Anda di halaman 1dari 6

Bagian Obstetri dan Ginekologi

Fakultas Kedokteran
Universitas Halu Oleo

Februari 2016

TUGAS TAMBAHAN

Oleh :
Oleh:
Ridha Nur Rahma Ariani, S.Ked
(K1A1 09 063)
Pembimbing :
dr. Juminten Saimin, Sp.OG (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN OBSTETRI DAN GYNECOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
Bagian Obstetri dan Ginekologi
Februari 2016
Fakultas Kedokteran
Universitas Halu Oleo
TUGAS TAMBAHAN

Oleh :
Oleh:

Ridha Nur Rahma Ariani, S.Ked


(K1A1 09 063)
Pembimbing :
dr. Juminten Saimin, Sp.OG (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN OBSTETRI DAN GYNECOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
1.

2. Kapan harus diakukan skrining Toxoplasma?


Skrining toxoplasma dilakukan apabila seseorang memiliki
gejala terinfeksi, atau seseorang sedang dalam kondisi beresiko untuk
terinsfeksi toxoplasmosis. Misalnya, tes skring toxoplasmosis akan
direkomendasikan pada seseorang yang terdiagnosis HIV atau pasca
transplantasi organ. Di Inggris, skrining Toxoplasmosis tidak dilakukan
secara rutin pada wanita hamil, dikarenakan resiko infeski pada saat
sedang hamil sangat kecil dan keefektifan hasil tes pada ibu hamil. 1
Salah satu artikel menjelaskan beberapa hal mengenai
pencegahan,

screening,

dan

penanganan

toxoplasmosis

pada

kehamilan2:
1. Screening universal rutin sebaiknya tidak dilakukan pada ibu hamil
dengan risiko rendah. Screening serologik diberikan hanya untuk
ibu hamil yang dipertimbangkan berisiko terhadap infeksi primer
Toxoplasma gondii.
2. Dugaan infeksi baru

pada

ibu

hamil

harus

dikonfirmasi

(menggunakan tes sampel di laboratorium rujukan toksoplasmosis,


menggunakan tes yang seakurat mungkin dan dapat diinterpretasi
dengan benar) sebelum melakukan intervensi.
3. Jika diduga terjadi infeksi akut, tes berulang harus dilakukan dalam
waktu 2-3 minggu, dan pertimbangkan untuk segera memberikan
spiramycin, tanpa menunggu hasil tes berulang.
4. Amniocentesis sebaiknya dilakukan untuk mengidentifi kasi
Toxoplasma gondii dalam cairan ketuban menggunakan polymerase
chain reaction jika (a) didagnosis sebagai infeksi primer pada ibu,
(b) tes serologi tidak dapat mengonfi rmasi atau mengeksklusi
infeksi akut, (c) terdapat temuan ultrasound yang abnormal (kalsifi
kasi

intrakranial,

mikrosefali,

hidrosefalus,

asites,

hepatosplenomegali, atau hambatan pertumbuhan intrauteri yang


berat).
5. Amniocentesis sebaiknya tidak digunakan untuk identifi kasi
Toxoplasma gondii pada usia kehamilan kurang dari 18 minggu atau

untuk menurunkan kejadian hasil tes negatif palsu. Sebaiknya


dilakukan tidak kurang dari 4 minggu setelah diduga terjadi infeksi
akut.
6. Ibu hamil dengan temuan ultrasound yang konsisten dengan
kemungkinan

infeksi

TORCH

(toxoplasmosis,

rubella,

cytomegalovirus, herpes, dan lainnya), termasuk, tetapi tidak hanya


terbatas pada kalsifikasi intrakranial, mikrosefali, hidrosefalus,
asites, hepatosplenomegali, atau hambatan pertumbuhan intrauterin
yang berat harus dicurigai mungkin terinfeksi Toxoplasma gondii
dan discreening.
Pada prinsipnya skrining dilakukan untuk mengetahui terlebih
dahulu apakah ibu terinfesi Toxoplasmosis, atau dapat pula dikatakan
untuk mencegah terjadinya kehamilan dengan Toxoplasmosis. Oleh
karena itu, skrining Toxoplasma dianjurkan digolongkan dalam premarital screening atau skrining pra nikah.. di Indonesia telah banyak
laboratorium menyediakan fasilitas skrining Pra Nikah, termasuk
sckrining Toxoplasma.. 4,5
1. Jelaskan

Tes

Konfirmasi

hasil

Skrining

Toxoplasma

bila

interpretasinya IgM+ dan IgG+ ?


