mengurangi
konsumsi makanan dan minuman yang dingin, pedas maupun berminyak seperti
16

gorengan. Pasien diharapkan mengikuti pengobatan secara teratur, serta berkonsultasi


bila gejala dirasakan memberat atau timbul reaksi alergi selama terapi berlangsung.

17

Anda mungkin juga menyukai