Sebuah uji aviditas IgG T. gondii-spesifik akan membantu
membedakan antara dua kemungkinan tersebut. Ketika tes ini dilakukan
pada yang sama sampel serum ditemukan IgG-positif dan IgM positif,
hasil aviditas tinggi diperoleh. Informasi ini menunjukkan bahwa
infeksi terjadi baik sebelum konsepsi, dankesempatan toksoplasmosis
kongenital adalah hampir tidak ada. Hasil akan bervariasi dengansetiap
pasien.
Aviditas IgG anti-toksoplasma diukur sebagai fungsi disosiasi
ikatan hidrogen. Ikatan ini dipecah oleh urea sebagai denaturan protein

dalam larutan pencuci pada saat antibodi serum telah terikat secara
invitro dengan antigen reagen. Sampel dengan aviditas IgG yang tinggi
akan mempertahankan ikatannya dan memberikan sinyal pembacaan
yang tinggi. Sebaliknya, bila aviditas IgG rendah, antibodi IgG akan
terlepas dari antigen dan ikut terbuang pada proses pencucian sehingga
memberikan sinyal pembacaan yang rendah. Aviditas IgG yang rendah
menunjukkan infeksi baru, sementara aviditas IgG yang tinggi
merupakan petanda adanya kekebalan lampau.

2. Bagaimana Penularan pada Rubella?


Rubella disebabkan oleh suatu RNA virus, genus Rubivirus,
famili Togaviridae. Virus dapat diisolasi dari biakan jaringan penderita.
Infeksi terjadi melalui droplet atau kontak langsung dengan penderita.
Penyebab rubella atau campak Jerman adalah virus rubella. Meski virus
penyebabnya berbeda, namun rubella dan campak (rubeola) mempunyai
beberapa persamaan. Rubella dan campak merupakan infeksi yang
menyebabkan kemerahan pada kulit pada penderitanya. Perbedaannya,
rubella atau campak Jerman tidak terlalu menular dibandingkan campak
yang cepat sekali penularannya. Penularan rubella dari penderitanya ke
orang lain terjadi melalui percikan ludah ketika batuk, bersin dan udara
yang terkontaminasi. Virus ini cepat menular, penularan dapat terjadi
sepekan (1 minggu) sebelum timbul bintik-bintik merah pada kulit si
penderita, sampai lebih kurang sepekan setelah bintik tersebut
menghilang. Namun bila seseorang tertular, gejala penyakit tidak
langsung tampak. Gejala baru timbul kira-kira 14 21 hari kemudian.
Selain itu, campak lebih lama proses penyembuhannya sementara
rubella hanya 3 hari, karena itu pula rubella sering disebut campak 3
hari.
3. Mengapa pada ibu hamil dengan Herpers Zooster harus pesalinan
dengan Sectio Caesaria?

Herpes dapat menyebabkan penyakit mata yang serius termasuk


kebutaan. Wanita hamil yang menderita herpes dapat menginfeksi
bayinya. Bayi yang lahir dengan herpes dapat meninggal atau
mengalami gangguan pada otak, kulit atau mata. Bila pada kehamilan
timbul herpes genital, hal ini perlu mendapat perhatian serius karena
virus dapat melalui plasenta sampai ke sirkulasi fetal serta dapat
menimbulkan kerusakan atau kematian pada janin. Infeksi neonatal
mempunyai angka mortalitas 60%, separuh dari yang hidup menderita
cacat neurologis atau kelainan pada mata. Sebagian Obstetrician akan
lebih menganjurkan untuk dilakukannya Sectio Caesaria pada
persalinan untuk meminimalisasi komplikasi pada neonatus dengan ibu
herpes genital

Sumber:
1. http://www.nhs.uk/Conditions/toxoplasmosis/Pages/diagnosis.aspx
2. http://www.kalbemed.com/Portals/6/22_205Article-Screening%20dan
%20Penanganan%20Toksoplasmosis%20pada%20Ibu%20Hamil.pdf
3. http://jama.jamanetwork.com/article.aspx?articleid=368468
4. http://labcito.co.id/panel-pra-nikah
5. http://www.prodia.co.id/InfoKesehatan/PenyakitDiagnosisDetails/prema
rital-check-up
6. https://www.focusdx.com/focus/techsheets/ToxplasmaAvidity.pdf

Anda mungkin juga menyukai